Puri Ageng Pemayun Kesiman

Kapten Anumerta Tjokorda Agung Tresna

Kapten Anumerta Tjokorda Agung Tresna adalah salah satu tokoh pahlawan yang turut bergerilya dalam perang Puputan Margarana. Beliau lahir di Puri Agung Denpasar pada tahun 1926. Ayah beliau adalah Ida Tjokorda Alit Ngurah yang menjabat sebagai Raja Denpasar (Zelfbestuuder van Badung) dan ibu beliau adalah Anak Agung Putu Adi yang berasal dari Puri Ageng Pemayun Kesiman. Anak Agung Putu Adi adalah putri dari Kyai Agung Made Oka Jegig yang merupakan seorang dalang dengan Anak Agung Luh Kandel.  Tjokorda Agung Tresna merupakan putra tunggal dari Anak Agung Putu Adi, tetapi beliau mempunyai beberapa saudara sepupu seperti Tjokorda Ngurah Agung, Tjokorda Bagus Sayoga dan saudara lainnya aktif pula dalam perjuangan di Bali.

Tjokorda Agung Tresna dilahirkan dan dibesarkan di lingkungan puri, diasuh dan dibimbing oleh ibunya dan kerabat Puri lainnya. Dengan demikian, tata cara Puri telah diperoleh sejak awal melalui proses sosialisasi, sehingga mempengaruhi pola perilakunya. Dalam penampilan, beliau tidak pernah menampakkan dirinya sebagai seorang bangsawan, beliau selalu bersahaja sebagaimana orang kebanyakan. Sehari-harinya berbicara seperlunya saja, tetapi sangat komunikatif dan terkadang humor. Beliau dengan mudah bergaul kepada siapa saja di masyarakat pedesaan (tempat beliau berjuang). Hal ini sesuai dengan penuturan dari beberapa tokoh Veteran di Desa Sobangan Kabupaten Badung, tempat beliau bermakas pada revolusi fisik perang kemerdekaan. Selain itu, sebagai seorang bangsawan beliau tampak berwibawa, bijaksana dan mewarisi sifat kesatria dari para leluhurnya terutama kesetiaan dan kerelaannya untuk berkorban demi kejayaan Bangsa dan Negara Republik Indonesia.

Kapten Anumerta Tjokorda Agung Tresna (Foto : http://sosial.denpasarkota.go.id/ )

Dilihat dari latar belakang pendidikan formal, beliau mengikuti pendidikan mulai dari Sekolah Dasar Belanda yang bernama Holland Inlandsche School (HIS) yang berlokasi di Jalan Surapati Denpasar. Setelah tamat di HIS beliau melanjutkan pendidikan Taman Dewasa dan tamat tahun 1944. Untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, beliau pergi ke Surabaya Jawa Timur. Disana beliau tinggal di rumah saudara sepupunya yang bernama I Gusti Ketut Gede (yang juga adalah ayahanda Ida Nararya Oka Pemayun) dan bersekolah di Sekolah Teknik Menengah Atas (STMA) jurusan mesin, tetapi tidak sampai tamat.

Dengan mendaratnya serdadu Sekutu di Indonesia telah menimbulkan pergolakan-pergolakan pada beberapa daerah, terutama di Surabaya. Para pelajar mulai mengorganisasikan diri membentuk badan-badan perjuangan dalam upaya mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Demikian pula Tjokorda Agung Tresna dan teman-temannya di STMA merasa terpanggil untuk ikut mengambil bagian dalam badan perjuangan tersebut, yang kemudian bergabung ke dalam Tentara Republik Indonesia Pelajar (TRIP) Surabaya.

Pada bulan November 1945, suasana kota Surabaya menjadi sangat genting. Kegentingan ini mencapai puncaknya dengan meletusnya pertempuran Surabaya pada tanggal 10 November 1945, yang menyebabkan banyak menelan korban jiwa di kalangan para pejuang, gugur sebagai kusuma bangsa. Pada saat meletusnya pertempuran Surabaya itu, Tjokorda Agung Tresna dan I Gusti Ketut Gede masih tinggal di Surabaya. Namun, karena situasi Surabaya demikian gawatnya, akhirnya I Gusti Ketut Gede bersama keluarga pulang ke Bali, sedang Tjokorda Agung Tresna tetap bergabung dengan pasukan TRIP bergerak menuju daerah Sidoarjo. Di daerah ini Tjokorda Agung Tresna lama berjuang dengan teman-temannya dari Sunda Kecil. I Gusti Ketut Gede setelah sampai di Bali, datang ke Puri Satria (Puri Agung Denpasar) menemui Tjokorda Alit Ngurah untuk mengabarkan bahwa Tjokorda Agung Tresna masih berada di Surabaya. Hal inilah yang menyebabkan Tjokorda Alit Ngurah menjadi tidak tenang.

Pada waktu I Gusti Ngurah Rai menghadap Tjokorda Alit Ngurah untuk melaporkan keberangkatannya ke Yogyakarta (Jawa), Tjokorda Alit Ngurah berpesan supaya I Gusti Ngurah Rai mengajak Tjokorda Agung Tresna pulang ke Bali untuk melanjutkan perjuangan. I Gusti Ngurah Rai ke Yogyakarta untuk menghadap Pemerintah Pusat dalam upaya membawa misi perjuangan. Misi tersebut diterima dengan baik oleh Pemerintah Pusat, terbukti Pemerintah Pusat bersedia memberikan bantuan pasukan dan senjata untuk perjuangan di Bali yang dikoordinasikan oleh Markas Gabungan Gerakan Sunda Kecil. Selain itu Pemerintah Pusat juga mengharapkan agar perjuangan di Bali dikoordinasikan oleh suatu badan yang disebut Dewan Perjuangan Rakyat Indonesia Sunda Kecil (DPRISK) dan mengangkat I Gusti Ngurah Rai sebagai pucuk pimpinannya.

Pada tanggal 4 April 1946 rombongan yang dipimpin oleh I Gusti Ngurah Rai ke Yogyakarta berhasil mendarat di pantai Yeh Kuning, Jembrana. Dalam pendaratan itu ikut pula anggota kepolisian dari Bali yang dulunya bertugas di Keresidenan Basuki dan para sukarelawan lainnya termasuk Tjokorda Agung Tresna. Pendaratan tersebut disusun dengan pendaratan bantuan pasukan Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI) di bawah pimpinan Markadi di sepanjang pantai Melaya, Jembrana. Mengingat Jembrana dalam keadaan rawan, maka rombongan I Gusti Ngurah Rai bergerak ke Timur menuju Munduk Malang, Tabanan.

Untuk mengkonsolidasikan pasukan yang ada di Bali sesuai dengan intruksi Pemerintah Pusat, maka di Munduk Malang diadakan pertemuan yang mempunyai arti penting bagi strategi dan taktik perjuangan. Pertemuan yang dipimpin langsung oleh I Gusti Ngurah Rai itu, berhasil membentuk satu badan perjuangan yang disebut Markas Besar Umum Dewan Perjuangna Rakyat Indonesia Sunda Kecil (MBUDPRISK) dengan I Gusti Ngurah Rai sebagai pucuk pimpinannya. Dalam struktur MBU DPRI SK ini, Tjokorda Agung Tresna duduk sebagai staf inteligen yang berada di bawah I Made Wijakusuma.

Setelah MBU terbentuk, penyerangan tehadap pos-pos Netherland Indies Civil Adminstration (NICA) yang ada di sekitar wilayah Munduk Malang menjadi lebih intensif. Hal ini menyebabkan pihak musuh (NICA beserta kaki tangannya) mengetahui adanya pemusatan kekuatan pasukan di sekitar wilayah tersebut, yang tentu saja dianggap sangat membahayakan bagi mereka. Mengingat bahwa kedudukan dan kekuatan Pasukan Induk MBU telah diketahui musuh, pucuk pimpinan MBU I Gusti Ngurah Rai memanggil semua unsur pimpinan MBU untuk mengadakan rapat. Dalam rapat itu, I Made Wijakususma mengusulkan supaya Pasukan Induk MBU dipecah dan komando MBU dipusatkan di daerah yang paling strategis, yaitu di Bon atau Mungsengan, dengan begitu diharapkan sewaktu-waktu pasukan dapat dipanggil dengan mudah. Tetapi akhirnya rapat memutuskan bahwa Pasukan Induk MBU bergerak menuju daerah Bali Timur, dengan maksud selain untuk mengamankan rakyat wilayah Bali Barat, juga untuk memberikan motivasi danh membangkitkan semangat rakyat wilayah Bali Timur yang telah terpengaruh oleh propaganda NICA.

Dengan melintasi gunung Batukaru, Pasukan Induk MBU bergerak menuju Gesing dan Sangsit, Buleleng. Selama perjalanan, Pasukan Induk MBU selalu dibayang-bayangi oleh NICA bahkan sampai terjadi pertempuran. Dari Sangsit pasukan bergerak menuju Bon, Badung dan disini terjadi pertempuran sengit antara Pasukan Induk MBU dengan NICA. Untuk menghindari serangan musuh yang semakin dahsyat, Pasukan Induk MBU bergerak menuju Bangli. Dalam upaya Pasukan Induk MBU menuju Bali Timur, beberapa anggota pasukan Badung yang dipimpin oleh I Made Wijakusuma dan Tjokorda Agung Tresna tetap tinggal di Badung. Selama di Badung, Tjokorda Agung Tresna dan I Made Wijakusuma berusaha mengadakan komunikasi sosial dengan para pejuang di daerah tersebut, untuk memberikan motivasi dan menggelorakan semangat rakyat. Setelah beberapa lama tinggal di Jempanang, lalu mereka bermakas di Bon. Sebagai pasukan tertitorial, pasukan ini melakukan operasi secara intensif tehadap pospos NICA yang ada di sekitar Bon dan juga memberikan penjelasan-penjelasan kepada masyarakat desa melalui mekanisme tatap muka, baik secara orang per orangan maupun secara berkelompok, agar mereka tetap setia kepada Bangsa dan Negara Republik Indonesia. Pasukan yang dipimpin oleh I Made Wijakusuma dan Tjokorda Agung Tresna itu, tidak lagi bergabung dengan Pasukan Induk MBU walaupun Pasukan Induk ini telah kembali ke Bali Barat, tetapi tetap tinggal dan berjuang di Badung.

Sekembalinya dari Bali Timur, Pasukan Induk MBU selanjutnya bermarkas di Marga, Tabanan. Pada tanggal 20 November 1946 terjadi pertempuran yang sangat dasyat antara Pasukan induk MBU dengan serdadu NICA yang terkenal dengan Puputan Margarana. Dalam pertempuran itu, hampir semua pimpinan MBU dan banyak unsur pimpinan dan anggota pasukan Markas Besar (MB) terutama dari MB Tabanan dan Badung, gugur sebagai kusuma bangsa. Keadaan ini menyebabkan perjuangan bersenjata di Bali menjadi sangat merosot. Untuk membangkitkan kembali perjuangan di Bali, maka dua hari setelah Puputan Margarana, yakni pada tanggal 22 November 1946, bertempat di Desa Buahan, Tabanan diadakan rapat darurat. Rapat ini bertujuan untuk mengkonsolidasikan sisa-sisa pasukan yang ada dan menyusun pengurus MBU yang baru. Dalam rapat itu berhasil dibentuk pengurus MBU yang baru dengan I Made Wijakusuma sebagai pimpinan umum, dan Tjokorda Agung Tresna sebagai staf intel.

Konsolidasi pasukan tidak hanya terjadi dalam tubuh MBU, tetapi juga pada MB Badung. Hal ini disebabkan oleh sebagaian unsur pimpinan dari anggota pasukan MB Badung gugur dalam pertempuran Margarana. Tjokorda Agung Tresna berpendapat, bahwa perjuangan bersenjata di daerah Badung harus dilanjutkan, dengan tekad mereka atau mati. Dalam suatu pertemuan khusus yang diadakan di antara pimpinan MB Badung, baik Badung Utara, Tengah maupun Badung Selatan secara aklamasi memilih Tjokorda Agung Tresna sebagai pucuk pimpinan MB Badung.

Selanjutnya, sebagai pimpinan territorial, Tjokorda Agung Tresna lebih memusatkan perjuangannya di daerah Badung Utara dan Tengah, sebab di daerah ini rakyat masih kompak dan konsisten membantu para pejuang. Sedangkan di daerah Badung Selatan merupakan pusat kedudukan serdadu NICA di Bali, sehingga terdapat banyak pos NICA yang sangat sulit ditembus oleh para pejuang. Dengan demikian alternatif perjuangan yang lebih tepat, ditekankan pada perjuangan politik dan gerakan bawah tanah.

Selama menjabat sebagai pucuk pimpinan markas besar Badung, Tjokorda Agung Tresna juga melaksanakan operasi berupa sabotase dan penyerahan terhadap pos-pos NICA di daerah Badung Utara dan Tengah. Di samping itu, bersama-sama pejuang lainnya beliau melakukan pembinaan-pembinaan kepada masyarakat pedesaan agar tetap setia kepada Pemerintah Republik Indonesia. Keadaan ini juga menyebabkan pihak mata-mata NICA mengetahui secara pasti bahwa Tjokorda Agung Tresna selalu berada di daerah Badung Tengah terutama di Desa Sobangan, Kecamatan Mengwi, sebab di desa inilah berkedudukan Markas Besar Badung (MBB) yang disebut juga Markas Besar Pandawa. Pada waktu Tjokorda Agung Tresna dari desa Penarungan menuju desa Sobangan melalui desa Ayunan, Badung, desa Sobangan dan Ayunan dikurung oleh serdadu NICA.

Dalam kurungan tersebut, I Ketut Gede Dharma Yudha, Ida Bagus Tantra, Maroko dan Kawi berada di Ayunan Kaja dan mendapat perlindungan dari para pejuang yang ada disana. Namun, Tjokorda Agung Tresna baru sampai di desa Ayunan Kelod. Ketika beliau bergerak menuju desa Ayunan Kaja, ternyata pengurungan tersebut semakin ketat. Mencermati hal ini, Tjokorda Agung Tresna mencoba menghindar dengan melompat pagar menuju semak-semak di tepi Sungai Penet di sebelah timur desa Ayunan. Akan tetapi pada saat beliau melompat, sebutir peluru yang dilepaskan oleh serdadu NICA menembus tangannya, sehingga pistol yang dipegangnya terjatuh. Tjokorda Agung Tresna bangkit untuk mengambil kembali pistolnya, tetapi kesempatan ini dimanfaatkan dengan baik oleh serdadu NICA, dengan menembak secara bertubi-tubi Tjokorda Agung Tresna sehingga beberapa peluru mereka bersarang di dalam tubuh Tjokorda Agung Tresna. Di sinilah, pada tanggal 29 Juni 1947, Tjokorda Agung Tresna gugur sebagai kusuma bangsa dalam usia 21 tahun tanpa meninggalkan keturunan, karena tidak sempat menaiki tangga perkawinan. Jenazah Tjokorda Agung Tresna terlebih dahulu diangkut ke Puri Mengwi untuk dibersihkan, setelah ada intruksi dari pemerintah Belanda untuk mengambil jenazah beliau, barulah diangkut ke Puri Satria dan akhirnya dimakamkan di kuburan Badung, yang berlokasi di kota madya Denpasar.

Beberapa tahun setelah gugurnya Tjokorda Agung Tresna, masyarakat desa Sobangan dikagetkan oleh suatu keajaiban, yakni sebuah enau kecil yang tumbuh di bawah pohon beringin di areal Jaba Pura Puseh Gunung Agung / Pura Puseh Sanggulan Desa Sobangan, secara tiba-tiba mengeluarkan bunga yang berbentuk dan warnanya sama dengan bunga enau besar. Melihat keajaiban ini para tokoh Veteran Republik Indonesia dan pemuka masyarakat Desa Sobangan telah berinisiatif untuk memohonkan secara niskala (secara gaib) di pura tersebut mengenai arti dari kejadian itu. Ternyata bunga enau tersebut hanya merupakan ciri atau petunjuk, bahwa penguasa gaib yang berstana di Pura Puseh tersebut dan arwah pahlawan Tjokorda Agung Tresna menginginkan agar arwah Tjokorda Agung Tresna dibuatkan tugu pahlawan yang bersifat religius di sekitar lokasi enau tersebut. Arwah Tjokorda Agung Tresna ingin berstana di sana, karena pada revolusi fisik perang kemerdekaan masyarakat desa Sobangan sangat kompak berjuang dalam membela dan mempertahankan Kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia, sekaligus mencerminkan kesetiaan kepada Pemerintah Republik Indonesia. Akhirnya atas swadaya masyarakat setempat sekitar tahun 1953 di lokasi tersebut didirikan tugu pahlawan, yang disebut Tugu Pahlawan Kapten Tjokorda Agung Tresna.

Patung Kapten Anumerta Tjokorda Agung Tresna (Foto : Google Street View)

Di samping itu, untuk mengenang jasa perjuangan Tjokorda Agung Tresna dan dalam upaya menyosialisasikan Jiwa, Semangat dan Nilai-nilai 1945 (JSN 1945) kepada generasi pewaris / penerus, sekaligus melestarikannya, maka pemerintah Kotamadya Denpasar pada tahun 1994, telah mendirikan patung yang disebut patung Pahlawan Kapten Anumerta Tjokorda Agung Tresna di persimpangan (perempatan) Jl. Gatot Subroto – Jl. Nangka Denpasar. Tempat ini merupakan bagian dari teritorial kekuasaan atau areal perjuangan Tjokorda Agung Tresna. Di sebelah Utara persimpangan tersebut yakni di halaman Pura Tegeh Sari, terjadi suatu peristiwa penting bagi perjuangan. Sebab di tempat itu para pejuang mengadakan pertemuan dalam upaya menyiapkan serangan umum kota Denpasar tanggal 11 April 1946. Dengan demikian, tempat itu relevan dan bersejarah untuk dijadikan lokasi pembangunan patung tersebut.

Patung Pahlawan Kapten Anumerta Tjokorda Agung Tresna didirikan di atas landasan bergaya dekoratif dan filosofis, berarsitektur Bali. Patung itu menghadap ke Barat dengan sikap gagah berani, pantang mundur tidak kenal menyerah, siap memimpin pasukan untuk bertempur dengan tekad membebaskan bumi Nusantara dari penjajah Belanda dan mempertahankannya sampai titik darah penghabisan. Hal ini sesuai dengan lontaran kata-kata yang sering kali beliau ucapkan “Lebih baik mati daripada dijajah”

Sumber :

Lokasi Puri Ageng Pemayun Kesiman