Korupsi berasal dari bahasa Latin: corruption dari kata kerja corrumpere berarti busuk, rusak, menggoyahkan, memutar balik, menyogok. Menurut Transparency International adalah perilaku pejabat publik, baik politikus/ politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka.
Dalam Kamus Al-Munawwir, term korupsi bisa diartikan meliputi: risywah, khiyânat, fasâd, ghulû l, suht, bâthil. Sedangkan dalam Kamus Al-Bisri kata korupsi diartikan ke dalam bahasa arab: risywah, ihtilâs, dan fasâd.
Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, korupsi secara harfiah berarti: buruk, rusak, suka memakai barang (uang) yang dipercayakan padanya, dapat disogok (melalui kekuasaannya untuk kepentingan pribadi).
Adapun arti terminologinya, korupsi adalah penyelewengan atau penggelapan (uang negara atau perusahaan) untuk kepentingan pribadi atau orang lain.
Sementara, disisi lain, korupsi (corrupt, corruptie, corruption) juga bisa bermakna kebusukan, keburukan, dan kebejatan. Definisi ini didukung oleh Acham yang mengartikan korupsi sebagai suatu tindakan yang menyimpang dari norma masyarakat dengan cara memperoleh keuntungan untuk diri sendiri serta merugikan kepentingan umum. Intinya, korupsi adalah menyalahgunakan kepercayaan yang diberikan publik atau pemilik untuk kepentingan pribadi. Sehingga, korupsi menunjukkan fungsi ganda yang kontradiktif, yaitu memiliki kewenangan yang diberikan publik yang seharusnya untuk kesejahteraan publik, namun digunakan untuk keuntungan diri sendiri.
Korupsi merupakan kejahatan yang dilakukan dengan penuh perhitungan oleh mereka yang justru merasa sebagai kaum terdidik dan terpelajar. Korupsi juga bisa dimungkinkan terjadi pada situasi dimana seseorang memegang suatu jabatan yang melibatkan pembagian sumber-sumber dana dan memiliki kesempatan untuk menyalahgunakannya guna kepentingan pribadi. Nye mendefinisikan korupsi sebagai perilaku yang menyimpang dari tugas formal sebagai pegawai publik untuk mendapatkan keuntungan finansial atau meningkatkan status. Selain itu, juga bisa diperoleh keuntungan secara material, emosional, atau pun simbol.
Kata korupsi telah dikenal luas oleh masyarakat, tetapi definisinya belum tuntas dibukukan. Pengertian korupsi berevolusi pada tiap zaman, peradaban, dan teritorial. Rumusannya bisa berbeda tergantung pada titik tekan dan pendekatannya, baik dari perspektif politik, sosiologi, ekonomi dan hukum. Korupsi sebagai fenomena penyimpangan dalam kehidupan sosial, budaya, kemasyarakatan, dan kenegaraan sudah dikaji dan ditelaah secara kritis oleh banyak ilmuwan dan filosof. Aristoteles misalnya, yang diikuti oleh Machiavelli, telah merumuskan sesuatu yang disebutnya sebagai korupsi moral (moral corruption).
Sebetulnya pengertian korupsi sangat bervariasi. Namun demikian, secara umum korupsi itu berkaitan dengan perbuatan yang merugikan kepentingan publik atau masyarakat luas untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu.
Agar bisa mendapatkan pemahaman secara gamblang, berikut ini adalah pandangan dan pengertian korupsi menurut berbagai sumber:
a. Syed Husein Alatas
Menurut pemakaian umum, istilah „korupsi‟ pejabat, kita menyebut korup apabila seorang pegawai negeri menerima pemberian yang disodorkan oleh seorang swasta dengan maksud mempengaruhinya agar memberikan perhatian istimewa pada kepentingankepentingan si pemberi. Terkadang perbuatan menawarkan pemberian seperti itu atau hadiah lain yang menggoda juga tercakup dalam konsep itu. Pemerasan, yakni permintaan pemberian-pemberian atau hadiah seperti itu dalam pelaksanaan tugas-tugas publik, juga bisa dipandang sebagai „korupsi‟. Sesungguhnyalah, istilah itu terkadang juga dikenakan pada pejabat-pejabat yang menggunakan dana publik yang mereka urus bagi keuntungan mereka sendiri; dengan kata lain, mereka yang bersalah melakukan penggelapan di atas harga yang harus dibayar publik.
b. David H. Bayley
Korupsi sebagai “perangsang (seorang pejabat pemerintah) berdasarkan itikad buruk (seperti misalnya, suapan) agar ia melakukan pelanggaran kewajibannya”. Lalu suapan (sogokan) diberi definisi sebagai “hadiah, penghargaan, pemberian atau keistimewaan yang dianugerahkan atau dijanjikan, dengan tujuan merusak pertimbangan atau tingkah laku, terutama seorang dari dalam kedudukan terpercaya (sebagai pejabat pemerintah). 9Jadi korupsi sekalipun khusus terkait dengan penyuapan atau penyogokan, adalah istilah umum yang mencakup penyalahgunaan wewenang sebagai hasil pertimbangan demi mengejar keuntungan pribadi. Dan tidak usah hanya dalam bentuk uang. Hal ini secara baik sekali dikemukakan oleh sebuah laporan pemerintah India tentang korupsi: dalam arti yang seluas-luasnya, korupsi mencakup penyalahgunaan kekuasaan serta pengaruh jabatan atau kedudukan istimewa dalam masyarakat untuk maksud-maksud pribadi.
c. Sudomo
Sebenarnya pengertian korupsi ada tiga, pertama menguasai atau mendapatkan uang dari negara dengan berbagai cara secara tidak sah dan dipakai untuk kepentingan sendiri, kedua, menyalahgunakan wewenang, abuse of power. Wewenang itu disalahgunakan untuk memberikan fasilitas dan keuntungan yang lain. Yang ketiga adalah pungutan liar. Pungli ini interaksi antara dua orang, biasanya pejabat dengan warga setempat, yang maksudnya si-oknum pejabat memberikan suatu fasilitas dan sebagainya, dan oknum warga masyarakat tertentu memberi imbalan atas apa yang dilakukan oleh oknum pejabat yang bersangkutan.
d. Blak’s Law Dictionary
Pandangan masyarakat hukum Amerika Serikat tentang pengertian korupsi dapat dilihat dari pengertian korupsi menurut kamus hukum yang paling popular di Amerika Serikat: An act done with an intent to give some advantage inconsistent with official duty and the rights of others. The act of an official or fiduciary person who unlawfully and wrongfully uses his station or character to procure some benefit for himself or for another person, contrary to duty and the rights of others. (suatu perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk memberikan suatu keuntungan yang tidak sesuai dengan kewajiban resmi dan hak-hak dari pihak-pihak lain. Perbuatan dari seorang pejabat atau kepercayaan yang secara melanggar hukum dan secara salah menggunakan jabatannya atau karakternya untuk mendapatkan suatu keuntungan untuk dirinya sendiri atau untuk orang lain, berlawanan dengan kewajibannya dan hak-hak dari pihak lain).
e. Transparency International
Corruption involves behavior on the part of officials in the public sector, whether politicians or civil servants, in which they improperly and unlawfully enrich themselves, or those close to them, by the misuse of the public power entrusted them. (korupsi mencakup perilaku dari pejabat-pejabat di sektor publik, apakah politikus atau pegawai negeri, di mana mereka secara tidak benar dan secara melanggar hukum memperkaya diri sendiri atau pihak lain yang dekat dengan mereka, dengan cara menyalahgunakan kewenangan publik yang dipercayakan kepada mereka).
f. Korupsi menurut negara-negara lain:
Malaysia
Seseorang anggota administrasi atau seorang anggota parlemen atau Badan Legislatif Negara Bagian atau seseorang pejabat publik yang pada saat menjadi anggota atau pejabat melakukan segala bentuk praktek korupsi dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana dan dinyatakan bertanggung jawab untuk dijatuhi hukuman penjara setinggi-tingginya empat belas tahun atau denda setinggi-tingginya dua belas ribu ringgit atau kedua-duanya sekaligus. Praktek korupsi termasuk setiap perbuatan yang dilakukan oleh anggota atau pejabat seperti dimaksud dalam sub-seksi dalam kapasitasnya sebagai anggota atau pejabat dimana ia telah menggunakan posisi publik atau jabatannya untuk memperkaya diri atau mendapatkan keuntungan lainnya, dan tanpa berprasangka dalam kaitannya dengan seorang anggota badan legislatif negara bagian termasuk setiap perbuatan yang melawan dengan ketentuan pada sub-seksi dari seksi 2 dari lampiran kedelapan konstitusi federal atau ketentuan yang sejenis dalam konstitusi negara bagian).
Meksiko
Korupsi diartikan sebagai bentuk penyimpangan ketidakjujuran berupa pemberian sogokan, upeti, terjadinya pertentangan kepentingan, kelalaian dan pemborosan yang memerlukan rencana dan strategi yang akan memberikan keuntungan kepada pelakunya
Cameroon
Korupsi diartikan sebagai permintaan, persetujuan, atau penerimaan yang dilakukan oleh seorang pegawai negeri atau pejabat untuk dirinya sendiri atau orang lain atas suatu tawaran janji, hadiah, atau pemberian untuk melakukan, menunda, atau tidak melakukan suatu pekerjaan pada jabatannya
Nigeria
Korupsi adalah suatu perbuatan yang dilakukan dengan tujuan untuk memberi keuntungan yang tidak sesuai dengan tugasnya dan hak-hak pribadi yang lain. Perbuatan seorang pejabat atau petugas hukum yang secara melanggar hukum dan secara salah menggunakan jabatannya atau kewenangannya untuk mendapatkan keuntungan untuk dirinya sendiri atau untuk pihak lain secara berlawanan dengan tugasnya dan hak-hak pihak lain
India
Perbuatan dari oknum-oknum yang tidak terpuji yang ingin memperoleh uang secara cepat dengan menyalahgunakan jabatan dan kewenangan resmi atau dengan taktik sengaja memperlambat penyelesaian suatu pekerjaan dengan maksud untuk menyebabkan gangguan dan karena itu memberikan tekanan kepada sejumlah masyarakat yang berkepentingan untuk melampirinya dengan uang di bawah meja.
Thailand
Korupsi diartikan sebagai perilaku yang dilarang oleh hukum bagi pegawai negeri.
Sebab-sebab Terjadinya Korupsi Penyebab terjadinya korupsi diantaranya adalah:
1. Aspek Individu
Pelaku korupsi Apabila dilihat dari segi si pelaku korupsi, sebabsebab dia melakukan korupsi dapat berupa dorongan dari dalam dirinya, yang dapat pula dikatakan sebagai keinginan, niat, atau kesadarannya untuk melakukan. Sebab-sebab seseorang terdorong untuk melakukan korupsi antara lain sebagai berikut:
a) Sifat Tamak Manusia
Kemungkinan orang yang melakukan korupsi adalah orang yang penghasilannya sudah cukup tinggi, bahkan sudah berlebih bila dibandingkan dengan kebutuhan hidupnya. Dalam hal seperti ini, berapapun kekayaan dan penghasilan sudah diperoleh oleh seseorang tersebut, apabila ada kesempatan untuk melakukan korupsi, maka akan dilakukan juga.
b) Moral Yang Kurang Kuat
Menghadapi Godaan Seseorang yang moralnya tidak kuat cenderung lebih mudah untuk terdorong berbuat korupsi karena adanya godaan. Godaan terhadap seorang pegawai untuk melakukan korupsi berasal dari atasannya, teman setingkat, bawahannya, atau dari pihak luar yang dilayani.
c) Penghasilan Kurang Mencukupi Kebutuhan Hidup Yang Wajar
Apabila ternyata penghasilannya tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya yang wajar, maka mau tidak mau harus mencari tambahan penghasilan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Usaha untuk mencari tambahan penghasilan tersebut sudah merupakan bentuk korupsi, misalnya korupsi waktu, korupsi pikiran, tenaga, dalam arti bahwa seharusnya pada jam kerja, waktu, pikiran, dan tenaganya dicurahkan untuk keperluan dinas ternyata dipergunakan untuk keperluan lain.
d) Kebutuhan Hidup Yang Mendesak
Kebutuhan yang mendesak seperti kebutuhan keluarga, kebutuhan untuk membayar hutang, kebutuhan untuk membayar pengobatan yang mahal, kebutuhan untuk membiayai sekolah anaknya, merupakan bentukbentuk dorongan seseorang yang berpenghasilan kecil untuk berbuat korupsi.
e) Gaya Hidup Konsumtif
Gaya hidup yang konsumtif di kota-kota besar, mendorong seseorang untuk dapat memiliki mobil mewah, rumah mewah, pakaian yang mahal, hiburan yang mahal, dan sebagainya. Gaya hidup yang konsumtif tersebut akan menjadikan penghasilan yang sedikit semakin tidak mencukupi. Hal tersebut juga akan mendorong seseorang untuk melakukan korupsi bilamana kesempatan untuk melakukannya ada.
f) Malas Atau Tidak Mau Bekerja Keras
Kemungkinan lain, orang yang melakukan korupsi adalah orang yang ingin segera mendapatkan sesuatu yang banyak, tetapi malas untuk bekerja keras guna meningkatkan penghasilannya.
g) Ajaran-Ajaran Agama Kurang Diterapkan Secara Benar
Para pelaku korupsi secara umum adalah orangorang yang beragama. Mereka memahami ajaran-ajaran agama yang dianutnya, yang melarang korupsi. Akan tetapi pada kenyataannya mereka juga melakukan korupsi. Ini menunjukkan bahwa banyak ajaran-ajaran agama yang tidak diterapkan secara benar oleh pemeluknya.
2. Aspek Organisasi
Organisasi dalam hal ini adalah organisasi dalam arti yang luas, termasuk sistem pengorganisasian lingkungan masyarakat. Organisasi yang menjadi korban korupsi atau dimana korupsi terjadi biasanya memberi andil terjadinya korupsi karena membuka peluang atau kesempatan untuk terjadinya korupsi. Diantara penyebabnya adalah:
a) Kurang Adanya Teladan Dari Pemimpin
Dalam organisasi, pimpinannya baik yang formal maupun yang tidak formal (sesepuhnya) akan menjadi panutan dari setiap anggota atau orang yang berafiliasi pada organisasi tersebut. Apabila pimpinannya mencontohkan gaya hidup yang bersih dengan tingkat kehidupan ekonomi yang wajar, maka anggota-anggota organisasi tersebut akan cenderung untuk bergaya hidup yang sama.
b) Tidak Adanya Kultur Organisasi Yang Benar
Kultur atau budaya organisasi biasanya akan mempunyai pengaruh yang sangat kuat kepada anggotaanggota organisasi tersebut terutama pada kebiasaannya, cara pandangnya, dan sikap dalam menghadapi suatu keadaan. Kebiasaan tersebut akan menular ke anggota lain dan kemudian perbuatan tersebut akan dianggap sebagai kultur di lingkungan yang bersangkutan. Misalnya, di suatu bagian dari suatu organisasi akan dapat muncul budaya uang pelicin, “amplop”, hadiah, dan lain-lain yang mengarah ke akibat yang tidak baik bagi organisasi.
c) Sistem Akuntabilitas di Instansi Pemerintah Kurang Memadai
Pada organisasi dimana setiap unit organisasinya mempunyai sasaran yang telah ditetapkan untuk dicapai yang kemudian setiap penggunaan sumber dayanya selalu dikaitkan dengan sasaran yang harus dicapai tersebut, maka setiap unsur kuantitas dan kualitas sumber daya yang tersedia akan selalu dimonitor dengan baik. Pada instansi pemerintah, pada umumnya instansi belum merumuskan dengan jelas visi dan misi yang diembannya dan juga belum merumuskan dengan tepat tujuan dan sasaran yang harus dicapai dalam periode tertentu guna mencapai misi tersebut. Demikian pula dalam memonitor prestasi kerja unit-unit organisasinya, pada umumnya hanya melihat tingkat penggunaan sumber daya (input factor), tanpa melihat tingkat pencapaian sasaran yang seharusnya dirumuskan dengan tepat dan seharusnya dicapai (faktor out-put). Akibatnya, terhadap instansi pemerintah sulit dilakukan penilaian apakah instansi tersebut berhasil mencapai sasarannya atau tidak. Keadaan ini memunculkan situasi organisasi yang kondusif untuk terjadi korupsi.
d) Kelemahan Sistem Pengendalian Manajemen
Pada organisasi di mana pengendalian manajemennya lemah akan lebih banyak pegawai yang melakukan korupsi dibandingkan pada organisasi yang pengendalian manajemennya kuat. Seorang pegawai yang mengetahui bahwa sistem pengendalian manajemen pada organisasi di mana dia bekerja lemah, maka akan timbul kesempatan atau peluang baginya untuk melakukan korupsi.
e) Manajemen Cenderung Menutupi
Korupsi Di Dalam Organisasinya Pada umumnya jajaran manajemen organisasi di mana terjadi korupsi enggan membantu mengungkapkan korupsi tersebut walaupun korupsi tersebut sama sekali tidak melibatkan dirinya. Kemungkinan keengganan tersebut timbul karena terungkapnya praktek korupsi di dalam organisasinya. Akibatnya, jajaran manajemen cenderung untuk menutup-nutupi korupsi yang ada, dan berusaha menyelesaikannya dengan cara-cara sendiri yang kemudian dapat menimbulkan praktek korupsi yang lain
3. Aspek Masyarakat Tempat Individu dan Organisasi Berada
a) Nilai-Nilai Yang berlaku Di Masyarakat
Ternyata Kondusif Untuk Terjadinya Korupsi Korupsi mudah timbul karena nilai-nilai yang berlaku di masyarakat kondusif untuk terjadinya hal itu. Misalnya, banyak anggota masyarakat yang dalam pergaulan sehari-harinya ternyata dalam menghargai seseorang lebih didasarkan pada kekayaan yang dimiliki orang yang bersangkutan.
b) Masyarakat Kurang Menyadari Bahwa Yang Paling Dirugikan Oleh Setiap Praktik Korupsi Adalah Masyarakat Sendiri
Masyarakat pada umumnya beranggapan bahwa apabila terjadi perbuatan korupsi, maka pihak yang akan paling dirugikan adalah negara atau pemerintah. Masyarakat kurang menyadari bahwa apabila negara atau pemerintah yang dirugikan, maka secara pasti hal itu juga merugikan masyarakat sendiri.
c) Masyarakat Kurang Menyadari Bahwa Masyarakat Sendiri Terlibat Dalam Setiap Praktik Korupsi
Pada umumnya masyarakat beranggapan bahwa apabila terjadi perbuatan korupsi, yang terlibat dan yang harus bertanggung jawab adalah aparat pemerintahnya. Masyarakat kurang menyadari bahwa pada hampir setiap perbuatan korupsi, yang terlibat dan mendapatkan keuntungan adalah termasuk anggota masyarakat tertentu. Jadi tidak hanya aparat pemerintah saja.
d) Masyarakat Kurang Menyadari Bahwa Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Hanya Akan Berhasil Kalau Masyarakat Ikut Aktif Melakukannya
Pada umumnya masyarakat beranggapan bahwa pihak yang bertanggung jawab untuk melakukan pemberantasan korupsi adalah pemerintah. Pandangan seperti itu adalah keliru, dan ini terbukti bahwa selama ini pemberantasan korupsi masih belum berhasil karena upaya pemberantasan korupsi tersebut masih lebih banyak mengandalkan pemerintah.
Masyarakat secara nasional mempunyai berbagai potensi dan kemampuan diberbagai bidang, yang apabila dipergunakan secara terencana dan terkoordinasi maka akan lebih memberikan hasil pada upaya pemberantasan korupsi. Sebagai contoh, peranserta secara aktif dari kalangan pemuka agama memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk berhasil mengurangi ketamakan manusia. Demikian peran-serta secara aktif dari para pendidik.
Alatas menjelaskan beberapa hal yang menjadi penyebab korupsi, antara lain, yaitu:
a) Lemahnya/ tidak adanya kepemimpinan yang berpengaruh dalam “menjinakkan” korupsi
b) Kurangnya pendidikan agama dan etika
c) Konsumerisme dan globalisasi
d) Kurangnya pendidikan
e) Kemiskinan
f) Tidak adanya tindak hukuman yang keras
g) Kelangkaan lingkungan yang subur untuk perilaku anti korupsi
h) Struktur pemerintahan
i) Perubahan radikal/ transisi demokrasi
Sementara, berdasarkan jajak pendapat yang dilakukan oleh bagian Litbang Harian Kompas menunjukkan bahwa penyebab perilaku korupsi, yaitu:
a) Didorong oleh motif-motif ekonomi, yakni ingin memiliki banyak uang dengan cara cepat meski memiliki etos kerja yang rendah.
b) Rendahnya moral
c) Penegakan hukum yang lemah.
Menurut Alatas (1987) dari segi tipologi, membagi korupsi ke dalam tujuh jenis yang berlainan, yaitu:
1. Korupsi transaktif (transactive corruption), menunjuk kepada adanya kesepakatan timbal balik antara pemberi dan penerima, demi keuntungan kedua belah pihak.
2. Korupsi yang memeras (extortive corruption), menunjuk adanya pemaksaan kepada pihak pemberi untuk menyuap guna mencegah kerugian yang sedang mengancam dirinya, kepentingannya atau hal-hal yang dihargainya.
3. Korupsi investif (investive corruption), adalah pemberian barang atau jasa tanpa ada pertalian langsung dengan keuntungan tertentu, selain keuntungan yang dibayangkan akan diperoleh dimasa yang akan datang.
4. Korupsi perkerabatan (nepotistic corruption), adalah penunjukan yang tidak sah terhadap teman atau sanak saudara untuk memegang jabatan dalam pemerintahan, atau tindakan yang memberikan perlakuan istimewa secara bertentangan dengan norma dan peraturan yang berlaku.
5. Korupsi defensive (defensive corruption), adalah korban korupsi dengan pemerasan. Korupsinya adalah dalam rangka mempertahankan diri.
6. Korupsi otogenik (autogenic corruption), adalah korupsi yang dilakukan oleh seseorang seorang diri.
7. Korupsi dukungan (supportive corruption), adalah korupsi yang dilakukan untuk memperkuat korupsi yang sudah ada.
Korupsi dilihat dari proses terjadinya perilaku korupsi dapat dibedakan dalam tiga bentuk:
1. Graft, yaitu korupsi yang bersifat internal. Korupsi ini terjadi karena mereka mempunyai kedudukan dan jabatan di kantor tersebut. Dengan wewenangnya para bawahan tidak dapat menolak permintaan atasannya.
2. Bribery (penyogokan, penyuapan), yaitu tindakan korupsi yang melibatkan orang lain di luar dirinya (instansinya). Tindakan ini dilakukan dengan maksud agar dapat mempengaruhi objektivitas dalam membuat keputusan atau membuat keputusan yang dibuat akan menguntungkan pemberi, penyuap atau penyogok.
3. Nepotism, yaitu tindakan korupsi berupa kecenderungan pengambilan keputusan yang tidak berdasar pada pertimbangan objektif, rasional, tapi didasarkan atas pertimbangan “nepotis” dan “kekerabatan”
Sedangkan korupsi bila dilihat dari sifat korupsinya dibedakan menjadi dua yaitu:
a. Korupsi individualis, yaitu penyimpangan yang dilakukan oleh salah satu atau beberapa orang dalam suatu organisasi dan berkembang suatu mekanisme muncul, hilang dan jika ketahuan pelaku korupsi akan terkena hukuman yang bisa disudutkan, dijauhi, dicela, dan bahkan diakhiri nasib karirnya.
b. Korupsi sistemik, yaitu korupsi yang dilakukan oleh sebagian besar (kebanyakan) orang dalam suatu organisasi (melibatkan banyak orang).
Korupsi berdampak sangat buruk bagi kehidupan berbangsa dan bernegara karena telah terjadi kebusukan, ketidakjujuran, dan melukai rasa keadilan masyarakat. Penyimpangan anggaran yang terjadi akibat korupsi telah menurunkan kualitas pelayanan negara kepada masyarakat. Pada tingkat makro, penyimpangan dana masyarakat ke dalam kantong pribadi telah menurunkan kemampuan negara untuk memberikan hal-hal yang bermanfaat untuk masyarakat, seperti: pendidikan, perlindungan lingkungan, penelitian, dan pembangunan. Pada tingkat mikro, korupsi telah meningkatkan ketidakpastian adanya pelayanan yang baik dari pemerintah kepada masyarakat.
Dampak korupsi yang lain bisa berupa:
1. Runtuhnya akhlak, moral, integritas, dan religiusitas bangsa.
2. Adanya efek buruk bagi perekonomian negara.
3. Korupsi memberi kontribusi bagi matinya etos kerja masyarakat.
4. Terjadinya eksploitasi sumberdaya alam oleh segelintir orang.
5. Memiliki dampak sosial dengan merosotnya human capital.
Korupsi selalu membawa konsekuensi negatif terhadap proses demokratisasi dan pembangunan, sebab korupsi telah mendelegetimasi dan mengurangi kepercayaan publik terhadap proses politik melalui money-politik. Korupsi juga telah mendistorsi pengambilan keputusan pada kebijakan publik, tiadanya akuntabilitas publik serta menafikan the rule of law. Di sisi lain, korupsi menyebabkan berbagai proyek pembangunan dan fasilitas umum bermutu rendah serta tidak sesuai dengan kebutuhan yang semestinya, sehingga menghambat pembangunan jangka panjang yang berkelanjutan.