“Segala-galanya adalah baik, sebagaimana keluar dari tangan Sang Pencipta; tapi segala-galanya menjadi memburuk dalam tangan manusia”
Jean-Jacques Rousseau
INTOLERANSI adalah suatu gejala sosial yang berkecenderungan tidak adanya rasa hormat terhadap perbedaan, baik perbedaan itu karena dialaskan pada status sosial ekonomi, asal-usul etnis, maupun lantaran perbedaan agama. Intoleransi juga bisa dimaknai sebagai tiadanya tenggang rasa dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa yang plural.
Jikalau ditelisik dengan seksama berbagai kasus persekusi di Indonesia karena isu intoleransi, paling tidak, ada dua faktor sebab mengapa ia bisa terjadi. Pertama, karena kesenjangan sosial ekonomi yang makin tajam dan berjarak, sehingga ada kelompok yang merasa terpinggirkan, kemudian menaruh rasa curiga dan iri hati terhadap kelompok yang lebih makmur hidupnya. Biasanya kelompok yang terpinggirkan itu merasa hidup ini tidak adil, dan sebab-sebab ketidakadilan itu bisa saja dialamatkan ke pihak penguasa sebagai biang masalah.
Kedua, akibat dari lingkungan sosial politik yang tidak kondusif bagi kelangsungan hidup kelompok orang tertentu. Lingkungan sosial politik dimaksud bisa berupa friksi laten karena interaksi sosial yang bermasalah antar kelompok warga masyarakat; bisa juga diciptakan oleh sebuah rezim otoriter yang menutup peluang adanya perbedaan pandangan politik. Bagi sekelompok orang tertentu, boleh jadi rezim yang berkuasa itu tidak mendukung keyakinan ideologis yang mereka yakini. Biasanya korban dari rezim otoriter dipersekusi tanpa mengetahui apa kesalahan yang diperbuatnya, atau dizalimi secara sewenang-wenang, dan tentu saja akhirnya menimbulkan amarah terpendam yang akan meledak di kemudian hari, apabila ada pemantiknya.
Amarah memang sulit dipahami tanpa menelisik latar belakangnya. Untunglah Pankaj Mishra memberikan petunjuk melalui bukunya, Age of Anger (2017). Menurut Mishra, semua orang ingin melupakan krisis yang menimpa, dan mengharapkan sesuatu yang dapat menghibur hatinya, termasuk cinta, rasa keadilan, modernisasi, ideologi, dan agama. Tetapi kenyataannya semua harapan yang dijanjikan itu buntung. Akibatnya, rasa kesal, cemburu, curiga, meruyak menjadi aksi kekerasan, berupa intimidasi atau bahkan teror kepada pihak tertentu. Teror, yang biasanya dilakukan oleh kelompok radikal, mungkin tidak mengubah keadaan, dan rasa frustrasi masyarakat terus berlanjut dan menumpuk-numpuk. Ketika rasa frustrasi sudah ke taraf mengendap di bawah sadar, semua hal bisa dijadikan alasan untuk melampiaskannya, termasuk kepada Pemerintah yang dianggap tidak becus menghadirkan keadilan dan kemakmuran bagi segenap rakyat.
Faktor kesenjangan sosial sebagai pemantik intoleransi sebenarnya merupakan hal yang klasik, dialami oleh banyak negara, dan biasanya akan selesai masalahnya apabila negara tersebut telah menjadi adil dan makmur. Tapi masalahnya, kapan suatu negara itu mencapai kondisi adil dan makmur? Dalam proses mencapai kondisi tersebut, apakah yang (perlu) didahulukan adalah aspek keadilan, ataukah yang lebih penting perubahan yang (harus) terjadi adalah mengutamakan kemakmuran bangsa, yakni pertumbuhan ekonomi nasional yang berorientasi pada produk-produk yang dapat dihasilkan oleh anak bangsa.
Dalam buku “Belajar Dari China” (2004), I Wibowo, sang penulis buku tersebut, menyatakan bahwa Pemerintah China mempunyai satu impian besar tentang kejayaan. Kejayaan yang digambarkan adalah China akan mengulang kembali era keemasan dinasti-dinasti kuno. Mereka berharap satu saat China akan kembali seperti era Dinasti Han dengan jalur sutranya atau Dinasti Yuan di bawah Kaisar Kubilai Khan. Tetapi, China tidak berpikir tentang penaklukan seperti di masa lampau. China berpikir bagaimana menjadi kaya dan unggul, mengubah diri dari masyarakat miskin menjadi salah satu kekuatan ekonomi besar dan, bahkan, terkuat di dunia. Mimpi tersebut tidak hanya tertanam pada generasi muda terpelajar, tetapi juga merasuk pada benak para petani tua di desa.
Kita melihat fakta, bahwa negeri Tirai Bambu yang menganut ideologi komunisme itu akhirnya menerapkan dua sistem dalam mengelola ekonomi negara, yakni kapitalisme dan sosialisme. Pada bulan Februari 1982, Deng Xiaoping, sebagai pemimpin China kala itu, secara resmi menyatakan bahwa RRC menganut “yi guo liang zhi” (“Satu Negara Dua Sistem”) dalam rangka memacu pertumbuhan ekonomi negara (lihat Tse-Hei Lee, et.al., China’s Rise to Power). Provinsi-provinsi yang sejatinya merupakan kota-kota industri dan pelabuhan besar, seperti Shenzhen, Shanghai, dan Guangzhou, dibiarkan menganut sistem ekonomi kapitalis, untuk menangkap peluang ekonomi pasar global. Dengan dua sistem tersebut, China dapat mengkapitalisasi besarnya jumlah penduduk serta pemuda-pemuda terpelajar dan terampil untuk menghasilkan berbagai macam produk, mulai dari yang remeh temeh, seperti jarum jahit dan peniti, hingga produk berteknologi tinggi seperti kapal induk dan pesawat tempur yang memiliki kemampuan siluman. Kendati dalam negara diterapkan dua sistem yang berbeda, dan sistem dimaksud sangat ekstrem perbedaannya, hal itu rupanya tidak menjadi masalah. Barangkali karena kebijakan tersebut lahir dari atas (top down), dari petinggi Partai Komunis China sendiri, maka pemerintahan di bawahnya yang juga merupakan elite partai komunis umumnya manut saja. Kemungkinan lain karena tabiat bangsa China, yang dipengaruhi oleh Konfusionisme, yakni selalu mengamalkan hidup yang harmonis, termasuk mengutamakan harmoni dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Bagaimana dengan kita di Indonesia? Kalau boleh jujur, rasanya tidak ada ghirah, bahwa kita ingin menjadi bangsa yang unggul suatu saat nanti, entah kapan, dan unggul di bidang apa saja. Tiadanya ghirah itu mungkin lantaran Indonesia baru “ada” sekitar 70 tahun, sehingga sebagai bangsa barangkali belum begitu solid untuk menunjukkan eksistensinya; sedangkan kerajaankerajaan masa lalu yang konon pernah jaya di tanah Nusantara tidaklah cukup membekas dalam ingatan kolektif bangsa Indonesia sekarang ini, sebagai rujukan yang ideal.
Kita sebagai entitas bangsa, memang direpotkan oleh kesulitan mencari identitas yang dapat disepakati bersama. Bahkan untuk menyepakati konsep NKRI, yang berasas Bhinneka Tunggal Ika. Benedict Anderson dalam Imagined Communities (1991), sudah mensinyalir hal itu. Kata Anderson, konsep bangsa itu sebenarnya hanya ungkapan dari suatu imajinasi tentang suatu komunitas besar, yang tidak alami, umumnya adalah produk masa kini, dan ia diciptakan sebagai pengalaman kolektif tentang ruang dan waktu yang tidak linear. Negara pun, dulu, dibayangkan sebagai suatu kesepakatan bersama dari sejumlah orang tentang wilayah, sebagai teritorial imajiner tentang kedaulatan bangsa. Anderson saya kira benar sekali, apalagi kini batas-batas suatu negara sudah semakin tak jelas ketika dunia maya menjadi keniscayaan kehidupan sehari-hari setiap orang dalam berinteraksi dengan dunia nyata. Setiap anak bangsa memiliki imajinasi tentang peran fungsionalnya masing-masing, tetapi tidak selalu menyadari bahwa masing-masing orang lain di sekitarnya adalah liyan yang harus mereka kenali. Ketidaksadaran bahwa dirinya sebenarnya bergantung pada orang lainnya itu, menyebabkan masing-masing orang bisa membawa perilaku sendiri-sendiri, yang belum tentu sesuai dengan tujuan hidup bersama sebagai suatu bangsa.
Itulah yang terjadi pada sebagian dari kita. Sebagian besar generasi tua cenderung tidak mampu memberikan contoh teladan bagaimana elan vital sebagai bangsa pejuang, seperti yang diidamkan oleh Bung Karno, yakni mampu mengamalkan prinsip “berdikari” alias berdiri di atas kaki sendiri. Dalam konteks kehidupan masa kini, barangkali maksudnya adalah, kita harus mampu menghasilkan sendiri produk-produk yang dibutuhkan untuk hidup layak, dan bahkan kalau perlu mampu menghasilkan produk untuk tujuan ekspor. Sedangkan generasi muda, yakni kaum muda terpelajar berusia produktif, banyak di antaranya yang justru mengamalkan pola hidup konsumtif, terutama untuk memiliki barangbarang impor, dan barang-barang mewah yang mahal tetapi kurang fungsional semata-mata lantaran terpukau pada mereknya.
Fakta menunjukkan, bangsa Indonesia umumnya tidak malu untuk menunjukkan diri sebagai bangsa yang konsumtif, baik dalam hal gaya hidup di dalam negeri maupun ketika menunjukkan gaya belanja saat mereka berkunjung ke luar negeri. Orang Indonesia yang melakukan kunjungan wisata ke Eropa Barat telah dikenal sebagai pembelanja yang boros, seakan-akan mereka merupakan warga dari negara petro dollar yang berkelimpahan uang dollar AS. Bahkan, menurut Association of the Indonesian Tours and Travel Agencies (ASITA), peziarah dari Indonesia terkenal paling royal belanja di Yerusalem, dalam rangka ziarah ke Masjid Al Aqsa, karena rata-rata mereka bisa menghabiskan US$ 3000 hingga US$ 4000 atau Rp 41,8 juta hingga Rp 55,8 juta per orang (Kompas, 2/6/2018).
Fakta lain, berdasarkan laporan yang dilansir App Annie 2017, ternyata Indonesia adalah merupakan salah satu pengguna aplikasi mobile paling aktif di dunia. Indonesia berada di jajaran teratas, bersaing dengan negara-negara yang sudah lebih maju seperti Tiongkok, India, Brazil dan Korea Selatan. Masalahnya adalah, penggunaannya di Indonesia ditengarai lebih banyak bukan untuk tujuan produktif, yang bernilai manfaat bagi peningkatan kualitas SDM atau untuk mendukung perbaikan tingkat kesejahteraan. Sebagai contoh, dalam masyarakat umum di segala lapis sangat lazim penggunaan gawai untuk berkomunikasi, akan tetapi ketika menyangkut penggunaan aplikasi media sosial justru seringkali kebablasan. Pemerintah sebenarnya tidak perlu risau dengan penggunaan aplikasi media sosial itu, andaikata penggunanya benar-benar rasional menggunakannya untuk tujuan fungsional. Tetapi yang terjadi adalah, banyak pengguna aplikasi justru terperangkap pada penggunaan media sosial yang salah arah. Mereka gemar memproduksi dan menyebarluaskan hoax serta berita bohong, mungkin sekadar iseng, padahal ujung-ujungnya hanya menambah masalah publik. Hal itu terjadi lantaran pengguna media sosial di Indonesia umumnya adalah follower, dan tidak punya kemampuan kreatif untuk menggali potensi diri yang berguna bagi kemaslahatan bangsa.
Korban dan Stigma Pengucilan
Pengucilan, yang merupakan bentuk lain dari aksi atau tindakan penindasan, bullying, perundungan, persekusi, dan lain-lain istilah yang serupa, sesungguhnya memposisikan seseorang sebagai obyek inferior, yang tak berdaya, yang terpojokkan, sehingga barangkali lebih tepat apabila yang bersangkutan kemudian disebut sebagai “korban”. Korban kerapkali tidak bisa diposisikan sebagai subyek yang merdeka, melainkan obyek yang menderita, dan tak berdaya.
Pengucilan biasanya dilakukan oleh penguasa, atau kelompok mereka yang merasa berkuasa, kelompok mayoritas, atau kelompok dominan. Karena itu, pengucilan bisa terjadi dalam skala mini, atau perorangan; tapi bisa juga terjadi dalam skala gigantis, menyangkut kelompok masyarakat atau golongan. Apapun skalanya, aksi pengucilan selalu dimaknai negatif, dan “korban”- nya diduga akan mengalami trauma
Pengucilan yang dilakukan terhadap seorang anak remaja miskin di lingkungan sekolah yang didominasi anak-anak orang kaya, misalnya, boleh jadi akan mempengaruhi kehidupan anak remaja itu selanjutnya. Dia menjadi dendam pada orang kaya, tanpa harus pilihpilih. Dia mungkin menyadari bahwa dirinya liyan di antara orang-orang kaya, dan boleh jadi akan berusaha menjadi orang kaya juga, atau karena tidak berhasil jadi kelompok yang dibenci itu lalu menganggap mereka sebagai musuh.
Pengucilan dalam skala mini, dan menyangkut individu, biasanya bersifat kasuistis dan secara sosial dapat diabaikan, karena jarang berdampak luas terhadap aspek kemanusiaan. Tapi apa jadinya ketika pengucilan itu dilakukan oleh penguasa suatu rezim terhadap seseorang atau golongan minoritas, yang dianggap “bersalah” hanya lantaran memiliki keyakinan politik yang berbeda dengan penguasa. Itulah yang terjadi pada tahanan politik, di mana saja, dan pada zaman apa saja. Seperti yang dialami oleh Pramoedya Ananta Toer, sastrawan Indonesia penerima banyak penghargaan internasional, bahkan pernah diusulkan untuk menerima hadiah Nobel sastra.
Pramoedya Ananta Toer, adalah fgur kontroversial dalam jagad sastra di Indonesia, yang semasa hidupnya selalu dilekatkan status, mungkin lebih tepat stigma, bahwa dia adalah propagandis ajaran-ajaran MarxismeLeninisme dan Komunisme, walaupun hal itu tidak pernah diakui oleh yang bersangkutan. Membaca buah pikiran Pram dalam sejumlah karya sastranya, jelas sekali menunjukkan bahwa sastrawan yang satu ini punya pemikiran yang radikal. Karena pemikirannya yang radikal, seringkali mengeritik penguasa, Pram sejak zaman pra kemerdekaan telah mengalami persekusi oleh pihak penguasa. Tercatat, dia mengalami ditahan selama 3 tahun pada masa kolonial dan 1 tahun pada Orde Lama, serta merasakan ditahan selama 14 tahun sebagai tahanan politik, tanpa proses pengadilan, oleh rezim Orde Baru. Tapi kalau kita baca dengan seksama karya masterpiece-nya yang berjudul Bumi Manusia, Pram melalui tokoh rekaannya Nyai Ontosoroh, justru lebih menunjukkan dirinya adalah penutur sejarah yang piawai menggambarkan suasana zaman kolonial yang sungguh tidak adil bagi kaum pribumi. Bahkan dalam sejumlah karyanya yang lain, Pram malah menunjukkan bahwa sesungguhnya dia menginginkan anak bangsa ini memupuk rasa nasionalismenya. Jadi apa yang salah, dan tidak dapat dipahami, pada diri Pramoedya Ananta Toer? Mengapa dia harus dikucilkan? Ataukah karena dia terlalu vulgar menunjukkan kinerja pamong praja yang tidak beres dalam novelnya yang berjudul Korupsi, sehingga dia lalu dianggap menyebarluaskan paham intoleran, dan menjadi alasan pengucilan oleh rezim Soekarno, kala itu?
Pada umumnya aksi pengucilan itu terjadi karena ada pihak yang kebetulan berkuasa, atau punya kekuatan sebagai kelompok mayoritas, tidak memahami sesuatu entitas, sehingga menganggapnya sebagai liyan yang berbahaya, atau menakutkan, dan pantas disingkirkan. Barangkali saya keliru, tetapi dalam pengamatan saya, hal itu pula yang terjadi pada kasus pengucilan dengan latar belakang penafsiran agama. Misalnya, pengucilan terhadap golongan Ahmadiyah di Indonesia. Dalam hal itu, setiap orang yang diidentifkasi sebagai golongan Ahmadiyah, tanpa kecuali, dianggap layak dikucilkan oleh mereka yang tidak dapat menerima eksistensi golongan tersebut. Celakanya adalah apabila mereka yang merasa berhak untuk mengucilkan itu merupakan kelompok mayoritas. Kelompok mayoritas tersebut merasa paling berhak untuk menghakimi bahwa kelompok Ahmadiyah itu merupakan aliran sesat, sehingga dianggap tidak berhak hidup di Indonesia. Lalu lahirlah stigma. Dan stigma itulah yang menimpa kelompok penganut Ahmadiyah di Lombok Timur, NTB, yang digeruduk oleh sekelompok massa anti-Ahmadiyah pada hari ketiga Ramadhan 2018, karena alasan yang sebenarnya remeh-temeh, konon sebagai buah dari perkelahian anak-anak pengajian, tetapi dengan akibat enam buah rumah penganut Ahmadiyah dirusak oleh massa yang terprovokasi (BBC Indonesia, 28 Mei 2018).
Sebenarnya pengucilan atas nama agama ini bukan suatu hal yang baru dalam riwayat kehidupan beragama. Dalam agama Kristen, praktik yang dikenal dengan istilah ekskomunikasi (excommunication) yang disandarkan pada asas celaan (anathema) ini adalah hukuman terberat yang dijatuhkan Gereja kepada seseorang yang melakukan dosa tertentu yang sangat berat, misalnya karena tidak patuh kepada otoritas Magisterium Gereja. Hukum pengucilan itu menjadi otoritas Gereja, dan sebenarnya tidak semua orang dapat mengamininya. Contohnya, Maharaja Frederick II dihukum pengucilan oleh Paus Gregorius IX, karena dianggap melanggar sumpahnya sebagai tentara salib, ketika masa Perang Salib Kelima (1217–1221). Tetapi benarkah Frederick II melanggar sumpahnya, ataukah karena ada faktor politik lain yang melatarbelakanginya? Hal itulah yang didiskusikan Andrew Jotischky dalam Crusading and the Crusader States (2017).
Perlunya diskusi tentang tindakan pengucilan bukan semata-mata untuk menguji kebenaran dari tindakan tersebut. Diskusi lebih dimaksudkan untuk mendudukkan persoalannya secara proporsional, dan melihat masalahnya secara adil, dari sudut pandang kedua pihak, antara korban dan pihak yang melakukan persekusi. Ambil contoh misalnya pengucilan terhadap kelompok Ahmadiyah di Indonesia. Mengapa kelompok yang melakukan persekusi merasa berhak untuk menilai penganut Ahmadiyah itu sesat, dan pantas dikucilkan? Apa dasar hukumnya? Kalau dasar hukumnya adalah Kitab Suci, siapakah yang membuat tafsirnya? Orang yang percaya bahwa Allah itu Maha Kuasa, dan sekaligus Maha Penyayang, niscaya mengakui bahwa Tuhan tidak akan “membiarkan” seseorang sampai menganut agama yang “salah”. Apa sulitnya sih bagi Tuhan untuk membuat setiap manusia di muka bumi hanya menganut satu agama, sebagai kepercayaan tunggal umat manusia? Janganjangan antar umat beragama itu merasa “paling benar” sendiri, dan menjadi ekslusif, lantaran karena tafsir yang dibuat oleh elite agama, dan tafsir itu sebenarnya tidak ada teksnya dalam kitab suci agama yang bersangkutan.
Keyakinan Fanatik dan Radikalisme
Fanatisme sebenarnya lahir dari kejumudan pikiran. Fanatisme tidak membuka ruang untuk adanya dialog. Fanatisme tidak tertarik untuk mengakui perbedaan sebagai sunnatullah. Padahal karena perbedaan itu adalah sunnatullah, maka sebuah keniscayaan pula apabila terjadi keragaman dalam segala hal, misalnya kebiasaan, gaya hidup, kultur, dan bahkan kepercayaan agama. Sehingga sebagaimana tulis George Santayana dalam Life of Reason pada awal abad duapuluh, fanatisme ibarat "melipatgandakan usaha Anda ketika Anda lupa tujuan Anda". Kelompok fanatik sebenarnya lupa bahwa tujuan manusia bermasyarakat dan berbangsa adalah untuk saling kenal-mengenal, bukan untuk saling meniadakan eksistensi orang lainnya. Ketika sudah saling kenal-mengenal, maka tahap selanjutnya boleh jadi adalah munculnya rasa maklum, bahwa dirinya berbeda dan membutuhkan bantuan orang lain untuk menjamin eksistensi dirinya. Bukannya bingung sendiri dengan pertanyaan, mengapa harus saling kenal-mengenal dengan orang lain yang tidak sama kultur, etnis dan agamanya.
Pada tahap selanjutnya, laku fanatik bisa saja melahirkan sikap radikal. Radikal, berasal dari kata radix (bahasa Latin, yang artinya akar pohon, sebagai kiasan dari sesuatu untuk berpegang kuat), adalah paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara drastis. Mereka yang radikal cenderung memaksakan keyakinannya yang bersifat eksklusif kepada orang lain. Orang-orang radikal biasanya tidak sabar dengan perubahan yang sifatnya perlahan, karena mereka berpikir atas dasar imajinasi “kondisi yang seharusnya”, bukan situasi yang senyatanya ada. Kecenderungan seperti itu menyebabkan terjadinya salah kaprah bagi kalangan awam, seakan-akan orang yang radikal diasumsikan sama dengan orang yang idealis. Padahal orang yang idealis adalah orang yang berpikir dan bertindak berdasarkan visi yang ideal, dan karena itu tidak sama dengan orang yang tidak sabaran melihat hasil perubahan seperti yang diimajinasikannya sendiri.
Masalah intoleransi yang terjadi dalam masyarakat pada umumnya dipahami sebagai akibat lebih lanjut dari munculnya paham-paham radikal. Seolah-olah mereka yang terpapar radikalisme selalu menjadi “pelaku”, dan bukannya “korban”. Padahal dalam realitasnya tidaklah selalu demikian.
Ambil contoh penduduk Palestina yang tinggal di Jalur Gaza. Barangkali semua kita akan sepakat, bahwa mereka umumnya menjadi kelompok radikal karena saban hari disuguhi kekerasan akibat tindakan represif tentara Israel yang menindas warga Palestina, karena ingin mengusir warga Palestina dari daerah tersebut. Padahal dalam sejarahnya, warga Palestinalah yang menerima pelarian warga Yahudi yang terusir dari daratan Eropa kala Perang Dunia II. Dengan kata lain, warga Palestina dapat dikatakan sebagai penduduk asli Jalur Gaza, sebelum negara Israel diproklamasikan. Dalam kasus radikalisme yang menjamur di Palestina, tidak jelas lagi siapa yang jadi “korban”, karena masingmasing pihak menunjukkan sikap radikal.
Sebaliknya kelompok-kelompok yang ramai menyuarakan “bela Palestina”, tetapi hanya berorasi melalui pengeras suara di depan publik di Jakarta, juga menampilkan diri seperti laiknya kaum radikal. Paling tidak, mereka menunjukkan sikap tidak kompromi terhadap penindasan warga Palestina di Jalur Gaza. Tetapi benarkah kelompok demonstran yang rajin berorasi di depan publik Jakarta itu adalah kelompok radikal, sebagaimana pejuang Palestina? Belum tentu. Ke-”radikal”-an kelompok ini akan teruji apabila tanpa pikir panjang yang bersangkutan pergi ke Jalur Gaza, dan ikut berjuang angkat senjata bersama warga Palestina di sana.
Ketika fanatisme berkawin dengan radikalisme, maka boleh jadi lahirlah berbagai kerunyaman. Contohnya adalah kemunculan kaum teroris, yang mengamalkan laku terorisme. Mereka bukan hanya sekadar mengancam, untuk menekan pihak lain agar menuruti kehendaknya, tetapi juga ingin meniadakan eksistensi pihak lain yang tidak sepaham dengan dirinya. Prinsipnya, yang paling benar adalah pola pikir dan preferensi yang dimilikinya. Tidak peduli bahwa preferensinya itu sungguh tidak sesuai dengan akal sehat. Tidak peduli bahwa preferensinya itu adalah refeksi dari suatu keyakinan yang membabibuta. Misalnya keyakinan bahwa melakukan teror dalam bentuk bom bunuh diri, yang ditujukan pada sasaran “orang kafr”, adalah tindakan jihad, dan pelakunya bisa dikategorikan sebagai mati syahid.
Bunuh diri, seperti disebutkan dalam kitab suci, adalah tindakan yang pasti membawa pelakunya ke pintu neraka. Padahal jihad adalah istilah dalam agama (Islam) yang merujuk pada tindakan seseorang yang ihlas mengorbankan segala kepentingan dirinya, termasuk hidupnya sendiri, demi untuk memperjuangkan agama, yang dipercaya akan menghantarkan seseorang ke pintu sorga. Tafsir terhadap lema jihad tersebut ada yang memaknainya sebagai “perang”, atau angkat senjata, melawan kaum kafr. Tapi persoalannya, perang terhadap apa? Orang kafr itu siapa?
Menurut defnisi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, lembaga yang berwenang menangani masalah radikalisme di Indonesia, kelompok radikal itu sebenarnya dapat diklasifkasikan sebagai kelompok radikal dalam sikap, dan radikal dalam tindakan. Kelompok pertama adalah yang terpapar paham radikalisme, misalnya paham-paham yang bersumber pada tafsir kaku terhadap dogma agama. Orang yang bersangkutan, sedikit-sedikit menyatakan dosa dan kafr atas sesuatu perbuatan atau tindakan orang lain. Namun pernyataan-pernyataan ekstrem tersebut paling banter hanya menimbulkan dampak keresahan bagi pihak lain yang dituduhnya berdosa atau kafr. Kelompok kedua adalah perkembangan lebih lanjut dari sekadar bersikap ekstrem. Kelompok ini dapat dianggap sebagai “kader teroris”, ketika mereka telah mempraktikkan paham yang diyakininya, antara lain dengan menjaga jarak dengan pihak lain yang tidak sepaham dengan mereka, dan hidup dalam pergaulan eksklusif. Pada tataran aksi yang lebih ekstrem, mereka boleh jadi bermaksud ingin memberangus pihak lain yang dianggapnya pengikut thoghut. Jikalau ada momentum, besar kemungkinan mereka siap untuk jadi martir, dan melakukan tindakan yang berdampak teror bagi masyarakat lain di sekitarnya.
Kalau ditelisik lebih jauh, nampaknya praksis beragama yang berorientasi pada sikap merasa paling benar dan paling suci adalah titik pangkal masalah. Tidak ada satu pun ayat dari kitab suci yang menganjurkan pembunuhan kepada massa yang tidak berdosa, tetapi dalam kenyataannya atas nama pemahaman agama yang sempit bisa saja sekelompok orang melakukan hal itu dengan penuh hidmat. Memang ada beberapa ayat dalam al-Qur’an yang dapat dikategorikan sebagai “ayat perang”, lantaran diturunkannya ayat tersebut kala umat Islam sedang menghadapi perang dengan kaum musyrik. Tetapi kalau kita baca Sirah Nabawiyah, teladan yang diberikan oleh Muhammad Rasulullah sangat jelas menunjukkan betapa beliau mengutamakan soft power untuk mengajak kaum kafr Quraish agar percaya kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Tutur kata Rasullullah diceritakan sangat lembut menyentuh nurani, dan itupun seringkali tidak menggetarkan hati kaum kafr Quraish, tetapi juga tidak menyebabkan Nabi menjadi putus harapan dan lalu berucap kasar.
Itulah sebabnya, agak sulit dipahami tingkah polah sekelompok orang yang mengatasnamakan agama, seraya menyerukan nama Tuhan, dan mengenakan segala simbol agama beserta pernak-perniknya, tetapi meluapkan amarah dan melontarkan caci-maki kepada seseorang yang dianggap “menista agama”, bahkan menyebutnya kafr, padahal belum terbukti yang bersangkutan benar-benar menista agama, dan yang lebih parah lagi adalah, orang tersebut justru adalah saudara sebangsa sendiri. Mereka yang mengaku pembela agama itu mungkin merupakan kelompok fanatik, tetapi apa haknya untuk mencap seseorang kafr, misalnya. Saya teringat wejangan seorang Kiyai, saya lupa kapan hal itu disampaikan, ketika beliau menafsirkan surat alMaidah ayat 8, yang berbunyi: “…. Jangan sekali-sekali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. ……”. Dan dia menambahkan, seyogyanya sebagai orang yang bertaqwa, tidak mudah bagi seseorang itu untuk mengumbar rasa bencinya dengan menyebut seseorang lainnya sebagai pendosa atau kafr. Untuk menyebut seseorang itu berdosa, atau kafr, sebenarnya bukanlah wilayahnya manusia, melainkan yuridiksi Tuhan. Karena Tuhan adalah Yang Maha Berkuasa atas hal-hal kekal, termasuk sorga.
Perihal status “orang kafr” ini akhirnya menjadi hal yang serius. Sejak zaman behaula, sebutan itu melekat pada orang-orang lain yang tidak disukai oleh kelompok agama dominan. Seperti diceritakan Michael York dalam Pagan Ethics (2015), ketika agama Kristen mulai menguasai Eropa, para pemuka agama Kristen menyatakan bahwa penganut agama pagan adalah kelompok kafr yang wajib diperangi. Para penyembah berhala itu adalah kelompok sesat yang tidak layak hidup di muka bumi. Lantaran karena pernyataan tersebut, terjadilah perburuan terhadap pengikut agama pagan. Untuk menjustifkasi perburuan, atau lebih tepatnya pembantaian pengikut agama pagan, mereka kerapkali diberi stempel sebagai pengikut setan dan para tukang sihir, sehingga pantas dimusnahkan dengan cara apapun.
Kasus yang terjadi di Eropa berabad-abad silam itu rupanya mewarnai kehidupan beragama zaman sekarang di republik ini. Ada kelompok penganut agama yang merasa dirinya paling benar dan paling berhak atas sorga. Masalahnya, kelompok ini rupanya alergi betul dengan kelompok penganut agama lain yang berbeda dengan mereka. Kelompok penganut agama yang terlalu fanatik dengan agamanya ini seolah-olah mengalami paranoid, sehingga bukan hanya gerah, tapi sudah ke taraf ingin meniadakan kelompok lain yang tidak sealiran dengan mereka. Mereka seolah-olah merasa sebagai “wakil Tuhan”, sehingga merasa paling berhak untuk menentukan siapa saja yang boleh hidup tenteram di muka bumi ini.
Padahal, dan inilah yang menjadi pokok masalahnya, ada tengarai bahwa kelompok fanatik tersebut memusuhi siapa saja, termasuk memusuhi pemerintah yang memangku kekuasaan negara. Visi mereka bukan semata-mata karena niat pemurnian agama, melainkan punya latar belakang politik, sehingga lebih tepat disebut “kuasi-agama”. Bahkan karena didorong oleh semangat ingin mengambil alih kekuasaan, tindakan terorisme mereka halalkan. Mereka tidak peduli aksinya dianggap biadab dan tidak dibenarkan agama, sejauh dibenarkan keyakinan agama. Karena yakin berada di jalan yang benar, mereka radikal dalam beragama. Dan karena keyakinannya tersebut, mereka sangat bersemangat memperjuangkan terbentuknya suatu sistem pemerintahan berdasarkan hukum-hukum agama, dan bukan sistem lain, termasuk demokrasi, yang mereka anggap sebagai sistem kafr. Seperti disinyalir oleh Frederick Clarkson dalam Eternal Hostility, gejala radikalisme agama itu muncul di mana-mana, termasuk di AS. Tetapi lantaran AS itu adalah negara sekuler, radikalisme agama di sana tidak mendapat lahan subur untuk berkembang.
Di Indonesia, kelompok radikal ini semakin hari rupanya semakin banyak penggemarnya. Penggemar bukan berarti protagonis. Penggemar itu umumnya hanya ikut-ikutan dan tidak paham substansi masalah yang sebenarnya. Tetapi para penggemar itu pula yang paling lantang, dan paling kasar, dalam menyatakan sikap permusuhan. Sebagian di antaranya kemudian melakukan baiat dengan pemimpin ISIS (Islamic State in Irak and Syria), dan membangun sel-sel jaringan kelompok radikal di dalam negeri. Sebagian lagi pergi ke luar negeri ikut bergabung dan berperang bersama dengan ISIS, untuk memperjuangkan berdirinya Daulah Islamiyah, memerangi penguasa kafr yang menerapkan hukum jahiliah. Celakanya adalah, begitu kembali ke tanah air, justru mereka berniat memerangi bangsa dan negeri sendiri, antara lain dengan melakukan teror bom dengan sasaran tempat-tempat ibadah, dan simbolsimbol negara.