Pendidikan Kewarganegaraan apabila dilihat dalam kepustakaan asing memiliki dua istilah teknis yakni civic education dan citizenship education. Cogan (1999:4) mempertegas perbedaan pengertian civic education dengan citizenship education. Civic education diartikan sebagai “...the foundational course work in school designed to prepare young citizens for an active role in their communities in their adult lives” atau suatu mata pelajaran dasar di sekolah yang dirancang untuk mempersiapkan warga negara muda, agar kelak setelah dewasa dapat berperan aktif dalam masyarakatnya. Sedangkan “citizenship education” atau “education for citizenship” dipandang sebagai “…the more inclusive term and encompasses both these in-school experiences as well as out-of-school or „non-formal/informal‟ learning which takes place in the family, the religious organization, community organizations, the media etc, which help to shape the totality of the citizen”. Artinya, “citizenship education” atau “education for citizenship” merupakan istilah generik yang mencakup pengalaman belajar di sekolah dan di luar sekolah, seperti yang terjadi di lingkungan keluarga, dalam organisasi keagamaan, dalam organisasi kemasyarakatan, dan dalam media yang membantunya untuk menjadi warga negara seutuhnya. Oleh karena itu Cogan (1999:5) menyimpulkan citizenship education merupakan suatu konsep yang lebih luas di mana civic education termasuk bagian penting di dalamnya. Istilah civic education, ternyata lebih cenderung digunakan dalam makna yang serupa untuk mata pelajaran di sekolah yang memiliki tujuan utama mengembangkan siswa sebagai warga negara yang cerdas dan baik. Sedangkan citizenship education lebih cenderung digunakan dalam visi yang lebih luas untuk menunjukkan instructional effects dan nurturant effects dari keseluruhan proses pendidikan terhadap pembentukan karakter individu sebagai warga negara yang cerdas dan baik. Dengan demikian, dapat disebutkan bahwa pendidikan kewarganegaraan merupakan ujung tombak bagi pembentukan generasi muda sebagai warga negara yang baik. Hal tersebut senada dengan pendapat Kerr (1999) yang menyatakan bahwa:
Citizenship or civics education is construed broadly to encompass the preparation of young people for their roles and responsibilities as citizens and, in particular, the role of education (through schooling, teaching, and learning) in that preparatory process atau, “citizenship or civics education (Kerr, 1999:17)
Berkaitan dengan hal tersebut, Winataputra (2001) menyatakan bahwa pendidikan kewarganegaraan merupakan suatu tubuh atau sistem pengetahuan yang memiliki: (a) ontologi civic behavior dan civic culture yang bersifat multidimensional (filosofis, ilmiah, kurikuler, dan sosial kultural); (b) epistemologi research, development, and diffusion dalam bentuk kajian ilmiah dan pengembangan program kurikuler, prilaku dan konteks sosial kultural warga negara, serta komunikasi akademis, kurikuler, dan sosial dalam rangka penerapan hasil kajian ilmiah dan pengembangan kurikuler dan instruksional dalam praksis pendidikan demokrasi untuk warga negara di sekolah dan masyarakat; dan (c) aksiologi memfasilitasi pengembanga body of knowledge sistem pengetahuan atau disiplin pendidikan kewarganegaraan; melandasi dan memfasilitasi pengembangan dan pelaksanaan pendidikan demokrasi di sekolah dan luar sekolah; dan membingkai serta memfasilitasi berkembangnya koridor proses demokratisasi secara sosial kultural dalam masyarakat. Lebih lanjut, Winataputra (2001:146-149) dalam disertasinya menegaskan bahwa fokus PKn merujuk kepada tujuan kurikuler yang secara operasional dapat dilihat dari rumusan tujuan pembelajaran civic education dari Center for Civic Education (1994:4) sebagai berikut:
1) Promote increased understanding of American constitutional democracy and its fundamental values and principles;
2) Develop the skills necessary to participate as informed, effective, and responsible citizens;
3) Increase willingness of students to use democratic procedures when making decisions and managing conflicts.
Tujuan civic education tersebut pada dasarnya bermuara kepada gagasan mengenai warga negara ideal yang tampil sebagai pengambil keputusan yang cerdas dan bernalar. Untuk itu diperlukan
3
“Knowledge” atau pengetahuan dan wawasan, “Beliefs: Civic Virtues” atau kepercayaan berupa kebajikan warga negara, dan “Skills: Civic Participation” yakni keterampilan partisipasi sebagai warga negara. Untuk masing-masing kemampuan tersebut
Secara paradigmatik maka dapat dikatakan bahwa sistem PKn memiliki tiga komponen, yakni (a) kajian ilmiah pendidikan ilmu kewarganegaraan; (b) program kurikuler PKn; dan (c) gerakan sosial- kultural kewarganegaraan, yang secara koheren bertolak dari esensi dan bermuara pada upaya pengembangan pengetahuan kewarganegaraan, nilai dan sikap kewarganegaraan, dan keterampilan kewarganegaraan.
Apabila dilihat secara filosofis, sosio-politis dan psikopedagogis, pendidikan kewarganegaraan memegang misi suci (mission sacre) untuk pembentukan watak dan peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, dan menjadikan manusia sebagai warga Negara yang demokratis dan bertanggung jawab (Winataputra dan Budimansyah, 2007:156). Hal tersebut dapat ditelusuri dari rumusan pasal 3 UU No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang secara imperatif menggariskan bahwa:
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak dan peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab.
Secara khusus “Pendidikan kewarganegaraan dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air” (Penjelasan Pasal 37 ayat (1)). Dalam konteks itu pendidikan kewarga negaran pada dasarnya merupakan pendidikan kebangsaan atau pendidikan karakter bangsa. Semua imperatif atau keharusan itu menuntut perlunya penghayatan baru kita terhadap pendidikan kewarganegaraan sebagai suatu konsep keilmuan, instrumentasi, dan praksis pendidikan yang utuh, yang pada gilirannya dapat menumbuhkan “civic intelligence” dan “civic participation” serta “civic responsibility” sebagai anak bangsa dan warga negara Indonesia yang mampu mengembangkan rasa nasionalisme yang tinggi.
Muhamad (2011), Zainul (2011), Kaelan (2004), Endang (2009), menyatakan bahwa tujuan akhir dari pendidikan kewarganegaraan adalah membentuk warga negara yang baik, yaitu warga negara yang tahu hak dan kewajibannya serta bertanggungjawab.
Perkembangan PKn di perguruan tinggi dimulai dengan mata kuliah Manipol dan USDEK, Pancasila dan UUD 1945 (1960-an), Filsafat Pancasila (1970), Pendidikan Kewiraan (1989-1990-an), dan berkembang menjadi Pendidikan Kewarganegaraan sampai sekarang. Pendidikan Kewiraan terlalu condong atau lebih berorientasi kepada aspek bela negara dalam konteks memenuhi kebutuhan pertahanan. Pengembangan nilai-nilai demokrasi, nilai-nilai kemasyarakatan, penyadaran tentang ketaatan pada hukum, serta disiplin sosial bukanlah tujuan Pendidikan Kewiraan. Metode pengajaran yang diterapkan juga tidak ada bedanya dengan Pendidikan Pancasila, yang nilai Intinya hanyalah proses indoktrinasi yang hanya memenuhi aspek kognitif, sedangkan aspek sikap dan perilaku belum tersentuh.
Pendidikan Kewarganegaraan yang dulu dikenal dengan Pendidikan Kewiraan adalah materi perkuliahan yang menyangkut pemahaman tentang persatuan dan kesatuan, kesadaran warga negara dalam bernegara, hak dan kewajiban warga negara dalam berbangsa dan bernegara. Sebagaimana yang tertuang dalam Keputusan Ditjen Dikti No. 267/DIKTI/2000 bahwa pengembangan materi perkuliahan tersebut dengan sendirinya juga dikembangkan kemampuan kepribadian dan kemampuan intelektual dalam bidang politik, hukum, kemasyarakatan, filsafat dan budaya. Mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan serta Pendidikan Pendahuluan Bela Negara merupakan salah satu komponen yang tidak dapat dipisahkan dari kelompok Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian (MKPK) dalam susunan kurikulum inti perguruan tinggi yang merupakan mata kuliah wajib untuk diambil setiap mahasiswa pada jenjang perguruan tinggi. Dalam pasal 37 Ayat (2) Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional disebutkan bahwa kurikulum pendidikan tinggi wajib memuat Pendidikan Agama, Pendidikan Kewarganegaraan dan Bahasa. Begitu pula sebagaimana terdapat dalam undang-undang sistem pendidikan sebelumnya, yaitu Undang-Undang No. 2 Tahun 1989 terdapat dalam Pasal 39 Ayat (2) yang mengamanatkan bahwa setiap jenis, jalur, dan jenjang pendidikan wajib memuat Pendidikan Pancasila, Pendidikan Kewarganegaraan dan Pendidikan Agama. Di dalam penjelasan undang-undang tersebut dijelaskan bahwa Pendidikan Kewarganegaraan merupakan usaha untuk membekali peserta didik dengan pengetahuan dan kemampuan dasar berkenaan dengan hubungan antar warga negara serta pendidikan pendahuluan bela negara agar menjadi warga negara yang dapat diandalkan oleh bangsa dan negara. Dijelaskan lebih lanjut bahwa pada jenjang pendidikan tinggi pendidikan pendahuluan bela negara diselenggarakan antara lain melalui pendidikan kewiraan. Oleh karena itu, istilah Pendidikan Kewarganegaraan dalam kurikulum pendidikan tinggi adalah Pendidikan Kewiraan, hal tersebut berdasarkan pada Surat Keputusan Bersama Mendikbud dan Menhankam No. 061/U/1985 dan Kep/0002/II/1985 bahwa Pendidikan Kewiraan dimasukan ke dalam kelompok Mata Kuliah Dasar Umum (MKDU) pada semua perguruan tinggi di Indonesia.
3. Tujuan Pendidikan Kewarganegaraan diberikan di Perguruan Tinggi
Penjelasan Pasal 37 Ayat (1) UU RI No.20 Tahun 2003: “Pendidikan kewarganegaraan dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air”
Visi Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi (Menurut SKep Dirjen Dikti No. 38/DIKTI/Kep./2002 ) Sumber nilai dan Pedoman penyelenggaraan program studi dalam mengantarkan mahasiswa, untuk mengembangkan kepribadiannya selaku warga negara yang berperan aktif. Menegakkan demokrasi menuju masyarakat madani
Misi Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi ( Menurut SKep Dirjen Dikti No. 38/DIKTI/Kep./2002) Membantu mahasiswa selaku warga negara, agar mampu :
Mewujudkan nilai-nilai dasar perjuangan bangsa indonesia,
Mewujudkan kesadaran berbangsa dan bernegara,
Menerapkan ilmunya secara bertanggung jawab terhadap kemanusiaan.
Tujuan Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi (Menurut SKep Dirjen Dikti No. 38/DIKTI/Kep./2002) Agar mahasiswa :
Memiliki motivasi menguasai materi pendidikan kewarganegaraan
Mampu mengkaitkan dan mengimplementasikan dalam peranan dan kedudukan serta kepentingannya, sebagai individu, anggota keluarga/masyarakat dan warga negara yang terdidik.
Memiliki tekad dan kesediaan dalam mewujudkan kaidah- kaidah nilai berbangsa dan bernegara untuk menciptakan masyarakat madani.