Aktualisasi Pancasila dalam kehidupan maksudnya adalah praktik sikap dan perilaku manusia (baik sebagai masyarakat, bangsa dan Negara) yang sesuai dengan nilai-nilai moral Pancasila dalam kehidupannya sehari-hari. Makna tersebut pada dasarnya rasional, wajar, dan memang harus seperti itu. Tetapi dalam kenyataannya, sangat sulit untuk mewujudkannya. Dan hal tersebut tak peduli bagi mereka yang telah memperoleh penghargaan dipundaknya sekalipun. Singkatnya, hingga saat ini, tidak ada manusia Indonesia yang sikap dan perilakunya adalah merupakan perwujudan nilai-nilai Pancasila, yang dapat dijadikan cermin, teladan oleh orang yang lainnya, termasuk di antaranya para generasi muda yang sekarang sedang menempuh pendidikan di tingkat perguruan tinggi, SMU, SMP, SD, maupun TK sekalipun. Kesimpulannya aktualisasi nilai moral Pancasila dalam kehidupan masih bersifat utopis, angan-angan, yang tidak tahu kapan bisa terwujud. Mungkin satu atau dua generasi yang akan dat- ing, atau mungkin tidak pernah akan terwujud. (Margono, 2002: 89).
Berbagai bentuk pendidikan Pancasila yang ada selama ini, pada dasarnya adalah sebagai suatu bentuk usaha aktualisasi nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan, tetapi dalam praktiknya sarat dengan pendidikan politik yang bertujuan untuk mendukung rezim penguasa pada saat itu, dan kering dengan pendidikan moral.
Di sisi lain berbagai upaya tersebut kurang didukung oleh media yang memadai, dalam bentuk tampilan nyata, sikap dan perilaku tokoh masyarakat, bangsa, maupun negara, sehingga dapat menjadi teladan bagi semua pihak. Bahkan yang lebih teragis mereka itu memberi contoh sikap dan perilaku yang justru bertentangan dengan nilai-nilai moral pancasila.
Idealnya, nilai-nilai moral pancasila itu harus tercermin dalam kehidupan sehari-hari dalam masyarakat, baik dibidang pendidikan, kedokteran, ekonomi, teknologi, dan hukum. Namun dalam kenyataannya masih jauh dari apa yang diharapkan. Bidang-bidang tersebut dalam praktiknya cenderung berpihak kepada mereka yang kaya atau mampu dan mengabaikan masyarakat yang miskin, bahkan sifatnya seperti rangkaian benang kusut yang susah sekali putus, apalagi diurai. Se- hingga akibat lanjutan yang ditimbulkannya adalah, munculnya berbagai bentuk kesenjangan sosial di masyarakat.
Selanjutnya paparan di bawah ini adalah merupakan contoh dari berbagai bentuk kesenjangan tersebut, yang antara lain dapat digambarkan sebagai berikut:
1. Pendidikan adalah salah satu hak masyarakat dalam rangka usaha untuk meningkatkan kesejahteraan. Namun dalam kenyataannya tidak semua masyarakat yang memiliki pendidikan tersebut dapat meningkatkan kesejahteraan hidupnya.
2. Banyak ditemukan masyarakat yang kesulitan untuk memperoleh pendidikan yang layak karena berbagai keterbatasan yang mereka miliki.
3. Banyak masyarakat yang kecewa dengan pendidikan, karena pendidikan harus dibayar dengan mahal, tapi setelah selesai tidak mendapatkan kesejahteraan yang menjanjikan.
4. Banyak masyarakat yang ingin memperoleh pendidikan yang layak, tapi karena berbagai keterbatasan atau ketidakmampuan, maka mereka hanya memperoleh pendidikan seadanya.
Dari gambaran tersebut di atas, tampaknya pendidikan masih memihak bagi si kaya untuk memperoleh pendidikan yang layak.
Sebaliknya bagi simiskin dan tidak mampu, mereka cenderung untuk memperoleh pendidikan yang pas-pasan. Kondisi ini tentu saja akan menyebabkan timbulnya kesenjangan sosial yang semakin dalam dan berkelanjutan.
Walaupun Pemerintah telah menjembatani persoalan tersebut, dengan berbagai program bantuan di bidang pendidikan atau beasiswa, namun hasilnya masih jauh dari yang diharapkan. Bahkan berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa berbagai program bantuan pemerintah di bidang pendidikan tersebut, cenderung disalah gunakan oleh pihk-pihak tertentu, sehingga bantuan yang seharusnya diberikan kepada masyarakat yang benar-benar miskin dan tidak mampu, justeru dinikmati oleh sekolah-sekolah yang memiliki kejelasan dan kedekatan dengan pihak-pihak pelaksana kebijakan. (Margono, 2000)
Praktik di bidang kedokteran ini banyak yang masih tidak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Kondisi tersebut dapat digambarkan dengan berbagai kejadian di bawah ini:
Misalnya, kasus pasin yang tidak boleh pulang dari rumah sakit karena dia tidak mampu membayar semua biaya rumah sakit. Sering terjadi pasin yang datang untuk berobat ke rumah sakit belum mendapatkan pelayanan kesehatan apa-apa, tapi pasin tersebut ditanya apa mereka mampu membayar biaya yang harus mereka keluarkan. Kalau tak mampu merekapun tidak akan dilayani dan disuruh pulang saja.
Dengan demikian pelayanan kedokteran ternyata masih berpihak kepada mereka yang kaya atau mereka yang mampu. Sehingga seolah- olah mereka-mereka yang kayalah, yang bisa memiliki umur yang panjang, terutama bila dibandingkan dengan mereka yang miskin.
Untuk mengatasi semua permasalahan tersebut, pemerintah sebenarnya telah melakukan berbagai bantuan, misalnya melalui pro- gram JPS, BLT, ASKENKIN dan yang sejenisnya. Namun dalam praktiknya, masyarakat miskin tetap saja belum dapat memperoleh pelayanan sebagaimana yang diharapkan. Bahkan ada sinyalemen yang mengatakan bahwa masyarakat miskin yang menggunakan pro-gram JPS, BLT dan sejenisnya, maka pelayanan yang mereka terima akah jauh dari harapan. Akibatnya mereka merasa enggan untuk menggunakan program bantuan pemerintah tersebut.
Hukum adalah berfungsi untuk menentukan suatu kejadian, fakta, dan data, apakah semua itu benar atau salah. Namun dalam kenyataannya hukum menjadi tidak jelas. Karena tidak jarang fakta dan data itu bermakna ganda sesuai dengan kemauan masing-msing pihak yang berparkara. Tidak jarang hukum hanya berpihak kepada si kaya. Orang kaya cenderung selalu benar bila dibandingkan dengan si miskin. Salah satu contoh konkret yang terjadi pada akhir tahun 2009, adalah kasus yang menimpa seorang nenek yang benama Minah di daerah Bojonegoro. Hanya gara-gara mencuri 3 butir buah kakau yang harganya tidak lebih hanya Rp. 2000,- yang bersangkutan diganjar dengan hukuman selama 1,5 bulan. Lain halnya dengan sikaya, walaupun mereka salah, tapi hukumannya pasti ringan. Lihat saja hukuman yang dijatuhkan kepada para koruptor kakap, sungguh sangat jauh dari rasa keadilan.
Hukum juga telah mencabik-cabik rasa kepercayaan masyarakat akan kebenaran dan keadilan, karena kebenaran hanya dihargai dengan rupiah atau dolar. Seakan-akan mereka yang kayalah yang berhak memperoleh kebenaran dan keadilan. Bagi simiskin bila mereka berbuat salah, mereka bisa langsung digebuki oleh masyarakat bahkan sampai dibakar sekalian. Masih untung bila mereka ditanggkap oleh polisi, namun mereka harus rela manakala kakinya ditembak dengan berbagai alasan.
Untuk mengatasi masalah kebobrokan di bidang hukum ini, pemerintah dan masyarakat sudah berusaha dengan berbagai cara, untuk menempatkan kebenaran dan keadilan hukum yang sebenarnya, diantaranya dengan melibatkan masyarakat dalam membuat berbagai keputusan hukum. Namun dalam kenyataannya, para penegak hukum tetap saja seperti mempermainkan hukum. Sehingga para MARKUS, Mapia Peradilan tetap saja terjadi di setiap lembaga penegakan hukum.
Contoh-contoh di atas hanya sebagian kecil dari fenomena di mana nilai-nilai moral Pancasila tidak mampu diaktualisasikan dalam kehidupan masyarakat. Berikutnya Fenomena-fenomena di bawah ini dapat dijadikan bahan kajian dari berbagai kejadian di masyarakat, terutama dalam perspektif pendidikan moral, sekaligus sebagai bahan latihan untuk menemukan benang kusut dari berbagai permasalahan moral yang ada di Indonesia.
Demikian pula fenomena-fenomena di bawah ini, dapat dijadikan batu pijakan dalam mengkaji berbagai permasalahan kemasyarakatan dalam perspektif pendidikan moral Pancasila. Maksudnya bagaimana nilai-nilai Pancasila memandang hal tersebut, dan mengapa hal tersebut bisa terjadi. Analisis-analisis sosial bisa dijadikan acuan dalam membahas permasalahan tersebut.
Namun, kajiannya disajikan secara terbalik. Bukan nilai moral Pancasila yang disajikan lebih dahulu, tetapi fenomenanya. Kemudian, bagaimana Pancasila memandang hal tersebut. Semua contoh kasus yang disajikan di bawah ini dikutif dari buku Pendidikan Pancasila, yang ditulis oleh Margono, dan kawan-kawan.
Sebagaimana yang di ketahui melalui berbagai media, bahwa kejahatan penyalahgunaan narkoba ini sudah memasuki ke setiap lapisan masyarakat. Tak terkecuali di masyarakat terpelajar, dari yang paling tinggi seperti mahasiswa, sampai kepada yang paling rendah seperti pelajar atau murid SD. Dari para birokrat, pejabat, bahkan para penegak hukum sekalipun, apalagi orang awam, sudah tidak terhitung lagi yang terlibat dalam kasus penyalah gunakan Narkoba ini. Ada yang sebagai pemakai ada pula yang sebagai pengedar, bahkan banyak pula yang melakoni kedua-duanya.
Fenomena penyalahgunaan narkoba ini tampaknya bukanlah suatu hal yang tabu lagi. Bahkan di Jakarta ditemukan ada kampung di mana pengguna dan pengedar narkoba bebas menjalankan aksinya. Tidak hanya itu banyak diantara mereka seluruh keluarganya (ayah, ibu dan anak-anak) terlibat dengan kejahatan narkoba. Dan yang lebih tragis lagi, banyak di antara mereka itu yang kehidupannya tergantung kepada bisnis haram narkoba ini.
Bila di teliti lebih jauh, masih banyak lagi kasus-kasus yang berkaitan dengan narkoba ini yang mencerminkan bagaimana narkoba sudah menjadi bagian dari kehidupan masyrakat, baik di kota maupun di desa-desa.
Bagaimana Pancasila memandang hal tersebut? Bagiamana pula Pancasila mampu mengeleminasi keterlibatan generasi berikutnya agar tidak terjerumus ke jurang narkoba tersebut? hal-hal apa saja yang bisa dilakukan unuk menanggulangi kejhatan narkoba ini?
Berkaitan dengan kejahatan prostitusi ini pada beberapa waktu yang lalu di berbagai media cetak yang terbit di Jawa di Timur, banyak memberitakan tentang prostitusi di kalangan ABG. Bahkan Koran Jawa Pos beberapa waktu yang lau sempat memberitakan, tentang transaksi prostitusi ini lengkap dengan fotonya segala. Mereka melakukan tran- saksi di pinggir jalan, mereka melakukannya tidak mengenal waktu, pagi, siang, sore, apalagi pada malam hari. Sungguh suatu pemanda- ngan yang sangat menyedihkan. Bahkan akhir-akhir ini dengan berba- gai kemajuan teknologi informasi, bisnis prostitusi telah memanfaatkan media sosial. Sehingga melalui media tersebut dengan gampangnya menawarkan para wanita cantik yang siap untuk melayani keinginan para penikmat syahwat, terutama bagi yang mampu membayar sesuai yang mereka tetapkan.
Kemudian status pelaku protitusi ini juga tidak mengenal usia, baik tua, muda, remaja, dengan berbagai status dan profesi, baik sebagai artis bahkan ada yang berstatus sebagai mahasiswa. Khusus prostitusi di kalangan mahasiswa ini diibaratkan sebagai seekor “bunglon”. Sebab bila dilihat sepintas seperti tidak ada karena tidak nampak. Namun apabila diamati lebih jauh ternyata ada. Hal tersebut berdasarkan investigasi majalah “Liberty” beberapa waktu yang lalu pernah melaporkan bagaimana liku-liku prostitusi di kalangan mahasiswa ini, terlepas apakah laporannya tersebut benar atau salah.
Mengapa perilaku terlarang tersebut bisa terjadi? Bagaimanakah Pancasila memandang hal tersebut? Bagiamana pula Pancasila mampu mengeleminasi tindakan tidak bermoral tersebut, sehingga gambaran seperti tersebut tidak lagi terjadi dilingkungan kita semua?. Nilai-nilai Pancasila apa saja yang perlu ditanamkan kepada seluruh lapisan masyarakat unuk menanggulangi kejahatan prostitusi ini?
Ada cerita dari seorang tukang sapu pada sebuah Perguruan Tinggi. Dia menceritakan bahwa ketika ia sedang menjalankan tugas- nya sebagai tukang sapu, ia pernah menemukan celana dalam wanita. Namun dia tidak menyebutkan di mana kejadiannya dan seberapa sering dia menemukannya. Kasus tersebut akan menimbulkan tafsiran bahwa pada kampus tersebut telah terjadi hal-hal yang buruk seperti prostitusi di lingkungan kampus.
Kasus lainnya yang terjadi di ITENAS, di mana dua mahasiswanya laki-laki dan perempuan telah melakukan hubungan seks di luar nikah. Tragisnya perbuatan mereka tersebut mereka abadikan dengan mere- kam adegan mesum yang mereka lakukan. Perbuatan terkutuk tersebut mereka gandakan dan disebar luaskan, bahkan diperjualbelikan.
Dari gambaran kasus tersebut di atas, nampak sekali bahwa nilai- nilai fundamental yang terkandung dalam Pancasila sangat jauh dari mereka. Lalu kalau demikian mengapa kondisi tersebut bisa terjadi? Namun satu hal yang sudah pasti, bahwa nilai-nilai moral yang terkan- dung dalam Pancasila belum teraktualisasikan dalam masyarakat.
Kampus bukanlah tempat yang bebas dari berbagai perbuatan kriminal, baik yang dilakukan oleh oknom civitas akademika sendiri maupun oleh orang luar. Misalnya terjadinya pencurian terhadap milik kampus, seperti komputer, mesin ketik, lampu-lampu, meja, kursi, TV, radio, sepeda motor Mahasiswa, dan lain-lain.
Perlakuan pihak kampus terhadap pelaku krimimal pada akhir- akhir ini sudah cukup tegas, mereka yang tertangkap pasti dipukuli hingga babak belur, Bahkan ada yang sampai membakarnya hidup- hidup, baru diserahkan ke pihak kepolisian. Pihak kepolisian juga sangat tegas terhadap pelaku kriminal yang tertangkap, bahkan kadang- kadang mereka tidak segan-segan melepaskan tembakan terhadap para kriminal yang mereka tangkap.
Dalam beberapa tahun terakhir sudah berapa banyak penjahat yang telah digebuki massa hingga sampai mati, atau yang di bakar hidup-hidup. Begitu pula berapa banyak sudah penjahat yang sudah ditembak oleh aparat kepolisian. Namun kejadian tersebut nampaknya tidak mempengaruhi secara signifikan terhadap pelaku keriminal. Bahkan ada kecenderungan semakin meningkat, dan kualitasnyapun juga semakin meningkat pula. Bahkan pelaku kriminal sekarang tidak segan-segan melakukan kejahatan pencurian dengan kekerasan, dan bagi siapa yang melakukan perlawanan mereka tidak segan-segan melukainya, bahkan sampai membunuhnya.
Mengapa semua kasus diatas sampai terjadi?. Bagaimanakah dengan nilai-nilai luhur Pancasila yang pernah mereka terima selama dalam pendidikan? Apakah sudah mereka tinggalkan begitu saja?. Apakah Pancasila sudah dianggp tidak aktual lagi dalam kehidupan masyarakat Indonesia?.
Tawuran telah menjadi kebiasaan di masyarakat dalam negara ini. Tidak peduli pelakunya adalah masyarakat terpelajar seperti mahasiswa. Apalagi masyarakat awam, seperti kaum muda di kampung- kampung. Walau hanya dengan alasan yang sepele sekalipun. Bahkan mereka pun kadang-kadang tidak tahu apa tujuan mereka dalam melakukan tawuran tersebut, selain hanya untuk mendapatkan rasa kebanggaan sesaat ketika memperoleh kemanangan dalam tawuran. dengan kemenangan tersebut maka desanya akan ditakuti oleh desa lainnya.
Tampaknya masalah tawuran ini sudah menjadi budaya yang sudah turun temurun. Namun tawuran ini sangat menggangu masyarakat dan sangat merugikan masyarakat secara luas.
Bagaimana Pancasila menyikapi tawuran sebagai suatu fenomena di masyarakat, dan bagaimana mencari sebab-sebab munculnya tawuran tersebut?. Bagaimana menemukan solusi untuk menghindarkan terjadi tawuran dimaksud. Dan barangkali apakah dengan pendidikan Pancasila ini diharapkan mampu untuk mencari bentuk tawuran yang tidak merugikan orang banyak?.
Sekarang ini kegiatan demontrasi atau unjuk rasa sudah menjadi kegiatan yang biasa. Melalui media massa setiap hari kita menyaksikan orang melakukan demontrasi atau unjuk rasa. Pelakunya juga sudah mencakup semua unsur masyarakat, tak peduli mahasiswa, pelajar, pegawai, guru, buruh, lembaga sosial kemasyarakatan, bahkan masya- rakat awam pun juga ada. Motifnyapun bermacam-macam, ada yang bermotifkan politik, ekonomi, social, agama dan lain-lain.
Unjuk rasa adalah salah satu cermin demokrasi, sebagai salah satu bentuk penyampaian aspirasi masyarakat yang tak terwadahi dalam suatu lembaga formil. Jadi sebetulnya demonstrasi/unjuk rasa adalah sah-sah saja. Namun unjuk rasa selalu dikuti dengan tindakan pemaksaan. Dan apabila tuntutan mereka tidak mendapatkan respon yang memadai mereka melakukan tindakan anarkis yang merugikan orang banyak. Dalam unjuk rasa mereka juga sering membawa alat- alat terlarang, seperti senjata tajam, bom melotop, panah, dan lain- lain.
Pada dasarnya demonstrasi dan unjuk rasa itu baik dalam alam yang demokratis ini. Tapi, akan menjadi berantakan bila nilai-nilai demokrasi itu dijungkirbalikkan. Idealnya demonstrasi dan unjuk rasa itu dilakukan secara santun, efektif tapi aspirasi tersalurkan, serta orang lain yang tidak berkepentingan tidak tergganggu oleh adanya demontrasi tersebut
Berkaitan dengan kasus tersebut, maka mampukah Pancasila mengajarkan hal-hal yang berkaitan dengan demonstrasi atau unjuk rasa, sebagai sarana penyampaian aspirasi dengan cara-cara yang santun, sehingga masyarakat luas merasa tidak terganggu dan dirugikan.
Menjadi TKW dan TKI di luar negeri pada dasarnya merupakan perbuatan yang biasa, karena dilakukan untuk mendapatkan kesejahteraan hidup yang lebih baik, asalkan dilakukan dengan prosedur yang benar dan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Namun dalam kenyataannya tidak jarang mereka melakukannya dengan cara-cara yang tidak benar, misalnya kepergiannya dengan cara yang illegal. Karena dilakukan dengan cara-cara yang illegal, maka di tempat tujuanpun dia akan berhadapan dengan berbagai masalah, seperti penyiksaan, gajih tidak dibayarkan, bahkan sampai terjadinya pembunuhan. Yang kesemuanya itu akan merugikan TKI dan TKW itu sendiri. Dan ujung-ujungnya akan melibatkan dan menjadi persoalan bagi Pemerintah RI, khususnya KBRI di luar negeri.
Di sisi lain, bagi yang berhasil mereka mampu mendapatkan uang yang banyak. Namun mereka tidak bisa mengelolanya dengan tepat. Uang yang mereka dapat digunakan habis untuk membikin rumah dengan bermewah-mewah. Sementara mereka lupa bahwa mereka itu butuh makan dan biaya keperluan hidup lainnya. Pada hal akan lebih baik apabila uang yang mereka peroleh tersebut dijadikan modal usaha yang bisa berkembang di kampong mereka. Sehingga tidak menjadi pembantu atau buruh terus menerus.
Memang menjadi TKW atau TKI cukup menjanjikan untuk menda- patkan tingkat kesejahteraan yang lebih baik. Tapi juga harus diperhati- kan dampaknya. Misalnya bagaimana tindakan suami yang ditinggalkan istrinya yang menjadi TKW di luar negeri. Atau manakala seorang TKW yang pulang dengan membawa bayi berhidung mancung dan berambut pirang atau kriting. Atau bermata sipit dan berkulit putih kuning. Sehingga ada yang mengatakan bahwa jangan kaget kalau di suatu daerah nanti ditemukan generasi yang memiliki postur fisik berbeda dengan postur fisik masyarakat yang ada di lingkungannya.
Dari semua fenomena tersebut bagaimanakah kiranya Pancasila dapat memberikan solusi yang terbaik, atau minimal dapat mengurangi berbagai dampak negatif yang diterima oleh masyarakat Indonesia yang menjadi TKW dan TKI di luar negeri?.
Otonomi daerah dan desentralisasi pada hakikatnya mempunyai makna yang sama, walaupun di dalm UU,No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah, kedua hal tersebut memiliki perbedaan yang sangat esensial. Tapi pada hakikatnya, kata otonomi daerah harus diberi makna yang sama dengan pengertian desentralisasi. Karena otonomi daerah adalah istilah bahasa Indonesia untuk kata desentralisasi.
Secara konseptual, otonomi daerah dipahami dalam berbagai ragam makna, sesuai derajat kebebasan atau keleluasaan (discreation) yang dimiliki daerah dalam mengelola kegiatan kemasyarakatan atau pemerintahan yang ada di wilayahnya.
Vincent Lemieux (1998), mengutarakan otonomi daerah sebagai suatu kebebasan untuk mengambil keputusan sendiri, baik keputusan politik maupun keputusan administrasi, dengan tetap menghormati peraturan perundang-undangan (Vincient Lemieux, seperti dikutip Zuhro, 1998).
Sementara Hossein (1998), memberikan pengertian otonomi daerah sebagai pembagian dari sebahagian kekuasaan pemerintah oleh kelompok yang bekuasa di pusat, terhadap kelompok-kwlompok lain yang masing-masing memiliki otoritas di dalam wilayah tertentu dari suatu negara. Bahkan dalam UU. No. 22/1999 disebutkan bahwa otonomi daerah berarti kewenangan daerah otonom, untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri, berdasarkan aspirasi marayakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Jadi pada hakikatnya, konsep otonomi daerah atau desentralisasi mengandung pengertian kebebasan untuk mngambil keputusan, baik yang berhubungan dengan politik maupun administrasi, menurut prakarsa sendiri untuk kepentingan masyarakat setempat dengan tetap menghormati peratiuran perundang-undangan nasional. Hal tersebut sebagaimana yang diungkapkan oleh M.A Muthalib & Mohd.Akbar Ali Khan (1998), bahwa “Conceptualy local autonomi tends tobecome a synonym of the freedom of locally for self-determination of local de- mocracy ”.
Sehingga setidaknya dalam otonomi daerah, ada tiga aspek yang dikendalikan oleh pemerintah daerah, yaitu:
Pertama: Kendali terhadap aktivitas untuk mengatur organisasi dan lingkungan;
Kedua: Kendali dalam pengangkatan pemimpin dan pejabatnya;
Ketiga: Kendali dalam penarikan sumber daya. (Vincent Lemieux, 1988)
Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa otonomi daerah bukan hanya sebuah kebijakan yang sarat dengan cerminan pelimpahan wewenang (delegation of autority) dari pemerintah pusat kepada daerah, tetapi merupakan penyerahan wewenang (devolution of power). Sementara wewenang atau adanya keleluasaan (discretion) daerah adalah untuk:
a. Melaksanakan fungsi-fungsi publik dan politik, seperti memilih kepala daerah, membuat peraturan yang berkaitan dengan politik di daerah dan sebagainya;
b. Untuk mengelola dan memanfaatkan berbagai sumber daya yang ada dalam lingkup wilayahnya;
c. Mengelola kewenangan untuk melibatkan berbagai sumber daya yang ada di wilayahnya, dalam berbagai kegiatan publik dan politik.
Jadi, otonomi daerah itu berkaitan dengan power sharing, yang bersifat horizontal, atau distributing autority and power horizontally rather than hierarchically (Kasfir, 1983).
Sementara Roninelli (1981) membagi desentralisasi menjadi tiga kategore, yaitu:
a. Deconcentration, (dekonsentrasi): yaitu bentuk desentralisasi yang kurang ekstensif, sekedar penggeseran beban kerja dari kantor- kantor pusat departemen kepada pejabat staf yang berkantor di luar ibukota.
b. Delegation (delegasi): merupakan pembuatan keputusan dan kewenangan manajemen untuk menjalankan fungsi-fungsi publik tertentu, pada organisasi-organisasi tertentu dan hanya dikontrol secara tidak langsung oleh pusat.
c. Devolution (Devolusi): yaitu merupakan wujud konkret dari desentralisasi politik (political decentralization), dengan ciri-ciri sebagai berikut:
1. Diberikannya otonomi penuh dan kebebasan tertentu pada daerah, serta control yang relatif kecil dari pusat;
2. Pemerintah daerrah memiliki wilayah dan kewenangan hukum yang jelas, dan berhak untuk menjalankan fungsi-fungsi public dan politiknya;
3. Adanya pemberian corporates status dan kekuasaan yang cukup, pada daerah untuk menggali sumber daya yang ada di wilayahnya;
4. Mengembangkan pemerintah daerah sebagai institusi; dan
5. Adanya interaksi timbal balik dan saling menguntungkan antara pusat dan daerah.
Dalam kerangka suasana dan kondisi masyarakat Indonesia yang seperti sekarang ini, otonomi daerah yang sifatnya vertikal menjadi tidak bermakna, karena adanya berbagai keterbatasan kemampuan pemerintah, untuk mengurusi segala bentuk kegiatan pemerintahan dan pembangunan masyarakat yang semakin kompleks. Bahkan dengan sifat otonomi daerah yang vertikal, memungkinkan timbulnya penguasa- penguasa tunggal (sentralistis) yang ada di daerah.
Jadi, otonomi daerah yang tepat bukan hanya sekedar reorientasi paradigma self local governent menjadi self local governance sebagai yang disitir oleh Stoker (1998) melalui teori Governance, tetapi juga harus ditindak lanjuti dengan restrukturisasi pelaksanaan otonomi daerah yang sarat dengan nilai kebebasan (liberty), partisipasi, demo- krasi (democracy), accountability dan eficiensi (efficiency) (Kjeliberg; 1995; Kingsley; 1996).
Dari berbagai penjelasan tersebut apakah semuanya itu sudah sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila?. Lalu apa- kah otonomi yang sedang dilakukan seperti sekarang ini telah berdam- pak positif terhadap masing-masing daerah? Atau justru sebaliknya hanya hanya menguntungkan bagi oknom-oknom tertentu?. Kalau demikian di mana letak kelemahan dan kekurangan dari pelaksanaan otonomi daerah tersebut?.