Tahukah Anda mengapa tanggal 20 Mei diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional? Apa hubungannya dengan Sekolah Dokter Jawa “STOVIA”? Apa makna dan arti pentingnya Kebangkitan Nasional bagi bangsa Indonesia? Ketika kita membicarakan Kebangkitan Nasional berarti kita membahas tentang peristiwa bersejarah di Indonesia yang terjadi pada tahun 1908. Kita tidak boleh melupakan sejarah! Kata-kata bijak dan ungkapan dari Presiden pertama Republik Indonesia Ir. Sukarno yang seringkali kita dengar ialah “Jangan sekali-kali melupakan sejarah”; dan “Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya”.
Pada materi ini kita akan mempelajari peristiwa sejarah tentang “Kebangkitan Nasional”. Melalui sejarah perjuangan bangsa Indonesia pada masa Kebangkitan Nasional tahun 1908 kita akan dapat “berkaca” dan mengambil pelajaran berharga dari peristiwa sejarah tersebut. Lahirnya masyarakat terdidik atau terpelajar (mahasiswa Sekolah Dokter Jawa “STOVIA”), bangkitnya semangat nasionalisme, kokohnya persatuan dan kesatuan bangsa menjadi senjata yang luar biasa dalam mewujudkan cita-cita Indonesia merdeka. Di masa sekarang maupun di masa mendatang nilai-nilai dan semangat Kebangkitan Nasional 1908 tersebut, juga sangat diperlukan untuk mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945.
Sebagaimana telah dijelaskan di depan bahwa dalam unit 10.1 “Bangkitlah Bangsaku” kita akan mempelajari tonggak-tonggak sejarah bangsa Indonesia yang dimulai dari timbulnya perlawanan fisik bangsa Indonesia terhadap penjajah sebelum tahun 1908, diterapkannya politik etis oleh pemerintah kolonial Belanda, lahirnya masyarakat terdidik atau kaum terpelajar, dan bangkitnya kesadaran nasional bangsa Indonesia sejak tahun 1908.
“Bersatunya Bangsaku” menguraikan tentang rintisan perjuangan melawan penjajah melalui organisasi modern, yang diawali dengan lahirnya organisasi pertama yaitu Budi Utomo pada tahun 1908. Budi Utomo merupakan tonggak sejarah bangkitnya semangat nasional, semangat persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Budi Utomo menjadi pelopor berdirinya organisasi-organisasi modern yang kemudian bermunculan pada masa itu. Oleh karena itu unit kedua memuat uraian tentang sejarah berdirinya Budi Utomo, tujuan didirikannya Budi Utomo, serta arti penting Kebangkitan Nasional dalam perjuangan meraih kemerdekaan. Sedangkan dalam unit 10.3 “Jiwa Patriotisme” kita akan menelaah peran tokoh-tokoh Kebangkitan Nasional khususnya pada masa 1908 dalam perjuangan meraih kemerdekaan Indonesia.
Apa yang terlintas dalam pikiran Anda ketika mengamati gambar tersebut? Adakah kaitan antara gambar dengan materi yang sedang kita pelajari? Siapa saja tokoh pahlawan bangsa yang terdapat dalam gambar, dan dari daerah mana asalnya?
Perlawanan Fisik Sebelum Tahun 1908
Kesuburan Indonesia dengan hasil bumi terutama rempah-rempahnya yang melimpah, yang sangat dibutuhkan oleh negara-negara luar menyebabkan bangsa asing berbondong- bondong datang ke Indonesia. Bangsa-bangsa Barat berlomba-lomba memperebutkan kemakmuran bumi Indonesia. Sejak kekuasaan asing masuk dan menduduki wilayah Indonesia, sejak itu pula bangsa Indonesia mengalami penindasan dan pemerasan. Maka
semenjak itu pula bangsa Indonesia melakukan perlawanan. Jika yang diduduki adalah suatu kerajaan maka rakyat di kerajaan tersebut melakukan perlawanan. Jika yang diduduki adalah suatu daerah atau pulau maka rakyat daerah atau pulau tersebut mengadakan perlawanan. Pemimpin perlawanan dapat berasal dari golongan raja, bangsawan, ulama, atau petani, sebagaimana digambarkan dalam lukisan di atas.
Kita mengenal nama-nama pahlawan bangsa Indonesia yang berjuang gigih melawan penjajahan. Pada abad XVII – XVIII kita mengenal Sultan Agung (Mataram 1645), Sultan Ageng Tirtayasa dan Ki Tapa (Banten 1650), Hassanudin (Makassar 1660), Iskandar Muda (Aceh 1635), Untung Suropati dan Trunojoyo (Jawa Timur 1670), dan sebagainya.
Pada abad XIX kita mengenal pahlawan-pahlawan seperti Pattimura (Maluku 1817), Badaruddin (Palembang 1819), Imam Bonjol (Minangkabau 1821-1837), Pangeran Diponegoro (Jawa Tengah 1825-1830), Jelantik (Bali 1850), Pangeran Antasari (Kalimantan 1860), Panglima Polim, Teuku Cik Di Tiro, Teuku Umar (Perang Aceh 1871-1904), Anak Agung Made (Lombok 1894-1895), Sisingamangaraja (Tanah Batak 1900), dan sebagainya.
Peperangan-peperangan yang penuh keberanian dalam melawan penjajahan tersebut terjadi di hampir setiap daerah di Indonesia. Semua perlawanan yang gagah berani itu dilakukan karena didorong oleh rasa cinta yang besar terhadap tanah air Indonesia. Namun sangat disayangkan perlawanan secara fisik terhadap kekuasaan penjajah pada masa- masa sebelum abad XX (sebelum tahun 1908) itu masih bersifat kedaerahan, tidak ada koordinasi dan persatuan antar daerah. Kelompok yang satu terpisah dari kelompok yang lain. Hal ini sangat menguntungkan bagi penjajah. Dengan politik adu domba yang dikenal dengan istilah devide et impera, perlawanan bangsa Indonesia dipatahkan satu-persatu oleh musuh. Akibatnya bangsa kita tidak berhasil mengusir penjajah dari bumi Indonesia. Penindasan dan pemerasan terus berlangsung, penderitaan rakyat Indonesia semakin berkepanjangan, karena terbelenggu oleh penjajahan.
Politik Etika Pemerintah Kolonial
Penderitaan bangsa Indonesia yang berkepanjangan, menimbulkan simpati dari beberapa orang Belanda diantaranya adalah Th.C. Van Deventer. Pada tahun 1899 Van Denventer menyampaikan gagasannya tentang balas budi atau politik etika. Van Deventer menjelaskan bahwa Belanda telah berhutang budi kepada rakyat Indonesia. Hutang budi itu harus dikembalikan dengan memperbaiki nasib rakyat, mencerdaskan dan memakmurkan rakyat Indonesia.
Caranya ialah dengan melaksanakan irigasi (pengairan), emigrasi (perpindahan penduduk), dan edukasi (pendidikan) bagi rakyat Indonesia yang dikenal dengan trilogi Van Deventer. Sebagai suatu ide/gagasan, trilogi Van Deventer tersebut sangat baik. Usulan ini diterima dan dilaksanakan oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Tetapi dalam pelaksanaannya ternyata jauh menyimpang. Irigasi, emigrasi, dan edukasi yang dilaksanakan bukan untuk kepentingan rakyat Indonesia, melainkan semata-mata hanya untuk kepentingan pemerintah kolonial Belanda sendiri.
Irigasi (pengairan), dilaksanakan tetapi yang utama adalah untuk mengairi perkebunan-perkebunan swasta asing dan milik pemerintah kolonial, bukan untuk mengairi sawah atau ladang milik rakyat.
Emigrasi (perpindahan penduduk), dilaksanakan terutama bagi penduduk yang mau menjadi kuli kontrak di perkebunan-perkebunan swasta asing atau milik pemerintah kolonial Belanda, bukan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia.
Edukasi (pendidikan), juga diadakan tetapi terbatas untuk memenuhi kebutuhan pemerintah kolonial Belanda dan perusahaan-perusahaan swasta. Pendidikan diselenggarakan untuk memenuhi kebutuhan tenaga administrasi yang cakap dan murah, bukan untuk mencerdaskan rakyat Indonesia.
Mula-mula pemerintah kolonial Belanda mengadakan pendidikan hanya untuk tingkat pendidikan rendah, tetapi kemudian ternyata memerlukan juga tenaga-tenaga terdidik
tingkat menengah dan tinggi. Maka akhirnya didirikan pula sekolah-sekolah mulai dari tingkat pendidikan rendah, menengah, sampai dengan pendidikan tinggi. Tetapi semuanya semata-mata hanya untuk kepentingan pemerintah kolonial Belanda.
Lahirnya Golongan Terpelajar
Rakyat Indonesia yang mendapatkan kesempatan untuk memperoleh pendidikan, apalagi pendidikan tinggi jumlahnya sangat terbatas umumnya hanya bagi golongan priyayi. Itupun semata- mata hanya demi keuntungan pemerintah kolonial Belanda yang memerlukan tenaga admnistrasi, tenaga kesehatan, dan tenaga kerja lainnya yang cakap dan murah. Pemerintah kolonial tidak menghendaki rakyat jajahannya menjadi terdidik dan pandai.
Namun demikian tanpa disadari oleh Belanda ternyata pendidikan yang sangat dibatasi tersebut telah melahirkan golongan terpelajar dari kalangan bangsa Indonesia, diantaranya adalah siswa-siswa Sekolah Dokter Jawa “STOVIA” (School tot Opleiding van Inlandsche Artsen). Bagaikan “senjata makan tuan” golongan terpelajar inilah yang kelak menjadi pelopor pergerakan nasional. Pelopor yang menggerakkan masyarakat untuk melawan Belanda melalui organisasi yang teratur, dengan semangat nasionalisme, persatuan, dan kesatuan bangsa. Betapa pentingnya pendidikan bagi rakyat Indonesia, namun sebaliknya betapa berbahayanya pendidikan itu bagi pemerintah kolonial Belanda.
Bangkitnya Kesadaran Nasional Bangsa Indonesia Tahun 1908.
Lembaga-lembaga pendidikan didirikan di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surakarta, Semarang, Magelang, dan Surabaya. Bermacam-macam suku bangsa Indonesia menempuh pendidikan di kota-kota besar tersebut. Golongan para pelajar ini merupakan golongan masyarakat yang terdidik, yang disebut sebagai kaum intelektual. Golongan terpelajar inilah yang mula-mula menyadari bahwa melawan penjajahan harus dilakukan secara bersama-sama oleh seluruh kekuatan bangsa secara nasional. Kaum terpelajar inilah yang merintis bangkitnya kesadaran nasional bangsa Indonesia.
Mengapa tahun 1908 menjadi tonggak sejarah Kebangkitan Nasional? Karena pada tahun 1908 telah lahir organisasi modern pertama yaitu Budi Utomo yang didirikan oleh dokter Soetomo atas ide dan dorongan dari dokter Wahidin Sudirohusodo. Kelahiran Budi Utomo menjadi pendorong berdirinya organisasi-organisasi yang lain untuk melawan pemerintahan kolonial Belanda.
Masa tahun 1908 merupakan masa Kebangkitan Nasional yaitu masa mulai berkembangnya kesadaran nasional, masa perintis pergerakan nasional. Perjuangan melawan penjajahan tidak lagi dilakukan secara fisik dan bersifat kedaerahan, tetapi mulai dirintis menggunakan organisasi modern dan bersifat nasional. Setelah Budi Utomo lahirlah organisasi-organisasi lain seperti Sarekat Dagang Islam (1911) yang kemudian berubah nama menjadi Sarekat Islam (SI) didirikan oleh seorang intelektual dari Surabaya H.O.S Tjokroaminoto. Kemudian muncul pula Indische Partij (1912) dipimpin oleh Tiga Serangkai yaitu Douwes Dekker, Cipto Mangunkusumo, dan Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantoro). Setelah itu bermunculan pula organisasi-organisasi politik, perkumpulan-perkumpulan pemuda dan semakin menguatnya kesadaran nasional untuk mencapai tujuan Indonesia merdeka.
Ruang “Memorial Budi Utomo” dalam gambar tersebut merupakan salah satu ruangan yang terdapat di gedung Sekolah Dokter Jawa “STOVIA” yang sekarang menjadi Museum Kebangkitan Nasional di Jakarta. Di ruangan tersebut pada hari Minggu, 20 Mei 1908 sejumlah pemuda pelajar Sekolah Dokter Jawa “STOVIA” dipimpin oleh Soetomo mengadakan rapat dan menyatakan berdirinya perkumpulan atau organisasi Boedi Oetomo (baca: Budi Utomo). Bagaimana sejarah berdirinya Budi Utomo, siapa pendirinya, apa tujuannya, dan apa arti pentingnya Kebangkitan Nasional dalam perjuangan meraih kemerdekaan Indonesia, ikuti uraian berikut ini.
Sejarah Berdirinya Budi Utomo
Dokter Wahidin Sudirohusodo, seorang dokter lulusan Sekolah Dokter Jawa “STOVIA” merasa sangat prihatin menyaksikan kesengsaraan dan keterbelakangan rakyat Indonesia. Kondisi itu disebabkan karena rakyat tidak mampu secara ekonomi dan kesulitan biaya sehingga tidak dapat memperoleh pendidikan yang lebih tinggi. Tahun 1906 - 1907 Dokter Wahidin mulai mengadakan kampanye di kalangan priyayi di pulau Jawa.
Beliau mengunjungi tokoh-tokoh masyarakat sambil memberikan gagasannya tentang “Dana Belajar” (studiefonds). Dana untuk membantu pemuda-pemuda cerdas yang tidak dapat melanjutkan sekolahnya. Meskipun gagasan tersebut kurang mendapat tanggapan, Dokter Wahidin tidak putus asa dan tetap giat menyebarkan gagasannya demi meningkatkan martabat rakyat Indonesia.
Pada akhir tahun 1907 di hadapan para pemuda pelajar Sekolah Dokter Jawa “STOVIA”, Dokter Wahidin menyampaikan tentang pentingnya pendidikan sebagai sarana untuk membebaskan diri dari kemiskinan dan keterbelakangan. Cita-citanya adalah agar di Jawa dapat dibentuk suatu perkumpulan yang memiliki tujuan untuk memajukan pendidikan, dan membiayai anak-anak yang cukup pandai namun tidak dapat bersekolah karena biaya.
Cita-cita Dokter Wahidin Sudirohusodo tersebut mendapat sambutan positif dari para pemuda pelajar Sekolah Dokter Jawa “STOVIA” terutama Soetomo dan Goenawan Mangoenkoesoemo. Sebagaimana dijelaskan di depan bahwa pada tanggal 20 Mei 1908 R. Soetomo (baca R. Sutomo) dan kawan-kawan antara lain Goenawan Mangoenkoesoemo, Soeradji Tirtonegoro, Gondo Soewarno, Soelaiman, Angka Prodjosudirdjo,
M.Soewarno, Moehammad Saleh, dan RM. Goembrek, mendirikan suatu perkumpulan atau organisasi yang dinamai “Boedi Oetomo” (Budi Utomo).
Ketua Budi Utomo adalah R. Soetomo, Wakil Ketua (Moehammad Soelaiman), Sekretaris I (Gondo Suwarno), Sekretaris II (Goenawan Mangoenkoesoemo), dan Bendahara (Angka). Selanjutnya pada bulan Juni 1908 pendirian Budi Utomo diumumkan di koran Bataviaasch Nieuwsblad.
Tujuan Budi Utomo
Kongres pertama Budi Utomo diadakan di Yogyakarta pada bulan Oktober 1908. Hanya dalam waktu lima bulan sejak berdiri, Budi Utomo berhasil meraih anggota sejumlah
1.200 orang. Setelah mendapatkan dukungan yang lebih luas dari kalangan terdidik, para pemuda pelajar memberikan kesempatan kepada golongan tua untuk memegang peran tersebut kurang mendapat yang lebih besar. Dalam Kongres tersebut Raden Adipati Tirtokusumo (Bupati Karanganyar) terpilih sebagai ketua, dan Dokter Wahidin Sudirohusodo sebagai wakil ketua.
Dalam kongres dijelaskan bahwa tujuan Budi Utomo adalah “menjamin kehidupan bangsa yang terhormat”.
Budi Utomo bergerak di bidang sosial yang menitikberatkan pada masalah-masalah pendidikan, pengajaran, dan kebudayaan. Keanggotaannya yang mula-mula terbatas hanya pada orang-orang Jawa dan Madura, kemudian meluas hingga mencapai Bali. Perkembangan selanjutnya keanggotaan Budi Utomo terbuka luas untuk seluruh bangsa Indonesia, tanpa memandang suku, agama, maupun golongan.
Arti Penting Kebangkitan Nasional Dalam Perjuangan Meraih Kemerdekaan
Lahirnya Budi Utomo membangkitkan semangat kebangsaan atau nasionalisme bangsa Indonesia pada masa tahun 1908. Pemerintah kolonial Belanda mengomentari lahirnya Budi Utomo sebagai “Puteri cantik yang tidur nyenyak telah bangun” (Des schoone slaapster is ontwaakt). Puluhan tahun kemudian, pahlawan Proklamator Drs. Moh. Hatta menyebut kelahiran Budi Utomo sebagai “kecambah semangat kebangsaan nasional”.
Setelah lahirnya Budi Utomo bermunculan organisasi dan perkumpulan-perkumpulan yang bergerak di berbagai bidang. Bidang agama, ekonomi, sosial, kebudayaan, pendidikan,dan sebagainya. Diantaranya ialah Sarekat Islam (SI) dan Indische Partij (IP). Sarekat Islam (SI) begerak dalam bidang ekonomi dan perdagangan didirikan oleh H.O.S Tjokroaminoto pada tahun 1911. Indische Partij (IP) didirikan tahun 1912 oleh “Tiga Serangkai” yaitu Douwes Dekker, Tjipto Mangunkusumo, dan Suwardi Suryaningrat (terkenal dengan nama Ki Hajar Dewantara).
Sejak kelahirannya Indische Partij (IP) bergerak dalam bidang politik yang dengan tegas menyatakan bahwa tujuannya mempersiapkan kemerdekaan Indonesia yaitu “mempersiapkan untuk kehidupan bangsa yang merdeka”.
Berikutnya atas pengaruh paham Marxisme yang datang dari luar negeri lahir pula Partai Komunis Indonesia (PKI) tahun 1920 dengan ketuanya Semaoen dan Darsono sebagai wakil ketua. Pada tahun 1922 berdiri pula Perhimpunan Indonesia (PI) yaitu perkumpulan mahasiswa Indonesia yang berada di Negeri Belanda. Tujuan mereka tegas yaitu “Kemerdekaan Indonesia”.
Pemimpin Perhimpunan Indonesia (PI) antara lain ialah Moh. Hatta, Ali Sastroamidjojo, Abdoel Madjid, dan Nazir Datoek Pamoentjak. Pada tahun 1927 berdiri Partai Nasional Indonesia (PNI) oleh Ir. Sukarno, Dr. Tjipto Mangunkusumo, Ir. Anwari, Sartono, S.H., Budiarto, S.H., serta Dr. Samsi. Program- program PNI antara lain sebagai berikut:
Dalam bidang politik, tujuannya jelas yaitu “Mencapai Indonesia Merdeka”
Dalam bidang ekonomi, disebutkan “Berusaha mencapai perekonomian nasional”
Dalam bidang sosial, yaitu “Memajukan pelajaran nasional”
Kelahiran Budi Utomo menjadi tonggak sejarah awal bangkitnya nasionalisme, semangat persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia yang terus menguat hingga pada tahun 1928 para Pemuda Indonesia berikrar “Sumpah Pemuda”. Semangat perjuangan untuk mewujudkan kemerdekaan Indonesia terus bergelora dan mencapai puncaknya pada tanggal 17 Agustus 1945.
Budi Utomo merupakan organisasi perintis yang telah menjadi inspirasi bagi pertumbuhan organisasi-organisasi pergerakaan nasional. Budi Utomo mengawali bangkitnya semangat
Siapakah mereka? Ya...Anda benar! Mereka adalah sembilan pemuda pelajar Sekolah Dokter Jawa “STOVIA” pendiri Budi Utomo. Mereka adalah orang-orang muda yang memiliki jiwa patriotisme tinggi. Patriotisme yaitu sikap pemberani, pantang menyerah, dan rela berkorban demi kepentingan bangsa dan negara. Patriotisme berasal dari kata “patriot” dan “isme” yang berarti sifat kepahlawanan atau jiwa pahlawan.
Dokter Wahidin Sudirohusodo serta para pemuda pendiri Budi Utomo yaitu (1) Goenawan Mangoen Koesoemo, (2) Gondo Soewarno, (3) Angka Prodjosoedirdjo, (4) RM Goembrek, (5) Moehammad Soelaiman, (6) Moehammad Saleh, (7) Soetomo, (8) Soeradji, dan (9)M. Soewarno, mereka adalah patriot-patriot bangsa Indonesia. Meskipun sebagian besar anggota Budi Utomo berasal dari suku Jawa namun gerakannya mampu membangkitkan semangat persatuan dan kesatuan. Mampu menggugah rasa nasionalisme, dan kesadaran untuk berjuang mencapai cita-cita bebas dari penjajajahan dalam masyarakat Indonesia tanpa memandang latar belakang suku, agama, maupun golongan. Semangat dan jiwa patriot mereka diantaranya tercermin dalam peristiwa berikut ini.
Soetomo Terancam Dikeluarkan Dari Sekolah
Berdirinya Budi Utomo yang semakin berkembang dan mendapatkan dukungan luas menimbulkan kegelisahan dikalangan guru atau dosen Sekolah Dokter Jawa “STOVIA”. Mereka beranggapan Budi Utomo akan melawan pemerintah Belanda. Oleh karena itu mereka cemas jika sampai dipecat karena dianggap gagal dalam membina anak didik. Para dosen bereaksi keras dan menginginkan agar Soetomo, pemimpin Budi Utomo dikeluarkan dari sekolah. Beruntung saat itu STOVIA memiliki direktur yang berpandangan luas yaitu Dr.HF Roll. Dalam suatu sidang para dosen Roll memberikan pembelaannya dengan mengeluarkan pertanyaan berikut ini.
“Bukankah di antara tuan-tuan yang hadir di sini banyak yang lebih “mmeerraahh”” ((mmaakkssuuddnnyyaa lleebbiihh bbeerraannii--nneekkaadd)) ddaarriippaaddaa SSooeettoommoo,, di mana ttuuaann--ttuuaann sewaktu ttuuaann--ttuuaann berumur 1188 tahun dduulluu??””
Disisi lain terdorong oleh rasa solidaritas dan perasaan senasib sepenanggungan teman- teman Soetomo yang mendengar hal itu segera bertindak. Goenawan Mangoenkoesoemo dan kawan-kawan melakukan aksi protes dan mengancam jika sampai Soetomo dikeluarkan maka seluruh siswa STOVIA juga minta dikeluarkan.
“Soetomo sebagai ketua wajib menyatakan di depan umum perasaan dan kemauan yang dikandung dalam hati sanubari kita; kalau ia dikeluarkan, maka haruslah kita yang sama keyakinan dan perasaanpun dikeluarkan”
Pembelaan HF Roll selaku direktur, serta keberanian, kekompakan, dan semangat membara teman-teman Soetomo membuat para dosen akhirnya bersepakat untuk membiarkan Soetomo terus belajar di STOVIA. Para dosen sebenarnya juga khawatir jika teman-teman Soetomo ikut keluar, maka Pemerintah akan kekurangan tenaga dokter. Padahal dokter-dokter lulusan STOVIA itulah yang menjadi andalan dalam mengatasi wabah penyakit. Dokter-dokter Belanda pada umumnya tidak bersedia jika ditugaskan memberantas wabah penyakit di daerah karena takut tertular. Demikianlah akhirnya Soetomo tetap melanjutkan sekolah hingga lulus sebagai dokter (tanpa proses ujian) pada tahun 1911, dan Budi Utomo juga dibiarkan berkembang. Bahkan diberi kesempatan untuk mempersiapkan kongres pertamanya tanggal 3-5 Oktober 1908 di Yogyakarta.
Soetomo
Soetomo lahir pada tanggal 30 Juli tahun 1988 di Ngepeh, Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur. Ayahnya bernama R. Soewardji seorang priyayi pangreh praja. Soetomo dikenal sebagai pribadi yang memiliki pendirian kukuh, jujur, dan sholeh. Ia juga dikenal disiplin, cermat, dan segera bertindak jika ada ketidakadilan.
M. Soewarno
M. Soewarno lahir pada tahun 1886 di Kemiri wilayah Kabupaten Purworejo. Ia masuk STOVIA pada tanggal 6 Februari 1901 dan lulus pada tanggal 10 September 1910. Dalam kepengurusan Budi Utomo, M. Soewarno tercatat sebagai salah seorang Komisaris (Pembantu Umum).
Angka Prodjosoedirdjo
R. Angka lahir pada tanggal 13 Desember 1887. Ayahnya bernama Prodjodiwirjo seorang aisten wedana (camat) di Madukara, Banyumas. Angka masuk STOVIA pada tanggal 4 Januari 1904, lulus sebagai dokter pada tanggal 30 Juli 1912. Dalam kepengurusan Budi Utomo ia tercatat sebagai bendahara. Pada masa kemerdekaan Dr. Angka pernah diminta oleh pemerintah supaya menandatangani surat pernyataan pengakuan sebagai perintis
kemerdekaan untuk mendapatkan tunjangan. Tetapi beliau menolak dengan alasan bahwa jasa-jasanya sudah merupakan kewajiban dan tanggungjawabnya sebagai rakyat Indonesia tanpa mengharapkan imbalan apapun. Dengan rendah hati beliau mengatakan “Saya merasa kecil dan tidak ikut berjasa ...”
Gondo Soewarno
Gondo Soewarno atau sering dipanggil Soewarno, lahir di Boyolali pada tahun 1887. Masuk STOVIA tanggal 25 Januari 1902, lulus pada tanggal 20 September 1910. Pada awal berdirinya Budi Utomo ia memegang jabatan sebagai sekretaris. Soewarno dikenal sebagai sosok yang pendiam, mahir berbicara dan menulis dalam bahasa Belanda. Tulisannya “Kemajuan Bagi Hindia” dimuat dalam koran Belanda Bataviaasch Niuwsblad (17 Juli 1908) dan koran De Locomotief (24 Juli 1908). Kemudian tulisan yang berjudul “Surat Edaran” diterbitkan dalam mingguan Belanda Java Bode, 7 September 1908.
Moehammad Saleh
Moehammad Saleh lahir pada tanggal 15 Maret 1888 di Simo, Jawa Tengah. Ayahnya bernama H Sastrodikromo, dan ibunya Nalirah. Ia masuk STOVIA 1 maret 1903, lulus sebagai dokter pada tanggal 11 April 1911. Dalam kepengurusan Budi Utomo ia duduk sebagai Komisaris. Moehammad Saleh dikenal sebagai pribadi yang pendiam dan setia. Pernikahannya dengan Emma Naimah (suku Makassar-Betawi) sekaligus memelopori pluralisme nasional.
Soeradji
Soeradji dikenal sebagai pelajar STOVIA yang pandai berbahasa Jawa. Konon sebelum munculnya nama Boedi Oetomo, Soeradji adalah orang yang menyodorkan dua nama kepada Dr. Wahidin Sudirohusodo yaitu nama “Eko Projo” dan “Boedi Oetomo” sebagai nama perkumpulan mereka. Akhirnya “Boedi Oetomo” yang dijadikan nama resmi organisasi pelajar STOVIA. Soeradji lahir pada tahun 1887 di Desa Uteran, Kabupaten Ponorogo. Ayahnya bernama Tirtodarmo adalah seorang pensiunan guru Kepala Sekolah Rakyat. Karena kepandaiannya berbahasa Jawa, Soeradji menjadi perantara (humas) di antara para pelajar yang aktif di organisasi Budi Utomo dengan masyarakat yang sehari- hari hanya mampu menggunakan bahasa Jawa. Soeradji lulus sebagai dokter pada tanggal 30 Juli 1912.
RM Goembrek
RM Goembrek lahir pada 21 Juni 1886 dari pasangan RM Padmokoesoemo dengan RA Padmokoesoemo (RA Marsidah). Ayah RM Goembrek adalah seorang wedana di Kebumen, ibunya adalah putri R. Adipati Kartanegara I Bupati Karanganyar. Goembrek merupakan keturunan para pejabat tinggi di Banyumas pada masa itu. Masuk STOVIA tanggal 25 Januari 1902, lulus sebagai dokter pada tanggal 11 April 1911. Dalam kepengurusan Budi
Utomo, Goembrek duduk sebagai Komisaris. Sejak berdirinya Budi Utomo sampai menjelang Kongres I Goembrek yang berasal dari keluarga besar keturunan bupati memiliki peran penting dalam melakukan pendekatan kepada bupati-bupati untuk mendapatkan dukungan yang luas terhadap perjuangan Budi Utomo.
Goenawan Mangoenkoesoemo
Goenawan Mangoenkoesoemo adalah adik dari Dokter Tjipto Mangoenkoesoemo (Cipto Mangunkusumo). Gunawan anak ketiga dari delapan bersaudara lahir di Jepara pada tahun 1888. Ayahnya Mangoenkoesoemo seorang guru Bahasa Melayu sekolah dasar di Ambarawa. Kakeknya, Mangoensastro adalah seorang abdi Pangeran Diponegoro. Ia masuk STOVIA tanggal 10 Januari 1903 dan lulus pada tanggal 11 April tahun 1911. Goenawan dikenal sebagai pelajar yang cerdas, kritis, dan memiliki perhatian besar terhadap penderitaan rakyat. Dalam kepengurusan Budi Utomo Goenawan menduduki jabatan sekretaris II. Sebagai sekretaris Goenawan mengemban tugas membela organisasi Budi Utomo dari serangan dan kecaman orang yang tidak menyukai Budi Utomo. Dalam persiapan kongres pertama di Yogyakarta, ia sibuk mengatur akomodasi (penginapan) peserta kongres, menyusun peraturan-peraturan kongres, menyusun teks pidato pembukaan kongres, menjadi pembicara kongres, dan sebagainya.
Pada tahun 1917 Goenawan melanjutkan pendidikan ke Belanda, sambil terus memperjuangkan cita-cita bangsanya untuk merdeka. Suatu ketika ia mengatakan kepada Soetomo:
“Jangan mundur dari pergerakan karena kekurangan alat. Kerjalah terus bagi kepentingan nusa dan bangsa kita, saya sanggup dan bersedia memikul semua kewajibanmu, kewajiban kecil dan besar yang meminta pengeluaran uang. Jalanlah terus!"
Moehammad Soelaiman
Moehammad Soelaiman lahir tahun 1886 di Grabag, Kemutihan, Purworejo, Jawa Tengah. Ayahnya bernama Sonto Suwondo, seorang pemuka agama keturunan Haji Baelawi, penghulu Masjid Besar Purworejo. Ayahnya wafat ketika Soelaiman masih kecil, selanjutnya ia hidup bersama kedua adiknya dalam asuhan ibunya. Soelaiman masuk STOVIA tanggal 1 Maret 1903, lulus sebagai dokter (tanpa proses ujian). Tahun 1911 Soelaiman dan teman- temannya yaitu Soetomo, RM Goembrek, Goenawan Mangoenkoesoemo, Mohammad Saleh, Ramelan Tirtohoesodo, JA Latumeten, AB Andu, dan Slamet terpilih sebagai pelajar STOVIA yang diterjunkan dalam penanganan wabah pes di Malang. Kelompok pelajar yang terpilih ini semua dinyatakan lulus tanpa melalui proses ujian. Dalam kepengurusan Budi Utomo, Soelaiman menduduki jabatan wakil ketua. Soelaiman dikenal sebagai pelajar yang sangat cerdas, serius, tekun, dan pekerja keras. Ia juga seorang yang mencintai seni budaya, sederhana, dermawan, dan merakyat.
Jiwa patriotisme pada masa perintis Kebangkitan Nasional juga dimiliki oleh tokoh-tokoh lain seperti HOS Tjokroaminoto (baca: Cokroaminoto) pendiri Sarekat Islam, Tiga serangkai pendiri Indische Partij yaitu Douwes Dekker, Dokter Tjipto Mangoenkoesoemo, dan Suwardi Suryaningrat, serta masih banyak lagi tokoh pergerakan nasional yang lainnya.
Kesuburan Indonesia dengan hasil bumi terutama rempah-rempahnya yang melimpah, menjadi daya tarik datangnya bangsa-bangsa Barat ke Indonesia. Sejak kekuasaan asing masuk dan menduduki wilayah Indonesia, sejak itu pula bangsa Indonesia melakukan perlawanan. Perlawanan terhadap penajajahan yang dilakukan pada masa-masa sebelum 1908 bersifat fisik dan kedaerahan. Perjuangan pada masa ini belum membuahkan hasil karena siasat devide et impera yang diterapkan pemerintah kolonial.
Politik etika atau “balas budi” yang disebut Trilogi Van Deventer (irigasi, emigrasi, dan edukasi) dimaksudkan untuk memperbaiki nasib rakyat Indonesia, namun dalam pelaksanaannya semata-mata hanya untuk kepentingan pemerintah kolonial Belanda.
Lahirnya kaum terpelajar dan berdirinya organisasi modern pertama Budi Utomo menjadi tonggak sejarah Kebangkitan Nasional. Perlawanan terhadap penjajahan mulai dilakukan secara nasional dan melalui organisasi yang modern.
Pendiri Budi Utomo adalah para pemuda pelajar Sekolah Dokter Jawa “STOVIA”(School tot Opleiding van Inlandsche Artsen). R.Soetomo (ketua), M. Soelaiman (wakil ketua), Suwarno (sekretaris I), Goenawan Mangoenkoesoemo (sekretaris II), dan R. Angka (bendahara). Dalam Kongres pertama, para pemuda memberikan kesempatan pada golongan tua untuk berperan lebih besar. Terpilih Raden Adipati Tirtokusumo sebagai ketua, dan Dokter Wahidin Sudirohusodo sebagai wakil ketua.
Sesudah Budi Utomo bermunculan organisasi-organisasi yang lain seperti Sarekat Islam, Indische Partij, Partai Komunis Indonesia, Partai Nasional Indonesia, Perhimpunan Indonesia, dll.
Kebangkitan Nasional menjadi perintis persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Berkat persatuan dan kesatuan yang kuat bangsa Indonesia berhasil mengusir penjajah dan merdeka pada tanggal 17Agustus 1945.