Secara umum, pengertian negara adalah suatu daerah atau wilayah yang ada di permukaan bumi di mana terdapat pemerintahan yang mengatur ekonomi, politik, sosial, budaya, pertahanan keamanan, dan lain sebagainya. Di dalam suatu negara minimal terdapat unsur-unsur negara seperti rakyat, wilayah, pemerintah yang berdaulat serta pengakuan dari negara lain. Negara merupakan suatu organisasi dari rakyat negara tersebut untuk mencapai tujuan bersama dalam sebuah konstitusi yang dijunjung tinggi oleh warga negara tersebut. Indonesia memiliki Undang-Undang Dasar 1945 yang menjadi cita-cita bangsa secara bersama-sama.
Berdasarkan pendapat para sarjana, dapat dilihat beberapa pengertian dari negara yaitu:
Menurut Gorge Jellinek : Negara ialah organisasi kekuasaan dari sekolompok manusia yang telah berkediaman di wilayah tertentu.
Menurut Gorge Wilhelm Friedrich Hegel : Negara merupakan organisasi kesusilaan yang mencul sebagai sintesis dari kemerdekaan individual dan kemerdekaan universal.
Mr. Kranerburg : Negara adalah suatu organisasi yang timbul karena kehendak dari suatu golongan atau bangsanya sendiri.
Roger. F. Soltau : Negara adalah alat (agency) atau wewenang (authority) yang mengatur atau mengendalikan persalan bersama atas nama masyarakat.
Prof. R. Djolosoetrono : Negara ialah suatu organisasi manusia atau kumpulan manusia yang berada dibawah suatu pemerintahan yang sama.
Prof. Mr. Soenarko : Negara ialah organisasi masyarakat yang mempunyai daerah tertentu di mana kekuasaan negara berlaku sepenuhnya sebagai souvereign (kedaulatan).
Bila dilihat dari segi fungsi, maka fungsi-fungsi negara meliputi:
Mensejahterakan serta memakmurkan rakyat: Negara yang sukses dan maju adalah negara yang bisa membuat masyarakat bahagia secara umum dari sisi ekonomi dan sosial kemasyarakatan.
Melaksanakan ketertiban: Untuk menciptakan suasana dan lingkungan yang kondusif dan damani diperlukan pemeliharaan ketertiban umum yang didukung penuh oleh masyarakat.
Pertahanan dan keamanan: Negara harus bisa memberi rasa aman serta menjaga dari segala macam gangguan dan ancaman yang datang dari dalam maupun dari luar.
Menegakkan keadilan: Negara membentuk lembaga-lembaga peradilan sebagai tempat warganya meminta keadilan di segala bidang kehidupan.
Asal mulanya terjadi negara dapat juga dilihat berdasarkan pendekatan teoritis, antara lain :
Teori Ketuhanan, negara terjadi atas kehendak Tuhan, nampak pada UUD nya atas berkat Tuhan Yang Maha Esa, penganutnya adalah Agustinus, Yulius Stahi, Haller, Kranenburg dan Thomas Aquinas.
Teori Perjanjian Masyarakat, negara terjadi karena adanya perjanjian masyarakat yang mengikat diri untuk mendirikan suatu organisasi yang bisa melindungai dan menjamin kelangsungan hidup bersama. Penganutnya adalah Thomas Hobbes, John Locke, JJ Rousseau dan Montesquieu
Teori Kekuasaan, negara terjadi karena adanya kekuasaan yang paling kuat. Penganut teori ini adalah H.J. Laski, L. Duguit, Karl Marx, Oppenheimer dan Kollikles.
Teori Hukum Alam, negara terjadi karena kehendak alam yang merupakan lembaga alamiah yang diperlukan manusia untuk menyelenggarakan kepentingan umum. Penganut teori ini adalah Plato, Aristoteles, Agustinus dan Thomas Aquino.
Pada dasarnya negara mempunyai tujuan masing-masing, namun tujuan akhirnya sama yaitu menciptakan kebahagian pada rakyatnya.
Negara Kesatuan (Unitaris)
Negara Kesatuan adalah negara bersusunan tunggal, yakni kekuasaan untuk mengatur seluruh daerahnya ada di tangan pemerintah pusat. Pemerintah pusat memegang kedaulatan sepenuhnya, baik ke dalam maupun ke luar. Hubungan antara pemerintah pusat dengan rakyat dan daerahnya dapat dijalankan secara langsung. Dalam negara kesatuan hanya ada satu konstitusi, satu kepala negara, satu dewan menteri (kabinet), dan satu parlemen. Demikian pula dengan pemerintahan, yaitu pemerintah pusatlah yang memegang wewenang tertinggi dalam segala aspek pemerintahan. Ciri utama negara kesatuan adalah supremasi parlemen pusat dan tiadanya badan-badan lain yang berdaulat.
Negara Serikat (Federasi)
Negara Serikat adalah negara bersusunan jamak, terdiri atas beberapa negara bagian yang masing-masing tidak berdaulat. Kendati negara-negara bagian boleh memiliki konstitusi sendiri, kepala negara sendiri, parlemen sendiri, dan kabinet sendiri, yang berdaulat dalam negara serikat adalah gabungan negara-negara bagian yang disebut negara federal.
Setiap negara bagian bebas melakukan tindakan ke dalam, asal tak bertentangan dengan konstitusi federal. Tindakan ke luar (hubungan dengan negara lain) hanya dapat dilakukan oleh pemerintah federal.
Dalam praktik kenegaraan, jarang dijumpai sebutan jabatan kepala negara bagian (lazimnya disebut gubernur negara bagian). Pembagian kekuasaan antara pemerintah federal dengan negara bagian ditentukan oleh negara bagian, sehingga kegiatan pemerintah federal adalah hal ikhwal kenegaraan selebihnya (residuary power).
Negara Monarki dan Negara Tirani
Monarki berasal dari kata ‘monarch’ yang berarti raja, yaitu jenis kekuasaan politik di mana raja atau ratu sebagai pemegang kekuasaan dominan negara (kerajaan). Para pendukung monarki biasanya mengajukan pendapat bahwa jenis kekuasaan yang dipegang oleh satu tangan ini lebih efektif untuk menciptakan suatu stabiltas atau konsensus di dalam proses pembuatan kebijakan. Perdebatan yang bertele-tele, pendapat yang beragam, atau persaingan antarkelompok menjadi relatif terkurangi oleh sebab cuma ada satu kekuasaan yang dominan.
Negara-negara yang menerapkan jenis kekuasaan monarki hingga saat ini adalah Inggris, Swedia, Denmark, Belanda, Norwegia, Belgia, Luxemburg, Jepang, Muangthai, dan Spanyol. Di negara-negara ini, monarki menjadi instrumen pemersatu yang cukup efektif, misalnya sebagai simbol persatuan antar berbagai kelompok yang ada di tengah masyarakat. Kita perhatikan negara yang modern dan maju seperti Inggris dan Jepang pun masih menerapkan sistem monarki.
Namun, di negara-negara ini, penguasa monarki harus berbagi kekuasaan dengan pihak lain, terutama parlemen. Proses berbagi kekuasaan tersebut dikukuhkan lewat konstitusi (Undang-undang Dasar), dan sebab itu, monarki di era negara-negara modern sesungguhnya bukan lagi absolut melainkan bersifat monarki konstitusional. Bahkan, kekuasaannya hanya bersifat simbolik (sekadar kepala negara) ketimbang amat menentukan praktek pemerintahan sehari-hari (kepala pemerintahan). Di ke-10 negara monarki yang telah disebut di atas, pihak yang relatif lebih berkuasa untuk menentukan jalannya pemerintahan adalah parlemen dengan perdana menteri sebagai kepala pemerintahannya.
Jenis monarki lainnya yang kini masih ada adalah Arab Saudi. Negara ini berupa kerajaan dan raja adalah sekaligus kepala negara dan pemerintahan. Kekuasaan raja tidak dibatasi secara konstitusional, tidak ada partai politik dan oposisi di sana. Pola kekuasaan di Arab Saudi juga dikenal sebagai dinasti (Dinasti al-Saud), di mana pewaris raja adalah keturunannya.
Bentuk pemerintahan yang buruk di dalam satu tangan adalah Tirani. Tiran-tiran kejam yang pernah muncul dalam sejarah politik dunia misalnya Kaisar Nero, Caligula, Hitler, atau Stalin. Meskipun Hitler atau Stalin memerintah di era negara modern, tetapi jenis kekuasaan yang mereka jalankan pada hakekatnya terkonsentrasi pada satu tangan, di mana keduanya sama sekali tidak mau membagi kekuasaan dengan pihak lain, dan kerap kali bersifat kejam baik terhadap rakyat sendiri maupun lawan politik.
Negara Monarki dan Aristokrasi
Dalam jenis kekuasaan monarki, raja atau ratu biasanya bergantung pada dukungan yang diberikan oleh para penasihat dan birokrat. Jika kekuasaan lebih banyak ditentukan oleh orang-orang ini (penasihat dan birokrat) maka jenis kekuasaan tidak lagi berada pada satu orang (mono) melainkan beberapa (few).
Aristokrasi sendiri merupakan pemerintahan oleh sekelompok elit (few) dalam masyarakat, di mana mereka ini mempunyai status sosial, kekayaan, dan kekuasaan politik yang besar. Ketiga hal ini dinikmati secara turun-temurun (diwariskan), menurun dari orang tua kepada anak. Jenis kekuasaan aristokrasi ini disebut pula sebagai jenis kekuasaan kaum bangsawan (aristokrasi).
Biasanya, di mana ada kelas aristokrat yang dominan secara politik, maka di sana ada pula monarki. Namun, jenis kekuasaan oleh beberapa orang ini —aristokrasi— tidak bertahan lama, oleh sebab orang-orang yang orang tuanya bukan bangsawan pun bisa duduk mempengaruhi keputusan politik negara asalkan mereka berprestasi, kaya, berpengaruh, dan cerdik. Jika kenyataan ini terjadi, yaitu peralihan dari kekuasaan para bangsawasan ke kelompok non-bangsawan, maka hal tersebut dinyatakan sebagai peralihan atau pergeseran dari aristokrasi menuju oligarki.
Negara Demokrasi dan Negara Mobokrasi
Jika kekuasaan dipegang oleh seluruh rakyat, bukan oleh mono atau few, maka kekuasaan tersebut dinamakan demokrasi. Di dalam sejarah politik, jenis kekuasaan demokrasi yang dikenal terdiri dari dua kategori. Kategori pertama adalah demokrasi langsung (direct democracy) dan demokrasi perwakilan (representative democracy).
Demokrasi langsung berarti rakyat memerintah dirinya secara langsung, tanpa perantara. Salah satu pendukung demokrasi langsung adalah Jean Jacques Rousseau, di mana Rousseau ini mengemukakan 4 kondisi yang memungkinkan bagi dilaksanakannya demokrasi langsung yaitu :
Jumlah warganegara harus kecil.
Pemilikan dan kemakmuran harus dibagi secara merata (hampir merata).
Masyarakat harus homogen (sama) secara budaya.
Terpenuhi di dalam masyarakat kecil yang bermata pencaharian pertanian.
Di dalam demokrasi langsung, memang kedaulatan rakyat lebih terpelihara oleh sebab kekuasaannya tidak diwakilkan. Semua warganegara ikut terlibat di dalam proses pengambilan keputusan, tanpa ada yang tidak ikut serta. Namun, di zaman pelaksanaan demokrasi langsung sendiri, yaitu di masa negara-kota Yunani Kuno, ada beberapa kelompok masyarakat yang tidak diizinkan untuk ikut serta di dalam proses demokrasi langsung yaitu: budak, perempuan, dan orang asing.
Dengan alasan kelemahan demokrasi langsung, terutama oleh ketidakrealistisannya untuk diberlakukan dalam keadaan negara modern, maka demokrasi yang saat ini dikembangkan adalah demokrasi perwakilan. Di dalam demokrasi perwakilan, tetap rakyat yang memerintah. Namun, itu bukan berarti seluruh rakyat berbondong-bondong datang ke parlemen atau istana negara untuk memerintah atau membuat UU. Tentu tidak demikian.
Rakyat terlibat secara ‘total’ di dalam mekanisme pemilihan pejabat (utamanya anggota parlemen) lewat Pemilihan Umum periodik (misal: 4 atau 5 tahun sekali). Dengan memilih si anggota parlemen, rakyat tetap berkuasa untuk membuat UU, akan tetapi keterlibatan tersebut melalui si wakil. Wakil ini adalah orang yang mendapat delegasi wewenang dari rakyat. Di Indonesia, 1 orang wakil rakyat (anggota parlemen) kira-kira mewakili 300.000 orang pemilih.
Dengan demokrasi perwakilan, rakyat tidak terlibat secara penuh di dalam membuat UU negara. Misalnya saja, dari hampir 200 juta jiwa warganegara Indonesia, proses pemerintahan demokrasi di tingkat parlemen hanya dilakukan oleh 500 orang wakil rakyat yang duduk menjadi anggota DPR. Bandingkan kalau saja Indonesia menerapkan demokrasi langsung di mana 200 juta rakyat Indonesia duduk di parlemen. Kacau dan pasti memakan biaya mahal, bukan? Dengan kenyataan ini maka demokrasi perwakilan lebih praktis ketimbang demokrasi langsung.
Dalam demokrasi, baik langsung ataupun tidak langsung, keterlibatan rakyat menjadi tujuan utama penyelenggaraan negara. Masing-masing individu rakyat pasti ingin kepentinganyalah yang terlebih dahulu dipenuhi. Oleh sebab keinginan tersebut ingin didahulukan, dan pihak lain pun sama, dan jika hal ini berujung pada situasi chaos (kacau) bahkan perang (bellum omnium contra omnes — perang semua lawan semua), maka bukan demokrasi lagi namanya melainkan mobokrasi. Mobokrasi adalah bentuk buruk dari demokrasi, di mana rakyat memang berdaulat tetapi negara berjalan dalam situasi perang dan tidak ada satu pun kesepakatan dapat dibuat secara damai.
Dalam rangka perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maka dalam Perubahan Keempat pada tahun 2002, konsepsi Negara Hukum atau “Rechtsstaat” yang sebelumnya hanya tercantum dalam Penjelasan UUD 1945, dirumuskan dengan tegas dalam Pasal 1 ayat (3) yang menyatakan, “Negara Indonesia adalah Negara Hukum.” Dalam konsep Negara Hukum itu, diidealkan bahwa yang harus dijadikan panglima dalam dinamika kehidupan kenegaraan adalah hukum, bukan politik ataupun ekonomi. Karena itu, jargon yang biasa digunakan dalam bahasa Inggeris untuk menyebut prinsip Negara Hukum adalah ‘the rule of law, not of man’. Yang disebut pemerintahan pada pokoknya adalah hukum sebagai sistem, bukan orang per orang yang hanya bertindak sebagai ‘wayang’ dari skenario sistem yang mengaturnya.
Gagasan Negara Hukum itu dibangun dengan mengembangkan perangkat hukum itu sendiri sebagai suatu sistem yang fungsional dan berkeadilan, dikembangkan dengan menata supra struktur dan infra struktur kelembagaan politik, ekonomi dan social yang tertib dan teratur, serta dibina dengan membangun budaya dan kesadaran hukum yang rasional dan impersonal dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Untuk itu, sistem hukum itu perlu dibangun (law making) dan ditegakkan (law enforcing) sebagaimana mestinya, dimulai dengan konstitusi sebagai hukum yang paling tinggi kedudukannya. Untuk menjamin tegaknya konstitusi itu sebagai hukum dasar yang berkedudukan tertinggi (the supreme law of the land), dibentuk pula sebuah Mahkamah Konstitusi yang berfungsi sebagai ‘the guardian’ dan sekaligus ‘the ultimate interpreter of the constitution’.
Gagasan, cita, atau ide Negara Hukum, selain terkait dengan konsep ‘rechtsstaat’ dan ‘the rule of law’, juga berkaitan dengan konsep ‘nomocracy’ yang berasal dari perkataan ‘nomos’ dan ‘cratos’. Perkataan nomokrasi itu dapat dibandingkan dengan ‘demos’ dan ‘cratos’ atau ‘kratien’ dalam demokrasi. ‘Nomos’ berarti norma, sedangkan ‘cratos’ adalah kekuasaan. Yang dibayangkan sebagai faktor penentu dalam penyelenggaraan kekuasaan adalah norma atau hukum. Karena itu, istilah nomokrasi itu berkaitan erat dengan ide kedaulatan hukum atau prinsip hukum sebagai kekuasaan tertinggi. Dalam istilah Inggeris yang dikembangkan oleh A.V. Dicey, hal itu dapat dikaitkan dengan prinsip “rule of law” yang berkembang di Amerika Serikat menjadi jargon “the Rule of Law, and not of Man”. Yang sesungguhnya dianggap sebagai pemimpin adalah hukum itu sendiri, bukan orang. Dalam buku Plato berjudul “Nomoi” yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggeris dengan judul “The Laws”, jelas tergambar bagaimana ide nomokrasi itu sesungguhnya telah sejak lama dikembangkan dari zaman Yunani Kuno.
Di zaman modern, konsep Negara Hukum di Eropah Kontinental dikembangkan antara lain oleh Immanuel Kant, Paul Laband, Julius Stahl, Fichte, dan lain-lain dengan menggunakan istilah Jerman, yaitu “rechtsstaat’. Sedangkan dalam tradisi Anglo Amerika, konsep Negara hukum dikembangkan atas kepeloporan A.V. Dicey dengan sebutan “The Rule of Law”.
Menurut Julius Stahl, konsep Negara Hukum yang disebutnya dengan istilah ‘rechtsstaat’ itu mencakup empat elemen penting, yaitu:
Perlindungan hak asasi manusia.
Pembagian kekuasaan.
Pemerintahan berdasarkan undang-undang.
Peradilan tata usaha Negara.
Muhammad Tahir Azhary, dengan mengambil inspirasi dari sistem hukum Islam, mengajukan pandangan bahwa ciri-ciri nomokrasi atau Negara Hukum yang baik itu mengandung 9 (sembilan) prinsip, yaitu:
Prinsip kekuasaan sebagai amanah;
Prinsip musyawarah;
Prinsip keadilan;
Prinsip persamaan;
Prinsip pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia;
Prinsip peradilan yang bebas;
Prinsip perdamaian;
Prinsip kesejahteraan;
Prinsip ketaatan rakyat.
Dalam sistem konstitusi Negara kita, cita Negara Hukum itu menjadi bagian yang tak terpisahkan dari perkembangan gagasan kenegaraan Indonesia sejak kemerdekaan. Meskipun dalam pasal-pasal UUD 1945 sebelum perubahan, ide Negara hukum itu tidak dirumuskan secara eksplisit, tetapi dalam Penjelasan ditegaskan bahwa Indonesia menganut ide ‘rechtsstaat’, bukan ‘machtsstaat’. Dalam Konstitusi RIS Tahun 1949, ide negara hukum itu bahkan tegas dicantumkan. Demikian pula dalam UUDS Tahun 1950, kembali rumusan bahwa Indonesia adalah negara hukum dicantumkan dengan tegas.
Oleh karena itu, dalam Perubahan Ketiga tahun 2001 terhadap UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, ketentuan mengenai ini kembali dicantumkan tegas dalam Pasal 1 ayat (3) yang berbunyi: “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”. Kiranya, cita negara hukum yang mengandung 13 ciri seperti uraian di atas itulah ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 itu sebaiknya kita pahami.
Salah satu persyaratan diterimanya status sebuah negara adalah adanya unsur warganegara yang diatur menurut ketentuan hukum tertentu, sehingga warga negara yang bersangkutan dapat dibedakan dari warga dari negara lain. Pengaturan mengenai kewarganegaraan ini biasanya ditentukan berdasarkan salah satu dari dua prinsip, yaitu prinsip ‘ius soli’ atau prinsip ‘ius sanguinis’.
Warga Negara adalah warga suatu negara yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan (Pasal 1 angka 1 UU No. 12 Tahun 2006 ttg Kewarganegaraan Republik Indonesia). Sementara itu, kewarganegaraan adalah segala hal ihwal yang berhubungan dengan warga negara.
Yang dimaksud dengan ‘ius soli’ adalah prinsip yang mendasarkan diri pada pengertian hukum mengenai tanah kelahiran, sedangkan ‘ius sanguinis’ mendasarkan diri pada prinsip hubungan darah. Berdasarkan prinsip ‘ius soli’, seseorang yang dilahirkan di dalam wilayah hukum suatu negara, secara hukum dianggap memiliki status kewarganegaraan dari negara tempat kelahirannya itu.
Negara Amerika Serikat dan kebanyakan negara di Eropah termasuk menganut prinsip kewarganegaraan berdasarkan kelahiran ini, sehingga siapa saja yang dilahirkan di negara-negara tersebut, secara otomatis diakui sebagai warga negara. Oleh karena itu, sering terjadi warganegara Indonesia yang sedang bermukim di negara-negara di luar negeri, misalnya karena sedang mengikuti pendidikan dan sebagainya, melahirkan anak, maka status anaknya diakui oleh Pemerintah Amerika Serikat sebagai warga negara Amerika Serikat. Padahal kedua orangtuanya berkewarganegaraan Indonesia.
Dalam zaman keterbukaan seperti sekarang ini, kita menyaksikan banyak sekali penduduk suatu negara yang berpergian keluar negeri, baik karena direncanakan dengan sengaja ataupun tidak, dapat saja melahirkan anak-anak di luar negeri. Bahkan dapat pula terjadi, karena alasan pelayanan medis yang lebih baik, orang sengaja melahirkan anak di rumah sakit di luar negeri yang dapat lebih menjamin kesehatan dalam proses persalinan.
Dalam hal, negara tempat asal sesorang dengan negara tempat ia melahirkan atau dilahirkan menganut sistem kewarganegaraan yang sama, tentu tidak akan menimbulkan persoalan. Akan tetapi, apabila kedua negara yang bersangkutan memiliki sistem yang berbeda, maka dapat terjadi keadaan yang menyebabkan seseorang menyandang status dwi-kewarganegaraan (double citizenship) atau sebaliknya malah menjadi tidak berkewarganegaraan sama sekali (stateless).
Berbeda dengan prinsip kelahiran itu, di beberapa negara, dianut prinsip ‘ius sanguinis’ yang mendasarkan diri pada faktor pertalian seseorang dengan status orangtua yang berhubungan darah dengannya. Apabila orangtuanya berkewarganegaraan suatu negara, maka otomatis kewarganegaraan anak-anaknya dianggap sama dengan kewarganegaraan orangtuanya itu. Akan tetapi, sekali lagi, dalam dinamika pergaulan antar bangsa yang makin terbuka dewasa ini, kita tidak dapat lagi membatasi pergaulan antar penduduk yang berbeda status kewarganegaraannya.
Cara kedua untuk memperoleh status kewarganegaraan itu ditentukan melalui proses pewarganegaraan (naturalisasi). Melalui proses pewarganegaraan itu, seseorang dapat mengajukan permohonan kepada instansi yang berwenang, dan kemudian pejabat yang bersangkutan dapat mengabulkan permohonan tersebut dan selanjutnya menetapkan status yang bersangkutan menjadi warganegara yang sah.
Selain kedua cara tersebut, dalam berbagai literature mengenai kewarganegaraan, juga dikenal adanya cara ketiga, yaitu melalui registrasi. Cara ketiga ini dapat disebut tersendiri, karena dalam pengalaman seperti yang terjadi di Perancis yang pernah menjadi bangsa penjajah di berbagai penjuru dunia, banyak warganya yang bermukim di daerah-daerah koloni dan melahirkan anak dengan status kewarganegaraan yang cukup ditentukan dengan cara registrasi saja.
Dari segi tempat kelahiran, anak-anak mereka itu jelas lahir di luar wilayah hukum negara mereka secara resmi. Akan tetapi, karena Perancis, misalnya, menganut prinsip ‘ius soli’, maka menurut ketentuan yang normal, status kewarganegaraan anak-anak warga Perancis di daerah jajahan ataupun daerah pendudukan tersebut tidak sepenuhnya dapat langsung begitu saja diperlakukan sebagai warga negara Perancis. Akan tetapi, untuk menentukan status kewarganegaraan mereka itu melalui proses naturalisasi atau pewarganegaraan juga tidak dapat diterima. Karena itu, status kewarganegaraan mereka ditentukan melalui proses registrasi biasa. Misalnya, keluarga Indonesia yang berada di Amerika Serikat yang menganut prinsi ‘ius soli’, melahirkan anak, maka menurut hukum Amerika Serikat anak tersebut memperoleh status sebagai warga negara AS. Akan tetapi, jika orangtuanya menghendaki anaknya tetap berkewarganegaraan Indonesia, maka prosesnya cukup melalui registrasi saja.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa proses kewarganegaraan itu dapat diperoleh melalui tiga cara, yaitu: (i) kewarganegaraan karena kelahiran atau ‘citizenship by birth’, (ii) kewarganegaraan melalui pewarganegaraan atau ‘citizenship by naturalization’, dan (iii) kewarganegaraan melalui registrasi biasa atau ‘citizenship by registration’. Ketiga cara ini seyogyanya dapat sama-sama dipertimbangkan dalam rangka pengaturan mengenai kewarganegaraan ini dalam sistem hukum Indonesia, sehingga kita tidak membatasi pengertian mengenai cara memperoleh status kewarganegaraan itu hanya dengan cara pertama dan kedua saja sebagaimana lazim dipahami selama ini.
Kasus-kasus kewarganegaraan di Indonesia juga banyak yang tidak sepenuhnya dapat diselesaikan melalui cara pertama dan kedua saja. Sebagai contoh, banyak warganegara Indonesia yang karena sesuatu, bermukim di Belanda, di Republik Rakyat Cina, ataupun di Australia dan negara-negara lainnya dalam waktu yang lama sampai melahirkan keturunan, tetapi tetap mempertahankan status kewarganegaraan Republik Indonesia.
Keturunan mereka ini dapat memperoleh status kewarganegaraan Indonesia dengan cara registrasi biasa yang prosesnya tentu jauh lebih sederhana daripada proses naturalisasi. Dapat pula terjadi, apabila yang bersangkutan, karena sesuatu sebab, kehilangan kewarganegaraan Indonesia, baik karena kelalaian ataupun sebab-sebab lain, lalu kemudian berkeinginan untuk kembali mendapatkan kewarganegaraan Indonesia, maka prosesnya seyogyanya tidak disamakan dengan seorang warganegara asing yang ingin memperoleh status kewarganegaraan Indonesia.
Lagi pula sebab-sebab hilangnya status kewarganegaraan itu bisa saja terjadi karena kelalaian, karena alasan politik, karena alasan teknis yang tidak prinsipil, ataupun karena alasan bahwa yang bersangkutan memang secara sadar ingin melepaskan status kewarganegaraannya sebagai warganegara Indonesia. Sebab atau alasan hilangnya kewarganegaraan itu hendaknya dijadikan pertimbangan yang penting, apabila yang bersangkutan ingin kembali mendapatkan status kewarganegaraan Indonesia. Proses yang harus dilakukan untuk masing-masing alasan tersebut sudah semestinya berbeda-beda satu sama lain.
Yang pokok adalah bahwa setiap orang haruslah terjamin haknya untuk mendapatkan status kewarganegaraan, sehingga terhindar dari kemungkinan menjadi ‘stateless’ atau tidak berkewarganegaraan. Tetapi pada saat yang bersamaan, setiap negara tidak boleh membiarkan seseorang memilki dua status kewarganegaraan sekaligus. Itulah sebabnya diperlukan perjanjian kewarganegaraan antara negara-negara modern untuk menghindari status dwi-kewarganegaraan tersebut. Oleh karena itu, di samping pengaturan kewarganegaraan berdasarkan kelahiran dan melalui proses pewarganegaraan (naturalisasi) tersebut, juga diperlukan mekanisme lain yang lebih sederhana, yaitu melalui registrasi biasa.
Di samping itu, dalam proses perjanjian antar negara, perlu diharmonisasikan adanya prinsip-prinsip yang secara diametral bertentangan, yaitu prinsip ‘ius soli’ dan prinsip ‘ius sanguinis’ sebagaimana diuraikan di atas. Kita memang tidak dapat memaksakan pemberlakuan satu prinsip kepada suatu negara yang menganut prinsip yang berbeda. Akan tetapi, terdapat kecenderungan internasional untuk mengatur agar terjadi harmonisasi dalam pengaturan perbedaan itu, sehingga di satu pihak dapat dihindari terjadinya dwi-kewarganegaraan, tetapi di pihak lain tidak akan ada orang yang berstatus ‘stateless’ tanpa kehendak sadarnya sendiri. Karena itu, sebagai jalan tengah terhadap kemungkinan perbedaan tersebut, banyak negara yang berusaha menerapkan sistem campuran dengan tetap berpatokan utama pada prinsip dasar yang dianut dalam sistem hukum masing-masing.
Indonesia sebagai negara yang pada dasarnya menganut prinsip ‘ius sanguinis’, mengatur kemungkinan warganya untuk mendapatkan status kewarganegaraan melalui prinsip kelahiran. Sebagai contoh banyak warga keturunan Cina yang masih berkewarganegaraan Cina ataupun yang memiliki dwi-kewarganegaraan antara Indonesia dan Cina, tetapi bermukim di Indonesia dan memiliki keturunan di Indonesia. Terhadap anak-anak mereka ini sepanjang yang bersangkutan tidak berusaha untuk mendapatkan status kewarganegaraan dari negara asal orangtuanya, dapat saja diterima sebagai warganegara Indonesia karena kelahiran. Kalaupun hal ini dianggap tidak sesuai dengan prinsip dasar yang dianut, sekurang-kurangnya terhadap mereka itu dapat dikenakan ketentuan mengenai kewarganegaraan melalui proses registrasi biasa, bukan melalui proses naturalisasi yang mempersamakan kedudukan mereka sebagai orang asing sama sekali.
Dalam rangka pembaruan Undang-Undang Kewarganegaraan, berbagai ketentuan yang bersifat diskriminatif sudah selayaknya disempurnakan. Warga keturunan yang lahir dan dibesarkan di Indonesia sudah tidak selayaknya lagi diperlakukan sebagai orang asing. Dalam kaitan ini, kita tidak perlu lagi menggunakan istilah penduduk asli ataupun bangsa Indonesia asli seperti yang masih tercantum dalam penjelasan UUD 1945 tentang kewarganegaraan.
Dalam hukum Indonesia di masa datang, termasuk dalam rangka amandemen UUD 1945 dan pembaruan UU tentang Kewarganegaraan, atribut keaslian itu, kalaupun masih akan dipergunakan, cukup dikaitkan dengan kewarganegaraan, sehingga kita dapat membedakan antara warganegara asli dalam arti sebagai orang yang dilahirkan sebagai warganegara (natural born citizen), dan orang yang dilahirkan bukan sebagai warganegara Indonesia.
Orang yang dilahirkan dalam status sebagai warganegara Republik Indonesia itu di kemudian hari dapat saja berpindah menjadi warganegara asing. Tetapi, jika yang bersangkutan tetap sebagai warganegara Indonesia, maka yang bersangkutan dapat disebut sebagai ‘Warga Negara Asli’. Sebaliknya, orang yang dilahirkan sebagai warganegara asing juga dapat berubah di kemudian hari menjadi warganegara Indonesia, tetapi yang kedua ini tidak dapat disebut sebagai ‘Warga Negara Asli’.
Dengan sendirinya, apabila hal ini dikaitkan dengan ketentuan Pasal 6 ayat (1) tentang calon Presiden yang disyaratkan orang Indonesia asli haruslah dipahami dalam konteks pengertian ‘Warga Negara Indonesia’ asli tersebut, sehingga elemen diskriminatif dalam hukum dasar itu dapat hilang dengan sendirinya. Artinya, orang yang pernah menyandang status sebagai warganegara asing sudah sepantasnya dianggap tidak memenuhi syarat untuk dicalonkan sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia.
Dengan demikian, dalam rangka amandemen UUD 1945 dan pembaruan UU tentang Kewarganegaraan konsep hukum mengenai kewarganegaraan asli dan konsep tentang tata cara memperoleh status kewarganegaraan yang meliputi juga mekanisme registrasi seperti tersebut di atas, dapat dijadikan bahan pertimbangan yang pokok. Dengan begitu asumsi-asumsi dasar yang bersifat diskriminatif berdasarkan rasa dan etnisitas sama sekali dihilangkan dalam penyusunan rumusan hukum di masa-masa yang akan datang sesuai dengan semangat untuk memajukan hak asasi manusia di era reformasi dewasa ini.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Daud Busro dan Abu Bakar Busro, Azas-azas Hukum Tata Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta 1985
Azyumardi Azra dan Komaruddin Hidayat, Pendidikan Kewargaan (Civic Education), Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, Kencana Prenada Media Group, 2008
Laica Marzuki, Berjalan-jalan Diranah hukum, Pikiran Lepas Laica Marzuki, Jilid Kesatu, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, 2006
Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia
http://jajusuf.blogspot.com/2011/03/warga-negara.html
http://pmiikomfaksyahum.wordpress.com/2007/10/27/warganegara-dan-kewarganegaraan/