CERPEN_"Ritme"
---
Ruang pelatihan, jam sepuluh pagi.
Nala berusaha tetap sadar. Matanya perih. Suara pembicara terdengar seperti gumaman radio rusak.
Tiba-tiba, seseorang menarik kursi di sampingnya.
"Mbak, nitip HP sama laptop, ya. Aku mau tidur. Kalau orang itu udah selesai, bangunin. Tapi jangan keras-keras. Aku gampang kaget soalnya."
Nala menoleh.
Seorang laki-laki dengan kemeja coklat lengan digulung menatapnya santai, seperti sudah kenal lama. Padahal ini pertama kali mereka bertemu.
"Eh? Ngapain? Mas... Bang? Pak?"
Nala bingung. Suaranya setengah berbisik, setengah kaget.
Kenapa tiba-tiba dia harus jaga orang tidur? Ini ruang pelatihan, bukan ruang tunggu klinik.
Raka menyender, memejamkan mata, seolah tak mendengar.
Nala gak jadi ngantuk.
Tangannya masih pegang pulpen, tapi pikirannya terganggu. Ia curi pandang ke layar laptop Raka.
"Bagian Operasional... kayaknya," gumamnya dalam hati.
Dia membuka daftar peserta pelatihan. Mencari nama.
“Raka Adiputra.”
Namanya agak familiar. Tapi Nala gak yakin dari mana.
Sementara di layar proyektor, pembicara masih berkhotbah soal budaya kerja.
Nala menyilangkan kaki. Dada berdebar ringan.
Aneh. Kenapa malah aku yang gak bisa tidur sekarang?
---
Setelah pelatihan, di lobi gedung.
Peserta pelatihan satu per satu meninggalkan ruangan. Nala berjalan ke arah lift sambil mengecek ponsel. Suara langkah seseorang menyusul dari belakang.
"Tadi aku mimpi loh."
Nala menoleh. Raka. Rambutnya agak acak. Wajah masih menyisakan bekas tidur. Tapi matanya terang.
"Mimpi?" Nala mengerutkan kening.
"Iya. Kamu marah karena aku tidur. Terus kamu lempar aku pake notes."
Dia menyentuh keningnya, pura-pura kesakitan.
"Di sini. Tajem banget notes-nya."
Nala menahan senyum.
"Harusnya nyata sih, bukan mimpi."
"Makanya, mending kamu lempar beneran aja. Biar gak ganjel."
Lift terbuka. Mereka masuk bersamaan. Hening. Hanya suara lantai lift yang bergerak turun.
"Eh," Raka menyela, "tadi kamu sempet ngintip laptop aku ya?"
Nala langsung menoleh, kaget.
"Nggak—enggak. Cuma... ya kebuka sendiri aja layarnya."
Raka mengangguk sok serius.
"Wah. Pelanggaran privasi tuh. Harus ditebus."
"Tebus?"
"Ngopi bareng. Sore ini."
Dia menoleh ke Nala dengan ekspresi seolah-olah itu undangan yang tak bisa ditolak.
Lift terbuka. Nala buru-buru keluar.
"Aku ada desain yang harus dikumpulin," katanya, melangkah cepat.
Raka tertinggal di belakang, tapi suaranya masih terdengar.
"Oke, berarti kopi-nya bisa buat begadang. Nanti aku yang traktir, Mbak Penjaga Tidur!"
Nala tidak menoleh. Tapi langkahnya terasa ringan. Dan senyumnya... sudah muncul duluan sebelum ia sempat menyadari.
__
Jam menunjukkan 16.47.
Sudut meja pojok itu masih menyala dengan cahaya temaram dari lampu meja kecil. Warnanya kekuningan, seperti matahari yang enggan pulang.
Nala duduk dengan punggung tegak dan kepala sedikit miring. Di hadapannya, layar monitor terbagi dua:
sisi kiri adalah render desain interior untuk klien proyek show unit, sisi kanan spreadsheet jadwal produksi dan revisi vendor.
Jari-jarinya bergerak tenang. Kadang cepat. Kadang terhenti sejenak untuk memberi ruang pada pikiran yang mengalir. Di sisi mug-nya, ada label kecil yang ia tempel sendiri bertuliskan:
“Lelah boleh, kehilangan kendali jangan.”
— Catatan untuk diri sendiri.
Di luar kacanya, langit kota mulai surut. Tapi di dalam ruangan kantor lantai empat itu, sayup-sayup terdengar suara rekan-rekannya. Beberapa tertawa agak keras. Beberapa mengeluh dengan tawa palsu.
“Fix, aku mau resign aja deh. Desain diganti terus, klien gak jelas!”
Sebuah suara terdengar dari balik partisi. Disambut gelak tawa yang tidak benar-benar lucu.
Nala tidak menoleh. Tapi bibirnya mengulas senyum kecil. Ia tahu irama itu. Hipokrastik. Kombinasi antara lelah, sinis, dan pencarian validasi.
Ia mengetuk pelan meja tiga kali, lalu berdiri. Menyusuri lorong antar meja, berjalan ke arah pantry.
"Bu Sinta, kopi sachet-nya masih ada nggak?" tanyanya sambil tersenyum.
Sinta menoleh, masih dengan wajah setengah lesu. “Masih. Tapi rasa susunya udah tinggal bayangan.”
Tawa kembali meletup. Tapi kali ini, sedikit lebih ringan.
Nala ikut tertawa kecil. “Nggak apa-apa. Yang penting masih bisa dilarutkan.”
Dia duduk sebentar di kursi dekat kulkas kecil. Tak berkata banyak. Hanya duduk. Diam. Tapi kehadirannya seperti jeda yang dibutuhkan: tidak ikut mengeluh, tapi juga tidak menghakimi.
Lima menit, lalu ia kembali ke mejanya.
Kursinya bergeser. Layar kembali menyala.
Dan Nala… kembali bekerja. Tak menuntut dunia berubah cepat, tapi yakin bahwa ia bisa menciptakan satu ruang yang tidak terbakar, di tengah dunia yang kadang terlalu mudah meledak.
Nala baru saja kembali ke kursinya saat notifikasi email masuk:
[URGENT] Revisi render kitchen set – klien belum approve!
Dari: Pak Reno.
Subject-nya saja sudah cukup untuk bikin satu lantai menahan napas. Isinya?
“Nala, tolong ubah warna kabinet jadi natural oak, bukan grey ash. Client mau ‘feel-nya’ lebih hangat. Aku tunggu render barunya jam 6.
Oh ya, tolong ingatkan Anin besok bawa dummy papan material. Hari ini dia bawa yang salah.
Thanks.”
Nala menarik napas. Sekilas menatap jam. 16.59.
Ia mengangguk pelan—tidak pada siapa-siapa—hanya pada dirinya sendiri.
Di meja sebelah, Anin masih sibuk mengedit file untuk media sosial kantor.
Tapi terlihat dari jauh, dia mengedit dengan Photoshop terbuka, dan YouTube menyala kecil di sudut layar. Video mukbang.
“Anin,” Nala memanggil pelan.
Gadis itu menoleh cepat. “Iya, Kak?”
“Besok bawa ulang papan sample ya. Yang hari ini kamu bawa, itu buat klien proyek Grand Ariya. Kita butuh yang untuk Palem Vista.”
Anin mengerutkan kening. “Waduh... beda ya?”
Nala tersenyum kecil. “Banget.”
Anin langsung panik. “Aduh maaf, Kak! Tapi... aku bingung, warnanya mirip. Aku kira sama...”
Nala menggeser kursinya mendekat. Menunjuk dua file render di layarnya.
“Ini Palem Vista—lebih ke beige, tone hangat. Yang kamu bawa tadi tone-nya dingin.”
Anin mengangguk-angguk cepat. “Iya iya iya, aku ngerti sekarang. Duh... makasih ya Kak, udah sabar.”
Nala hanya mengangguk.
“Dan... Kak, maaf. Aku bawa pulang penggaris besi kantor. Tadi masuk tas laptop nggak sengaja.”
Nala menoleh.
“Beneran nggak sengaja?”
“Agak sengaja sih... takut ilang.”
Mereka tertawa pelan. Di tengah revisi yang menderas dan email yang bertubi-tubi, ada ruang tawa kecil.
Bersama intern yang kikuk, dan atasan yang deadline-nya mepet, Nala tetap jadi poros yang menjaga segalanya tidak berantakan.
Pukul 09.03
Ruang meeting lantai dua.
Nala berdiri di samping layar besar, mengecek ulang pointer, koneksi HDMI, dan catatan kecil di tablet. Ia sudah berada di sana sejak 08.45, walau presentasi baru dijadwalkan pukul 9 tepat.
Pak Reno belum muncul.
Dan di kursi tamu, empat orang dari tim klien proyek Palem Vista sudah duduk dengan wajah formal dan kopi take-away yang belum sempat diminum. Salah satunya, mengenakan kemeja linen coklat muda, celana hitam, dan menatap ke layar dengan ekspresi santai namun awas.
Raka.
Nala sempat menahan napas. Tapi tak sempat memikirkan lebih lanjut.
Pukul 09.06
Salah satu klien berbisik ke temannya. Ada yang mulai mengetuk meja.
Nala tahu tanda itu.
Ia berdiri. Menatap layar. Lalu menatap para tamu.
“Selamat pagi. Mohon maaf, Pak Reno sedang dalam perjalanan, tapi kita bisa mulai lebih dulu. Saya Nala, bagian visual dan koordinasi produksi untuk proyek Palem Vista.”
Tangannya tidak gemetar.
Suaranya stabil.
Slide pertama terbuka.
Sepuluh menit berlalu.
Nala menjelaskan konsep interior “Natural Warmth” untuk unit 72 dan 90 meter persegi. Menjawab satu per satu pertanyaan tentang pemilihan material dan alur produksi. Ia bahkan memberi saran logistik untuk batch kitchen set yang tertunda dari vendor.
Satu jam kemudian, sesi ditutup. Klien tampak puas.
Salah satu dari mereka berdiri dan menyalami Nala lebih dulu.
“Kamu jelas menjelaskan. Nggak banyak basa-basi, tapi bikin tenang. Saya suka gaya presentasimu.”
Nala menunduk sopan. “Terima kasih, Bu.”
Saat semua berkemas, suara ringan terdengar dari arah belakang.
“Wah, hebat. Nggak cuma jago jaga orang tidur, sekarang juga jago handle klien.”
Nala menoleh. Raka berdiri dengan tangan di saku dan senyum kecil.
“Kamu bagian dari tim klien Palem Vista?”
“Outsourcing. Aku diminta bantu visual storytelling untuk presentasi ke investor minggu depan.”
Dia mengangkat alis. “Tapi kayaknya udah nggak perlu deh.”
Nala memutar bola matanya sambil merapikan pointer. “Kamu cuma numpang puji atau ada perlu lain?”
Raka mengangguk pelan. Lalu mendekat satu langkah.
“Cuma mau ingetin. Janji di lift waktu itu belum lunas.”
Nala berhenti. Menoleh.
“Hah?”
“Ngopi bareng. Sore ini. Nggak bisa kabur lagi, kan? Aku ada di ruangan yang sama sekarang.”
Senyum Raka tak berubah—seolah pelatihan, ruang tidur, dan lift itu hanya bab pembuka dari sebuah percakapan yang belum selesai.
Nala menghela napas... tapi sudut bibirnya sudah kalah duluan.
Kedai kopi itu kecil dan tenang.
Bukan kedai kekinian. Tidak ada neon quote Instagram.
Hanya jendela lebar menghadap jalan, bangku kayu panjang, dan meja bulat yang bekas cangkirnya tidak selalu dibersihkan cepat.
Nala memilih duduk dekat jendela. Ia memesan teh hangat. Raka, tentu saja, kopi hitam.
Mereka duduk tanpa banyak bicara. Lalu, seperti biasa, Raka memecah hening dengan nada seenaknya.
“Kalau kamu hewan, kamu kira kamu hewan apa?”
Nala menoleh dengan wajah antara bingung dan ingin tertawa. “Hah? Maksudnya?”
“Ya, kalau kamu bukan manusia. Kamu hewan apa?”
Nala menghela napas. “Aku ke sini bukan buat ikut kuis identitas hewan, Rak.”
“Tapi aku serius.”
Nala berpikir sejenak. “Kucing. Aku suka menyendiri, suka tempat hangat, dan nggak suka disuruh-suruh.”
Raka mengangguk. “Masuk akal. Kamu kucing liar yang ditawarin kerja tapi cuma mau kalau cocok suasananya.”
“Kalau kamu apa?”
Raka menjawab cepat. “Aku flamingo.”
Nala langsung batuk kecil karena teh.
“Flamingo?! Serius?”
“Kenapa? Flamingo itu absurd, berdiri pake satu kaki, warnanya norak, dan makanannya plankton. Tapi dia elegan kalau diam.”
“Rak, kamu? Elegan?”
Nala tertawa. Tertawa sungguhan, sampai kepalanya tertunduk.
Itu pertama kalinya hari itu, tawanya keluar tanpa sadar.
Dan justru saat itu, pelayan kedai menjerit dari arah dapur.
“Mas! Itu helm-nya! Ada kecoak di dalam helm!”
Semua orang menoleh. Raka berdiri dengan refleks.
“Mana? Mana?”
Dia mengangkat helmnya—dan benar, seekor kecoak panik merayap di dalamnya.
“Astagaaaa—ini helm aku! Wah jangan... jangan, bro. Kita bisa bicarain ini!”
Alih-alih menjatuhkannya atau kabur, Raka—dengan serius—berusaha menenangkan kecoak.
“Tenang, lo nyasar. Ini bukan habitatmu. Kita bukan musuhan. Lo butuh keluar, gue butuh helm yang aman. Yuk cari win-win.”
Pelayan dan dua pelanggan melongo. Nala sudah membungkuk di kursinya, menahan tawa yang nyaris membuatnya lupa dia manusia.
Akhirnya, Raka keluar sambil membawa helm dan kecoaknya, mengantar makhluk itu ke selokan pinggir jalan. Saat dia kembali, Nala masih tertawa, matanya berkaca-kaca karena sisa emosi seharian bercampur absurd.
“Kenapa kamu nggak buang aja tadi?” tanya Nala, begitu bisa bicara.
Raka menjawab ringan. “Karena aku ngerti rasanya nyasar di tempat yang bukan buat kita. Dan... takut dipukul padahal nggak ada niat nyakitin siapa-siapa.”
Nala terdiam.
Itu kalimat sederhana. Tapi masuk seperti panah ke tempat yang tak bertameng.
Di balik absurditas dan candanya, Raka ternyata mengenal luka—dan memilih untuk tidak meneruskan lingkar kekerasan. Bahkan untuk seekor kecoak.
Dan Nala sadar,
di dunia yang terlalu sering menyuruhnya tegar,
ia butuh seseorang yang justru tahu caranya menertawakan hal kecil... dan tidak mempermalukan kelembutan.
Malam itu, untuk pertama kalinya, Nala pulang...
dengan senyum yang ia sadari sendiri.
Dan Raka?
Ia masih memegang helm yang kini terasa sedikit... simbolik.
Hari Jumat, pukul 16.32.
Gerimis baru saja selesai.
Di kantor, lantai karpet masih menyimpan bekas telapak sepatu yang lembap.
Suasana ruang kerja agak sunyi. Tapi tidak dengan ruang meeting.
Pak Reno keluar dari ruang itu dengan ekspresi bangga. Di tangannya, folder kuning tebal. Salah satu klien besar baru saja menawarkan proyek baru—lebih besar, lebih prestisius.
Semua rekan kantor menyambut dengan ucapan selamat, tepuk tangan, dan senyum ikut senang... walau tidak semua tulus.
Tapi di tengah riuh, terdengar celetukan lirih dari dekat mesin kopi.
“Yah, tinggal tunggu nama Nala diliput media. Oh, tunggu... kayaknya nggak ada namanya di mana-mana.”
Tawa kecil terdengar.
Terdengar biasa—kecuali bagi seseorang yang sebenarnya tidak menuntut panggung, tapi tahu rasanya diabaikan.
Pak Reno mendadak menoleh. Suaranya naik sepersekian oktaf.
“Mbak Nala, saya dengar beberapa staf merasa kamu minta pengakuan? Saya harap kamu tidak mulai menyebar gosip atau... merasa berhak atas sesuatu yang bukan porsimu.”
Nala menatapnya. Lurus.
“Tidak, Pak. Saya tidak bilang apa-apa.”
“Tapi saya juga tidak bisa biarkan energi seperti ini berkembang di kantor.
Kalau kamu merasa tidak dihargai, kamu bisa diskusi langsung, bukan... membentuk opini diam-diam.”
Nada suaranya menggesek seperti logam.
Penuh tekanan, bukan diskusi.
Nala mengangguk. Tapi di dalam dadanya, ada sesuatu yang retak.
Bukan karena ia ditegur—tapi karena seseorang yang paling tahu prosesnya... justru memelintirnya menjadi sesuatu yang tidak pernah ia niatkan.
Pukul 17.01.
Langit kota berkabut lembut. Jalanan basah memantulkan warna lampu kendaraan.
Nala melangkah keluar kantor. Sendirian.
Rambutnya sedikit lembap. Langkahnya tidak cepat, tapi juga tidak ingin diam.
Ia membuka ponselnya—dan hampir saja mengetik sesuatu di aplikasi lowongan kerja—
sampai terdengar suara klakson kecil yang familiar, tapi kali ini disusul oleh deru mesin yang... berbeda.
“Piiit—Nala! Mau nebeng?”
Raka muncul dari tikungan parkiran, naik motor sport warna biru tua, lebih besar dari sebelumnya. Helm barunya mengilap.
Ia tampak seperti anak sultan yang habis menang undian, tapi ekspresinya... tetap absurd.
“Motor baru?” Nala mengerutkan dahi.
“Ya. Yang lama diputusin pacarnya. Jadi aku upgrade.”
Lalu, dia berbisik dramatis.
“Motor itu seperti hubungan. Kalau udah nggak bisa diajak jalan bareng, ganti. Tapi helm... helm tuh prinsip.”
Nala ingin marah karena baru saja diinterogasi batin oleh atasan. Tapi kalimat Raka bikin dia... berhenti.
“Helm itu prinsip?”
“Ya. Kepala lo cuma satu, Nal. Lo boleh ganti gaya, ganti arah. Tapi prinsip... harus tetap jagain kepala. Jangan sampai kepala lo luka cuma karena kamu nggak mau bilang: ‘ini bukan salahku’.”
Ia diam sejenak. Lalu melanjutkan.
“Orang kadang kayak Pak Reno. Helmnya lama, bolong, nggak cocok. Tapi terus dipake... karena takut dibilang nggak profesional kalau ganti.
Tapi kamu bukan dia. Kamu ngerti kapan harus bilang: ini udah nggak aman buat aku. Dan kamu harus bisa... cabut.”
Nala menatap motor itu.
Lalu menatap helm Raka.
Dan untuk pertama kalinya hari itu, ia merasa:
ia berhak menentukan ke mana ia pergi.
Di bawah cahaya jalan yang memantul dari aspal basah,
Nala berkata pelan:
“Rak, kamu boleh absurd. Tapi kamu ngajarin aku cara bilang ‘tidak’ tanpa harus teriak.”
Raka mengangkat helmnya. “Aku absurd, tapi konsisten. Dan kayaknya, ini waktunya kamu ganti helm juga.”
Nala tersenyum. Dan untuk pertama kalinya, ia naik motor itu—bukan karena lelah... tapi karena sudah selesai menunduk.
Selasa pagi. Kantor mulai ramai.
Nala datang dengan langkah seperti biasa. Tapi ada satu hal berbeda pagi ini: tatapannya.
Bukan marah. Bukan takut. Tapi... fokus.
Ia masih duduk di meja lama. Masih membuka folder proyek Palem Vista. Tapi tidak lama kemudian, kepala divisi utama memanggilnya ke ruang rapat tengah.
“Nala, kamu yang handle presentasi minggu lalu, ya?”
“Iya, Bu.”
“Mulai minggu depan, kamu diminta mewakili perusahaan dalam kerjasama proyek interior dan publikasi desain dengan klien dari Singapura. Skala besar. Dan kami... mengangkat kamu sebagai project lead.”
Nala terdiam. Jantungnya berdetak. Tapi wajahnya tetap tenang.
“Pak Reno?” tanyanya perlahan.
“Pak Reno tetap koordinator umum perusahaan. Tapi untuk proyek ini... kamu yang memegang komando. Mereka meminta kamu secara langsung. Bahkan menyebut namamu dalam kontrak.”
Beberapa menit setelah kabar itu beredar, suasana kantor menghangat dengan bisik-bisik.
Pak Reno mencoba tertawa biasa, tapi matanya sempat melirik Nala—lebih dari sekali.
Ia masuk ke ruangan meeting dadakan, memanggil dua staf dan memberikan briefing seperti biasa, tapi suaranya terdengar tergesa. Ia mulai menyusun ulang tim proyek lama, berusaha tetap tampak dominan.
Lalu... masuklah Anin.
Anin, staf magang bagian layout digital yang polos tapi penuh perhatian, menyodorkan sticky note warna pink ke meja Pak Reno.
“Pak, ini dari Bu Lila. Katanya nanti jam dua mau diskusi sama Mbak Nala soal perpanjangan kontrak partnership.”
Pak Reno kaget. “Sama saya maksudnya?”
Anin berkedip bingung. “Nggak, Pak. Saya dengarnya langsung, kok. Katanya Mbak Nala aja.”
Anin tersenyum manis, lalu keluar dengan langkah santai, meninggalkan Pak Reno yang mendadak diam seperti Wi-Fi mati.
Sore harinya, di teras belakang kantor, gerimis baru saja selesai.
Nala duduk sendiri. Di tangannya, cangkir teh. Ia baru saja selesai mengatur jadwal pertama untuk proyek luar negeri itu.
“Ngopi?”
Suara familiar datang dari samping.
Raka. Kali ini dengan motor yang sama seperti sebelumnya—motor sport biru tua, masih mengkilap. Tapi ada yang aneh.
Helm yang ia bawa bukan helm barunya, melainkan helm lama—yang dipenuhi stiker warna-warni, cat ulang, dan pelindung kaca baru.
Nala memiringkan kepala. “Eh, helm barumu ke mana?”
Raka tersenyum santai. “Di rumah. Bagus sih. Tapi… entah ya. Gak seklik itu. Lagian…”
Ia mengetuk helm lamanya yang sudah dihias.
“…yang ini punya sejarah.”
Nala memperhatikan. Helm itu... iya. Itu helm yang dulu ada kecoaknya. Helm pertama kali ia kenal Raka. Helm yang sempat hampir dibuang, tapi... sekarang berdiri utuh, bahkan terlihat lebih kuat dan lucu dengan semua tambalan dan stikernya.
“Jadi kamu gak jadi buang helm ini?” tanya Nala.
“Waktu aku mau buang, malah jadi kepikiran. Ini helm nyimpen semua kejadian aneh dan keputusan baik.
Dan ternyata… masih nyaman dipakai. Jadi... ya, kenapa harus ganti kalau bisa dipoles?”
Nala diam sejenak.
Lalu senyum tipis muncul di wajahnya.
“Rak, kamu tahu nggak?
Waktu itu kamu bilang kalau helm rusak, ganti. Tapi aku pikir… ada kalanya, helm lama justru lebih layak dipertahankan.”
Raka menoleh. Menunggu.
“Kantor ini, sistemnya, orang-orangnya... memang bikin aku pengen cabut. Tapi bukan karena takut. Aku cuma ingin tahu apakah bisa diperbaiki. Dan ternyata, bisa. Tapi syaratnya... aku harus pegang kendali.”
Ia menatap helm di pangkuan Raka.
“Kayak helm kamu. Dirawat. Disesuaikan. Diubah secukupnya. Tapi tetap helm yang sama.”
Raka mendesah. “Aku beneran harus ngelamar kamu pakai analogi helm ini suatu hari nanti ya?”
Nala tertawa. “Kalau kamu nunggu aku ganti helm baru dulu, ya bakal lama.”
Dan di bawah langit sore yang baru selesai menangis,
dengan helm lama yang diberi hidup baru,
Nala tahu:
ia tidak lari dari sesuatu yang rusak—ia memilih tinggal dan memperbaiki, karena ia sudah tahu nilainya.
Ia menoleh pada Raka yang duduk di depannya.
Raka menyandarkan tubuh ke sandaran bangku kayu, pandangannya lurus ke sisa awan yang bergerak pelan.
Suara tetesan air dari talang terdengar lirih, menandai waktu yang pelan-pelan berjalan menuju malam.
“Ngomong-ngomong...”
Raka mulai bicara lagi, kali ini nadanya lebih hati-hati.
“Aku baru tahu... kamu tahu aku yang dorong nama kamu buat proyek itu.”
Nala hanya menatap cangkir tehnya, memutar pelan.
“Aku denger langsung dari tim luar waktu meeting,” jawabnya datar, tapi tak dingin.
“Maaf,” kata Raka pelan. “Aku tahu kamu pengen semua datang dari hasil kerja, bukan... koneksi.”
Nala tersenyum. Senyum itu... bukan lega. Bukan juga kecewa.
Senyum seseorang yang sudah memikirkan ini semalaman dan memutuskan: ia tidak akan memusuhi hidup hanya karena tidak sesuai rencana.
“Aku sadar, Raka,” gumamnya.
“Dunia ini... gak sepenuhnya adil. Bahkan langkah pertamaku menuju ruangan besar itu... lewat pintu yang kamu bukakan.
Tapi kamu tahu? Gak apa-apa. Karena aku tahu, begitu pintu itu kebuka, aku gak duduk sebagai tamu. Aku kerja. Dan aku akan bikin mereka gak bisa nutup pintu itu lagi untuk perempuan sepertiku.”
Raka menatapnya lama.
Tak ada yang ingin ia jawab—karena semua sudah selesai dijawab oleh perempuan di depannya.
"Nala dan Dian__ dari Ruang Tenang"