[opini]

Tentang "Kiri" dalam Sastra dan Film

(Dimuat di Jawa Pos, 29 Agustus 2019)

Alih-alih memberikan pemahaman yang mencerahkan, artikel Redi Panuju Sastra dan Film Kiri yang Naik Daun (28/8) justru berpotensi memicu atau bahkan memelihara kesalahpahaman masyarakat kepada Bumi Manusia (BM) khususnya, dan sejarah sastra serta film Indonesia umumnya. Setidaknya ada empat hal dari artikel tersebut yang patut diuji argumentasinya.

Alih-alih memberikan pemahaman yang mencerahkan, artikel Redi Panuju Sastra dan Film Kiri yang Naik Daun (28/8) justru berpotensi memicu atau bahkan memelihara kesalahpahaman masyarakat kepada Bumi Manusia (BM) khususnya, dan sejarah sastra serta film Indonesia umumnya. Setidaknya ada empat hal dari artikel tersebut yang patut diuji argumentasinya.

         Pertama, tidak ada definisi yang jelas tentang istilah ‘kiri’ dalam tulisan itu. Redi menggunakan istilah tersebut secara apriori seolah yang ‘kiri’ semata merujuk pada ‘Marxisme’ . “Ruang hukum dan politik yang sudah permisif terhadap ajaran Marxisme,tulis Redi, menjadi angin segar bagi transformasi sastra kiri ke film.” Secara historis, ‘kiri’ merujuk pada era Revolusi Perancis (1789-1799) di mana posisi tempat duduk kelompok yang menentang kekuasaan monarki berada di sebelah kiri ruangan. Dalam perkembangannya, semangat menggugat segala sesuatu yang dianggap ‘absolut’ semisal konstruksi gender, kultur patriarki, feodalisme, institusionalisasi tafsir, dan nasionalisme, juga berkorelasi dengan ‘kiri’. Artinya, ‘kiri’ sebagai suatu terminologi politik dan juga praktik diskursif dalam tahap-tahap tertentu bisa beririsan juga dengan liberalisme, feminisme, kapitalisme, dan nasionalisme. Maka, memahami ‘kiri’ semata berasosiasi dengan Marxisme adalah tindakan yang simplistis dan reduktif.

         Kedua, lack of definition tersebut membuat perspektif Redi dalam menilai novel  dan film BM menjadi bias dan kacau antara penggunaan istilah ‘kiri’ dan ‘Marxisme’. Apabila dicermati, BM sama sekali tidak membahas atau merepresentasikan tema-tema, katakanlah demikian, Marxisme. Misalnya, tema perjuangan kelas, subjek-kolektif, dan revolusi. Dalam versi novel, lebih lagi filmnya, yang dijumpai dalam BM justru kisah para borjuis Jawa yang ditunjukkan dengan upaya Minke sebagai seorang ‘Raden Mas’ memperjuangkan cintanya; serta Ontosoroh, pengusaha sukses yang memperjuangkan haknya sebagai perempuan dan ibu. Alih-alih komunal atau atas nama ‘kelas’ atau ‘bangsa’nya, konflik-konflik subjek dalam BM bersifat individual, bukan kolektif. Pergulatan Minke untuk mendapatkan Annelis; serta Nyai Ontosoroh untuk mempertahankan anaknya, adalah pergulatan personal, bukan komunal.

Jadi, di mana letak ‘Marxis’ novel BM? Tidak ada, saya kira. Maka, pernyataan Redi bahwa film BM telah menandai permisifnya pemerintah terhadap Marxisme adalah tidak relevan karena memang ideologi tersebut tidak pernah ada dalam teks novel BM. Lalu, apakah bisa dianggap ‘kiri’? Jika cerita tentang seorang kekasih yang ingin mempertahankan hubungannya; juga seorang Ibu yang mempertahankan hak atas anaknya dilabeli ‘kiri’, tidak terbilang berapa banyak sastra dan film kita yang kemudian layak dilabeli sastra dan film ‘kiri’.

         Ketiga, ‘sastra kiri’ tidak sama dengan ‘sastra kontekstual’ seperti dikatakan oleh Redi seraya mengutip Ariel Heryanto. Dalam buku Perdebatan Sastra Kontekstual (1985) dan artikel Masihkan Politik Jadi Panglima: Politik Kesusastraan Indonesia Mutakhir (1988) Ariel menulis, sembari melanjutkan penjelasan tentang konsep ‘sastra kontekstual’, terdapat empat jenis sastra di Indonesia. Yakni, sastra yang diresmikan yakni yang sesuai ‘visi’ negara, sastra terlarang, semisal tetralogi Bumi Manusia, sastra yang diremehkan, semisal cerita silat dan sastra stensilan, serta sastra yang dipisahkan, semisal sastra berbahasa daerah. Sastra ‘kiri’, dengan demikian, tidak dikenal, melainkan sastra yang ‘dilarang’ oleh rezim saat itu.

Keempat, ada anakronisme fatal saat Redi mengatakan inisiator Manifes Kebudayaan adalah Lekra dan Pramoedya. Manifes Kebudayaan dan Lekra justru saling ‘serang’ dan berpolemik sengit melalui gagasan sejak 1950an, dan memuncak di awal tahun 1960-an. Manifes Kebudayaan dirilis 1963 menyerukan kebebasan individu dalam menyuarakan humanisme universal dalam filsafat modernisme; sementara Lekra telah lama berpandangan seni dan sastra haruslah berpihak pada kepentingan kelas proletar yang bermuara pada pembentukan kesadaran dan praktik revolusi. Manifes Kebudayaan lantas dibubarkan oleh Soekarno pada 1964 karena dianggap tidak sejalan dengan semangat revolusi kemerdekaan Indonesia. Sampai di tahap ini, jelaslah bahwa pemberian label tertentu, katakanlah ‘kiri’, pada karya seni termasuk sastra dan film sungguh memiliki konsekuensi pertanggungjawaban yang kompleks, baik secara akademik maupun secara sosiokultural.

Transformasi BM dari novel ke film memang menjadi fenomena menarik justru bila ia ditafsir dari sudut pandang sosiokulturalnya. Masyarakat Indonesia, harus diakui, belum sepenuhnya bebas dari beban masa lalu. Narasi peristiwa 30 September 1965, Reformasi 1998, dan masih menguatnya politik identitas SARA akhir-akhir ini menjadi penanda betapa beban masa lalu itu senantiasa bisa terbangun atau dibangunkan oleh pihak-pihak tertentu demi kepentingan tertentu pula. Dalam situasi demikian, hal utama yang diperlukan adalah kemampuan menafsirkan dan juga meredam diri sehingga kita tidak mudah melabeli sesuatu/seseorang  yang justru bisa menjerumuskan kita pada pemahaman dan tindakan yang tidak sesuai. Seturut kata Pramoedya, “Seorang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran apalagi dalam perbuatan.”


Optimisme dan Kerinduan yang Menggugat

Catatan dari Konferensi Law And Justice: 20 Tahun Reformasi Indonesia di Berlin

(Dimuat di Jawa Pos, 16 November 2018)


Membincang Reformasi 1998 dari sudut pandang peneliti Eropa dan Indonesia menyajikan dua hal. Pertama, dialektika silang pandang antara ‘orang-luar’ dan ‘orang-dalam’ dalam memandang Indonesia terkini. Kedua, perasaan ‘optimisme’ dan ‘kritisisme’ yang bertaut dalam kerinduan dan kegelisahan terhadap Indonesia dari para imigran Indonesia di Jerman.


“Those who do not remember the past are condemned to repeat it.”

(George Santayana) 

Membincang Reformasi 1998 dari sudut pandang peneliti Eropa dan Indonesia menyajikan dua hal. Pertama, dialektika silang pandang antara ‘orang-luar’ dan ‘orang-dalam’ dalam memandang Indonesia terkini. Kedua, perasaan ‘optimisme’ dan ‘kritisisme’ yang bertaut dalam kerinduan dan kegelisahan terhadap Indonesia dari para imigran Indonesia di Jerman. Setidaknya itulah yang terjadi dalam konferensi Law and Justice 20 Tahun Reformasi Indonesia yang diadakan oleh Watch Indonesia! di Berlin 9-11 November 2018. Acara tersebut diselenggarakan tidak jauh dari peringatan Hari Reformasi Jerman yakni setiap 31 Oktober.


Konferensi tersebut fokus pada lima pertanyaan. Pertama, keberlanjutan dan perubahan: apa yang telah reformasi raih? Kedua, sinergi antara aktivis dan lembaga donor asing: peran apakah yang bisa dilakukan oleh masyarakat sipil yang berada di luar negeri untuk mempromosikan hak asasi manusia di Indonesia? Ketiga, strategi-strategi apakah yang sesuai untuk memajukan hak-hak kelompok minoritas? Keempat, industri ekstraktif: apakah ada kemungkinan alternatif model bisnis yang lebih adil dalam jenis industri ini? Kelima, perubahan masyarakat sipil khususnya dalam hal penggunaan internet.


Panelis dari Indonesia Dede Utomo dalam paparannya berjudul Persecution of Sexual Minorities in The Media memaparkan dengan sangat jernih dan bernas perihal isu Lesbian, Gay, Bisexual dan Transgender di Indonesia yang tidak bisa digeneralisasi. Isu tersebut boleh jadi sangat sensitif khususnya di sebagian besar Jawa dan Sumatera, namun relatif lebih cair di Indonesia Timur. Fakta bahwa isu keberpihakan dalam LGBT juga ‘dimainkan’ jelang tahun politik 2019 adalah contoh bahwa senantiasa ada tantangan pada para pelaku LGBT. Namun, Dede optimis para komunitas LGBT akan tetap eksis dengan caranya masing-masing, karena dalam banyak sub-budaya Indonesia, transgender memang berperan secara aktif dan signifikan dalam praktik sosio-kultural.


Apabila Dede berbicara lebih pada konteks kekinian, Ratna Saptari yang mengajar di Leiden University dalam paparannya berjudul Persecution through Denial of Citizenship: Indonesians in Forced Exile Post-1965, seakan mengajak ke masa lampau perihal praktik persekusi yang dialami oleh mahasiswa asal Indonesia di Eropa pasca peristiwa 1965. Ratna menunjukkan secara detil hasil risetnya terhadap para eksil di beberapa negara di Belanda, Bulgaria, Jerman dan lainnya. Meski hal tersebut sesungguhnya telah banyak dikaji, namun ada keharuan dan perasaan sentimental yang dirasakan audiens saat menyimak transkrip wawancara dari para eksil. Sebagian para eksil di Eropa telah meninggal, namun, seperti dipaparkan Ratna, kerinduan, keharuan, dan mungkin juga rasa sakit itu belum juga hilang bahkan setelah 20 tahun reformasi berjalan.


Irina Grimm, peneliti muda asal Jerman memaparkan tema serupa yakni Indonesian Students in Republic Federal Germany 1965-1998: Between Repression and Opposition. Distingsi penelitian Irina adalah dia tidak hanya mengkaji bagaimana kehidupan para mahasiswa Indonesia di Jerman, melainkan juga menelusuri persepsi pemerintah Jerman terhadap represi yang dialami oleh para mahasiswa tersebut. Insiden Dresden 1995 saat demonstran menghentikan dan menggoyang bus yang ditumpangi rombongan Presiden Suharto selama 15 menit, ungkapnya, tidak hanya melibatkan mahasiswa Indonesia, melainkan juga simpatisan dari Eropa khususnya Jerman yang turut menyuarakan persoalan HAM di Timor-Timor saat itu. Apakah mungkin kelak akan ada rekonsiliasi dan rehabilitasi?


Gero Simone, peneliti dari Universitas Bonn, dalam paparannya Mass Violence in Indonesia 1965 – 1966 and Transitional Justice Since 1998 pesimis akan adanya inisiatif rekonsiliasi dari pemerintah Indonesia. Peneliti asal Jerman itu mengatakan tidak adanya political will dari negara dikarenakan setidaknya dua hal yakni banyak elit-elit Orde Baru masih memegang kekuasaan hingga kini dan mitos-mitos yang diproduksi orde baru, menurutnya, terbukti masih sangat populer, semisal isu kebangkitan komunisme yang kerap dihadirkan dan menuai keriuhan terlebih menjelang kontestasi politik lima tahunan. Gero mengutip salah satu narasumber dalam penelitiannya, Putu Oka Sukanta, yang hingga kini masih dihantui trauma saat menjadi tahanan politik dan berharap adanya rekonsiliasi dan masih sempat merasakan ketenangan batin di usia senjanya.


Jika Gero masih beranggapan bahwa masih ada ‘negara’ di Indonesia, Pipit Kartawidjaja penulis Dokumen Berlin Pipit Kartawidjaja and his resistance against the New Order, mengatakan “di Indonesia tidak ada negara, yang ada hanya pemerintah.” Dengan gaya bicara yang ceplas-ceplos dan enerjik di usia yang tak lagi muda, tokoh Perhimpunan Pelajar Indonesia yang pernah dicabut paspornya ini berbicara tentang konsep negara dan pemerintah. Hadir atau tidaknya negara, hematnya, adalah soal regulasi dan penerapan hukum yang konsisten dari aparatur negara. Adapun yang terjadi di Indonesia adalah aparatur negara tunduk dan takut pada pemerintah yang dipilih lima tahunan. Akibatnya, tidak pernah ada kebijakan yang konsisten, melainkan senantiasa berubah-ubah sesuai dengan rezim pemerintah yang memegang kendali saat itu.


Harus diakui Reformasi 1998 memang masih menyisakan banyak permasalahan yang belum selesai. Meski demikian, beberapa hal juga secara nyata bisa dicapai melalui kebebasan berekspresi khususnya melalui media internet. Eku Wand, profesor bidang media di Braunschweig University of Art memaparkan Transparency and trust is the currency of social interaction — #SaveBangkaIsland Supportive successful impact of a social media campaign in the fight for justice in North Sulawesi yang merupakan hasil risetnya selama bertahun-tahun untuk membantu masyarakat Bangka dalam menghadapi hadirnya industri pertambangan yang mengancam tidak hanya ekosistem laut melainkan juga kehidupan sosial-budaya masyarakat di sana. Tak hanya riset, dia juga membantu mempromosikan Bangka berikut industri ekstraktif yang mengancamnya melalui platform digital. Hasilnya konkret: publik internasional khususnya pencinta ekosistem laut banyak memberikan donasi yang kemudian dia manfaatkan sepenuhnya membayar pengacara untuk mengadvokasi warga Bangka sehingga industri ekstraktif tak jadi beroperasi, setidaknya untuk saat ini.


Seorang peneliti dari Leiden, Willem van der Muur, yang meneliti konflik agraria berbasis masyarakat adat di Sulawesi bertanya kepada saya, apakah di Indonesia konferensi dengan tema-tema seperti tersebut masih mungkin diadakan? Saya menjawab: mengapa tidak? Tapi beberapa saat kemudian terbersit sedikit keraguan. Di satu sisi, Reformasi di Indonesia memang menyediakan ruang berekspresi yang relatif longgar, namun justru dalam kelonggaran itu bentuk-bentuk lain dari represi dan persekusi di periode sebelumnya masih terasa. Narasi tentang komunisme yang terlanjur bermakna peyoratif di Indonesia, misalnya, akan dengan mudah disematkan oleh kelompok-kelompok tertentu pada gerakan-gerakan masyarakat sipil yang menyuarakan aspirasinya terkait agraria maupun HAM. Di sisi lain, narasi tentang kecemasan kemungkinan hadirnya lagi dwifungsi militer dan sentimen agama yang dirasakan kelompok-kelompok tertentu juga sangat kuat.


Dua narasi yang kerap diposisikan bersifat biner itu seakan menjadi legacy dari era sebelumnya yang terus direproduksi berdasarkan motif politik-praktis. Polarisasi cebong vs kampret yang tidak henti-hentinya beradu nyinyir di media sosial, misalnya, tidak bisa dilepaskan dari konteks historis narasi-narasi tersebut. Pada tahap inilah barangkali diperlukan adanya ruang diskusi yang produktif, dalam arti bisa berkontribusi positif menjawab problem-problem konkret di Indonesia; dewasa, dalam arti tidak mengedapankan sentimen identitas melainkan berangkat dari, meminjam konsep Juergen Habermas, critical and rationale debate.


Terakhir, untuk pertama kalinya dalam sejarah Jerman, hari Reformasi yang menandai perubahan sosial di negara mereka tersebut ditetapkan menjadi libur nasional sejak tahun ini. Akankah kelak di Indonesia Reformasi Mei juga akan menjadi hari libur nasional? Entahlah. Namun seperti yang dikatakan Santayana, mereka yang tidak memahami sejarah akan dikutuk untuk mengulangi (kesalahan) yang sama lagi.



Penyair, Pensyair, dan Lapis Wacana dalam Kata

(Dimuat di Jawa Pos, 25 Agustus 2019)


Pada 5 Juli 2019, Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan (BPBP) melalui dinding facebooknya mengunggah bahan tayang yang apabila diparafrase kira-kira berbunyi: manakah penulisan yang baku, penyair atau pensyair?

  

Pada 5 Juli 2019, Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan (BPBP) melalui dinding facebooknya mengunggah bahan tayang yang apabila diparafrase kira-kira berbunyi: manakah penulisan yang baku, penyair atau pensyair? Kata ‘penyair’ diberi tanda silang merah yang berarti ‘salah’ atau ‘keliru’; sedangkan kata ‘pensyair’ diberi tanda kotak hijau yang berarti ‘benar’ atau ‘tepat’. Unggahan tersebut memantik komentar-komentar dari warganet. Bahkan di beberapa grup whatsapp komunitas penulis, dosen, dan sejenisnya, bahan tayang itu beredar viral. Ada yang membahasnya secara serius, ada yang sambil lalu. Tak sedikit yang merasa heran dan berkomentar sinis. Anehnya, beberapa jam setelah itu, unggahan tersebut tidak ada lagi di dinding facebook lembaga yang darinya Bahasa Indonesia terstandardisasi itu. Apa yang lantas bisa dipelajari dari insiden, katakanlah demikian, ‘penyair’ dan ‘pensyair’ berikut diskusi warganet yang ditutup dengan ‘raibnya’ unggahan tersebut?

Reaksi tersebut muncul boleh jadi karena minimnya penjelasan yang disediakan oleh BPBP. Dalam konteks ‘penyair’ dan ‘pensyair’, penjelasan teknisnya mungkin sederhana. Konsonan KTSP yang mendapat imbuhan ‘pe-‘ pada umumnya memang lebur, kecuali bila bertemu bentuk asal yang dua huruf awalnya adalah konsonan. Contohnya, pengkhotbah (bukan penghotbah); pengkhianat (bukan penghianat). Sangat mungkin BPBP hendak konsisten dengan azas tersebut sehingga bentuk baku penyebutan pencipta ‘syair’ disebut ‘pensyair’. Penjelasan tersebut dalam tahap-tahap tertentu bisa diterima, namun sesungguhnya masih sangat kurang. Terlebih pada kosakata baru yang merupakan padanan dari kata dan istilah dari bahasa asing.

Jika dicermati, sebagian besar bahan-tayang yang diunggah BPBP di facebook memang lebih bersifat informatif dan normatif alih-alih edukatif dan substantif. Informatif dalam arti BPBP termasuk rajin mengunggah padanan kata untuk istilah serapan dari bahasa asing secara rutin. Beberapa contoh padanan kata tersebut di antaranya rekam cadang (backup), jenama (brand), galat (error), lokapasar (marketplace), diskusi kelompok terpumpun (focus group discussion), dan masih banyak lagi. Kerja yang sangat positif dan perlu diapresiasi, sebenarnya. Namun, sangat sedikit rilis yang disertai dengan penjelasan memadai. Barangkali akan lebih edukatif apabila publik diberi pemaparan secara etimologis dan, bila perlu, filosofi dasar pemadanan yang dipakai. Mengapa langir krim, misalnya, adalah padanan baku dari creambath? Apakah ‘langir’ bersumber dari bahasa daerah? Bila iya, dari bahasa daerah mana? Mengapa bahasa daerah tersebut yang dipilih dan bukan bahasa daerah lainnya? Penjelasan secara etimologis akan memberi wawasan baru bagi pengguna yang sejalan dengan motto BPBP yakni Utamakan Bahasa Indonesia, Lestarikan Bahasa Daerah, dan Kuasai Bahasa Asing.

Namun, harus dikatakan juga penjelasan secara etimologis pun akan kurang lengkap tatkala pembahasan tiba pada kata yang ‘sensitif’ seperti pada kata ‘penyair’ dan ‘pensyair’. Disebut sensitif karena kata ‘penyair’ bukan hanya sudah terlanjur jamak digunakan baik dalam ragam cakapan maupun tulisan, di buku-buku dan bahkan karya-karya akademik yang menerapkan standar kebakuan ejaan secara ketat, melainkan juga kata tersebut sangat dekat dengan para pencinta dan ‘pencipta’ bahasa: sastrawan. Reaksi warganet yang teramat kritis merupakan indikasi paling mudah betapa sensitif dan pentingnya kata ‘penyair’ yang saat itu disebut sebagai bentuk tidak baku dari ‘pensyair’.

Reaksi tersebut bahkan bergerak ke arah yang, katakanlah, filosofis dan mungkin tidak terduga oleh BPBP sebelumnya. Seturut definisi dalam kamus, ‘pensyair’ adalah pengarang sajak atau pengarang syair. Pertanyaannya, apabila Chairil Anwar yang masyhur lewat frasa ‘binatang jalang’ adalah pensyair, apakah siswa sekolah dasar yang menulis sajak untuk lomba Agustus-an boleh disebut pensyair? Sesederhana itukah kriteria seorang ‘pensyair’? Sementara semua penulis novel bisa disebut novelis, namun tidak semua, kita tahu, otomatis ‘boleh’ disebut sastrawan. Benar bahwa novel dan sajak adalah genre dari karya sastra, namun tidak sesederhana itu seseorang yang menulis karya sastra bisa disebut sebagai sastrawan. Ada lapisan-lapisan wacana dan nuansa-nuansa yang senantiasa hadir dalam satu kata, yang itu tidak bisa hanya dijelaskan secara teknis belaka. Dalam konteks ‘penyair’ dan ‘pensyair’, beberapa warganet kemudian berpendapat alangkah baiknya bila kedua kata tersebut dianggap sama-sama baku, untuk membedakan antara orang yang memang tekun mencipta syair dan diakui ketekunan serta kualitasnya; dengan yang ‘sekadar’ pernah atau sedang mencipta syair. Kata ‘penyair’, ternyata, punya daya ‘magis’ dan muruah yang begitu tinggi.

Riuhnya reaksi warganet tersebut agaknya terpantau oleh redaksi KBKB sehingga beberapa jam setelahnya, unggahan tersebut tak lagi muncul di dinding facebooknya. Penulis yang saat itu mengecek ke aplikasi Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) di gawai mendapati kata ‘penyair’ tanpa disertai definisi kecuali keterangan sebagai ragam ‘cak’ atau cakapan yang berarti penggunaan secara lisan dari bentuk baku ‘pensyair’. Hal itu tidak berubah sampai saat artikel ini ditulis. Uniknya, di laman daring KBBI, ‘penyair’ dan ‘pensyair’ muncul beriringan tanpa ada keterangan yang membedakan antara keduanya.


Filosofi Keberpihakan dan Generasi Android

(Dimuat di Jawa Pos, 6 April 2016)


Diskusi mengenai ‘keberpihakan’ kaum intektual dan keilmuan di ranah global bisa disimak salah satunya dari pandangan yang disampaikan secara sistematis oleh Frankfrut School yang dimotori oleh Theodor Adorno dan Mark Horkheimer

Isu keberpihakan intelektual kampus memang tidak pernah sepi didiskusikan. Artikel Listiyono Santoso dalam Kampus dan Tanggung Jawab Intelektualitas (2/4) penting untuk ditanggapi bukan sekadar karena esai itu berupaya meninjau kembali peran intelektual kampus yang ditengarai mengarah pada ‘radikalisasi’ sehingga terjebak pada ‘disorientasi keberpihakan’ dan ‘reduksi pemaknaan intelektualitas’. Lebih dari itu, esai tersebut masih belum selesai dalam merumuskan apa yang menjadi gagasan kuncinya yakni “keberpihakan pada nilai kebenaran, kejujuran, dan kemanusiaan.” Bagaimanakah kita menerjemahkan konsep kebenaran, kejujuran, dan kemanusiaan di tengah masyarakat Indonesia yang teramat plural? Bagaimanakah pula kita menerjemahkan keberpihakan tanpa “ideologi”?


Tradisional vs Kritis

Diskusi mengenai ‘keberpihakan’ kaum intektual dan keilmuan di ranah global bisa disimak salah satunya dari pandangan yang disampaikan secara sistematis oleh Frankfrut School yang dimotori oleh Theodor Adorno dan Mark Horkheimer. Sasaran kritik kelompok tersebut jelas: ilmu-ilmu yang dilabeli dengan ‘ilmu-tradisional’, yakni ilmu yang didirikan dengan doktrin ‘objektivitas’, ‘netral’, ‘bebas nilai’, demi tercapainya mimpi zaman modern yang diusung Rene Descartes melalui kredo cogito ergo sum (aku berpikir maka aku ada) yakni humanisme-universal. Ilmu-ilmu sosial yang demikian ini, ujar Adorno dan Horkheimer dalam buku Dialectic of Enlightment, didirikan di atas epistemologi positivisme yang berlandaskan atas rasionalitas dan hukum-hukum yang pasti dan berlaku universal seperti ilmu alam.


Apa yang terjadi berikutnya adalah fase anomali, yakni ketika perubahan kondisi masyarakat sedemikian dinamis sehingga ilmu-ilmu yang mengklaim dirinya objektif tersebut tidak mampu lagi menjelaskan dan memecahkan masalah apa yang sedang terjadi: perang, kolonialisasi, perbudakan, atau bahkan genosida ras. Pendeknya, yang terjadi adalah kondisi dehumanisasi justru karena produk-produk yang dihasilkan oleh ilmu-ilmu sosial dan kaum intelektualnya itu sendiri. Maka, pandangan yang kini dikenal dengan teori-kritis ini menawarkan satu konsep yang sebelumnya nihil dalam kamus keilmuan: emansipatory. Emansipatori bukan pandangan, melainkan gerakan yang sepenuhnya menyadari bahwa tugas seorang intelektual bukan sekadar mampu menjelaskan makna dari keadaan yang terjadi, namun juga menerjemahkannya pada tataran praktik hingga mampu mengubah keadaan itu sendiri. Prasyarat dari gerakan tersebut jelas: kesadaran bahwa tidak ada satu pun di dunia ini yang steril dari politik atau relasi-kuasa dan kontrol, yang karenanya keberpihakan pada satu nilai serta keberanian dalam memperjuangkannya menjadi hal mutlak.


Sangat mungkin, pandangan serupa itu didasarkan pada konsep ‘revolusi’ dalam Marxisme ortodoks. Namun yang membedakan adalah, revolusi dalam konteks ini lebih pada upaya menjadikan manusia bukan sebagai individu atau subjek, melainkan sebagai agen dan agensi: kemampuan untuk mempengaruhi dan bahkan mengubah keadaan atas nama kolektif (kelas) dan bukan sekadar pribadi (individu). Maka, sulit rasanya berbicara keberpihakan kaum intektual tanpa terkait dengan ideologi dan politik. Ideologi adalah kesadaran yang darinya seseorang melakukan praktik; politik adalah kontrol, yang mana setiap manusia memiliki will to power atau kehendak untuk memiliki kuasa/kontrol atas sesuatu. Ideologi itu juga yang membuat mahasiswa memilih kampus dan organisasi yang diikuti, apapun organisasinya; dan politik jugalah yang membuat kampus tidak pernah sepi dari peminat, apapun kondisinya. 


Beda Zaman

Tetapi memang benar bahwa isu keberpihakan kaum intelektual terkini cenderung mengarah pada kondisi mencemaskan dan menggemaskan. Disebut mencemaskan karena praktik keberpihakan kaum intelektual, khusunya mahasiswa, sangat beragam: ada yang berbasis agama, yang dengan varian interpretasi masing-masing, beberapa di antaranya terang-terangan menantang dan menentang ideologi resmi negara. Juga fenomena diskriminasi SARA, atau bahkan saling serang atas nama ‘isme-isme’. Disebut menggemaskan karena praktik keberpihakan serupa itu, dalam banyak hal, bersifat sangat cair, bergantung tren, dan diekspresikan dengan cara yang asyik dan gaul: membikin petisi online, sebar isu via portal, copy-paste status teman dan disebar via grup chatting, dan lainnya.


Barangkali itulah yang disebut dengan generasi android, teknologi ponsel cerdas yang multitasking. Dalam buku Lubang Hitam Kebudayaan, Hikmat Budiman mengatakan kaum intelektual khususnya mahasiswa di era pasca orde baru adalah generasi multitasking: menolak pilihan-pilihan terbatas (memilih satu hal yang berarti menolak hal lainnya) serta memiliki kepedulian terhadap penderitaan masyarakat namun masih perlu diuji kesungguhan perjuangannya. Ada kecenderungan untuk terlibat secara aktif, namun keterlibatan dan keaktifan itu sekaligus juga menyertakan unsur kesenangan dan petualangan tertentu yang bersifat cair serta fleksibel, seperti halnya status di beranda media sosial yang bisa muncul, diedit, dan dihapus kapan saja. Pada tahap inilah peran dan strategi pihak kampus dalam mengkader mahasiswanya menjadi perlu direnungkan kembali.


Siapkah kampus?

 

 


Menggagas Street Student Centre

(Dimuat di Jawa Pos, 16 Maret 2007)


Terpenuhinya kebutuhan edukasi secara layak merupakan syarat mutlak bagi setiap individu untuk mempersiapkan dan mengaktualisasikan diri menghadapi tuntutan hidup di masa mendatang. Hal itulah yang juga tercermin dalam pemberitaan Menyiapkan Anak Sukses di Abad 21 (Metropolis Jawa Pos 24/02/2007) Dikatakan, anak sebagai subjek pendidikan dan pengajaran harus mendapat dukungan optimal agar seluruh potensi bisa dimaksimalkan. Implikasinya, metode pembelajaran dan fasilitas penunjang edukasi baik formal/kurikuler (sekolah) maupun non formal/ekstrakurikuler (lembaga bimbingan belajar atau les) terus diperhatikan dan mengalami inovasi seiring dialektika ilmu pengetahuan dan tuntutan jaman.  

Masalah tidak sehatnya sosio-edukasi secara lebih pelik terepresentasikan dengan gamblang pada kehidupan anak-anak jalanan bersekolah. Mereka seolah berdiri pada garis dilematis: bekerja untuk membiayai kebutuhan pendidikan formal (sekolah), atau tidak usah berpendidikan sama sekali. Meskipun terkesan klise, ekstrim dan sudah banyak dipahami bahkan diseminarkan, anak jalanan bersekolah yang masih terlunta-lunta dalam hal mendapatkan fasilitas belajar masih banyak ditemukan. Di satu sisi, mereka relatif lebih beruntung ketimbang anak-anak lain yang tidak bersekolah. Di sisi lain, dengan kualitas dan kuantitas belajar yang sangat minim seiring tuntutan hidup, jargon “sekolah: demi masa depan yang lebih cerah” boleh jadi, bagi mereka, sampai kapan pun hanya utopia platonis belaka. 

 

Street Student Centre

Street Student Centre (SSC) memiliki dua dimensi konseptual. Yang pertama, memandang anak jalanan berusia sekolah pada umumnya, dan yang bersekolah pada khususnya, sebagai subjek pendidikan yang eksistensinya selalu dalam keadaan kritis dan rentan dalam konteks sosio-edukasi. Kedua, sebagai tindak lanjut dari konsep yang pertama, SSC merupakan lembaga bimbingan belajar yang secara khusus dibentuk untuk membantu pemenuhan kebutuhan edukasi anak-anak tersebut.

Berbeda dengan Rumah Singgah atau bentuk relokasi-relokasi lain yang biasa dikembangkan oleh LSM-LSM, SSC langsung “menembak” anak-anak jalanan tersebut di tempat ia biasa bekerja, dan lebih difokuskan pada aspek pemenuhan kebutuhan edukasi. Kelebihannya (1) mereka tidak perlu beradaptasi dengan lokasi baru. Anak asongan dan jalanan pada umumnya memiliki jiwa yang keras, liar, fatalis, sinis, dan tidak mudah percaya dengan orang lain. Dengan mendatangi dan memberi bimbingan belajar di lingkungannya sendiri, secara psikologis mereka merasa lebih nyaman dan tenang (2) Dengan asumsi bahwa semenjak kecil sudah bekerja juga merupakan hal yang positif, model pendekatan tersebut tidak terlampau mereduksi waktu dan nuansa bekerja yang terlanjur akrab pada mereka.

Muncul pertanyaan, bagaimana bisa fokus untuk belajar jika tempat belajarnya saja tidak kondusif (di jalanan atau emperan toko)? SSC menggunakan model les privat: satu anak satu pengajar sehingga secara otomatis kesulitan konsentrasi bisa diminimalkan. Pun, prinsip pelajaran ada di mana-mana berikut juga dengan tempat belajarnya, harus secara kuat ditanamkan. Sebab mendapatkan kesempatan dan ruang belajar yang kondusif bagi anak-anak asongan tersebut adalah hal yang sangat sulit, jika ditilik dari latar belakang sosio-edukasinya. Bahkan kalau boleh menengok sejarah, bukankah Socrates dulu memberi kuliah filsafat murid-muridnya dengan cara diskusi di pasar-pasar atau di jalan-jalan?

Lebih lanjut, konsep SSC pun bisa lebih dioptimalkan dengan tidak sekedar memberi bimbingan belajar, namun juga membantu memberi atau mencarikan subsidi biaya sekolah, terutama bagi anak jalanan yang belum mampu bersekolah atau putus sekolah.  

Pertanyaannya, siapa yang mau dan bisa mengembangkan SSC secara kongkret?

SSC merupakan kegiatan sosial yang murni berangkat dari prinsip pengabdian pada masyarakat secara kongkret dan signiftikan. Siapapun yang memiliki itikad baik untuk concern pada pendidikan anak jalanan bisa berpartisipasi untuk membuat atau mengembangkan SSC. Tapi jika boleh menyebut pihak mana yang paling mungkin untuk concern dalam SSC, jawabannya adalah: mahasiswa dan perguruan tinggi-perguruan tinggi di Surabaya. Alasannya, mahasiswa adalah para terpelajar yang secara inheren sedang mengada dalam pendidikan tinggi, yang secara keilmuan diasumsikan relatif mampu mengatasi pelajaran sekolah yang sedang ditempuh oleh anak-anak jalanan.

Contoh SSC yang sudah terbentuk dan melibatkan mahasiswa antara lain Komunitas Belajar Akademos, yang bertempat di Mall Galaxy dan beranggotakan pedagang asongan berusia sekolah di Mall tersebut (Metropolis Jawa Pos 12/10/2007) Staf pendamping belajar komunitas tersebut berasal dari mahasiswa-mahasiswi, baik yang sedang menempuh S-I maupun S-2 di empat perguruan tinggi di Surabaya yakni UNAIR, ITS, UBAYA, dan UWM. Disiplin keilmuan yang berbeda-beda yang sedang ditempuh staf pendamping belajar tersebut semakin mempertebal signifikasi kurikulum Berbasis Kompetensi yang kini diterapkan di pelbagai sekolah. 

Menyadari bahwa mendirikan dan menjalankan SSC tidak sekedar membutuhkan keberanian dan komitmen, namun juga fasilitas penunjang penyelenggaraan pendidikan yang memadai, mahasiswa bisa bersinergi dengan almamaternya. Perguruan Tinggi tentunya tidak terlalu kesulitan untuk memberi fasilitas semisal pengadaan buku dan alat tulis, atau bahkan menjadi konsultan pendidikan. Bukankah Pengabdian Pada Masyarakat juga tertuang dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi? Saya rasa, mengembangkan SSC secara kongkret dan kontinu adalah salah satu bentuk artikulasi dan implementasi yang efektif, signiftikan dan tepat sasaran dari butir tersebut.

Demikianlah. Tanpa bermaksud meremehkan, anak-anak jalanan yang sedang dibicarakan ini boleh jadi tak cukup mengerti, atau barangkali juga tak peduli dengan wacana dan sengitnya diskusi repetitif tentang model pendidikan dan pembelajaran yang baik dan benar untuk anak-anak pada umumnya, atau anak jalanan pada khususnya. Anak jalanan lebih membutuhkan uluran tangan dan dukungan langsung dari orang-orang yang memang tulus dan serius berkomitmen tanpa harus selalu bergantung secara mutlak pada proposal-proposal pengajuan dana yang ini atau yang itu, untuk membantu ringkihnya lingkungan edukasi mereka.

Sebagai penutup, ijinkanlah saya mengutip lagu Sore Tugu Pancoran karya Iwan Fals:  …cepat langkah waktu pagi menunggu, Si Budi sibuk siapkan buku. Tugas dari sekolah selesai setengah. Sanggupkah Si Budi yang di dua sisi…