Warga negara merupakan orang-orang yang menjadi unsur negara. Pada masa dulu, warga negara disebut dengan istilah hamba atau kawula negara. Akan tetapi, istilah warga negara lebih sesuai dengan kedudukannya sebagai orang merdeka dibandingkan hamba atau kawula negara. Warga negara mengandung arti peserta, anggota, atau warga dari sebuah negara, yakni peserta dari suatu persekutuan yang didirikan dengan kekuatan bersama, atas dasar tanggung jawab bersama dan untuk kepentingan bersama. Untuk itu, setiap warga negara mempunyai persamaan hak di hadapan hukum. Semua warga negara memiliki kepastian hak, privasi, dan tanggung jawab.
Sejalan dengan definisi di atas, A.S. Hikam pun mendefinisikan bahwa warga negara atau citizenship adalah anggota dari sebuah komunitas yang membentuk negara itu sendiri. Istilah warga negara menurutnya lebih baik ketimbang menggunakan kawula negara, karena kawula negara betul-betul berarti hanya sebagai objek atau milik negara.
Koerniatmo S. mendefinisikan warga negara adalah anggota negara. Sebagai anggota negara, seorang warga negara mempunyai kedudukan yang khusus terhadap negaranya. Ia mempunyai hubungan hak dan kewajiban yang bersifat timbal balik terhadap negaranya.
Adapun dalam konteks Indonesia, istilah warga negara (sesuai dengan UUD 1945 pasal 26) dimaksudkan untuk bangsa Indonesia asli dan bangsa lain yang disahkan undang-undang sebagai warga negara. Dalam penjelasan UUD 1945 pasal 26 ini, dinyatakan bahwa orang-orang bangsa lain, misalnya orang peranakan Belanda, peranakan Cina, peranakan Arab, yang bertempat di Indonesia, mengakui Indonesia sebagai tanah airnya dan bersikap setia kepada Negara Republik Indonesia dapat menjadi warga negara.
Sebagaimana dijelaskan di muka bahwa warga negara merupakan anggota sebuah negara yang mempunyai tanggung jawab dan hubungan timbal balik terhadap negaranya. Seseorang yang diakui sebagai warga negara dalam suatu negara haruslah ditentukan berdasarkan ketentuan yang telah disepakati dalam negara tersebut. Ketentuan itu menjadi asas atau pedoman untuk menentukan status kewarganegaraan seseorang. Setiap negara mempunyai kebebasan dan kewenangan untuk menentukan asas kewarganegaraan seseorang.
Terdapat dua pedoman dalam menerapkan asas kewarganegaraan ini, yaitu asas kewarganegaraan berdasarkan kelahiran dan asas kewarganegaraan berdasarkan perkawinan. Berdasarkan sisi kelahiran, ada dua asas kewarganegaraan yang sering dijumpai, yaitu sisi ius soli (tempat kelahiran) dan ius sanguinis (keturunan). Sementara itu, dari sisi perkawinan dikenal asas kesatuan hukum dan asas persamaan derajat.
Dari sisi kelahiran
Pada umumnya, penentuan kewarganegaraan berdasarkan sisi kelahiran seseorang dikenal dengan dua asas kewarganegaraan, yaitu ius soli dan ius sanguinis. Kedua istilah tersebut berasal dari bahasa Latin. Ius berarti hukum, dalil, atau pedoman, sementara soli berasal dari kata solum yang berarti negeri, tanah atau daerah. Adapun kata sanguinis berarti darah. Dengan demikian, ius soli berarti pedoman kewarganegaraan yang berdasarkan tempat atau daerah kelahiran, sedangkan ius sanguinis adalah pedoman kewarganegaraan berdasarkan darah atau keturunan.
Jika sebuah negara menganut asas ius soli, maka seseorang yang dilahirkan di negara tersebut, mendapatkan hak sebagai warga negara. Begitu pula dengan asas ius sanguinis. Sebuah negara yang menganut asas ius sanguinis maka seseorang yang dilahirkan dari orang tua yang memiliki kewarganegaraan suatu negara, Indonesia misalnya, anak tersebut berhak mendapatkan status kewarganegaraan orang tuanya, yakni warga negara Indonesia.
Pada awalnya asas kewarganegaraan berdasarkan kelahiran ini hanya ius soli saja. Hal ini didasarkan atas anggapan bahwa seseorang yang dilahirkan di suatu wilayah negara, maka otomatis dan logis ia menjadi warga negara tersebut. Akan tetapi, dengan semakin tingginya tingkat mobilitas manusia, diperlukan suatu asas lain yang tidak hanya berpatokan pada tempat kelahiran saja. Selain itu, kebutuhan terhadap asas lain ini juga berdasarkan realitas empiris bahwa ada orang tua yang memiliki status kewarganegaraan yang berbeda. Hal ini akan bermasalah jika kemudian orang tua tersebut melahirkan anak di tempat salah satu orang tuanya (misalnya, di tempat ibunya). Jika tetap menganut asas ius soli maka si anak hanya mendapatkan status kewaarganegaraan ibunya saja, sementara ia tidak berhak atas status kewarganegaraan bapaknya. Atas dasar itulah, asas ius sanguinis dimunculkan sehingga si anak dapat memiliki status kewarganegaraan bapaknya.
Dari sisi perkawinan
Selain hukum kewarganegaraan berdasarkan kelahiran, kewarganegaraan seseorang juga dapat dilihat dari sisi perkawinan yang mencakup asas kesatuan hukum dan asas kesatuan persamaan derajat. Asas Kesatuan hukum berdasarkan paradigma bahwa suami istri ataupun ikatan keluarga merupakan inti masyarakat yang menciptakan suasana sejahtera, sehat, dan tidak terpecah. Dalam menyelenggarakan kehidupan bermasyarakatnya, suami istri ataupun keluarga yang baik perlu mencerminkan adanya suatu kesatuan yang bulat.
Untuk merealisasikan kesatuan dalam keluarga atau suami istri, maka semuanya harus tunduk pada hukum yang sama. Dengan adanya kesamaan pemahaman dan komitmen menjalankan kebersamaan atas dasar hukum yang sama tersebut, adanya kewarganegaraan yang sama, sehingga tidak ada yang dapat mengganggu kebutuhan dan kesejahteraan keluarga.
Adapun dalam asas persamaan derajat, ditentukan bahwa suatu perkawinan tidak menyebabkan perubahan status kewarganegaraan dari masing-masing pihak. Baik suami maupun istri, tetap berkewarganegaraan asal. Dengan kata lain, sekalipun telah menjadi suami istri, mereka tetap memiliki status kewarganegaraan sendiri, sama halnya ketika mereka belum menikah.
Asas ini dapat menghindari terjadinya penyelundupan hukum. Misalnya, seseorang yang ingin memperoleh status kewarganegaraan suatu negara dengan berpura-pura melakukan pernikahan dengan wanita di negara tersebut. Setelah memperoleh kewarganegaraan sesuai keinginannya, selanjutnya ia menceraikan istrinya tersebut. Untuk menghindari penyelundupan hukum semacam ini, banyak negara yang menggunakan asas persamaan derajat dalam peraturan kewarganegaraannya.
Unsur darah keturunan (ius sanguinis)
Kewarganegaraan dari orang tua yang menurunkannya menentukan kewarganegaraan seseorang, artinya kalau orang dilahirkan dari orang tua berkewarganegaraan Indonesia, ia dengan sendirinya juga warga negara Indonesia. Prinsip ini adalah prinsip asli yang telah berlaku sejak dahulu, yang terbukti dalam sistem kesukuan, di mana anak dari anggota suatu suku dengan sendirinya dianggap sebagai anggota suku itu. Sekarang prinsip ini berlaku di Belanda, Indonesia, Inggris, Jerman, Korea Selatan, Filipina, Portugal, Spanyol, Turki, dan Yunani.
Unsur daerah tempat kelahiran (ius soli)
Daerah tempat seseorang dilahirkan menentukan kewarganegaraan. Misalnya, orang yang dilahirkan di dalam daerah hukum Indonesia, ia dengan sendirinya menjadi warga negara Indonesia. Terkecuali anggota-anggota korps diplomatik dan anggota tentara asing yang masih dalam ikatan dinas. Negara yang menganut asas ius soli ialah Argentina, Meksiko, Brasil, Kanada, Jamaika, dan Amerika Serikat.
Unsur pewarganegaraan (naturalisasi)
Orang asing pun dapat memperoleh kewarganegaraan atau naturalisasi setelah memenuhi syarat yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Persyaratan dan prosedur pewarganegaraan di berbagai negara sedikit-banyak dapat berlainan, menurut kebutuhan yang dibawakan oleh kondisi dan situasi negara masing-masing.
Dalam hal pewarganegaraan ini, ada yang aktif tetapi ada pula yang pasif. Dalam pewarganegaraan aktif, seseorang dapat menggunakan hak opsi untuk memilih atau mengajukan kehendak menjadi warganegara dari sesuatu negara. Adapun dalam pewarganegaraan pasif, seseorang yang tidak mau menjadi warga negara oleh suatu negara, maka yang bersangkutan dapat menggunakan hak repudiasi, yaitu hak untuk menolak pemberian kewarganegaraan tersebut.
Membicarakan status kewarganegaraan seseorang dalam sebuah negara, mencakup pembahasan tentang beberapa persoalan yang berkenaan dengan seseorang yang dinyatakan sebagai warga negara dan bukan warga negara. Jika diamati dan dianalisis, di antara penduduk sebuah negara, ada yang merupakan bukan warga negara (orang asing) di negara tersebut. Dalam hal ini, dikenal dengan apatride, bipatride, dan multi- patride.
Apatride merupakan istilah untuk orang-orang yang tidak mempunyai status kewarganegaraan. Bipatride merupakan istilah yang digunakan untuk orang-orang yang memiliki status kewarganegaraan rangkap atau dengan istilah lain dikenal dengan dwikewarganegaraan. Sementara yang dimaksud multipatride adalah istilah yang digunakan seseorang yang memiliki lebih dari dua kewarganegaraan.
Kasus orang-orang yang tidak memiliki status kewarganegaraan, merupakan sesuatu yang akan mempersulit orang tersebut dalam konteks menjadi penduduk pada suatu negara. Mereka dianggap sebagai warga asing, yang tentunya akan berlaku ketentuan peraturan perundang-undangan bagi orang asing, yang segala kegiatannya akan terbatasi, juga setiap tahunnya diharuskan membayar sejumlah uang pendaftaran sebagai orang asing.
Kasus kewarganegaraan dengan kelompok bipatride, dalam realitas empirisnya, merupakan kelompok status hukum yang tidak baik karena dapat mengacaukan keadaan kependudukan kedua negara. Itulah sebabnya, tiap negara dalam menghadapi masalah bipatride dengan tegas mengharuskan orang-orang yang terlibat untuk memilih salah satu kewarganegaraannya.
Kondisi seseorang dengan status berdwikewarganegaraan sering terjadi pada penduduk yang tinggal di daerah perbatasan antara dua negara. Dalam hal ini, diperlukan peraturan atau ketentuan mengenai perbatasan serta wilayah teritorial sehingga penduduk di daerah itu mendapat kejelasan tentang kewarganegaraannya.
Suatu tatanan masyarakat yang demokratis dan berkeadaban dapat terwujud jika setiap warga negara memiliki karakter atau jiwa yang demokratis pula. Ada beberapa karakteristik bagi warga negara yang disebut sebagai demokrat, antara lain sebagai berikut.
Rasa hormat dan tanggung jawab
Warga negara yang demokratis hendaknya memiliki rasa hormat antarwarga negara, terutama dalam konteks pluralitas masyarakat Indonesia yang terdiri atas berbagai etnis, suku, ras, keyakinan, agama, dan ideologi politik. Selain itu, seorang warga negara pun harus dituntut untuk turut bertanggung jawab menjaga keharmonisan hubungan antaretnis serta keteraturan dan ketertiban negara yang berdiri di atas pluralitas.
Bersikap kritis
Warga negara yang demokrat selalu bersikap kritis, baik terhadap kenyataan empiris (realitas sosial, budaya, dan politik) maupun terhadap kenyataan supraempiris (agama, mitologi, kepercayaan). Sikap kritis juga harus ditunjukkan pada diri sendiri yang disertai sikap kritis terhadap pendapat yang berbeda. Tentu saja sikap kritis ini harus didukung oleh sikap yang bertanggung jawab terhadap apa yang dikritisi.
Membuka diskusi dan dialog
Perbedaan pendapat dan pandangan serta perilaku merupakan realitas empiris yang pasti terjadi di tengah komunitas warga negara, apalagi di tengah komunitas masyarakat yang plural dan multietnik. Konflik yang ditimbulkan dari perbedaan tersebut dapat diminimalisasi antara lain dengan cara membuka ruang untuk berdiskusi dan berdialog. Jadi, sikap membuka diri untuk dialog dan diskusi merupakan salah satu ciri sikap warga negara yang demokrat.
Bersikap terbuka
Sikap terbuka merupakan bentuk penghargaan terhadap kebebasan sesama manusia, termasuk rasa menghargai terhadap hal-hal yang tidak biasa atau baru serta pada hal-hal yang mungkin asing. Sikap terbuka yang didasarkan atas kesadaran pluralisme dan keterbatasan diri melahirkan kemampuan untuk menahan diri dan tidak secepatnya menjatuhkan penilaian dan pilihan.
Rasional
Bagi warga negara yang demokrat, memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan secara bebas dan rasional merupakan sesuatu hal yang harus dilakukan. Keputusan yang diambil secara rasional mengantarkan sikap logis yang ditampilkan oleh warga negara. Sebaliknya, sikap dan keputusan yang diambil secara tidak rasional membawa implikasi emosional dan cenderung egois. Permasalahan yang terjadi di lingkungan warga negara, persoalan politik, sosial, budaya, dan sebagainya sebaiknya dilakukan dengan keputusan yang rasional.
Adil
Sebagai warga negara yang demokrat, tidak ada tujuan baik yang patut diwujudkan dengan cara-cara yang tidak adil. Penggunaan cara-cara yang tidak adil merupakan bentuk pelanggaran hak asasi dari orang yang diperlukan tidak adil. Dengan semangat keadilan maka tujuan bersama bukanlah suatu yang didiktekan melainkan ditawarkan. Mayoritas suara bukanlah diatur, tapi diperoleh.
Jujur
Sikap dan sifat yang jujur haruslah dimiliki oleh setiap warga negara. Kejujuran merupakan kunci bagi terciptanya keselarasan dan keharmonisan hubungan antarwarga negara. Sikap jujur bisa diterapkan di segala sektor, politik, sosial, dan sebagainya. Kejujuran politik adalah bahwa kesejahteraan warga negara merupakan tujuan yang ingin dicapai, yaitu kesejahteraan dari masyarakat yang memilih para politisi. Ketidakjujuran politik adalah seorang pilitisi mencari keuntungan bagi diri sendiri atau mencari keuntungan bagi partainya, karena partai itu penting bagi kedudukannya.
Beberapa karakteristik warga negara yang demokrat tersebut merupakan sikap dan sifat yang seharusnya melekat pada seorang warga negara. Hal ini menampilkan sosok warga negara yang otonom, yakni mampu memengaruhi dan berpartisipasi dalam pengambilan keputusan di tingkat lokal secara mandiri. Sebagai warga negara yang otonom, dia mempunyai karakteristik lanjutan sebagai berikut.
Memiliki kemandirian. Mandiri berarti tidak mudah dipengaruhi, teguh pendirian, dan bersikap kritis pada segenap keputusan publik.
Memiliki tanggung jawab pribadi, politik, dan ekonomi sebagai warga negara, khususnya di lingkungan masyarakat yang terkecil seperti RT, RW, desa atau juga di lingkungan sekolah dan perguruan tinggi.
Menghargai martabat manusia dan kehormatan pribadi. Menghargai berarti menghormati hak-hak asasi dan privasi pribadi setiap orang tanpa membedakan ras, warna kulit, golongan ataupun warga negara yang lain.
Berpartisipasi dalam urusan kemasyarakatan dengan pikiran dan sikap yang santun. Warga negara yang otonom secara efektif mampu memengaruhi dan berpartisipasi dalam pengambilan kebijakan pada level sosial yang paling kecil dan lokal, misalnya dalam rapat kepanitiaan dan pertemuan rukun warga, termasuk juga mengawasi kinerja dan kebijakan parlemen dan pemerintah.
Mendorong berfungsinya demokrasi konstitusional yang sehat. Tidak ada demokrasi tanpa aturan hukum dan konstitusi, demokrasi menjadi anarki. Karena itu warga negara yang otonom harus melakukan tiga hal untuk mewujudkan demokrasi konstitusional:
menciptakan kultur taat hukum yang sehat dan aktif (culture of law);
ikut mendorong proses pembuatan hukum yang aspiratif (process of law making);
mendukung pembuatan materi-materi hukum yang responsif (content of law);
ikut menciptakan aparat penegak hukum yang jujur dan bertanggung jawab (structule of law).
Pemahaman hakikat demokrasi terlebih dahulu diawali dengan pengertian demokrasi serta nilai yang terkandung di dalamnya. Demokrasi secara etimologis terdiri atas dua kata yang berasal dari bahasa Yunani, yaitu demos yang berarti rakyat atau penduduk suatu tempat dan cratein atau cratos berarti kekuasaan atau kedaulatan. Jadi, demokrasi adalah kekuasaan atau kedaulatan rakyat, kekuasaan tertinggi berada dalam keputusan rakyat. Berikut ini beberapa pendapat ahli mengenai demokrasi.
Menurut Joseph, demokrasi merupakan suatu perencana institusional untuk mencapai keputusan politik di mana individu-individu memperoleh kekuasaan dengan cara perjuangan kompetitif atas suara rakyat.
Menurut Sidney Hook, demokrasi merupakan bentuk pemerintahan di mana keputusan-keputusan pemerintah yang penting secara langsung atau tidak langsung didasarkan pada kesepakatan mayoritas yang diberikan secara bebas dari rakyat dewasa.
Menurut Philipe, demokrasi merupakan suatu sistem pemerintahan di mana pemerintah dimintai tanggung jawab atas tindakan-tindakan mereka di wilayah publik oleh negara, yang bertindak secara tidak langsung melalui kompetisi dan kerja sama dengan para wakil mereka yang telah dipilih.
Dari pendapat para ahli di atas terdapat benang merah atau titik singgung bahwa pengertian demokrasi yaitu rakyat sebagai pemegang kekuasaan, pembuat dan penentu keputusan serta kebijakan tertinggi dalam penyelenggaraan negara dan pemerintahan, serta pengontrol terhadap pelaksanaan kebijakan pemerintah yang dilakukan rakyat secara langsung atau melalui perwakilannya. Karena itu, negara yang menganut sistem demokrasi diselenggarakan berdasarkan kehendak dan kemauan rakyat mayoritas serta tidak mengesampingkan kaum minoritas. Untuk membangun suatu masyarakat yang demokratis (adil, egaliter, dan manusiawi) maka setiap warga negara haruslah memiliki karakter atau jiwa yang demokratis pula.
Pada umumnya ada dua kelompok warga negara dalam suatu negara, yakni warga negara yang memperoleh status kewarganegaraan stelsel pasif atau dikenal juga dengan warga negara by operation of law dan warga negara yang memperoleh status kewarganegaraannya melalui stelse aktif atau dikenal dengan by registration.
Dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 62/1958 bahwa ada tujuh cara memperoleh kewarganegaraan Indonesia, yaitu: kelahiran, pengangkatan, dikabulkannya permohonan, pewarganegaraan, perkawinan, turut ayah dan atau ibu, dan pernyataan.
Untuk memperoleh status kewarganegaraan Indonesia, diperlukan bukti-bukti sebagai berikut (berdasarkan Undang-Undang Nomor 62/1958):
Surat bukti kewarganegaraan untuk mereka yang memperoleh kewarganegaraan Indonesia karena kelahiran adalah dengan akta kelahiran.
Surat bukti kewarganegaraan untuk mereka yang memperoleh kewarganegaraan Indonesia karena pengangkatan adalah kutipan pernyataan sah buku catatan pengangkatan anak asing dan peraturan pemerintah Nomor 67/1958, sesuai dengan Surat Edaran Menteri Kehakiman Nomor JB.3/2/25, butir 6, tanggal 5 Januari 1959.
Surat bukti kewarganegaraan untuk mereka yang memperoleh kewarganegaraan Indonesia karena dikabulkannya permohonan adalah petikan keputusan presiden tentang permohonan tersebut (tanpa pengucapan sumpah dan janji setia).
Surat bukti kewarganegaraan untuk mereka yang memeperoleh kewarganegaraan Indonesia karena pernyataan adalah sebagaimana diatur dalam Surat Edaran Menteri Kehakiman Nomor JB./116/22, tanggal 30 September 1958 tentang memperoleh/kehilangan kewarganegaraan Republik Indonesia dengan pernyataan.
Warga negara secara umum adalah anggota negara yang mempunyai kedudukan khusus terhadap negaranya. Ia mempunyai hubungan hak dan kewajiban yang bersifat timbal balik terhadap negaranya. Berdasarkan pada pengertian tersebut, maka adanya hak dan kewajiban warga negara terhadap negaranya merupakan sesuatu yang niscaya ada.
Dalam hal ini, hak warga negara terhadap negara telah diatur dalam UndangUndang Dasar 1945 dan peraturan lainnya yang merupakan derivasi dari hak-hak umum yang digariskan dalam UUD 1945. Di antara hak-hak warga negara yang dijamin dalam UUD adalah Hak Asasi Manusia yang rumusan lengkapnya tertuang dalam pasal 28 UUD Perubahan Kedua. Pasal ini memuat hak-hak asasi yang melekat di setiap individu warga negara, seperti hak kebebasan dan hak beribadat sesuai dengan kepercayaan, bebas untuk berserikat dan berkumpul (pasal 28E), hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, hak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja, hak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan, hak atas status kewarganegaraan (pasal 28E).
Contoh kewajiban setiap warga negara antara lain kewajiban membayar pajak sebagai kontrak utama antara negara dan warga, membela tanah air (pasal 27E), membela pertahanan dan keamanan negara (pasal 29E), serta menghormati hak asasi orang lain dan mematuhi pembatasan yang tertuang dalam peraturan (pasal 28E). Prinsip utama dalam penentuan hak dan kewajiban warga adalah terlibatnya warga (langsung atau perwakilan) dalam setiap perumusan hak dan kewajiban tersebut sehingga warga sadar dan menganggap hak dan kewajiban tersebut sebagai bagian dari kesepakatan yang mereka buat sendiri.
Dalam UUD 1945 Bab X tentang warga negara, telah diamanatkan pada pasal 26, 27, 28, dan 30 sebagai berikut.
Pasal 26 ayat (1), yang menjadi warga negara adalah orang- orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undangundang sebagai warga negara. Pada ayat (2) bahwa syarat-syarat mengenai kewarganegaraan ditetapkan dengan undang-undang.
Pasal 27 ayat (1), segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Pada ayat (2), tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
Pasal 28, kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan, dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.
Pasal 30 ayat (1) hak dan kewajiban warga negara untuk ikut serta dalam pembelaan negara.
Pasal 26 ayat (1) mengatur siapa saja yang termasuk warga negara Republik Indonesia. Pasal ini dengan tegas menyatakan bahwa yang menjadi warga negara adalah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain, misalnya peranakan Belanda, peranakan Tionghoa, atau peranakan anak yang bertempat tinggal di Indonesia, mengakui Indonesia sebagai tanah airnya, bersikap setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan disahkan oleh undang-undang sebagai warga negara. Syarat-syarat menjadi warga negara juga ditetapkan oleh undang-undang (pasal 26 ayat 2).
Negara Kesatuan Republik Indonesia menganut asas bahwa setiap warga negara mempunyai kedudukan yang sama di hadapan hukum dan pemerintahan. Ini adalah konsekuensi dari prinsip kedaulatan rakyat yang bersifat kerakyatan. Pasal 27 ayat (1) menyatakan tentang kesamaan kedudukan warga negara di dalam hukum dan pemerintahan dan kewajiban warga negara dalam menjunjung hukum dan pemerintahan tanpa perkecualian. Hal ini menunjukkan adanya keseimbangan antara warga negara di dalam hukum dan pemerintahan dan kewajiban warga negara dalam menjunjung hukum dan pemerintahan tanpa perkecualian. Ini menunjukkan adanya keseimbangan antara hak dan kewajiban serta tidak adanya diskriminasi di antara warga negara mengenai kedua hal ini. Pasal ini seperti telah dijelaskan sebelumnya, menunjukkan kepedulian kita terhadap hak asasi.
Pasal 28 ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Pasal ini memancarkan asas keadilan sosial dan kerakyatan. Berbagai peraturan perundangundangan yang mengatur hal ini seperti yang terdapat dalam undang-undang Agraria, Perkoperasian, Penanaman Modal, Sistem Pendidikan Nasional, Tenaga Kerja, Perbankan, bertujuan menciptakan lapangan kerja agar warga negara memperoleh penghidupan yang layak.
Pasal 28 UUD 1945 menetapkan hak warga negara atau penduduk untuk berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran secara lisan maupun tertulis, dan sebagainya. Pasal ini mencerminkan bahwa negara Indonesia bersifat demokratis. Adapun pelaksanaan pasal 28 telah diatur dalam undang-undang sebagai berikut.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1985 tentang perubahan atas UndangUndang Nomor 15 Tahun 1969 tentang pemilihan umum anggota-anggota badan permusyawaratan/perwakilan rakyat sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1975 dan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1980.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1985 tentang perubahan atas UndangUndang Nomor 16 Tahun 1969 tentang susunan dan kedudukan MPR dan DPR sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1975.
Kemerdekaan berserikat dan berkumpul itu menyangkut sejarah yang panjang, baik pada zaman penjajahan maupun pada zaman Indonesia merdeka. Adapun hak mengungkapkan pikiran secara lisan, tertulis, dan sebagainya dalam pasal 28 UUD 1945, terutama untuk media pers, telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1982 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1966 tentang ketentuan-ketentuan pokok pers sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1967 yang menentukan bahwa pers Indonesia pada dasarnya adalah bebas untuk mengeluarkan pikirannya, namun harus bertanggung jawab. Pers ini lazimnya disebut pers yang bebas dan bertanggung jawab. Pasal 28 UUD 1945 memuat frase “dan sebagainya” untuk menunjukkan terbukanya kemungkinan bagi seseorang mengeluarkan pikiran bukan hanya secara lisan atau tertulis, melainkan dengan cara lain
Pasal 29 ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Selanjutnya, penjelasan UUD 1945 menyebutkan bahwa ayat ini menyatakan kepercayaan bangsa Indonesia terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Ayat (2) menyatakan negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Kebebasan memeluk agama merupakan salah satu hak yang paling asasi di antara hak-hak asasi manusia karena kebebasan beragama itu langsung bersumber pada martabat manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan.
Pasal 30 ayat (1) UUD 1945 menyatakan hak dan kewajiban setiap warga negara untuk ikut serta dalam usaha pembelaan negara dan ayat (2) menyatakan bahwa pengaturannya lebih lanjut dilakukan dengan undang-undang. Yang dimaksud adalah Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1982 tentang Pokok-pokok Pertahanan Keamanan Negara yang antara lain mengatur Sistem Pertahanan Keamanan Rakyat Semesta.
Sesuai dengan tujuan Negara Republik Indonesia yang tercermin dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945, yaitu bahwa pemerintahan negara Indonesia antara lain berkewajiban mencerdaskan kehidupan bangsa. Pasal 31 ayat (1) UUD 1945 menetapkan bahwa tiap-tiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran. Untuk itu, UUD 1945 mewajibkan pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional yang diatur dengan undang-undang (Pasal 31 ayat 2).
Sistem Pendidikan Nasional diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989. Undang-undang ini menetapkan bahwa panyelenggaraan pendidikan dilaksanakan melalui dua jalur, yaitu pendidikan sekolah dan pendidikan di luar sekolah. Jalur pendidikan sekolah merupakan pendidikan yang diselenggarakan di sekolah melalui kegiatan belajar-mengajar secara berjenjang dan bersinambungan. Adapun pendidikan di luar sekolah mencakup pendidikan keluarga.
Pelaksanaan undang-undang ini terdapat dalam peraturan pemerintahan Nomor 27, 28, 29 Tahun 1990 dan Peraturan Pemerintahan Nomor 60 Tahun 1999, masing-masing tentang Pendidikan Prasekolah, Pendidikan Dasar, Pendidikan Menengah, dan Pendidikan Tinggi. Peraturan pemerintahan tersebut juga menetapkan pelaksanaan wajib belajar selama sembilan tahun secara bertahap.
Pasal 32 menetapkan bahwa pemerintah hendaknya memajukan kebudayaan nasional Indonesia. Penjelasan UUD 1945 memberikan rumusan tentang kebudayaan bangsa sebagai “Kebudayaan yang timbul sebagai buah usaha budi rakyat Indonesia seluruhnya”. Termasuk “Kebudayaan lama dan asli yang terdapat sebagai puncak-puncak kebudayaan daerah di seluruh Indonesia”. Penjelasan UUD 1945 itu juga menunjukkan arah kebudayaan “menuju ke arah kemajuan adab dan budaya dan persatuan, dengan tidak menolak bahan-bahan baru dari kebudayaan asing yang dapat memperkembangkan atau memperkaya kebudayaan bangsa sendiri, serta mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Indonesia”. Salah satu unsur budaya yang penting dijabarkan pada penjelasan UUD 1945 (pasal 36) adalah bahasa daerah, yang tetap dihormati dan dipelihara oleh negara.
Pasal 33 dan 34 UUD 1945 mengatur kesejahteraan sosial. Pasal 33 yang terdiri atas tiga ayat menyatakan:
Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan.
Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Selanjutnya, penjelasan pasal 33 UUD 1945 menetapkan bahwa produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua, di bawah pimpinan atau pemilikan anggotaanggota masyarakat. Kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan, bukan kemakmuran satu orang saja. Karena itu, perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan. Perekonomian di Indonesia berdasarkan demokrasi ekonomi, kemakmuran adalah bagi semua orang. Untuk itu, cabangcabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak harus dikuasi oleh negara.
Kalau tidak, tampuk produksi jatuh ke tangan orang-orang tertentu yang berkuasa, sementara rakyat banyak tertindas. Hanya perusahaan yang tidak menguasai hajat hidup orang banyak yang boleh berada di tangan perseorangan. Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung dalam bumi adalah pokokpokok kemakmuran rakyat sehingga harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Pasal 33 UUD 1945 merupakan pasal yang penting dan esensial karena meyangkut pelaksanaan demokrasi ekonomi dan keadilan sosial.
Cukup banyak undang-undang sebagai pelaksana pasal 33 UUD 1945 ini, antara lain Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tetntang Perkoperasian sebagai penyempurnaan dari Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1967, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Perasuransian, dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Semangat mewujudkan keadilan sosial terpancar pula didalam pasal berikutnya, pasal 34 UUD 1945, bahwa fakir miskin dan anakanak terlantar dipelihara oleh negara. Undang-undang sebagai pelaksana pasal 34 UUD 1945 ini misalnya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1974 tentang KetentuanKetentuan Pokok Kesejahteraan Sosial, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak.
Warga negara sesuai dengan UUD 1945 pasal 26, dimaksudkan untuk bangsa Indonesia asli dan bangsa lain yang disahkan undang-undang sebagai warga negara. Dalam penjelasan UUD 1945 pasal 26 ini, dinyatakan bahwa orang-orang bangsa lain, misalnya orang peranakan Belanda, peranakan Cina, peranakan Arab dan lain-lain yang bertempat di Indonesia, mengakui Indonesia sebagai tanah airnya dan bersikap setia kepada negara Republik Indonesia dapat menjadi warga negara.