Bila kita kaji secara ilmiah tentang apa fungsi dan kedudukan Pancasila, niscaya akan tampak bahwa Pancasila itu memiliki pengertian yang luas, baik dalam konteks kedudukannya sebagai Dasar Negara, sebagai Pandangan Hidup Bangsa, Sebagai Ideologi Bangsa dan Negara, atau dalam konteks sebagai kepribadian bangsa, serta dalam proses terjadinya. Sehingga terdapat berbagai macam terminologi yang harus kita deskripsikan secara objektif. Sehingga dalam konteks pembahasan tentang pengertian Pancasila ini, akan kita jumpai berbagai macam penekanan, sesuai dengan kedudukan dan fungsi Pancasila tersebut, terutama dalam perumusan dan pembahasan yang berdasarkan sejarah (kajian diakronis) Pancasila, sejak masih berupa nilai-nilai yang terdapat dalam pandangan hidup bangsa, hingga menjadi menjadi Dasar Negara, bahkan sampai pada tataran pelaksanaannya dalam sejarah kenegaraan Indonesia di masa lalu. Misalnya ketika masa Orde Lama sedang berkuasa, pada saat itu kita jumpai berbagai macam rumusan Pancasila yang berbeda-beda. Agar kita dapat memahaminya secara baik dan benar, maka kita harus mendeskripsikannya secara objektif, sesuai dengan kedudukan dan perumusan dari Pancasila itu sendiri.
Bila dilihat secara harfiah (Etimologis) “Pancasila” berasal dari bahasa Sansekerta dari India (bahasa kasta Brahmana), yang dapat dijabarkan dalam dua kata, yaitu Panca yang berarti lima, dan Sila yang berarti dasar. Sehingga Pancasila berarti lima dasar, yaitu lima Dasar Negara Republik Indonesia.
Istilah “sila” juga bisa berarti sebagai aturan yang melatarbelakangi perilaku seseorang atau bangsa; kelakuan atau perbuatan yang menurut adab (sopan santun); akhlak dan moral.
Istilah Pancasila menurut Prof. Darji Darmodiharjo, SH telah dikenal sejak zaman kerajaan Mojopahit pada abad XIV, yaitu terdapat dalam buku Negarakertagama Karangan Empu Prapanca, dan buku Sutasoma karangan Empu Tantular.
Dalam buku Sutasoma ini istilah Pancasila di samping mempunyai arti “berbatu sendi yang lima” (dari bahsa Sansekerta) dia juga mempunyai arti pelaksanaan Kesusilaan yang lima, (Pancasila Krama), yang meliputi:
Tidak boleh melakukan kekerasan (ahimsa)
Tidak boleh mencuri (asteya)
Tidak boleh berjiwa dengki (Indriva nigraha)
Tidak boleh berbohong (amrswada)
Tidak boleh mabuk minuman keras (dama). (Dardji Darmodihardjo, et.al: 15).
Selain itu dalam kitab Sutasoma juga terdapat semboyan “Bhinneka Tunggal Eka Tan hana dharma mangrua” yang mengandung arti meskipun agama itu kelihatannya berbeda bentuk atau sifatnya, namun pada hakikatnya satu juga, Yang kemudian menjadi moto negara kita, yakni “ Bhinneka Tunggal Ika “ yang mengandung pengertian berbeda-beda tapi tetap satu.
Setelah tenggelam dalam proses penjajahan yang berkepanjangan, selanjutnya istilah Pancasila tersebut diangkat lagi kepermukaan oleh Bung Karno, yaitu dalam uraian pidatonya pada tanggal 1 Juni 1945 di muka sidang badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dalam merumuskan Dasar Negara Indonesia Merdeka, sehingga sering timbul anggapan bahwa tanggal 1 Juni 1945 dipandang sebagai lahirnya Pancasila. Pada hal yang lebih tepat bahwa pada tanggal tersebut adalah hari lahirnya istilah Pancasila sebagai nama dasar Negara Indonesia. Dan Dasar Negara kita yang kita kenal dengan nama Pancasila diterima dan disahkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) adalah pada tanggal 18 Agustus 1945, bersamaan dengan disahkannya Pembukaan UUD 1945 dan Batang Tubuh UUD 1945.
Nama Pancasila itu sebenarnya tidaklah terdapat baik di dalam Pembukaan UUD 1945, maupun di dalam Batang Tubuh UUD 1945 itu sendiri. Namun demikian cukup jelas, bahwa Pancasila yang kita maksud adalah lima dasar Negara kita sebagaimana yang tercntum di dalam Pembukaan UUD 1945, alenia ke empat, yang berbunyi :
Ke-Tuhanan Yang Mahas Esa;
Kemanusiaan yang adil dan beradab;
Persatuan Indonesia;
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusywaratan/ perwakilan;
Keadilan sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia.
Menurut Muhammad Yamin, dalam bahasa Sansekerta perkataan Pancasila memiliki dua macam arti, yaitu : “ panca” yang artinya “lima “ dan “syila” dengan vokal (i) pendek yang artinya “batu sendi”, atau “alas”, atau “dasar, dan “syiila” dengan vokal (i) panjang, yang artinya “peraturan tingkah laku yang baik, yang penting atau yang senonoh”.(Kaelan, 2004:21).
Kata-kata tersebut kemudian dalam bahasa Indonesia terutama bahasa Jawa diartikan “susila” yang memiliki hubungan dengan moralitas. Oleh sebab itu secara etimologi kata “Pancasila’ yang dimaksudkan adalah istilah Pancasila dengan vokal (i) pendek yang memiliki makna “berbatu sendi lima” atau secara harfiah “dasar yang memiliki lima unsur”. Adapun istilah “Panca Syiila” dengan huruf (i) panjang, berarti lima aturan tingkah laku yang penting (Yamin, 1960: 437).
Perkataan Pancasila mula-mula terdapat dalam kepustakaan Budha di India. Ajaran Budha bersumber pada kitab suci Tri Pitaka, yang terdiri atas tiga macam buku besar yaitu: Suttha Pitaka, Abhidama Pitaka, dan Vinaya Pitaka. Dalam ajaran budha terdapat ajaran moral untuk mencapai Nirwana dengan melalui samadhi, dan setiap golongan berbeda kewajiban moralnya. Adapun ajaran-ajaran moral tersebut adalah: Dasasyila, Saptasyila, dan Pancasyila.
Ajaran Pancasila menurut Budha adalah merupakan lima aturan (larangan) atau five moral prenciples yang harus ditaati dan dilaksanakan oleh para penganut biasa atau awam, yang larangan tersebut meliputi:
Pertama: Panatipada veramani sikhapadam samadiyani, maksudnya jangan mencabut nyawa atau membunuh. Kedua: Dinna dana veramani shikapadam samadiyani, maksudnya: jangan mengambil barang yang bukan haknya atau mencuri. Ketiga: Kameshu micchacara veramani shikapadam samadiyani, maksudnya: janganlah berbuat zina. Dan keempat Musawada veramani sikapadam samadiyani, artinya janganlah berdusta. Dan yang kelima: Sura meraya masija pamada tikana veramani, yang maksudnya: Janganlah meminum minumas keras yang dapat memabukkan. (Zainal Abidin, 1958: 361).
Berikutnya dengan masuknya kebudayaan India dan menyebarnya agama Hindu dan Budha ke wilayah Nusantara, maka secara tidak langsung ajaran Pancasila Budhismepun juga masuk ke dalam kepustakaan jawa, terutama pada Jaman Majapahit. Oleh sebab itu di zaman kerajaan Majapahit di bawah raja Hayam Wurk dan Maha Patih Gajah Mada, terdapat keropak Negarakertagama (syair pujian) dalam pujangga istana yang bernama Empu Prapanca (selesai 1365), yang berbunyi “Yatnaggegwani pancasyiila kertasangskarbhisekaka kerama”, yang maksudnya: Raja menjalankan dengan setia kelima pantangan (Pancasila), begitu pula upacara-upacara ibadat dan penobatanpenobatan (Kaelan, 2004:22).
Seiring dengan runtuhnya kerajaan Maja Pahit dan agama Islam mulai berkembang di kerajaan Maja Pahit, namun sisa-sisa ajaran moral Budha (Pancasila) terutama tentang berbagai larangan masih tetap dikenal di masyarakat. Ajaran tersebut dikenal dengan 5 M atau lima Ma. Yaitu larangan untuk mateni atau membunuh, larangan untuk maling atau mencuri, larangan Madon atau main perempuan/berzina, larangan mabok atau meminum minuman keras, dan larangan main atau berjudi.(Ismaun, 1981: 79).
Masuknya Jepang di Indonesia berjalan dengan mulus dan mendapat sambutan gembira dari bangsa Indonesia, karena perlakuan Jepang yang ramah. Bahkan ketika itu rakyat Indonesia diperbolehkan mengibarkan bendera merah putih dan mengumandangkan lagu Kebangsaan Indonesia Raya. Sehingga wajar rakyat Indonesia mengira bahwa Jepang akan membebaskan mereka dari belenggu pejajahan Bangsa Belanda.
Bahkan dirumuskannya Pancasila sebagai Dasar Negara tidak terlepas dari adanya janji dari Pemerintah Jepang di Tokyo yang disampaikan oleh Perdana Menteri Koiso dihadapan Parlemen Jepang pada tanggal 7 Semptember 1944, yang akan memberikan kemerdekaan kepada Bangsa Indonesia sebagai hadiah dari pemerintah Jepang. Walaupun dalam perkembangannya janji tersebut baru dapat dilakukan setelah Jepang mengalami berbagai kekalahan dalam semua medan pertempuran, serta adanya berbagai desakan dari pergerakan bangsa Indonesia, yang akhirnya memaksa Jepang untuk membentuk suatu Badan Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), atau biasa disebut dengan “Dokuritzu Zyunbi Tyoosakai” pada tanggal 29 April 1945. Kemudian dilanjutkan proses pelantikannya pada tanggal 28 Mei 1945, (Sumatri, 1992: 77-78). Badan tersebut diketuai oleh Dr. Radjiman Wediodiningrat, dilengkapi dengan dua orang Wakil Ketua, yaitu Yoshio Ichibangase (berkebangsaan Jepang), dan RP. Soeroso, yang dalam tugasnya merangkap sebagai kepala Kantor/Sekretariat, serta dengan jumlah anggota sebanyak 64 orang.(Subandi Marsudi, 2001: 18).
Namun dalam perkembangannya hadiah kemerdekaan yang dijanjikan oleh Jepang tersebut tidaklah dilandasi oleh kesungguhan untuk memberikan kemerdekaan bagi Bangsa Indonesia, tapi ternyata hanya tipu muslihat pemerintah Jepang belaka.
Walaupun demikain Proses perumusan/sidang BPUPKI tetap dilaksanakan. Dan dalam sidang BPUPKI pertama dr. Radjiman Widyodiningrat, mengajukan masalah yang akan dibahas pada sidang tersebut, yaitu yang berkenaan dengan calon rumusan Dasar Negara Indonesia yang akan dibentuk. Kemudian tampillah beberapa tokoh pendiri bangsa yang mengajukan rumusannya masing-masing, yaitu :
a) Mr. Muhammad Yamin (29 Mei 1945).
Pada tanggal 29 Mei 1945 BPUPKI mengadakan sidangnya yang pertama. Peristiwa ini telah dijadikan tonggak sejarah karena pada saat itulah Mr. Muhammad Yamin mendapat kesempatan yang pertama untuk mengemukakan pidatonya dihadapan sidang lengkap BPUPKI. Rumusan Dasar Negara Indonesia merdeka yang diidam-idamkan itu disampaikan secara lisan yang terdiri dari:
Peri Kebangsaan
Peri Kemanusiaan
Peri Ke-Tuhanan
Peri Kerakyatan
Kesejahteraan Rakyat.
Setelah berpidato, beliau kemudian menyampaikan kembali secara tertulis mengenai rancangan UUD RI. Dan di dalam pembukaan rancangan UUD tersebut tercantum perumusan lima asas dasar negara yang berbunyi sebagai berikut :
Ketuhanan Yang Maha Esa
Kebangsaan Persatuan Indonesia
Rasa Kemanusiaan yang adil dan beradab
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan- perwakilan.
Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dari kenyataan mengenai pidato serta usul tertulis mengenai rancangan UUD yang dikemukakan oleh Mr. Muh. Yamin tersebut meyakinkan kita, bahwa Pancasila tidaklah lahir pada tanggal 1 Juni 1945, karena pada tanggal 29 Mei 1945 Mr. Muh. Yamin telah mengucapkan pidatonya serta menyampaikan usul rancangan UUD negara RI yang berisikan lima asas Dasar Negara. Bahkan perumusan dan sistematika yang dikemukakan oleh Mr. Muh.Yamin pada tanggal tersebut hampir sama dengan Pancasila yang ada sekarang atau Pancasila yang terkandung dalam Pembukaan UUD RI.
b) K. Bagoes Hadi Kosumo dan K.H.Wahid hasyim (30 mei 1945).
Pada hari kedua pada tanggal 30 Juni 1945, yang tampil menyampaikan pidatonya adalah tokoh-tokoh Islam yang diwakili oleh K.Bagoes Hadi Kosumo dan K.H.Wahid Hasyim. Namun mereka hanya menyampaikan usul/pandangan mengenai dasar negara Indonesia adalah berdasarkan syariat agama Islam. Namun mereka tidak menyampaikan rincian yang menjadi dasar negara tersebut. (Subandi Al Marsudi, 2001: 20).
c) Dr. Soepomo (31 Mei 1945)
Kemudian dalam persidangan hari ketiga tanggal 31 Mei 1945, tampil sebagai pembicara utama adalah Soepomo, yang di dalam pidatonya beliau menyampaikan pandangannya mengenai Rumusan dasar Negara kebangsaan, yaitu melalui uraian yang berfokus pada aliran pikiran negara integralistik. Walaupun dalam kaitan ini tidak dijumpai adanya perumusan dasar negara yang lima dari Soepomo, kecuali dalam buku karangan Nugroho Notosusanto yang berjudul: “Proses perumusan Pancasila Dasar Negara” yang sumbernya dikutip dari buku karangan Muhammad Yamin, yang berjudul “Naskah Persiapan UUD 1945”. Yang di dalamnya terdapat rumusan lima dasar negara yang diusulkan oleh Soepomo. Kelima dasar negara tersebut adalah:
Persatuan
Kekeluargaan
Keseimbangan lahir dan batin
Musyawarah Keadilan Rakyat. (Nugroho Notosusanto, 1981: 53).
d) Ir. Soekarno ( 1 Juni 1945).
Pada tanggal 1 Juni 1945 adalah merupakan hari keempat dari masa persidangan I BPUPKI. Tokoh yang tampil sebagai pembicara utama dalam sidang tersebut adalah Soekarno yang berpidato secara lisan mengenai konsep rumusan dasar negara Indonesia. Untuk nama dari dasar negara tersebut Soekarno memberikan nama dengan “Pancasila”. Yang artinya lima dasar, yang menurut Soekarno atas saran seorang temannya yang ahli bahasa, tapi tanpa menyebutkan siapa namanya. Dan usul mengenai nama Pancasila tersebut dapat diterima oleh peserta sidang.
Sementara Rumusan dasar Negara merdeka beserta sistematikanya yang disampaikan oleh Ir. Soekarno adalah :
Nasionalisme atau Kebangsaan Indonesia.
Internasionalisme atau Perikemanusiaan
Mufakat atau Demokrasi.
Kesejahteraan Sosial
Ke Tuhanan Yang berkebudayaan.
Menurut Soekarno ke lima sila tersebut dapat diperas menjadi Tri Sila, yaitu:
Socio - Nasonal yaitu Nasionalisme dan Internasionalisme
Socio - Demokrasi yaitu Demokrasi dengan Kesejahteraan rakyat
Ke Tuhanan Yang Maha Esa.
Sedangkan bila Tri Sila tersebut diperas lagi, maka menjadi Eka Sila, yaitu “Gotong Royong”
Pada tahun 1947 pidato Soekarno tersebut diterbitkan dan dipublikasikan dengan diberi judul “lahirnya Pancasila”, sehingga dahulu pernah populer bahwa tanggal 1 Juni 1945 adalah merupakan lahirnya Pancasila. (Kaelan, 2004: 25).
Namun jika diperhatikan bahwa perumusan dan sitematika yang dikemukakan/diusulkan oleh Ir.Soekarno sebagaimana tersebut di atas, dibandingkan dengan Pancasila yang ada sekarang, nyata sekali bahwa perumusan dan sistematika Pancasila dari Ir. Soekarno tersebut sangat jauh berbeda dengan Pancasila yang disahkan sebagaimana tercantum dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945.
Kesemua usul-usul yang diajukan dalam masa persidangan I tersebut masih merupakan usulan perseorangan/individual, yang setelah dibahas dalam sidang ternyata belum menghasilkan kesimpulan yang dapat disepakati. Oleh karena itu Ketua sidang 15 BPUPKI meminta kepada para tokoh sebagai pengusul, agar mengajukan kembali rumusannya masing-masing secara tertulis, dan diharapkan pada tanggal 20 Juni 1945 telah masuk kesekretariat BPUPKI. Kemudian untuk keperluan pembahasannya dibentuklah sebuah “Panitia Kecil” yang terdiri dari 8 orang tokoh (Panitia 8), dengan tugas menampung konsepsi-konsepsi dan usulusul dari para anggota sekaligus menelitinya, untuk selanjutnya menyerahkannya kembali kepada BPUPKI.
Adapun susunan Panitia Kecil (Panitia 8) terdiri para tokoh berikut:
Ketua: : Ir. Soekarno
Anggota-anggota :
Drs. Muhammad Hatta;
M. Soetardjo Kartohadikoesoemo
K.H. Wahid Hasyim
Ki. Bagoes Hadi Koesoemo
Rd. Otto Inkandardinata
Mr. Muhammad Yamin
Mr. Alfred Andre Maramis.
e) Piagam Jakarta (22 Juni 1945).
Pada tanggal 22 Juni 1945 sembilan tokoh nasional, yang dikenal dengan Panitia 9, yang terdiri dari Ir. Soekarno (sebagai Ketua), dan 8 delapan orang anggota, yaitu:
Drs. Muhaammad Hatta,
Mr. Muhammad Yamin,
Mr. Ahmad Soebardjo,
Mr. Alfred Andre Maramis,
Abdoel Kahar Muzakkir,
K.H.Wahid Hasyim,
Abikoesno Tjokrosoejoso, dan
8H. Agus Salim
Mereka (Panitia 9) ini bersidang untuk membahas usul-usul dasar negara yang telah disampaikan dalam sidang BPUPKI pertama. Sidang berhasil menyusun sebuah naskah piagam yang dikenal dengan “Piagam Jakarta” atau menurut Muh. Yamin disebut dengan Jacarta Charter, dan Gentelman Agrement menurut Soekiman. Yang didalamnya memuat perumusan Dasar Negara sebagai hasil kerja kolektif Panitia 9, yang di dalamnya terdiri atas lima dasar, atau Pancasila.
Adapun rumusan Pancasila yang termuat dalam Piagam jakarta tersebut adalah:
Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-Peme-luknya
Kemanusiaan yang adil dan beradab
Persatuan Indonesia
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan-Perwakilan
Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Piagam Jakarta yang merupakan usulan kolektif dan sebagai hasil kerja Panitia 9 ini, kemudian diambil alih oleh Panitia 8 yang telah dibentuk untuk dilaporkan dalam sidang pleno BPUPKI yang diadakan dalam masa persidangan ke II pada tanggal 10 – 16 Juli 1945
a) Dengan diproklamasikannya Kemerdekaan RI pada tanggal 17 Agustus 1945, maka lahirlah negara Republik Indonesia. Kemudian pada tanggal 18 Agustus 1945 dilanjutkan dengan sidang PPKI sebagai sarana untuk melengkapi alat-alat kelengkapan negara yang telah merdeka. Dalam sidang tersebut telah berhasil mengesahkan UUD negara Republik Indonesia, yang selanjutnya dikenal dengan nama UUD 1945. Naskah dalam UUD 1945 secara keseluruhan terdiri dan tersusun atas tiga bagian, yaitu:
Bagian Pembukaan, yang terdiri atas 4 alinea.
Bagian batang tubuh, yang terdiri atas 16 Bab, 37 Pasal, dan 4 Pasal Aturan Peralihan, dan 2 ayat Aturan Tambahan.
Bagian Penjelasan, yang meliputi Penjelasan umum dan Penjelasan pasal demi pasal.
Namun pada waktu UUD 1945 disahkan oleh PPKI dalam sidangya tanggal 18 Agustus 1945 baru meliputi Pembukaan dan Batang Tubuhnya saja. Sedangkan bagian penjelasan belum termasuk di dalamnya. Baru setelah naskah resminya dimuat dan disiarkan dalam Berita Republik Indonesia tanggal 15 Pebruari 1946, bagian Penjelasan tersebut telah menjadi bagian dari UUD 1945. Sehingga sejak saat itu yang dimaksud dengan UUD 1945 adalah terdiri atas 3 bagian sebagaimana tersebut di atas.
Pada saat sidang pengesahan UUD 1945 beserta Pembukaannya oleh PPKI, naskah Pancasila yang terdapat dalam bagian Pembukaan UUD 1945 adalah sebagai berikut:
Ketuhanan Yang Maha Esa
Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
Pesatuan Indonesia
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/ Perwakilan.
Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Rumusan Pancasila sebagaimana tecantum dalam pembukaan UUD 1945 inilah yang secara konstitusional sah dan benar sebagai dasar negara RI. walaupun dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia sebagai upaya bangsa Indonesia untuk mempertahankan Proklamasi dan eksistensi bangsa dan negara Indonesia, ternyata terdapat pula berbagai rumsan Pancasila lainnya.
b) Dalam Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS) 29 Desember 1949 S.d. 17 Agustus 1950. Naskah Pancasila ketika itu adalah:
Ketuhanan Yang Maha Esa.
Peri Kemanusiaan
Kebangsaan
Kerakyatan
Keadilan Sosial.
c) Dalam UUD Sementara (UUDS) tahun1950, yang berlaku mulai 17 Agustus 1950 S.d. 5 juli 1959 Naskah Pancasila yang tercantum konstitusi RIS tersebut adalah :
Ketuhanan Yang Maha Esa
Peri Kemanusiaan.
Kebangsaan
Kerakyatan
Keadilan Sosial
d) Rumusan Pancasila di Kalangan Masyarakat; Selain naskah Pancasila sebagai Dasar Negara sebagaimana telah disebutkan di atas, terdapat pula rumusan/naskah Pancasila yang beredar di kalangan masyrakat luas, bahkan rumusannya sangat beraneka ragam, yang antara lain terdapat rumusan sebagai berikut :
Ketuhanan Yang Maha Esa
Peri Kemanusiaan
Kebangsaan
Kedaulatan Rakyat
Keadilan Sosilal
Dari berbagai rumusan Pancasila seperti tersebut di atas, yang benar dan yang sah adalah yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945. Hal tserbut diperkuat pula dengan ketatapan No.XX/MPRS/1966, dan Inpres No. 12 tanggal 13 April 1968 yang menegaskan bahwa pengucapan, penulisan dan rumusan Pancasila Dasar negara Republik Indonesia yang sah dan benar adalah sebagaimana yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945. (Kaelan, 2004: 26-27).
Seperti halnya dengan tujuan kita mempelajari sesuatu ilmu pengetahuan, maka tujuan kita mempelajari pancasila ialah :
Untuk mengetahui Pancasila secara benar, yakni yang dapat dipertanggung jawabkan baik secara yuridis-konstitusional maupun secara obyektif ilmiah. Yuridis konstitusional maksudnya karena Pancasila adalah Dasar negara yang dipergunakan sebagai Dasar negara, maka oleh sebab itu tidak setiap individu boleh memberikan pengertian, penafsiran menururut pendapatnya sendiri. Sedangkan secara ilmiah obyektif maksudnya karena Pancasila adalah suatu faham filsafat, atau suatu philosophical way of thinking, sehingga uraiannya haruslah logis dan dapat diterima oleh akal sehat.
Agar Pancasila yang benar tersebut itu dapat kita amalkan dengan sebaik-baiknya, baik untuk kepentingan pribadi maupun untuk kepentingan sosial, bahkan untuk kepentingan hidup bermasyarakat dan bernegara.
Agar Pancasila yang benar tersebut setelah kita amalkan, selanjutnya kita amankan, agar jiwa dan semangatnya, perumusan dan sistematiknya yang sudah benar tersebut tidak akan diubah-ubah lagi, apalagi dihapuskan atau diganti dengan isme-isme lainnya.(Dardji Darmodihardjo, 1978: 14).
Sedangkan menurut SK Dirjen Dikti No. 38 /DIKTI/Kep/2002 dijelaskan bahwa tujuan pendidikan Pancasila adalah dalam rangka menghasilkan peserta didik yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang Maha esa, dengan berperilaku :
Memiliki kemampuan untuk mengambil sikap yang bertanggung jawab sesuai dengan nuraninya.
Memiliki kemampuan untuk mengenal masalah hidup dan kesejahteraan serta cara-cara pemecahannya.
Mengenali perubahan-perubahan dan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni, serta
Memiliki kemampuan untuk memaknai peristiwa sejarah dan nilainilai budaya bangsa untuk menggalang persatuan Indonesia. (Kaelan, 2004: 15)
Dengan demikian melalui pendidikan Pancasila, setiap warga negara RI diharapkan mampu memahami, mengalisis dan menjawab masalah-masalah yang dihadapi oleh masyarakat bangsanya secara berkesinambungan dan konsisten dengan cita-cita dan tujuan nasional, seperti yang digariskan dalam Pembukaan UUD 1945, serta pada saatnya dapat menghayati Filsafat dan Ideologi Pancasila. Sehingga menjiwai tingkah lakunya selaku warga negara Republik Indonesia dalam melakukan profesinya.
Khusus untuk pendidikan di Perguruan Tinggi tujuan Pendidikan Pancasila adalah agar mahasiswa:
Dapat memahami dan mampu melaksanakan jiwa Pancasila dan UUD 1945 dalam kehidupannya sebagai warga negara Indonesia;
Menguasai pengetahauan tentang beragam masalah dasar kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, yang hendak diatasi dengan penerapan pemikiran yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945;
Memupuk sikap dan perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai dan norma Pancasila, sehingga mampu menanggapi perubahan yang terjadi dalam rangka keterpaduan IPTEKS dan pembangunan;
Membantu mahasiswa dalam proses belajar, proses berpikir, memecahkan masalah, dan mengambil keputusan dengan menerapkan strategi heuristik terhadap nilai-nilai Pancasila. (Kabul Budioyono, 2009: 6).
Sehingga manakala pendidikan Pancasila berhasil, niscaya akan membuahkan sikap mental “mahasiswa” yang cerdas, penuh tanggung jawab, dengan perilaku yang:
Beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
Berkepribadian yang adil dan beradab;
Mendukung persatuan bangsa;
Mendukung kerakyatan yang mengutamakan kepentingan bangsa di atas kepentingan perorangan;
Mendukung upaya untuk mewujudkan keadilan sosial.
Sedangkan kompetensi yang hendak dicapai dan dikembangkan dalam pendidikan Pancasila di Perguruan Tinggi adalah perilaku mahasiswa dalam memahami, menganalisis, dan menjawab masalahmasalah yang dihadapi oleh masyarakat-bangsanya secara berkesinambungan dan konsisten dengan cita-cita dan tujuan nasional seperti yang digariskan dalam pembukaan UUD 1945. Oleh sebab itu diharapkan melalui pendidikan Pancasila, mahasiswa akan menjadi manusia Indonesia lebih dahulu, sebelum menguasai, memiliki IPTEKS yang dipelajarinya. Didambakan bahwa warga negara Indonesia yang unggul dalam penguasaan IPTEKS, namun tidak kehilangan jati dirinya dan tidak tercerabut dari akar budaya bangsanya dan keimanannya. (Margono et.al.: 2002: 8).
Berdasarkan SK Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi nomor 265/ Dikti/Kep/2000, tanggal 10 Agutus 2000 tentang penyempurnaan Kurikulum inti Mata Kuliah pengembangan Kepribadian (MKPK) Pendidikan Pancasila mengemukakan empat landasan dalam pendidikan Pancasila, yaitu landasan historis, landasan Kultural, Landasan Yuridis, dan Landasan filosofis. Yang secara singkat dapat dijelaskan sebagai berikut :
Bahwa bangsa indonesia ini terbentuk melalui suatu proses sejarah yang cukup panjang, yaitu sejak zaman batu kemudian timbulnya kerajaan-kerajaan pada abad ke IV dan ke V. dan kemudian dasar-dasar kebangsaan Indonesia mulai nampak ketika abad ke VII, yaitu ketika timbulnya Kerajaan Sriwijaya di bawah Wangsa Syailendra di Palembang, kemudian timbul Kerajaan Airlangga dan Majapahit di Jawa Timur, serta kerajaan-kerajaan lainnya, yaitu merupakan suatu prinsip yang tersimpul dalam pandangan hidup bangsa, atau jati diri dari bangsa Indonesia yang di dalamnya tersimpul ciri khas, sifat, dan karakter bangsa yang berbeda dengan bangsa lain, yang oleh para pendiri negara kita di rumuskan dalam sauatu rumusan yang sederhana namun mendalam, yang meliputi lima (lima sila) yang kemudian diberi nama Pancasila.
Jadi secara historis bahwa nilai-nilai yang terkandung dalam setiap sila dari Pancasila sebelum dirumuskan dan disahkan menjadi dasar negara Indonesia secara objektif historis telah dimiliki oleh bangsa Indonesia sendiri. Sehingga asal nilai-nilai Pancsila tersebut tidak lain adalah dari bangsa Indonesia sendiri. Atau dengan kata lain bahwa kausa materialis dari Pancasila adalah Bangsa Indonesia itu sendiri. Sehingga dengan demikian secara fakta objektif dan secara historis kehidupan bangsa Indonesia tidak dapat dipisahkan dengan dengan nilai-nilai Pancasila.(Kaelan, 2004: 12)
Atas dasar itulah dan atas dasar alasan historis tersebut, maka sangat penting bagi para generasi penerus bangsa untuk mengkaji memahami dan mengembangkan berdasarkan nilai-nilai ilmiah, yang pada gilirannya akan menimbulkan kesadaran serta wawasan kebangsaan yang kuat.
Bangsa Indonesia berbeda dengan bangsa-bangsa lainnya dalam mendasarkan pandangan hidupnya dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, dia mendasarkannya kepada suatu asas kultural yang dimiliki dan melekat pada bangsa Indonesia itu sendiri.
Selanjuntya bahwa nilai-nilai yang terkandung dalam sila-sila Pancasila itu bukanlah hasil konseptual seseorang saja, melainkan dia merupakan suatu hasil karya besar bangsa Indonesia sendiri, yang diangkat dari nilai-nilai kultural ynag dimiliki oleh bangsa indonesia sendiri, melalui proses refleksi filosofis para pendiri bangsa Indonesia, seperti dari tokoh nasional : Sokekarno, M. Yamin, M. Hatta, Soepomo. Dan dari tokoh-tokoh Islam seperti : Ki Bagoes Hadikusoemo, K.H. Wahid Hasyim, dan lain-lain.
Oleh sebab itulah para generasi penerus bangsa terutama kalangan intelektual kampus sudah seharusnya untuk mendalami secara dinamis dalam arti mengembangkannya sesuai dengan tuntutan zaman.
Landasan yuridis perkuliahan pancasila telah dituangkan dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Nasional dalam pasal 37, ayat 2 yang menetapkan bahwa isi kurikulum setiap jenis, jalur dan jenjang pendidikan wajib memuat pendidikan Pancasila, Pendidikan agama dan Pendidikan bahasa Indonesia. Serta SK menteri Pendidikan Nasional RI nomor 232/U/2000, tentang pedoman penyusunan kurukulum Pendidikan Tinggi dan Penilaian Hasil, belajar Mahasiswa, pasal 10 ayat (1) di jelaskan bahwa kelompok Mata Kuliah Pendidikan Kewarganegaraan wajib diberikan dalam kurikulum setiap program studi, yang terdiri dari atas Pendidikan Pancasila, Pendidikan Agama, dan Pendidikan kewarganegaraan. Kemudian sebagai realisasi dari SK Menteri tersebut di tetapkan SK Dirjen Pendidikan Tinggi dengan nomor 38/DKTI/Kep/2002, yang antara lain mengatur rambu-rambu pelaksanaan pendidikan Pancasila, yaitu selain dari segi historis, filosofis, ketatanegaraan, kehidupan berbangsa dan bernegara, juga dikembangkan etika berpolitik, sehingga mahasiswa mampu mengambil sikap sesuai dengan hati nuraninya, mengenali masalah hidup terutama kehidupan rakyat, mengenali perubahan serta mampu memaknai peristiwa sejarah, nilai-nilai budaya demi persatuan bangsa.
Secara filosofis, bangsa Indonesia sebelum mendirikan negara adalah sebagai bangsa yang berketuhanan dan berkemanusiaan, hal ini berdasarkan kenyataan objektif bahwa manusia adalah makhluk Tuhan Yang Mahas Esa, serta berpersatuan dan berkerakyatan, yang ditandai dengan manusia Indonesia yang penuh toleransi, dan suasana damai, saling tolong menolong, gotong royong, selalu bermusyawarah dalam mengambil keputusan, mencintai keamanan dan ketentraman serta selalu dalam suasana kekeluargaan, yang diungkapkan dengan istilah: “Gemah ripah loh jinawi tata tenteram kerta raharja”, atau yang pada saat ini lebih populer dengan sebutan “masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila”
Atas dasar pengertian filosofis tersebut maka dalam hidup bernegara nilai-nilai Pancasila merupakan dasar filsafat negara. Dan konsekuensinya dalam setiap aspek penyelenggaraan negara harus bersumber pada nilai-nilai Pancasila. Jadi Pancasila merupakan sumber nilai dalam pelaksanaan kenegaraan, baik dalam pembangunan nasional ekonomi, politik, hukum, sosial budaya, maupun pertahanan dan keamanan
Pembahasan Pancasila termasuk di dalamnya filsafat Pancasila adalah merupakan kajian yang ilmiah. Hal tersebut sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Ir. Poedjowijatno dalam bukunya “Tahu dan Pengetahuan” yang menjelasakan bahwa syarat-syarat ilmiah itu adalah :
Berobjek;
Bermetode
Bersistem
Bersifat Universal.(Kaelan, 2004: 16)
Pengetahuan dapat dikatakan ilmiah adalah apabila dia mempunyai objek, yang dalam filsafat ilmu pengetahuan objek tersebut dapat dibagi dua macam, yaitu objek forma, dan objek materia. Objek forma yaitu sudut pandang, yaitu dari sudut pandang mana Pancasila dibahas. Pada hakikatnya Pancasila dapat dibahas dari berbagai sudut pandang, misalnya dari sudut moral, maka terdapat bahasan yang disebut dengan moral Pancasila. Dari sudut pandang ekonomi, hingga timbullah kajian yang membahas tentang ekonomi Pancasila. Dari sudut pandang hukum dan kenegaraan, maka terdapatlah kajian tentang Pancasila secara Yuridis Kenegaraan; kemudian dari sudut pandang filsafat, maka timbullah pembahasan tentang filsafat Pancasila, dan lain-lain.
Sementara objek materia, yaitu Pancasila merupakan suatu objek sasaran pembahasan dan pangkajian, baik secara empiris maupun non empiris. Yang empiris bisa berupa lembaran sejarah, bukti sejarah, benda sejarah, benda-benda budaya, lembaran negara, lembaran hukum, adat istiadat bangsa Indonesia. Adapun yang non empiris antara lain meliputi nilai-nilai budaya, nilai moral, nilai-nilai religius yang tercermin dalam kepribadian, sifat, karakter dan pola-pola budaya dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa objek Pancasila baik yang bersifat empiris maupun yang non empiris adalah merupakan hasil budaya bangsa Indonesia, sehingga bangsa Indonesia dia merupakan kausa materia material;is dari Pancasila atau sebagai asal mula dari nilai-nilai yang ada dalam Pancasila.
Prof. Harsoyo mengatakan, bahwa metode adalah prosedur berpikir secara runtut yang digunakan dalam penelitian untuk memperoleh kesimpulan-kesimpulan. (Arief Sidharta, 2008: 81). Oleh sebab itu setiap pengetahun harus memiliki metode, tak terkecuali dengan Pancasila. Dan metode dalam pembahasan Pancasila dia sangat dipengaruhi oleh objek forma maupun objek materia dari Pancasila itu sendiri. Berkaitan dengan hal tersebut, oleh karena objek Pancasila banyak berkaitan dengan hasil-hasil budaya, dan objek sejarah, maka lazim metode yang digunakan dalam pembahasan Pancasila adalah metode “hermenuetika” , yaitu suatu metode dalam rangka untuk menggali makna yang terkandung dibalik objek Pancasila tersebut. Juga metode “interpretasi”, yaitu penafsiran dan pemahaman dari adanya suatu objek yang dibahas. Serta metode “koherensi historis” yaitu metode keruntutan dalam jalannya sejarah.
Metode lainnya yang dapat digunakan dalam pembahasan Pancasila adalah apa yang disebut dengan metode “analitico syntetic” yaitu perpaduan antara metode analisis dan sintesis, serta metode “Pemahaman, Penapsiaran, dan Interpretasi yang kesemuanya itu senantiasa didasarkan atas hukum-hukum logika dalam suatu penarikan kesimpulan.(Kaelan, 2004: 17).
Maksudnya pengetahuan tersebut haruslah merupakan suatu kesatuan yang utuh, serta saling berhubungan atau interelasi , maupun interdepensi atau saling ketergantungan. Oleh sebab itu pembahasan Pancasila secara ilmiah haruslah merupakan suatu kesatuan dan keutuhan, karena Pancasila itu adalah merupakan Majemuk Tunggal yaitu kelima sila tersebut baik rumusannya, inti dan isi dari sila-sila Pancasila adalah merupakan suatu keutuhan dan kebulatan.
Demikian pula pembahasan Pancasila secara ilmiah, dengan sendirinya sebagai suatu sistem dalam dirinya sendiri, yaitu pada Pancasila itu sendiri, sebagai objek pembahasan ilmiah senantiasa bersifat koheren (runtut), tanpa adanya suatu pertentangan di dalamnya, sehingga sila-sila Pancasila itu sendiri adalah merupakan suatu kesatuan yang sistemik.
Maksudnya bahwa kebenaran suatu pengetahuan ilmiah haruslah bersifat universal, artinya kebenarannya tidak terbatas oleh waktu, ruang, keadaan, situasi dan kondisi, maupun jumlah tertentu. Berkaitan dengan pembahasan Pancasila dia dikatakan bersifat universal karena intisari, essensi dan makna yang terdalam dari sila-sila tersebut pada hakikatnya adalah bersifat universal.