Puri Ageng Pemayun Kesiman
Sejarah Puri Ageng Pemayun Kesiman
Diceritakan kembali terjadinya kekosongan di Wilayah Kertalangu, karena ditinggal oleh Kyai Anglurah Agung Pinatih. Kemudian Ida Dalem Samprangan mengangkat putra dari Sri Arya Kenceng yang ketiga bernama Kyai Tegeh. Kyai Tegeh tidak mau tinggal di Kertalangu dan memilih tempat di selatan Kuburan Badung yang kemudian di kenal dengan sebutan Puri Tegeh Kori dengan rajanya disebut dengan Kyai Anglurah Tegeh Kori.
Di sisi lain Ida Dalem Samprangan juga mengangkat seorang Demung yang ditempatkan di Desa Tonja bernama Kyai Tangkas yang merupakan pratisentana Arya Benculuk yang datang bersama-sama dengan para Arya lainnya dari Jawa dan ditempatkan di Desa Tangkas Klungkung bersama dengan Arya Kanuruhan.
Setelah bertempat tinggal di Tonja, Kyai Tangkas membuat Puri yang indah dengan memiliki banyak rakyat serta membangun Pura yang dipandang perlu untuk kesejahteraan masyarakatnya. Pada suatu ketika Dalem Ketut Ngulesir atau Sri Semara Kapakisan putra Dalem Samprangan, yang beristana di Gelgel mempunyai masalah dengan abdinya yang bernama I Ngurah Lokongjaya, Prabekel Kaliungu. Ida Dalem memanggil I Lokongjaya dan memberikan perintah kepadanya untuk mengantarkan surat yang amat penting kepada Kyai Tangkas putra dari Arya Benculuk yang sudah bertempat tinggal di Tonja. Setelah sampai di Desa Tonja, abdi tersebut bertemu dengan I Gusti Bagus Anom yang merupakan putra dari Kyai Tangkas, yang gemar sabungan ayam. Sambil menunggu kadatangan Kyai Tangkas, keduanya bermain sabungan ayam sampai sore. Sudah cukup lama mereka menunggu dan malam sudah menjelang tiba, lalu I Gusti Bagus Anom bertanya kepada I Lokongjaya: "Hendak kemanakah Paman selanjutnya?". Abdi tersebut menjawab: "Hamba hendak menghaturkan surat kepada ayahanda tuanku". I Gusti Bagus Anom akhirnya menyuruh abdi tersebut untuk pulang dan surat tersebut diambilnya, hendak diserahkan sendiri kepada ayahandanya. Tiada lama datanglah Kyai Tangkas disambut oleh putranya sambil menyerahkan surat yang dibawa oleh I Lokongjaya. Setelah surat tersebut dibacanya, betapa kagetnya beliau karena dalam surat tersebut tertera suatu perintah " Bunuhlah orang yang membawa surat ini" Karena setianya kepada Ida Dalem dan untuk itu apapun perintah Baginda harus dilaksanakan, maka tiada pilihan baginya. Akhirnya dengan berat hati anaknya dibunuh, walaupun dia tidak tahu apa sebenarnya kesalahan putra kesayangannya itu.
Setelah anaknya terbunuh, Kyai Tangkas menjadi malas menghadap Ida Dalem di Gelgel. Diceritakan, pada suatu saat Dalem mengutus seseorang meminta agar Kyai Tangkas berkenan menghadap Ida Dalem di Gelgel. Saat Kyai Tangkas menghadap Ida Dalem bersabda, "Hai Kyai Tangkas hanya membunuh seorang abdi saja tidak bisa". Kyai Tangkas menyembah dan berkata bahwa apa yang tertera dalam surat itu sudah dilaksanakan yakni si pembawa surat telah dibunuh, dan orang itu adalah I Gusti Bagus Anom anaknya sendiri. Ida Dalem terkejut mendengarnya. Sedih, marah, kesal dan menyesal bercampur baur dalam hati Ida Dalem.
Karena merasa kasihan kepada Kyai Tangkas yang memiliki putra satu-satunya telah dibunuh sendiri, maka Ida Dalem pada saat itu memberikan salah seorang putra laki-lakinya kepada Kyai Tangkas untuk diasuh. Namun ketika pertemuan masih berlangsung, putra Ida Dalem itu lari ke arah Ida Dalem dan naik dari arah belakang baginda (uli duri/kuri - bahasa Bali) seraya meraba kepala ayahnya - Sri Dalem Semara Kepakisan. Ida Dalem menjadi sangat marah. Atas kehendak Ida Hyang Prama Kawi putra Dalem tersebut akhirnya diserahkan kepada Kyai Tangkas untuk diangkat anak, mengingat Kyai Tangkas tidak memiliki putra lagi dan diberikan gelar Arya Benculuk Tegeh Kuri. Demikianlah secara turun temurun keturunannya disebut Arya Benculuk Tegeh Kuri di Tonja Badung.¹
Dikisahkan kemudian, pada masa pemerintahan Puri Alang Badung dan Puri Agung Pemecutan yang digerakkan oleh Kyai Anglurah Pemecutan Sakti, sering terjadi gangguan keamanan di sisi timur kerajaan seperti di Sumerta dan sekitarnya. Maka diperintahkanlah putra Kyai Anglurah Pemecutan Sakti yang beribu dari Puri Gelogor bernama Kyai Agung Ngurah Pemayun untuk memimpin pasukan pengamanan di wilayah timur dengan upaya yang pertama melakukan perdamaian dengan Arya Benculuk Tegeh Kuri yang sering melakukan kekacauan di kawasan itu. Untuk keperluan tersebut beliau diberikan sebilah keris pusaka yang bernama I Cekle, keris pemberian dari Prabu Pucangan kepada Kyai Ketut Bendesa setelah berhasil memangkas pohon beringin, karenanya beliau juga bernama Kyai Notor Wandira.² Kenyataannya perdamaian tidak bisa dilakukan, mungkin karena Arya Benculuk merasa keturunan Dalem, sehingga pertempuran tidak bisa dihindari. Pertempuran sengit ini terjadi sekitar tahun 1689 M. Dalam pertempuran itu Arya Benculuk Tegeh Kuri kalah. Maka seluruh keturunannya diturunkan derajatnya menjadi orang biasa dengan panggilan Guru atau Bapa. Di samping itu Arya Benculuk dan keturunannya mengalih berpencar ke tempat lain.
Kyai Agung Ngurah Pemayun (Nararya Anglurah Pemayun) adalah putra kedua dari Raja Pemecutan III Kyai Anglurah Pemecutan Sakti dengan ibu dari Puri Gelogor. Beliau ditugaskan oleh ayahandanya untuk menjaga keamanan di sisi timur wilayah kerajaan karena adanya laporan sering terjadi gangguan keamanan.
Selanjutnya Kyai Agung Ngurah Pemayun membangun Puri Ageng Pemayun Kesiman yang juga disebut Jero Gede Kedaton Kesiman dengan pasukan intinya yang dijuluki "Poleng Kesiman."
Kori Agung Puri Ageng Pemayun Kesiman
Kyai Agung Ngurah Pemayun memiliki beberapa istri. Perkawinan-perkawinan Kyai Agung Ngurah Pemayun ini sangat kental dengan nuansa politik dengan tujuan untuk memperluas kekuasaan kerajaan Kesiman. Adapun pernikahan-pernikahan beliau adalah :
Dengan selir dari Wangaya Kaja yaitu seorang warga Pande dan mempunya seorang putra yang diberi nama Kyai Agung Lanang Wangaya. Setelah dewasa Kyai Agung Lanang Wangaya ini kemudian membangun Jero Pemayun Abiantubuh.
Dengan permaisuri dari Puri Gelogor, dan melahirkan dua orang putra yaitu Kyai Agung Ngurah Pemayun Putra dan Kyai Agung Ngurah Made. Setelah dewasa, Kyai Agung Ngurah Pemayun Putra dan Kyai Agung Ngurah Made ditempatkan di Puri Ageng Pemayun Kesiman³.
Dengan selir dan melahirkan seorang putra bernama Kyai Agung Ketut Pagan. Setelah dewasa Kyai Agung Ketut Pagan ditempatkan di Jero Bedajanan Batanbuah.
Kyai Agung Ngurah Pemayun kawin lagi dan mempunyai seorang putra yang bernama Kyai Agung Lanang Desa yang tinggal di Jero Kebonkuri (terletak di tanah yang dimiliki oleh Jro Ceramcam sekarang).
Beberapa tahun kemudian, Kyai Agung Ngurah Pemayun wafat dan kemudian diberi gelar "Ratu Pemayun Cakraningrat."⁴ Posisinya sebagai penguasa di Kesiman kemudian digantikan oleh Kyai Agung Ngurah Pemayun Putra, sedangkan Kyai Agung Ketut Pagan diangkat sebagai Patih dan Kyai Agung Lanang Wangaya menjadi penasehat/juru raos.
Pada perkembangan selanjutnya Kyai Agung Ngurah Pemayun Putra mempunyai dua orang putri diantaranya I Gusti Agung Ayu Putu dan I Gusti Ayu Agung.⁵ Sedangkan adindanya yaitu Kyai Agung Ngurah Made mempunyai beberapa putra-putri diantaranya :
I Gusti Alit Ngurah. I Gusti Alit Ngurah nantinya menempati Saren Bedaja
Kyai Agung Gede Pande
Kyai Agung Gede Banjar. Kyai Agung Gede Banjar bertempat tinggal dan meneruskan keturunan di Saren Bedangin
Anak Agung Istri Satya yang menikah ke Puri Agung Denpasar
Anak Agung Putu Adi
Seorang putri yang menikah ke Peguyangan
Seorang putri yang menikah ke Pedungan
Seorang putri yang menikah ke Griya Bindu.
Kini diceritakan kembali, I Gusti Alit Ngurah dan I Gusti Ayu Agung yang masih berada di Puri Ageng Pemayun Kesiman. Karena sesuatu hal, I Gusti Alit Ngurah pindah ke Penatih.
Pelinggih Ratu Pemayun Cakraningrat di Pamerajan Suci
Pada suatu waktu, dalam keadaan kesendirian, I Gusti Ayu Agung dihadapkan kepada suatu keadaan dimana panglingsirnya ada yang meninggal dan untuk itu perlu dibuatkan upacara. Karena itu beliau memanggil Prabekel I Wayan Gara untuk diutus ke Puri Agung Pemecutan dalam kaitannya mohon bantuan penyelenggaraan upacara Ngaben untuk mendiang leluhurnya. Prabekel Wayan Gara tidak sampai melaporkan hal itu ke Puri Pemecutan akan tetapi dia hanya menyampaikannya di Puri Agung Denpasar. Sementara di Puri Agung Denpasar sendiri sedang terjadi perebutan takhta kerajaan di antara dua putra I Gusti Ngurah Made Pemecutan yaitu putra yang lahir dari putri Kyai Lanang Pegandan bernama Kyai Agung Gede Kesiman dengan I Gusti Gede Ngurah Pemecutan putra dari janda Kyai Anglurah Jambe Ksatria yang merasa paling berhak untuk menggantikan ayahandanya. Untuk menghindari pertikaian tersebut, kemudian I Gusti Ngurah Made Pemecutan mengadakan konsultasi dengan pamannya di Puri Agung Pemecutan yaitu Kyai Anglurah Pemecutan VI (1770-1810). Mengingat adanya kekosongan di Puri Pemayun Kesiman, atas kesepakatan Raja Denpasar dan Raja Pemecutan, maka ditunjuklah Kyai Agung Gede Kesiman untuk menempati Puri Pemayun Kesiman dengan cara menikahi putri di Puri Pemayun Kesiman.
Setelah Kyai Agung Gede Kesiman menempati Puri Pemayun Kesiman, maka segera dilaksanakan upacara besar yaitu pembakaran jenazah atau Ngaben Panglingsir Puri Pemayun Kesiman yang dilanjutkan dengan upacara Panileman dan ngeinggihang di Pamerajan Puri Pemayun, Kesiman sebagaimana mestinya.
Tiada lama kemudian para putra Puri Pemayun Kesiman yang tadinya meninggalkan puri, atas permintaan masyarakatnya, berkenan kembali ke Puri Pemayun Kesiman untuk melaksanakan titah dari para leluhurnya. Mereka sadar akan kewajibannya setelah mendengar adanya putra dari Puri Agung Denpasar menempati Purinya. Putra-putra Puri Pemayun Kesiman itu kembali dan menuntut haknya.
Kyai Agung Gede Kesiman tidak mau mengambil resiko. Beliau segera membuat puri baru dengan memindahkan apa saja yang bisa dipindahkan. Bangunan Pamerajan Puri Pemayun Kesiman pun dipindahkan ke tempat yang baru yang berada di sebelah barat Puri Pemayun. Tempat yang baru itu diberi nama Puri Agung Kesiman dan perpindahan ini terjadi sekitar tahun 1800 M. Dengan adanya Puri Agung Kesiman, sanak saudara dari Puri Denpasar menyusul ke kawasan itu untuk mebangun pemukiman sehingga berdiri Puri Anyar Kesiman, Puri Kelodan Kesiman dan yang lainnya. Sementara di Puri Agung Denpasar pada tahun 1813 Raja Denpasar I Gusti Ngurah Made Pemecutan wafat. Sebagai penggantinya I Gusti Gede Ngurah Pemecutan, saudara tiri Kyai Agung Gede Kesiman, dinobatkan sebagai Raja Denpasar II (1813- 1817).
Pamerajan Agung Puri Ageng Pemayun Kesiman
Dalam perjalanan waktu setelah dibangunnya Puri Agung Kesiman yang disertai dengan pemindahan Pamerajan Puri Pemayun Kesiman, keluarga puri yang satu ini sering mengalami permasalahan dan hambatan yang seharusnya tidak bisa terjadi. Atas petunjuk dari patapakan Mangku di Pamerajan Puri Agung Kesiman, maka diadakan perundingan di antara para Panglingsir kedua puri tersebut di atas. Dari perundingan tersebut dibuatlah kesepakatan untuk mengembalikan Pamerajan yang tadinya dipindahkan dari Puri Pemayun Kesiman ke Puri Agung Kesiman, dibangun kembali di Puri Pemayun Kesiman sebagaimana mestinya. Pamerajan itu kemudian disebut dengan Pamerajan Suci. Dengan demikian di Puri Pemayun Kesiman ada dua Pamerajan yaitu Pamerajan Suci yang diempon oleh kedua puri dan Pamerajan Agung (Gede) yang diempon oleh seluruh Keluarga Besar Puri Pemayun Kesiman. Pratima Pamerajan Suci tetap disimpan di Puri Agung Kesiman, akan tetapi bilamana dilaksanakan Patirtan / Piodalan di Merajan Suci, Pratima dipendak oleh keluarga Puri Pemayun Kesiman ke Pamerajan Puri Agung Kesiman. Dari Puri Gede Kesiman, pratima diusung dan diiring bersama keluarga kedua Puri menuju Pamerajan Suci Puri Pemayun Kesiman, untuk selanjutnya bersama-sama menghaturkan Piodalan sebagai mana mestinya sampai selesai. Keadaan seperti ini berjalan dengan baik sehingga kekeluargaan kedua puri berjalan dengan baik dan rukun pada masa-masa tersebut.
Pamerajan Suci Puri Ageng Pemayun Kesiman
Kori Agung Pamerajan Suci
Sumber :
Darmanuraga, A. A. Ngurah Putra. 2011. "Perjalanan Arya Damar dan Arya Kenceng di Bali". Denpasar: Tim Sejarah Yayasan Kerti Budaya.
Tim Penyusun Babad Dan Sejarah Tiga Puri Agung Di Badung. 2006. "Puri Agung Pemecutan, Puri Pemayun Kedaton Kesiman Dan Puri Agung Denpasar Menurut Babad Dan Sejarahnya". Denpasar
Catatan :
¹ Bancangah Arya Benculuk milik I Wayan Musna di Gianyar.
² Hingga kini, keris I Cekle masih tersimpan di Puri Ageng Pemayun Kesiman.
³ Kelak keduanya dilinggihkan di Pamerajan Agung (Gede) dengan gelar Ratu Pemayun Putra dan Ratu Made Agung.
⁴ Berdasarkan penuturan Mangku Gede Puri Agung Kesiman, A. A. Ngurah Aryana.
⁵ Dalam beberapa catatan, nama I Gusti Ayu Agung sering ditulis sebagai A. A. Istri Putu Ngurah.