Feminisme dan Gender: Sebuah pengertian
Munculnya istilah Feminisme pada dasarnya tidak terlepas dari persolan gender. Feminisme dan gender adalah dua istilah yang satu sama lain saling berkaitan, dan merupakan sebuah fenomena kausalitas. Gender sebagai sebab dan feminisme sebagai akibat.
Meskipun di dalam kamus kata seks dan gender adalah sinonim, namun kaum feminis biasanya membedakan kedua istilah tersebut. Menurut Ensiklopedia Feminisme, gender adalah kelompok atribut yang dibentuk secara kultural yang ada pada laki-laki atau perempuan.[10] Sedangkan seks adalah jenis kelamin yakni kondisi biologis seseorang apakah dia secara anatomi laki-laki atau perempuan.[11] Jenis kelamin adalah suatu hal yang bersifat alamiah (takdir) yang seharusnya tidak menimbulkan diskriminasi antara laki-laki dan perempuan, sedangkan gender pada hakekatnya adalah persoalan sudut pandang dan penilaian sosial budaya masyarakat yang berbeda antara satu budaya dengan budaya lainnya.[12] Untuk itu Kamla Bahsin menegaskan bahwa gender lebih bersifat sosial budaya dan merupakan produk manusia, merujuk pada tanggung jawab peran, pola perilaku, kualitas, kapabilitas, dan lain-lain yang bersifat maskulin dan feminine. Selain itu, gender juga bersifat tidak tetap, ia berubah dari waktu ke waktu, dari satu kebudayaan ke kebudayaan lainnya, bahkan dari satu keluarga ke keluarga lainnya. Suatu hal yang pasti adalah bahwa gender merupakan sesuatu hal yang dapat dirubah.[13]
Menurut Mansur Fakih, gender adalah suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural. Misalnya, bahwa perempuan itu dikenal dengan sifatnya yang lemah lembut, cantik, emosional, dan keibuan, sedangkan di sisi lain laki-laki selalu dianggap kuat, rasional, gagah, dan perkasa.[14]
Perbedaan perlakuan akibat penggenderan (gendering) tersebut kemudian menjadi persoalan karena menimbulkan banyak ketidakadilan bagi kaum perempuan, sehingga selanjutnya menimbulkan reaksi menentang fenomena tersebut. Muncullah kemudian sebuah gerakan yang diberi nama feminisme.
Menurut Moelino, Feminisme ialah gerakan perempuan yang menuntut persamaan hak sepenuhnya antara kaum perempuan dan laki-laki.[15] Sedangkan menurut Goefe feminisme ialah teori tentang persamaan antara laki-laki dan perempuan di bidang politik, ekonomi, dan sosial, atau kegiatan terorganisasi yang memperjuangkan hak-hak serta kepentingan perempuan.[16]
Di dalam kamus sosiologi disebutkan bahwa semua varian teori feminis cenderung mengandung tiga unsur atau tiga asumsi pokok, pertama, gender adalah suatu konstruksi yang menekan kaum perempuan, sehingga cenderung menguntungkan kaum laki-laki. Kedua, konsep patriarkhi atau dominasi laki-laki dalam lembaga sosial, dianggap sebagai landasan utama konstruksi tersebut. Ketiga, untuk itu, pengalaman dan pengetahuan kaum perempuan harus dilibatkan dalam mengembangkan suatu masyarakat non-seksis di masa mendatang.[17]
Secara umum feminisme adalah ideologi pembebasan perempuan. Hal ini terlihat dari semua pendekatan yang digunakannya yang berkeyakinan bahwa perempuan mengalami ketidakadilan akibat jenis kelaminnya.[18] Pada intinya feminisme adalah gerakan untuk menuntut persamaan gender.
Kritik Sastra Feminis: Teori dan Aplikasi
Kritik secara terminologi berasal dari bahasa Yunani yaitu krinein yang artinya menghakimi, membanding, dan menimbang.[19] Maka kegiatan menilai, menghakimi, menimbang sebuah karya sastra itulah yang dimaksud dengan kritik sastra. Sedangkan menurut Ahmad al-Syâyib, kritik sastra adalah menimbang atau mengukur suatu karya sastra secara akurat, serta menjelaskan nilai dan kualitas karya sastra tersebut. Untuk itu menurutnya, proses penilaian sebuah karya sastra adalah dimulai dengan memahaminya, menafsirkannya, menganalisanya, menimbangnya, dan yang terakhir adalah memberikan penilaian tentang baik buruknya karya tersebut secara objektif dengan berlandaskan pada prinsip-prinsip dasar sastra dan kritik sastra, baik secara umum, maupun berdasarkan pada jenis sastra tertentu.[20]
Istilah sastra itu sendiri tidak memiliki definisi yang baku, sebab menurut Teww sebagaimana dikutip oleh Atmazaki, definisi-definisi yang dibuat terkadang hanya menekankan pada satu aspek karya sastra saja, atau hanya berlaku pada sastra tertentu, atau sebaliknya batasan yang dibuat terlalu luas dan longgar, sehingga masuk ke dalamnya hal-hal yang sebenarnya bukan termasuk unsur sastra.[21] Namun demikian Syauqi Dlaif, memberikan definisi sastra dengan “ungkapan (kalâm) yang bagus (balîgh),[22] yang mampu mempengaruhi perasaan pembaca maupun pendengar, baik dalam bentuk puisi maupun prosa.[23]
Berdasarkan definisi tersebut, Ibrâîhim Mahmûd Khalîl mengklasifikasikan sastra feminis (al-adab al-nisa’i) ke dalam dua kategori. Pertama, sastra (puisi atau prosa) yang dibuat oleh penulis perempuan yang mengilustrasikan penilaiannya tentang dirinya sendiri, pandangannya terhadap laki-laki, serta keterkaitannya dengan laki-laki, atau yang menceritakan tentang pengalaman dan perjalanan hidup seorang perempuan, baik fisik maupun mental, maupun problem personal sebagai seorang perempuan. Kedua, sastra (puisi atau prosa) yang ditulis laki-laki namun di dalamnya membicarakan perempuan serta bagaimana ia memperlakukan perempuan dalam karyanya tersebut.[24]
Untuk menilai apakah sebuah karya sastra berpihak pada perempuan atau tidak maka dibutuhkan sebuah kritik yang mengacu pada prinsip-prinsip dasar feminisme, yang digunakan sebagai tolak ukur. Inilah yang dinamakan dengan kritik sastra feminis. Menurut Jenifer, kritik sastra feminis pada awal kemunculannya (1960-1970) berpendapat bahwa laki-laki dan perempuan memiliki beberapa pandangan yang berbeda mengenai sastra, dan apa yang dianggap selama ini sebagai sastra pada dasarnya hanyalah berdasarkan sudut pandang kaum pria.[25]
Keterkaitan sastra feminis dengan banyak aspek lainnya, membuat kritik sastra feminis tidak memiliki definisi tunggal dan baku. Banyak definisi kritik sastra feminis yang diberikan oleh para fakar. Masing-masing definisi tergantung dari sudut pandang mana ia membidik perempuan dalam karya sastra. Ibrahim Muhammad Khalil misalnya, ia mendefinisikan kritik sastra feminis dengan sebuah kritik yang secara khusus mengkaji sejarah perempuan yang terdapat dalam karya sastra. Kritik ini bertujuan guna mengungkap perbedaan perlakuan terhadap perempuan dalam tradisi dan budaya di samping untuk mengungkap peranannya dalam berkarya.[26] Sedangkan menurut Showalter kritik sastra feminis yaitu studi sastra yang mengarahkan fokus analisis kepada perempuan.[27]
James Romesburg dalam Definitions of Feminist Literary Criticism, menyajikan tidak kurang dari lima belas definisi maupun pendapat tentang kritik sastra feminis yang ia rangkum dari berbagai fakar sastra feminis. Seperti menurut Sheneka, kritik sastra feminis adalah suatu hal yang sangat menarik namun sulit untuk didefinisikan. Kritik sastra feminis menganalisis karya sastra orang lain namun ditinjau dari sudut pandang perempuan. Dalam setiap karya sastra, karakter perempuan biasanya ditampilkan secara kuat (strong presence), baik karakter baik maupun buruk. Kritik sastra feminis menilai karakter dan sudut pandang pengarang perempuan dan peranannya dalam menciptakan suatu karya sastra. Untuk itu kritik sastra feminis adalah sebuah metode analisis sastra dengan cara mengkaji perempuan, peran dan kedudukannya dari balik karya sastra. Secara umum kajian ini bertujuan untuk mengkounter dan menentang, atau bahkan berupaya menghapus pemikiran, tradisi, budaya, dan ideologi patriarkhi, juga dominasi dan superioritas kaum adam terhadap kaum hawa baik dalam konteks pribadi maupun publik dalam karya sastra.[28]
Kritik sastra feminis adalah sebuah kajian dengan cara membaca tulisan, ideologi, serta kultur dengan perspektif yang berpusat pada perempuan. Suatu kritik dinilai berperspektif feminis jika mengkritik disiplin yang ada, paradigma tradisional mengenai perempuan, peran sosial atau alamiah, atau dokumen-dokumen karya feminis lain dari sudut pandang perempuan.[29]
Lisa Tuttle menyatakan bahwa kritik sastra feminis merupakan sebuah pertanyaan “ pertanyaan baru terhadap teks-teks lama”. Adapun tujuannya adalah : (1) untuk mengembangkan dan membuka tradisi menulis kaum perempuan. (2) untuk menafsirkan simbol-simbol tulisan perempuan, sehingga tidak terjadi kesalahan perspektif yang disebabkan sudut pandang kaum pria. (3) mengungkap karya-karya sastra lama. (4) menganalisis pengarang perempuan dan karangannya dengan berdasarkan perspektif perempuan. (5) untuk menentang sexism (gendering) dalam karya sastra, dan (6) untuk meningkatkan kewaspadaan atau perhatian terhadap bahasa dan style politik seksual.[30]
Dalam praktiknya, kritik sastra feminis tidak terbatas pada teks-teks yang ditulis dan dibaca perempuan, namun bagaimana perempuan diilustrasikan dalam buku, bagaimana bias gender, seks, secara umum telah ditentukan atau dipaksakan sebagai kaum inferior untuk beberapa suara perempuan, rasial, etnik minoritas, penulis dan pembaca sastra yang gay dan lesbian. Demikian beberapa pengertian kritik sastra feminis yang diberikan oleh para fakar.
Macam-macam teori Kritik Sastra Feminis
Dari uraian sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa kritik sastra feminis pada dasarnya adalah perpanjangan tangan dari gerakan feminisme. Ada dua tujuan utama dari kritik ini, pertama mengkaji karya sastra yang ditulis oleh penulis-penulis perempuan di masa silam, dan yang kedua adalah untuk menampilkan citra perempuan dalam karya penulis-penulis pria yang menampilkan perempuan sebagai makhluk inferior dalam budaya patrialkal.
Dalam kritik sastra feminis, ada beberapa macam metode yang digunakan untuk menganalisis. Teori kritik sastra feminis yang paling banyak digunakan adalah kritik ideologis. Kritik ini melibatkan perempuan sebagai pembaca atau dikenal dengan istilah reading as women.[31] (membaca sebagai perempuan). Dalam kritik ini yang menjadi pusat perhatian adalah citra serta steorotipe perempuan yang terkandung dalam karya sastra. Kritik ini juga digunakan untuk meneliti kesalahpahaman tentang wanita, dan factor penyebab mengapa perempuan sering tidak diperhitungkan, bahkan nyaris diabaikan dalam kritik sastra. Kritik ideologis ini dengan sendirinya berbeda dengan male critical theory atau teori kritik laki-laki yang merupakan suatu konsep kreativitas sastra, sejarah sastra, serta penafsiran sastra yang seluruhnya didasarkan pada pengalaman laki-laki yang disodorkan sebagai suatu teori semesta yang berlaku secara universal.
Kritik sastra feminis yang kedua adalah kritik yang secara khusus mengkaji penulis-penulis perempuan. Dalam kritik ini, termasuk penelitian tentang sejarah karya sastra perempuan, gaya penulisan, tema, genre, dan struktur tulisan perempuan. Di samping itu, dikaji juga kreativitas penulis perempuan, profesi dan juga adat istiadat, tradisi dan budaya yang mempengaruhi pola pikir penulis perempuan tersebut. Jenis kritik ini dinamakan dengan gynocritics yang berbeda dari kritik ideologis. Ginokritik bertujuan untuk mencari perbedaan antara tulisan laki-laki dan perempuan.
Ragam kritik ketiga adalah kritik sastra feminis sosialis atau disebut juga dengan kritik sastra feminis Marxis. Kritik ini digunakan untuk meneliti tokoh-tokoh perempuan yang terdapat dalam sastra ditinjau dari sudut pandang sosialis, yakni berdasarkan kelas-kelas dalam masyarakat. Menurut teori ini, perempuan dimasukkan ke dalam kubu rumah yang kehidupannya hanya ada dalam lingkungan rumah, sedangkan laki-laki menguasai kubu umum, yaitu lingkungan dan kehidupan di luar rumah. Kritik sastra feminis-sosialis ini berupaya menunjukkan bahwa tokoh-tokoh perempuan dalam karya sastra lama adalah manusia-manusia yang tertindas, yang tenaganya dimanfaatkan untuk kepentingan kaum laki-laki tanpa memiliki hak untuk menerima imbalan.
Kritik sastra feminis lainnya adalah kritik sastra feminis-psikoanalitik. Kritik ini diterapkan pada tulisan-tulisan perempuan yang dianggap sebagai cermin kepribadian penulisnya. Ragam kritik ini berawal dari penolakan kaum feminis terhadap teori-teori Sigmund Freud yang menyatakan bahwa perempuan iri pada laki-laki karena tidak memiliki penis (penis-envy). Lalu perempuan melahirkan bayi yang kemudian dianggap sebagai pengganti penis yang dirawat dan diasuh dengan penuh kasih sayang. Maka secara natural, perempuan bersifat affective (penyayang), emphatic (ikut merasakan perasaan orang lain), dan nurturant (peduli). Bagi kaum feminis, perempuan tidaklah iri pada penis yang dimiliki kaum laki-laki, namun pada kekuasaan yang mereka miliki. Selain itu, karakter yang melekat pada perempuan, bukanlah sesuatu yang bersifat alami, bukan pula takdir, sebab karakter tersebut dibentuk oleh lingkungannya, yaitu masyarakat patrialkal.
Ragam kritik sastra feminis yang kelima adalah kritik sastra feminis-ras atau kritik sastra feminis etnik. Kaum feminis-etnik di Amerika menganggap dirinya berbeda dari kaum feminis kulit putih. Mereka bukan saja mengalami diskriminasi seksual dari kaum laki-laki kulit putih dan kulit hitam, tetapi juga diskriminasi rasial dari kelompok mayoritas kulit putih baik laki-laki maupun perempuan.
Corak kritik sastra feminis yang terakhir adalah kritik sastra feminis lesbian. Jenis kritik ini menekankan kajian pada penulis dan tokoh perempuan yang bersifat individual. Karena berbagai faktor, kritik jenis ini masih terbatas kajiannya. Pertama, para feminis rupanya kurang menyukai kelompok perempuan homoseksual, dan memandang mereka sebagai kelompok feminis radikal. Kedua, tulisan-tulisan tentang perempuan bermunculan pada awal tahun 1970-an, sedangkan jurnal-jurnal kajian wanita untuk kurun waktu yang cukup panjang tidak memuat tulisan tentang lesbianisme. Ketiga, kaum lesbian sendiri belum menemukan kesepakatan tentang definisi lesbianisme. Keempat, banyak kendala yang dihadapi oleh kritikus sastra lesbian. Sikap antipati para feminis dan masyarakat misogini[32] terhadap kaum lesbian, membuat penulis lesbian terpaksa menulis dunia lesbian dalam bahasa yang terselubung, menggunakan simbol-simbol, serta menyensor dirinya sendiri. Bagi penulis lesbian, menulis secara terang-terangan berarti mengundang problem dan konflik.[33]
Teori analisis dan fokus kajian
Menurut Soenarjati, kritik sastra feminis pada dasarnya bisa diaplikasikan pada semua karya sastra baik prosa maupun puisi, asalkan yang di dalamnya menampilkan tokoh perempuan. Pendekatan ini akan lebih mudah bila dikaitkan dengan tokoh laki-laki. Sebagai langkah awal penelitian, tokoh perempuan yang ada dalam karya sastra tersebut diidentifikasi untuk diketahui kedudukannya dalam masyarakat. Sebagai contoh, jika ia kedudukannya sebagai seorang istri atau ibu, maka dalam masyarakat tradisional ia dianggap sebagai kelas inferior atau lebih rendah daripada kedudukan seorang laki-laki, karena tradisi menghendaki dia berperan sebagai orang yang hanya mengurus rumah tangga dan tidak layak untuk mencari nafkah sendiri. Biasanya tokoh seperti ini memiliki ciri-ciri Victoria[34] yang ditentang kaum feminis.
Bila langkah pertama terfokus pada tokoh perempuan, langkah kedua difokuskan pada tokoh laki-laki yang memiliki hubungan dengan tokoh perempuan yang sedang diamati. Hal ini perlu dilakukan oleh karena peneliti tidak akan memperoleh gambaran lengkap tentang tokoh perempuan tanpa memperhatikan tokoh-tokoh lainnya. Kajian ini biasa dilakukan dalam gender.
Langkah terakhir adalah mengamati sikap penulis karya sastra yang sedang dikaji apakah ia seorang laki-laki atau perempuan. Bagaimana seorang laki-laki memandang sosok perempuan dan bagaimana pula ia menggambarkannya, apakah ia memandang perempuan sebagai makhluk yang lemah, tidak berharga, selalu bergantung pada laki-laki ataukah sebaliknya. Bila penulis itu adalah seorang perempuan, maka yang ditelusuri adalah bagaimana ia mengekspresikan perasaannya di dalam karya sastra tersebut, apakah ia seorang yang tegar, mandiri, penuh percaya diri atau mungkin sebaliknya.[35]
Sedangkan menurut Endraswara, dasar pemikiran dalam penelitian sastra feminis adalah upaya pemahaman kedudukan dan peran perempuan sebagaimana tercermin dalam karya sastra. Peran dan kedudukan perempuan tersebut akan menjadi sentral pembahasan penelitian sastra. Dengan demikian peneliti akan terfokus pada dominasi laki-laki atas gerakan perempuan. Untuk itu Endraswara cenderung melakukan penelitian melalui pendekatan studi dominasi. Melalui studi dominasi tersebut, peneliti dapat memfokuskan kajian pada; kedudukan dan peran tokoh perempuan dalam sastra, ketertinggalan kaum perempuan dalam segala aspek kehidupan, atau memperhatikan faktor pembaca sastra, khususnya bagaimana tanggapan pembaca terhadap emansipasi perempuan dalam sastra.[36]
Adapun sasaran penting dalam analisis feminisme sastra, sedapat mungkin berhubungan dengan hal-hal berikut: (1) Mengungkap karya-karya penulis perempuan masa lalu dan masa kini agar jelas citra perempuan yang merasa ditekan oleh tradisi. Dominasi budaya patriarkhal harus terungkap secara jelas dalam analisis. (2) Mengungkap berbagai tekanan pada tokoh perempuan dalam karya yang ditulis oleh pengarang pria. (3) Mengungkap ideologi pengarang perempuan dan pria, bagaimana mereka memandang diri sendiri dalam kehidupan nyata. (4) Mengkaji dari aspek ginokritik, yakni memahami bagaimana proses kreatif kaum feminis. Apakah penulis perempuan memiliki kekhasan dalam gaya dan ekspresi atau tidak. (5) Mengungkap aspek psikoanalisis feminis, yaitu mengapa perempuan, baik tokoh maupun pengarang, lebih suka pada hal-hal yang halus, emosional, penuh kasih sayang, dan sebagainya.[37]
Demikian beberapa di antaranya objek analisis dalam kritik sastra feminis.
Hubungan Kritik Sastra Feminis dengan Ilmu-ilmu Lainnya
Menurut Sugihastuti, kritik sastra feminis berbeda dengan kritik-kritik yang lain, kritik sastra feminis berkembang dari berbagai sumber. Untuk itu, diperlukan wawasan yang luas tentang segala hal yang berkaitan dengan perempuan. Bantuan disiplin ilmu lain seperti sejarah, psikologi, antropologi, dan lain-lain mutlak diperlukan, di samping teori dan ilmu sastra yang diperlukan. Linguistik, psikoanalisis, marxisme, dan dekonstruksionisme, menyajikan bantuan terhadap kritik feminis dalam rangkaian analisis.[38]
Kritik sastra feminis yang diartikan dengan reading as women, berpandangan bahwa kritik ini tidak mencari metodologi atau model konseptual tunggal, tetapi sebaliknya bersifat pluralis, baik dalam teori maupun praktiknya. Untuk itu, kritik ini menggunakan kebebasan dalam metodologi maupun pendekatannya, disesuaikan dengan tujuan dari penelitian.[39]
Bidang ilmu yang sangat dekat dengan Kritik Sastra Feminis salah satunya adalah Sosiologi. Menurut Tim Curry dkk., konstruksi gender yang terjadi dalam sistem sosial masyarakat adalah salah satu problem sosiologi yang mengakibatkan terjadinya marginalisasi terhadap perempuan. Menurut teori konflik yang ia kemukakan, tidak adanya persamaan antara laki-laki dan perempuan disebabkan oleh lemahnya posisi wanita dalam sistem stratifikasi sosial.[40]
Di sisi lain, sastra menurut Atar Semi sebagaimana halnya sosiologi, ia berurusan dengan manusia, bahkan ia adalah karya cipta manusia yang mencerminkan kehidupan manusia itu sendiri. Sastra adalah lembaga sosial yang menggunakan bahasa sebagai mediumnya, sedangkan bahasa pada hakekatnya adalah ciptaan sosial yang menampilkan gambaran kehidupan. Oleh karena itu, sosiologi dan sastra pada dasarnya memperjuangkan hal yang sama, kedua-duanya berkutat dengan masalah-masalah sosial, ekonomi, maupun politik.
Untuk itu, Atar Semi menggambarkan hubungan antara sastra, masyarakat dan kebudayaan sebagai berikut: Pertama, bahwa sastra adalah cermin dari sistem sosial yang ada dalam masyarakat, sistem kekerabatan, sistem ekonomi, sistem politik, sistem pendidikan, sistem kepercayaan yang terdapat dalam masyarakat yang bersangkutan. Kedua, bahwa sastra adalah cermin dari sistem ide dan sistem nilai, serta gambaran tentang apa yang dikehendaki dan apa yang ditolak oleh masyarakat.[41]
Pendekatan terhadap sastra dengan mempertimbangkan aspek-aspek kemasyarakatan ini, oleh beberapa pakar disebut dengan sosiologi sastra. Istilah ini pada hakekatnya tidak berbeda dengan sosiosastra atau pendekatan sosiokultural terhadap sastra.[42] Sosiologi sastra merupakan bagian mutlak dari sebuah kritik sastra, terutama kritik yang secara khusus mengkaji fenomena-fenomena sosial yang terjadi dalam masyarakat yang terdapat dalam sebuah karya sastra.
Sebagai contoh apa yang diungkapkan oleh J. Waluyo, bahwa dalam menafsirkan sebuah puisi tidak terlepas dari faktor genetik puisi. Faktor genetik tersebut dapat membantu memperjelas makna yang dilatarbelakangi oleh kebudayaan khas penyair. Unsur genetik tersebut adalah penyair itu sendiri dan kenyataan sejarah yang melingkupinya.[43] Hal ini membuktikan bahwa kondisi sosiologis seorang penyair sangat mempengaruhi karya sastra yang ia ciptakan.
Perlakuan dan pandangan masyarakat terhadap perempuan yang terdapat dalam karya sastra, serta bagaimana perempuan menggambarkan perlakuan dan pandangan mereka terhadap dirinya dalam karya sastra, pada hakekatnya adalah bagian dari kajian sosiologi sastra. Namun demikian, karena mengkaji perempuan secara khusus dengan mengacu pada prinsip-prinsip dasar feminisme, maka kajian ini secara khusus disebut dengan kritik sastra feminis. Berdasarkan hal tersebut, tampak jelas bahwa ada ikatan yang sangat kuat antara sastra, sosiologi, dan kritik sastra feminis. Selain itu, baik sosiologi sastra maupun kritik sastra feminis, keduanya diilhami oleh teori-teori Marxis.
Selain sosiologi, ilmu lain yang sangat lekat dengan kritik sastra feminis adalah ilmu bahasa itu sendiri. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Panuti sudjiman bahwa bahasa adalah medium karya sastra yang tidak dapat diabaikan, sebab karya sastra pada hakekatnya adalah bahasa.[44] Sedangkan Teew menyatakan bahwa sastra adalah penggunaan bahasa yang khas yang hanya dapat dipahami dengan pengertian atau konsepsi bahasa yang tepat. Untuk itu menurut Teew dalam menganalisis dan memberi makna sebuah teks sastra, selain diperlukan kode budaya dan kode sastra, juga diperlukan pengetahuan tentang kode bahasa.[45] Bahasa merupakan fondasi semua budaya. Bahasa merupakan sistem arti kata yang bersifat abstrak dan menjadi simbol seluruh aspek kebudayaan. Bahasa dapat berbentuk lisan, tulisan[46], angka-angka, simbol, gerak dan isyarat, maupun ekspresi lainnya yang bersifat nonverbal.[47] Menurut Edward Sapir, bahasa adalah bentuk jasmani (material) atau medium dari sebuah karya sastra.[48] Dan syair adalah ungkapan (kalâm) yang terikat, baik dari segi aransemen, jenis, wazan, maupun qâfiyahnya, di samping unsur imajinasi yang digunakan untuk mengilustrasikan ide dan fikiran penyair.[49] Dan kalam pada hakekatnya adalah bahasa.
Apa yang diungkapkan oleh para ahli bahasa dan sastra tersebut menunjukkan bahwa ada hubungan erat antara kritik sastra dengan linguistik. Untuk menjembatani keduanya menurut Panuti Sudjiman diperlukan stilistika karena ilmu ini mengkaji wacana sastra dengan orientasi linguistik.[50] Di dalam kajian sastra Arab yang dimaksud dengan stilistika adalah ilmu Balâghah. Pusat perhatian keduanya adalah sama yaitu gaya bahasa (style / uslûb). Gaya bahasa adalah cara yang digunakan untuk menyatakan maksud dengan menggunakan bahasa sebagai sarananya.[51] Berdasarkan hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa kritik sastra feminis pada dasarnya bukanlah sebuah disiplin ilmu yang berdiri sendiri, namun memiliki hubungan yang sangat erat dengan ilmu-ilmu lainnya.
Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa kritik sastra feminis adalah kajian tentang perempuan yang terdapat dalam karya sastra. Disiplin ini pada hakekatnya adalah perpanjangan tangan dari gerakan feminisme. Oleh sebab itu, ilmu ini bukanlah kajian sastra murni, namun juga masuk dalam kajian sosiologi, sehingga ilmu ini tidak memiliki konseptual tunggal, akan tetapi terkait erat dengan ilmu-ilmu lainnya seperti ilmu sosial, bahasa dan lain sebagainya.
Kritik Sastra Feminisme: Pengertian dan Sejarah
Culler (dalam Sugihastuti, 2010: 5) menyebutkan kritik sastra feminis (KFS) sebagai reading as woman. Yoder (1987) menyebut bahwa kritik sastra feminis itu bukan berarti pengritik perempuan, atau kritik tentang perempuan, atau kritik tentang pengarang perempuan.
Arti sederhana dari kritik sastra feminis adalah pengkritik memandang sastra dengan kesadaran khusus, kesadaran bahwa ada jenis kelamin yang banyak berhubungan dengan budaya, sastra, dan kehidupan kita. Jenis kelamin inilah yang membuat perbedaan di antara semuanya yang juga membuat perbedaan pada diri pengarang, pembaca, perwatakan, dan pada faktor luar yang mempengaruhi situasi karang-mengarang. Kritik sastra feminis adalah alasan yang kuat untuk menyatukan pendirian bahwa seorang perempuan dapat membaca sebagai perempuan, mengarang sebagai perempuan, dan menafsirkan karya sastra sebagai perempuan.
Weedon (1987) menjelaskan tentang faham feminis dan teorinya, bahwa faham feminis adalah politik, sebuah politik langsung mengubah hubungan kekuatan antara perempuan dan laki-laki dalam masyarakat. Kekuatan ini mencakup semua struktur kehidupan, segi-segi kehidupan, keluarga, pendidikan, kebudayaan, dan kekuasaan. (Sugihastuti, 2010: 5 – 7)
Faham feminis lahir dan mulai berkobar sekitar akhir 1960-an di Barat, dengan berbagai faktor mempengaruhinya. Kritik feminis dikembangkan sebagai bagian dari gerakan perempuan internasional.
Menurut Kolodny (dalam Djajanegara, 2000: 20), mereka yang menekuni bidang sastra pasti menyadari bahwa biasanya karya sastra, yang pada umumnya hasil tulisan laki-laki, menampilkan stereotipe wanita sebagai istri dan ibu yang setia dan berbakti, wanita manja, pelacur dan wanita dominan.
Dalam karya sastra, perempuan adalah “obyek” erotik bagi laki-laki. Terlebih jika sastrawan adalah seorang laki-laki, tentu obsesinya bercampur dengan bayangan-bayangan erotis. Perempuan adalah obyek citraan yang manis. Citraan yang diselubungi derap seksual (Endraswara, 2008: 144).
Kritik sastra feminis diibaratkan dengan quilt, dengan dasar pemikiran bahwa kritik sastra feminis adalah alas yang kuat untuk menyatukan pendirian bahwa seorang perempuan dapat membaca sebagai perempuan, mengarang sebagai perempuan, dan menafsirkan karya sastra sebagai perempuan.
Kritik sastra feminis bertolak dari permasalahan pokok, yaitu anggapan perbedaan seksual dalam interpretasi dan perebutan makna karya sastra. Kritik feminis bukan merupakan kecaman terhadap salah satu kritik sastra, melainkan pandangan yang lebih menunjuk pada aneka ragam cara dalam perbincangan konsep perbedaan sosial. Yang diinginkan para kritikus feminis adalah adanya suatu revisi atau perbaikan, suatu perubahan lengkap pada semua ide tentang dunia sastra. (Sugihastuti, 2010: 6-10).
Kritik sastra feminis merupakan salah satu disiplin ilmu kritik sastra yang lahir sebagai respon atas berkembangnya feminisme di berbagai penjuru dunia. Kritik sastra feminisme merupakan aliran baru dalam sosiologi sastra. Lahirnya bersamaan dengan kesadaran perempuan akan haknya. Inti tujuan feminisme adalah meningkatkan kedudukan dan derajat perempuan agar sama atau sejajar dengan kedudukan serta derajat laki-laki. Perjuangan serta usaha feminisme untuk mencapai tujuan ini mencakup berbagai cara. Salah satu caranya adalah memperoleh hak dan peluang yang sama dengan yang dimiliki laki-laki. Berkaitan dengan, maka muncullah istilah equal right’s movement atau gerakan persamaan hak. Cara lain adalah membebaskan perempuan dari ikatan lingkungan domestik atau lingkungan keluarga dan rumah tangga.
Kritik sastra feminisme berawal dari hasrat para feminis untuk mengkaji karya penulis-penulis wanita di masa silam dan untuk menunjukkan citra wanita dalam karya penulis-penulis pria yang menampilkan wanita sebagai makhluk yang dengan berbagai cara ditekan, disalahtafsirkan, serta disepelekan oleh tradisi patriarkal yang dominan (Djajanegara, 2000: 27). Kedua hasrat tersebut menimbulkan berbagai ragam cara mengkritik yang kadang-kadang berpadu. Misalnya, dalam meneliti citra wanita dalam karya sastra penulis wanita, perhatian dipusatkan pada cara-cara yang mengungkapkan tekanan-tekanan yang diderita tokoh wanita. Oleh karena telah menyerap nilai-nilai patriarkal, mungkin saja seorang penulis wanita menciptakan tokoh-tokoh wanita dengan stereotip yang memenuhi persyaratan masyarakat patiarkal. Sebaliknya, kajian tentang wanita dalam tulisan laki-laki dapat saja menunjukkan tokoh-tokoh wanita yang kuat dan mungkin sekali justru mendukung nilai-nilai feminis.
Jenis-Jenis Kritik Sastra Feminis
Adapun jenis-jenis kritik sastra feminis yang berkembang di masyarakat adalah :
Kritik Ideologis
Kritik sastra feminis ini melibatkan wanita, khususnya kaum feminis, sebagai pembaca. Yang menjadi pusat perhatian pembaca adalah citra serta stereotipe seorang wanita dalam karya sastra. Kritik ini juga meneliti kesalahpahaman tentang wanita dan sebab-sebab mengapa wanita sering tidak diperhitungkan, bahkan nyaris diabaikan.
Kritik yang mengkaji penulis-penulis wanita
Dalam ragam ini termasuk penelitian tentang sejarah karya sastra wanita, gaya penulisan, tema, genre, dan struktur penulis wanita. Di samping itu, dikaji juga kreativitas penulis wanita, profesi penulis wanita sebagai suatu perkumpulan, serta perkembangan dan peraturan tradisi penulis wanita.
Kritik sastra feminis sosialis
Kritik ini meneliti tokoh-tokoh wanita dari sudut pandang sosialis, yaitu kelas-kelas masyarakat. Pengkritik feminis mencoba mengungkapkan bahwa kaum wanita merupakan kelas masyarakat yang tertindas.
Kritik sastra feminis-psikoanalistik
Kritik ini diterapkan pada tulisan-tulisan wanita, karena para feminis percaya bahwa pembaca wanita biasanya mengidentifikasikan dirinya dengan atau menempatkan dirinya pada si tokoh wanita, sedang tokoh wanita tersebut pada umumnya merupakan cermin penciptanya.
Kritik feminis lesbian
Jenis ini hanya meneliti penulis dan tokoh wanita saja. Ragam kritik ini masih sangat terbatas karena beberapa factor, yaitu kaum feminis kurang menyukai kelompok wanita homoseksual, kurangnya jurnal-jurnal wanita yang menulis lesbianisme, kaum lesbian sendiri belum mencapai kesepakatan tentang definisi lesbianisme, kaum lesbian banyak menggunakan bahasa terselubung. Pada intinya tujuan kritik sastra feminis-lesbian adalah pertama-tama mengembangkan suatu definisi yang cermat tentang makna lesbian. Kemudian pengkritik sastra lesbian akan menentukan apakah definisi ini dapat diterapkan pada diri penulis atau pada teks karyanya.
Kritik feminis ras atau etnik
Kritik feminis ini berusaha mendapatkan pengakuan bagi penulis etnik dan karyanya, baik dalam kajian wanita maupun dalam kanon sastra tradisional dan sastra feminis. Kritik ini beranjak dari diskriminasi ras yang dialami kaum wanita yang berkulit selain putih di Amerika.
Kajian Sastra Feminis
Kajian sastra feminis mempunyai dua fokus. Pertama, menggali, mengkaji serta menilai karya penulis-penulis perempuan dari masa silam. Mereka mempertanyakan tolok ukur apa saja yang dipakai pengkritik sastra terdahulu sehingga kanon sastra didominasi penulis laki-laki. Tujuan kedua mengkaji karya-karya tersebut dengan pendekatan feminis. Ketiga, pengkritik sastra feminis terutama berhasrat mengetahui bagaimana cara menerapkan penilaian estetik, di mana letak nilai estetiknya serta apakah nilai estetik yang telah dilakukan sungguh-sungguh sah. Singkatnya menilai tolok ukur yang digunakan untuk menentukan cara-cara penilaian lama.
Berdasarkan ketiga tujuan di atas, dapat disimpulkan bahwa apa yang dikehendaki pengkritik sastra feminis adalah hak yang sama untuk mengungkapkan makna-makna baru yang mungkin berbeda dari teks-teks lama.
Pendekatan feminisme adalah pendekatan terhadap karya sastra dengan fokus perhatian pada relasi gender yang timpang dan mempromosikan pada tataran yang seimbang antar laki-laki dan perempuan (Djajanegara, 2000: 27). Feminisme bukan merupakan pemberontakan kaum wanita kepada laki-laki, upaya melawan pranata sosial, seperti institusi rumah tangga dan perkawinan atau pandangan upaya wanita untuk mengingkari kodratnya, melainkan lebih sebagai upaya untuk mengakhiri penindasan dan eksploitasi perempuan. Feminisme muncul akibat dari adanya prasangka jender yang menomorduakan perempuan. Anggapan bahwa secara universal laki-laki berbeda dengan perempuan mengakibatkan perempuan dinomorduakan. Perbedaan tersebut tidak hanya pada kriteria sosial budaya. Asumsi tersebut membuat kaum feminis memperjuangkan hak-hak perempuan di semua aspek kehidupan dengan tujuan agar kaum perempuan mendapatkan kedudukan yang sederajat dengan kaum laki-laki.
Tokoh Penggerak Feminisme
Beberapa tokoh yang berperan penting dalam gerakan feminisme atau penggerak lahirnya paham feminisme, diantaranya adalah :
1) Simone De Beauvoir
Simone De Beauvoir meletakkan dengan sangat jelas masalah dasar feminisme. Bila seorang perempuan mencoba membatasi dirinya sendiri, maka dia akan mulai dengan berkata “Saya adalah Seorang Perempuan”. Tidak ada laki-laki yang melakukan hal seperti itu, kenyataan ini membuat ketidak sejajaran antara “maskulin dan feminis”.
2) Betty Friedan
Betty Friedan beranggapan bahwa perempuan adalah kaum yang tidak aktif atau di pasifkan karena budaya patriarki dalam keluarga.
3) Germaine Greer
Germaine Greer memperkirakan akan ada benturan dalam paham feminis, emansipasi perempuan akan selalu menjadi teoritis, mudah dibaca dan pagmatis.
4) Kate Millet dan Michele Barret
Dalam karyanya Kate Millet mengurai sebab-sebab penindasan terhadap perempuan adalah dikarenakan budaya patriarki yang meletakkan perempuan di bawah kekuasaan laki-laki.
5) Luce Irigaray
Luce Irigaray memiliki pandangan tentang teori pengetahuan, bahwa subjek dari pengetahuan selalu menitikberatkan pada kaum laki-laki dan selalu dibeda-bedakan dengan kaum perempuan.
*feminisme : gerakan wanita yg menuntut persamaan hak sepenuhnya antara kaum wanita dan pria
*feminis : pelaku feminisme
Sumber:
Chan, Miku. 2019. “Kritik Sastra Feminis”. Dikutip dari https://othersidemiku.wordpress.com/2014/06/23/kritik-sastra-feminis/, 23 November, pukul 19.05 WIB.
Buana. Cahya. 2019. “Mengenal Kritik Sastra Feminis”. Dikutip dari http://buanaagra.blogspot.com/2015/08/mengenal-kritik-sastra-feminis.html, 23 November, pukul 19.05 WIB.
Adalah istilah yang digunakan untuk menerangkan lembaran baru dalam filsafat, strategi intelektual, atau model pemahaman yang dikembangkan oleh Jacques Derrida.
Adalah suatu pembongkaran yang bertujuan menyusun kembali ke dalam tatanan dan tataran yang lebih signifikan, sehingga tujuan akhir dekonstruksi adalah konstruksi baru
Dekonstruksi adalah istilah yang dipakai untuk sebuah teori pembacaan (a theory of reading) yang bertujuan untuk melakukan “subversi” atau “penghancuran” atas klaim implisit bahwa sebuah teks memiliki landasan yang cukup, dalam sistem bahasa yang dipakainya, untuk menetapkan batas-batasnya sendiri, koherensi atau kesatuannya, dan makna tetap tak berubah dari unsur-unsur verbalnya.
Menurut teori ini, tidak ada teks yang mampu merepresentasikan secara tetap, apalagi menunjukkan, “kebenaran” dari subjek apa pun (Derrida dalam Situmorang, 2001:1).
DEKONSTRUKSI Adalah model analisis yang berkaitan dengan ”pembongkaran” atau ”pencairan” terhadap berbagai struktur (bahasa, kekuasaan, institusi, objek sosial) untuk mengatasi berbagai bentuk ketidaksetaraan dan ketidakadilan, dalam rangka memulai sebuah permulaan baru, tanpa perlu melakukan penghancuran (destruction) dari elemen-elemen yang sudah ada.
Prinsip Dekonstruksi
Menolak mitos oposisi biner (pertentangan antara dua kekuatan yang sama derajatnya) yang selama ini dianggap memiliki kompetensi yang relatif tetap seperti: legitimasi jasmani atas rohani, fakta atas fiksi, ilmu eksakta atas ilmu-ilmu sosial dan humaniora
Dalam melakukan dekonstruksi, pembongkaran harus diikuti oleh pembangunan kembali, sekaligus menggantikannya dengan cara-cara yang baru, sehingga memperoleh temuan-temuan baru.
Dalam Mendekonstruksi
Kegiatan yang dilakukan secara terus menerus adalah mengurangi intensitas oposisi biner, sehingga unsur-unsur yang dominan tidak selalu mendominasi unsur-unsur yang lain
sebaliknya, unsur-unsur yang semula terlupakan, terdegradasi, dan termarginalisasi, seperti kelompok minoritas, kaum perempuan, kawasan kumuh, kelompok yang lemah, tokoh-tokoh komplementer, dan sebagainya, dapat diberikan perhatian yang memadai, bahkan secara seimbang dan proporsional.
Salah satu pendekatan untuk menganalisis karya sastra yang sarat akan aspek-aspek kejiwaan adalah melalui pendekatan psikologi sastra. Psikologi sastra sebagai suatu pendekatan merupakan bentuk kreativitas yang dihadirkan melalui model penelitian interdisiplin dengan menetapkan karya sastra sebagai pemilik posisi yang lebih dominan (Ratna, 2011:349).Dari hal tersebut dapat diketahui bahwa psikologi sastra tak hanya menyodorkan model penelitian saja melainkan diikutsertakannya bentuk kreativitas kedalam pendekatannya melalui teks.
Wiyatmi (2011: 1), menjelaskan bahwa psikologi sastra lahir sebagai salah satu jenis kajian sastra yang digunakan untuk membaca dan menginterpretasikan karya sastra, pengarang karya sastra dan pembacanya dengan menggunakan berbagai konsep dan kerangka teori yang ada dalam psikologi.
Pada dasarnya antara psikologi dan sastra memiliki persamaan yaitu samasama membicarakan manusia dan keberlangsungannya sebagai makhluk individu dan makhluk sosial. Selain itu, keduanya juga memanfaatkan landasan yang sama yaitu menjadikan pengalaman manusia sebagai bahan telaah (Endraswara viaMinderop, 2013:2). Perbedaan diantara keduanya hanya terletak pada objek yang dibahas saja.Jika psikologi membicarakan manusia sebagai sosok yang riil sebagai ciptaan Tuhan, dalam karya sastra objek yang dibahas adalah tokoh-tokoh yang diciptakan oleh seorang pengarang atau disebut sebagai tokoh imajinasi semata.
Psikologi menurut Gerungan ( Walgito, 1986:7-8) terdiri dari dua kata yakni psyche dan logos. Psyche merupakan bahasa Yunani yang memiliki arti jiwa dan kata logos yang berarti ilmu, sehingga ilmu jiwa merupakan istilah dari psikologi. Walaupun demikian pengertian antara psikologi dan ilmu jiwa memiliki perbedaan yang pada intinya sesuatu hal yang disebut dengan ilmu jiwa itu belum tentu bisa dikatakan sebagai psikologi, tetapi psikologi dapat diartikan sebagai ilmu jiwa. Dengan kata lain psikologi merupakan salah satu ilmu yang memiliki kesan meluas. Kesan meluas tersebut dapat dilihat dari adanya hubungan antara ilmu psikologi dengan ilmu-ilmu yang lain seperti biologi, sosiologi, filsafat, ilmu pengetahuan alam, dan salah satunya yaitu hubungan antara psikologi dengan sastra.
Psikologi merupakan ilmu yang dapat dihubungkan dengan karya sastra karena psikologi itu sendiri mengarah kepada suatu ilmu yang menyelidiki serta mempelajari tentang tingkah laku serta aktivitas-aktivitas di mana tingkah laku serta aktivitas-aktivitas itu sebagai manifestasi hidup kejiwaan (Walgito, 1986:13).
Salah satu bentuk karya seni yang diciptakan oleh pengarang adalah cerita fiksi.Cerita fiksi seperti yang telah dijelaskan merupakan cerita rekaan yang dituliskan oleh seorang pengarang secara bebas melalui luapan emosi yang spontan, sehingga pengarang memiliki banyak kesempatan dalam menggambarkan secara keseluruhan unsur-unsur yang membangun cerita tersebut. Salah satu bentuk kebebasan yang dimiliki oleh seorang pengarang adalah pengarang bebas menentukan siapa sajakah tokoh yang akan hadir dalam karyanya beserta segala hal yang melekat pada diri tokoh-tokoh tersebut, seperti penokohan dan perwatakannya. Dengan demikian tokoh-tokoh fiksi memiliki kesan nyata sebagai manusia pada umumnya.
Sebagai tokoh imajinasi atau tokoh yang diciptakan oleh seorang pengarang bukanlah menjadi suatu pembatasan dengan tokoh nyata dalam menjalani proses kehidupan. Walaupun memiliki kesan imajiner, tokoh dalam fiksi juga memiliki peran yang sama dengan kehidupan manusia yang sebenarnya. Hal tersebut dikarenakan pengarang memasukkan aspek-aspek kemanusiaan pada diri tokoh-tokoh imajinasinya sehingga terkesan hidup selayaknya manusia pada umumnya dengan segala bentuk permasalahan yang dihadapi.Aspek-aspek kemanusiaan itulah yang nantinya merupakan objek utama psikologi sastra. Keberadaan sastra jika digunakan dalam kerangka ilmu sastra mengacu pada salah satu cabang ilmu pengetahuan yang mengkaji karya sastra sebagai objek formalnya secara bersistem dan terorganisir.Melalui kajian sastra yang menggunakan pendekatan psikologi sastra inilah hubungan antara sastra dan psikologi terjadi.
Secara definitif, tujuan psikologi sastra adalah memahami aspek-aspek kejiwaan yang terkandung dalam suatu karya sastra. Meskipun demikian, bukan berarti bahwa analisis psikologi sastra sama sekali terlepas dengan kebutuhan masyarakat. Sesuai dengan hakikatnya, kary sastra memberikan pemahaman terhadap secara tidak langsung.Melalui pemahaman terhadap tokoh-tokohnya, misal, masyarakat dapat memahami perubahan, kontradiksi, dan penyimpanganpenyimpangan lain yang terjadi dalam masyarakat, khususnya kaitannya dengan psike (Ratna, 2011:342).
Jadi,dalam hal mengkaji sebuah karya sastra, pendekatan psikologi sastra sangatlah membantu. Psikologi diperlukan dalam karya sastra guna mengkaji karakter tokoh-tokoh dan segala hal yang berkaitan dengan proses psikologi yang dihadirkan oleh seorang pengarang. Pentingnya konsep tidak lain dilatarbelakangi adanya harapan hubungan diantara psikologi dan sastra yang kemudian dikenal sebagai psikologi sastra mampu untuk menemukan aspek-aspek ketaksadaran yang menyebabkan terjadinya gangguan psikologi pada diri tokoh-tokoh dalam cerita.
Psikoanalisis merupakan salah satu dari jenis pembagian psikologi berdasarkan teorinya (lainnya yaitu psikologi fungsional, psikologi behaviorisme, psikologi gestalt, psikologi humanistik, dan psikologi kognitif).Psikoanalisis pertamakali dicetuskan oleh Sigmund Freud pada tahun 1896 di Wina.Istilah psikoanalisis menurut Bertens (1987:xii), merupakan suatu pandangan baru tentang manusia, dimana ketidaksadaran memainkan peranan sentral. Jadi, psikoanalisis dapat diartikan sebagai ilmu yang lebih dalam menelisik tentang kejiwaan serta konflik-konflik kejiwaan pada diri manusia di mana kedua hal tersebut bersumber pada ketidaksadaran.
Metode asosiasi yang diciptakan oleh Freud untuk mengobati pasienpasiennya merupakan tonggak awal munculnya psikoanalisa (Koswara, 1991:30). Melalui metode tersebut Freud menyimpulkan bahwa ketaksadaran memiliki sifat dinamis dan memegang peranan ketika seseorang mengalami gangguan neurotik seperti histeria.
Lebih lanjut, Koswara (1991:30) menambahkan bahwa peranan ketaksadaran yang penting bagi kehidupan psikis kemudian mulai diperluas.Kehidupan psikis manusia terdiri atas dua unsur yaitu unsur nalurinaluri dan keinginan yang berasal dari naluri itu sendiri.Peran mekanisme represi dalam hal ini diperlukan untuk menangani konflik yang ada pada diri manusia.Ketika keinginan-keinginan tersebut tidak dapat terpenuhi atau sulit dipuaskan maka mekanisme represi tersebut muncul dan mengembalikan keinginan yang tidak tercapai tersebut ke kawasan tak sadar kemudian menempatkannya bersama-sama dengan pengalaman tertentu yang sifatnya traumatis dan menyakitkan. Dengan kata lain, mekanisme represi dalam hal ini merupakan suatu cara yang digunakan untuk menghindari adanya konflik kejiwaan pada diri manusia agar gejala neurotik seperti histeria pada diri seseorang dapat dihindari.
Gejala neurosis pada penjelasan di atas diperkuat dengan adanya pendapat dari Eagleton melalui bukunya berjudul Teori Sastra: Sebuah Pengantar Komprehensif. Melalui buku tersebut Eagleton (2007:229), menjelaskan bahwa kerja bawah sadar yang paling merusak adalah gangguan psikologi dalam satu atau lain bentuk. Adanya hasrat tak sadar yang tidak mau disangkal tetapi juga tidak dapat menemukan pelepasan yang nyata pada akhirnya akan menyebabkan konflik pada kejiwaan individu. Hal tersebut terjadi karena hasrat tak sadar yang ada pada diri individu memaksakan diri keluar dari bawah sadar sedangkan ego pada diri individu tersebut justru memblokir secara defensif sehingga menimbulkan konflik internal yang kemudian disebut dengan neurosis.
Salah satu gejala yang dapat dikaji dengan psikoanalisis yaitu neurosis obsesional atau neurosis yang bersifat obsesif. Neurosis obsesif dapat diartikan sebagai suatu gejala di mana individu tersebut menunjukkan gejala dengan cara berkompromi, melindungi dirinya dari hasrat tak sadar sekaligus diam-diam mengekspresikannya (Eagleton, 2007:229).
Psikoanalisis menitikberatkan pada kepribadian, di mana kepribadian yang ada pada diri manusia memiliki pengaruh atau keterkaitan bagi kejiwaan yang ada pada diri seseorang.Adanya keterkaitan antara psikoanalisis dengan kepribadian disampaikan oleh Semiun (2006:55) bahwa ide-ide pokok Freud tentang teori kepribadian tumbuh dari pengalaman merawat pasien-pasien neurotik.Dari pengalaman tersebut dapat diketahui bahwa adanya sikap dan perasaan yang diungkapkan oleh pasien bukanlah berasal dari alam sadar, melainkan alam bawah sadar.
Pendapat dari Semiun selaras dengan penyampaian Freud (via Hall, 1959:24) yang menuturkan tentang psikoanalisa sebagai suatu teori mengenai kepribadian. Lebih lanjut Freud menyampaikan adanya keterkaitan tersebut pada tahun 1927: ilmu psychoanalisa termasuk di dalam golongan ilmu jiwa; bukan ilmu jiwa kedokteran dalam arti kata yang lama, bukan juga ilmu jiwa tentang proses penyakit jiwa, tetapi semata-mata ilmu jiwaa biasa. Sudah pasti bahwa psychoanalisa tidak merupakan keseluruhan dari ilmu jiwa, tetapi merupakan suatu cabang dan mungkin dasar dari keseluruhannya ilmu jiwa.
Jadi, psikoanalisis menurut Freud tersebut termasuk dalam golongan ilmu jiwa yang netral tanpa ada kaitannya dengan ilmu jiwa kedokteran maupun ilmu jiwa tentang proses penyakit jiwa. Psikoanalisis merupakan cabang atau dasar yang mencakup keseluruhan tentang ilmu jiwa.
Dalam teori psikoanalisa, kepribadian dipandang sebagai suatu struktur yang terdiri dari tiga unsur atau sistem, yakni id, ego, dan superego. Meskipun ketiga sistem tersebut memiliki fungsi, kelengkapan, prinsip-prinsip operasi, dinamisme, dan mekanismenya masing-masing, ketiga sistem kepribadian ini satu sama lain saling berkaitan serta membentuk totalitas (Koswara, 1991:32). Jadi, pada intinya unsur kepribadian pada diri manusia terdiri dari adanya id, ego, dan superego. Ketika ketiga struktur kepribadian tersebut dapat bersatu dan berjalan harmonis maka memungkin seorang individu dapat menjalani kehidupannya dengan baik.
Id merupakan energi psikis dan naluri yang menekan manusia agar memenuhi kebutuhan dasar seperti misalnya kebutuhan: makan, seks menolak rasa sakit atau tidak nyaman. Menurut Freud, id berada di alam bawah sadar, tidak ada kontak dengan realitas. Cara kerja id berhubungan dengan prinsip kesenangan, yakni selalu mencari kenikmatan dan selalu menghindari ketidaknyamanan (Minderop, 2013:21). Dari penjelasan tersebut dapat diartikan bahwa pada dasarnya id cenderung lebih mengutamakan kenyamanan atau kesenangan dan mengesampingkan adanya aturan yang ada. Hal tersebut dilakukan dengan adanya pertimbangan bahwa prinsip kesenangan tersebut dapat membantu individu untuk mengurangi ketegangan sehingga jiwa dalam diri individu tersebut dapat stabil.
Selaras dengan pendapat Minderop, Hall (1959:29) juga menyampaikan bahwa prinsip kesenangan ini adalah suatu kecenderungan universal yang khas bagi segala benda yang hidup untuk menjaga ketetapan dalam menghadapi kegoncangan-kegoncangan dari dalam atau luar.
Beberapa pendapat tentang id juga disampaikan oleh Freud, yakni (1) Id lebih dekat hubungannya dengan tubuh dan proses-prosesnya daripada dengan dunia luar. Hal tersebut menyebabkan id kekurangan organisasi dibandingkan dengan ego dan superego, (2)Id tidak berubah menurut masa. Id tidak dapat diubah oleh pengalaman karena id tidak ada hubungan dengan dunia luar, akan tetapi id dapat dikontrol dan diawasi oleg ego, (3) Id tidak diperintah oleh hukum akal atau logika, dan tidak memiliki nilai, etika, atau akhlak. Id hanya didorong oleh satu pertimbangan, yaitu mencapai kepuasan bagi keinginan nalurinya, sesuai dengan prinsip kesenangan, (4) Id merupakan suatu kenyataan rohaniah yang sebenarnya.
Berbeda dengan id yang barada pada alam bawah sadar dan bekerja berdasarkan prinsip kesenangan, ego yang dikuasai oleh prinsip kenyataan (reality principle) dan berada di antara alam sadar dan alam bawah sadar, dalam hal ini terperangkap di antara dua kekuatan yang bertentangan dan dijaga serta patuh pada prinip realitas dengan mencoba memenuhi kesenangan individu yang dibatasi oleh realita (Minderop, 2013:22). Maksud dari penjelasan tersebut yaitu, ego pada diri individu memiliki peran penting karena kerja ego sebagai pengendali memberikan batasan antara kesenangan dan realita, sehingga keinginan individu masih dapat terpuaskan tanpa harus mengakibatkan kesulitan atau penderitaan.
Penjelasan tentang ego tersebut selaras dengan Hall (1959:36) yang menjelaskan bahwa dalam seseorang yang wataknya tenang, ego adalah pelaksana dari kepribadian, yang mengontrol dan memerintah id dan superego serta memelihara hubungan dengan dunia luar untuk kepentingan seluruh kepribadian dan keperluannya yang luas. Jika ego ini melakukan fungsi pelaksanaannya dengan bijaksana, akan terdapatlah harmoni dan keselarasan. Kalau ego mengalah atau menyerahkan kekuasaannya terlalu banyak kepada id,superego, atau kepada dunia luar, akan terjadi kejanggalan dan keadaan tidak teratur. Jadi dari penjelasan tersebut, kehadiran ego memiliki andil yang sangat besar atau dapat dikatakan sebagai pimpinan utama dalam kepribadian, dan merupakan penentu baik buruknya keberlangsungan kehidupan diri seseorang.
Struktur kepribadian terakhir yaitu superego. Menurut pandangan Freud, superego adalah bagian moral atau etis dari kepribadian. Superego mulai berkembang pada waktu ego menginternalisasikan norma-norma sosial dan moral. Superego adalah perwujudan internal dari nilai-nilai dan cita-cita tradisional masyarakat, sebagaimana diterangkan orangtua kepada anak dan dilaksanakan dengan cara memberinya hadiah atau hukuman.
Superego dikendalikan oleh prinsip-prinsip moralistik dan idealistik yang bertentangan dengan prinsip kenikmatan dari id dan prinsip kenyataan dari ego. Superego mencerminkan yang ideal bukan yang real, memperjuankan kesempurnaan dan bukan kenikmatan. Perhatian utamanya adalah memutuskan apakah sesuatu benar atau salah, dengan demikian ia dapat bertindak sesuai dengan norma-norma moral yang diakui oleh wakil-wakil masyarakat (Semiun, 2006:66). Jadi, superego dapat diartikan sebagai penentu nilai benar dan salah sesuai dengan pedoman atau aturan-aturan yang berlaku di luar diri individu, seperti aturan atau norma kebudayaan yang ada di masyarakat sehingga tindakan individu tersebut dapat diakui di masyarakat. Dengan kata lain superego merupakan kode moril dari seseorang.
Freud membedakan energi manusia berdasarkan penggunaannya, yakni untuk aktivitas fisik disebut energi fisik, dan energi yang digunakan untuk untuk aktivitas psikis disebut energi psikis. Menurut hukum kelangsungan energi, energi bisa diubah dari satu keadaan atau bentuk ke keadaan yang lain, tetapi tidak akan hilang dari sistem kosmik secara keseluruhan.
Berdasarkan hukum kelangsungan energi, Freud mengajukan gagasan bahwa energi fisik bisa diubah menjadi energi psikis, dan sebaliknya. Energy fisik dengan kepribadian dijembatani oleh id dengan naluri-nalurinya (Koswara, 1991:36). Jadi perubahan energi fisik ke energi psikis dapat diartikan sebagai dinamika kepribadian yang terjadi pada manusia. Terjadinya dinamika kepribadian tersebut disebabkan adanya dorongan-dorongan dari id yaitu berupa naluri-naluri di dalamnya atau disebut juga dengan instink.
Pengertian dari naluri itu sendiri adalah jumlah energi rohaniah yang memancarkan perintah kepada proses-proses rohaniah, dan bahwa ia mempunyai sumber, maksud, tujuan dan dorongan (Hall, 1959:77). Jadi, naluri merupakan bawaan yang ada pada diri individu di mana tempat atau sumber naluri itu sendiri berada di dalam id. Naluri tersebut memiliki maksud yaitu untuk mendapatkan kepuasan akan kebutuhan pada diri individu. Ketika kebutuhan pada diri individu muncul, naluri akan menjalankan kerjanya yaitu menghimpun sejumlah energi psikis kemudian naluri akan mendorong individu untuk bertindak ke arah pemuasan kebutuhan. Tujuan naluri yakni mengurangi tegangan yang ditimbulkan oleh tekanan energi psikis.
Freud membedakan naluri menjadi dua jenis yaitu naluri-naluri kehidupan (eros) dan naluri-naluri kematian (thanatos). Naluri kehidupan (eros) dapat diartikan sebagai naluri yang ditujukan kepada pemeliharaan kelangsungan hidup manusia, seperti lapar, haus, dan seks. Naluri kematian (thanatos) merupakan naluri yang ditujukan kepada perusakan atau penghancuran atas apa yang telah ada (Koswara, 1991:38-39)
Naluri kematian pada diri seseorang dapat tujukan pada diri sendiri dan kepada orang lain. Naluri kematian yang ditujukan pada diri sendiri diwujudkan pada tindakan bunuh diri atau bisa juga diwujudkan pada tindakan masokhis (tindakan menyakiti diri sendiri. Naluri kematian yang ditujukan pada orang lain diwujudkan dengan tindakan membunuh, menganiaya, dan menghancurkan orang
lain.
Gambaran umum dari dinamika kepribadian dapat dijelaskan dengan cara melibatkan ketiga struktur kepribadian. Hal tersebut dikarenakan dinamika kepribadian terdiri dari jalan tempat energi psikis disalurkan dan digunakan oleh id, ego, dan superego (Koswara, 1991:40).
Id sebagai penguasa tunggal dari energi psikis, menggunakan kekuasaan tersebut untuk melakukan tindakan memperoleh kepuasan kebutuhan. Namun, id mengalami kesulitan ketika menggunakan kekuasaannya karena id memiliki kelemahan yaitu tidak bisa membedakan objek dalam pikiran dengan objek yang ada pada kenyataan. Maka dari itu, id membutuhkan bantuan dari ego. Untuk membantu id, ego yang tidak memiliki sumber energi kemudian mengambilnya
dari id.
Ego yang telah mendapatkan energi psikis (melalui mekanisme identifikasi) kemudian menggunakan energy tersebut untuk membatasi atau mencegah dorongan id dengan dunia nyata yaitu menjalankan kewenangannya untuk membedakan, memutuskan, menyelesaikan, dan berpikir sehingga id dapat terkontrol. Kewenangan ego tersebut tidak hanya berlaku terhadap id saja, melainkan terhadap superego juga.
Dengan masing-masing tugas dan fungsinya itu id, ego, dan superego menggunakan energi psikis dengan hasil atau dampak yang berbeda terhadap kepribadian individu (Koswara, 1991:43). Jadi, melalui pemindahan energi psikis tersebut dalam struktur kepribadian itu sendiri menyebabkan adanya saling membutuhkan dan keberpihakan yang ditunjukkan antara id yang membutuhkan ego, dan superego yang membutuhkan ego di mana keduanya menginginkan untuk mendominasi.
Hall (1959:82) menyampaikan bahwa kecemasan adalah salah satu konsep terpenting dalam teori psikoanalisa. Kecemasan memainkan peranan yang penting baik dalam perkembangan kepribadian maupun dalam dinamika berfaalnya kepribadian. Kecemasan dapat diartikan sebagai suatu pengalaman perasaan yang menyakitkan dan ditimbulkan oleh ketegangan-ketegangan dalam alat-alat intern dari tubuh. Ketegangan-ketegangan ini adalah akibat dari dorongan-dorongan dari dalam atau dari luar dan dikuasai oleh susunan urat syaraf yang otonom.
Freud (via Minderop, 2013:28) menyampaikan bahwa kecemasan sebagai hasil dari konflik bawah sadar merupakan akibat dari konflik antara pulsi id (umumnya seksual dan agresif) dan pertahanan dari ego dan superego. Kebanyakan dari pulsi tersebut mengancam individu yang disebabkan oleh pertentangan nilai-nilai personal atau berseberangan dengan nilai-nilai dalam suatu masyarakat. Jadi kecemasan yang ada pada diri seseorang dapat bersumber pada adanya konflik dari kepribadian dalam diri seseorang tersebut (kaitaannya dengan dinamika kepribadian id, ego, dan superego) maupun konflik dari lingkungan yang bersifat mengancam dan membahayakan. Ferud membagi kecemasan dalam tiga jenis, yaitu kecemasan riel, kecemasan neurotik, dan kecemasan moral.
Freud berpendapat bahwa kepribadian telah cukup terbentuk pada akhir tahun kelima, dan bahwa perkembangan selanjutnya sebagian besar hanya merupakan elaborasi terhadap struktur dasar itu. Ia sampai kepada kesimpulan ini berdasarkan pengalamannya dengan pasien-pasien yang menjalani psikoanalisis.
Secara tak terelakkan, eksplorasi-eksplorasi mental mereka menjurus ke arah pengalaman masa kanak-kanak awal, yang ternyata berperan menentukan terhadap berkembangnya neurosis di kemudian hari (Semiun, 2006:92-93).
Dari penuturan Freud tersebut dapat diketahui bahwa pengalaman masa lalu atau pengalaman kanak-kanak awal dalam diri seseorang dapat mempengaruhi kepribadian seseorang di kemudian hari. Seseorang yang memiliki pengalaman yang menyenangkan atau merasakan keharmonisan dalam kehidupannya maka kepribadian serta tingkah laku seseorang tersebut ke depannya akan menunjukkan kestabilan atau baik-baik saja. Berbeda dengan seseorang yang memiliki pengalaman buruk atau tidak menyenangkan di awal kehidupan masa kanak-kanak yang nantinya akan berpengaruh bagi kepribadian serta tingkah laku di kemudian hari, seperti dapat menyebabkan buruknya tingkah laku serta kepribadian seseorang.
Perkembangan kepribadian itu sendiri dapat diartikan sebagai proses belajar yang dilakukan oleh seseorang dengan menggunakan suatu cara untuk mengatasi frustasi, konflik, dan kecemasan yang disebabkan oleh tegangantegangan.
Cara-cara tersebut berupa identifikasi (menyamakan diri dengan oran lain); pemindahan atau disalurkannya kembali energi dari satu obyek ke lain obyek; dan mekanisme pertahanan ego atau strategi individu untuk mencegah kemunculan kecemasan dan tegangan dengan beberapa cara meliputi represi (penekanan) , pembentukan reaksi (penyamaran yang langsung berlawanan dengan bentuk aslinya), sublimasi (tujuan genital dari eros direpresikan dan menggantikannya dengan tujuan budaya atau sosial), fiksasi (penghentian perkembangan jiwa), regresi (pengulangan kembali tingkah laku pada keadan semula), proyeksi (pengalihan pikiran, perasaan, atau dorongan diri sendiri kepada orang lain), dan introyeksi (memasukkan kualitas-kualitas positif dari orang lain ke dalam ego mereka sendiri).
Pengertian Strukturalisme
Secara definitif strukturalisme berarti paham mengenai unsur-unsur, yaitu struktur itu sendiri, dengan mekanisme antar hubungannya, di satu pihak antarhubungan unsur yang satu dengan unsur lainnya, di pihak yang lain hubungan antara unsur (unsur) dengan totalitasnya. Hubungan tersebut tidak semata-mata bersifat positif, seperti keselarasan, kesesuaian, dan kesepahaman, tetapi juga negatif, seperti konflik dan pertentangan. Istilah struktur sering dikacaukan dengan sistem. Definisi dan ciri-ciri sruktur sering disamakan dengan definisi dan ciri-ciri sistem. Secara etimologis struktur berasal dari kata structura (Latin), berati bentuk, bangunan, sedangkan sistem berasal dari kata systema (Latin), berarti cara. Struktur dengan demikian menunjuk pada kata benda, sedangkan sistem menunjuk pada kata kerja. Pengertian-pengertian struktur yang telah digunakan untuk menunjuk unsur-unsur yang membentuk totalitas pada dasarnya telah mengimplikasikan keterlibatan sistem. Artinya, cara kerja sebagaimana ditunjukan oleh mekanisme antar hubungan sehingga terbentuk totalitas adalah sistem. Dengan kalimat lain, tanpa keterlibatan sistem maka unsur-unsur hanyalah agregasi.
Sejak ditemukannya hukum-hukum formal yang berhubungan dengan hakikat karya sekitar tahun 1940-an, bahkan sejak formalisme awal abad ke-20, model analisis terhadap karya sastra telah membawa hasil yang gilang-gemilang. Bahasa sebagai sistem model pertama telah dieksploitasi semaksimal mungkin dalam rangka menemukan aspek-aspek estetikanya. Ciri-ciri kesastraan, cara-cara pembacaan mikroskopi, analisis intristik, dan sebagainya, yang secara keseluruhan mmberikan intensitas terhadap kedudukan karya sastra secara mandiri, karya sastra sebagai ergon, selama hampir setengah abad merupakan tujuan utama penelitian. Analisis ‘Les Chats’ karya Baudelaire oleh Roman Jakobson dan Levi-Strauss, Sarrasine karya Balzac oleh Roland Barthes, dongeng-dongeng Rusia oleh Propp, dianggap sebagai puncak keberhasilan strukturalisme. Berbagai analisis yang dilakukan oleh mazhab Rawamangun, khususnya penelitian yang dilakukan oleh A.Teeuw, Umar Junus, Rachmat Djoko Pradopo, dan Made Sukada, termasuk skripsi, tesis, disertasi yang belum terbit yang masih tersimpan di perpustakaan, merupakan hasil strukturalisme.
Perkembangan ilmu pengetahuan, setelah mencapai klimaks akan mengalami stagnasi sebab akan timbul konsep dan paradigma baru, sesuai dengan perkembangan masyarakat yang mendukungnya. Klimaks strukturalisme dianggap sebagai involusi, tidak memberikan arti yang memadai terhadap hakikat kemanusiaan. Strukturalisme dinggap sebagai mementingkan objek, dengan konsekuensi menolak,bahkan ‘mematikan’ sebjek pencipta. Oleh karena itulah, strukturalisme dianggap sebagai antihumanis. Strukturalisme juga dianggap melepaskan karya dari sejarah sastra dan sosial budaya yang justru merupakan asal-usulnya.
Lahirnya strukturalisme dinamik didasarkan atas kelemahan-kelemahan strukturalisme sebagaimana yang dianggap sebagai perkembangan kemudian formalisme di atas. Strukturalisme dinamik dimaksudkansebagai penyempurnaan strukturalisme yang semata-mata memberikan intensitas terhadap struktur intrinsik, yang dengan senirinya melupakan aspek-aspek ekstrinsiknya. Strukturalisme dinamis mula-mula dikemukakan oleh Mukarovsky dan Felik Vodicka (Fokkema, 1977: 31). Menurutnya, karya sastra adalah proses komunikasi, fakta semiotik, terdiri atas tanda, struktur, dan nilai-nilai. Karya seni adalah petanda yang memperoleh makna dalam kedadaran pembaca. Oleh karena itulah, karya seni harus dikembalikan pada kompetensi penulis, masyarakat yang menghasilkannya, dan pembaca sebagai penerima.
Secara definitif strukturalisme memberikan perhatian terhadap analisis unsur-unsur karya. Setiap karya sastra, baik karya sastra dengan jenis yang sama maupun berbeda, memiliki unsur-unsur yang berbeda. Di samping sebagai akibat ciri-ciri inheren tersebut, perbedaan unsur juga terjadi sebagai akibat dari perbedaan proses resepsi pembaca. Dalam hubungan inilah karya sastra dikatakan sebagai memiliki ciri-ciri yang khas, otonom, tidak bisa digeneralisasikan. Setiap penilaian akan memberikan hasil yang berbeda. Meskipun demikian perlu dikemukakan unsur-unsur pokok yang terkandung dalam ketiga jenis karya, yaitu: prosa, puisi, dan drama. Unsur-unsur prosa, diantaranya: tema, peristiwa atau kejadian, latar atau seting, penokohan atau perwatakan, alut atau plot, sudut pandang, dan gaya bahasa. Unsur-unsur puisi, diantaranya: teema, stilistika atau gaya bahasa, imajinasi atau daya bayang, ritme atau irama, rima atau persajakan, diksi atau pilihan kata, simbol, nada, dan enjambemen. Unsur-unsur drama, dalam hubungan ini drama teks, di antaranya: tema, dialog, peristiwa
Secara persis sama sebagaimana dikemukakan oleh para penemunya. Teori pun dapat ditafsirkan sesuai dengan kemampuan peneliti. Teori adalah alat, kapasitasnya berfungsi untuk mengarahkan sekaligus membantu memahami objek secara maksimal. Teori memiliki fungsi statis sekaligus dinamis. Aspek statisnya adalah konsep-konsep dasar yang membangun sekaligus membedakan suatu teori dengan teori yang lain. Dalam strukturalisme, misalnya, konsep-konsep dasarnya adalah unur-unsur, anatrhubungan, dan totalitasnya. Aspek-aspek dinamisnya adalah konsep-konsep dasar itu sendiri sesudah dikaitkan dengan hakikat objeknya. Konsep inilah yang berbah secara terus-menerus, sehingga penelitian yang satu berbeda dengan penelitian yang lain.
Selama lebih kurang setengah abad perkembangan strukturalime telah memberikan hasil yang memadai yang meliputi berbagai bidang ilmu pengetahuan. Sebagai suatu cara pemahaman, baik sebagai teori maupun metode, ciri-ciri yang cukup menonjol adalah lahirnya berbagai kerangka dan model analisis, khususnya analisis fiksi. Dalam kerangka strukturalisme, di mana diperlukan adanya suatu keteraturan, suatu pusat yang pada gilirannya akan melahirkan saluran-saluran komunikasi, kerangka dan model-model analisis yang dikemukakan oleh para kritikus sastra, sesuai dengan tujuannya masing-masing, dapat diterima secara positif. Sebaliknya, dalam kerangka analisis sastra kontemporer jelas model yang dimaksudkan tidak sesuai dan tidak diperlukan sebab prinsip-prinsip postrukturalisme memprasyaratkan pemahaman yang tidak harus dilakukan melalui suatu kerangka analisis yang sudah baku.
A. Prinsip-prinsip Antarhubungan
Dalam strukturalisme konsep fungsi memegang peranan penting. Artinya, unsur-unsur sebagai ciri khas teori tersebut dapat berperanan secara maksimal semata-mata dengan adanya fungsi, yaitu dalam rangka menunjukan antarhubungan unsur-unsur yang terlibat. Oleh karena itulah, dikatakan bahwa struktur lebih dari sekedar unsur-unsur dan totalitasnya, karya sastra lebih dari sekedar pemahaman bahasa sebagai medium, karya sastra lebih dari sekedar penjumlahan bentuk dan isinya. Antarhubungan dengan demikian merupakan kualitas energetis unsur. Unsur-unsur memiliki fungsi yang berbeda-beda, dominasinya tergantung pada jenis, konvensi, dan tradisi sastra. Unsur-unsur pada gilirannya memiliki kapasitas untuk melakukan reorganisasi dan regulasi diri, membentuk dan membina hubungan antarunsur. Sesuai dengan proposisi Durkheim (Johnson, 1988: 168) mengenai masyarakat, maka dalam karya, totalitas selalu lebih besar dan lebih berarti dari jumlah unsurnya. Kualitas karya dinilai dalam totalitasnya, bukan akumulasi unsurnya.
Unsur tidak memiliki arti dalam dirinya sendiri, unsur dapat dipahami semata-mata dalam proses antarhubungannya. Makna total setiap entitas dapat dipahami hanya dalam integritasnya terhadap totalitasnya. Dunia kehidupan merupakan totalitas fakta sosial, buka totalitas benda. Antarhubungan mengandaikan pergeseran nilai-nilai substansial ke arah struktural, nilai dengan kualitas bagian ke arah kualitas totalitas. Hubungan yang terbentuk tidak semata-mata bersifat positif, melainkan juga negatif, seperti konflik dan pertentangan. Menurut Craib (1994: 177), variasi unsur dalam suatu komunitas hubungan bisa sama, tetapi variasi hubungan akan menghasilkan sesuatu yang sama sekali berbeda.
Sebagai kualitas totalitas, antar hubungan merupakan energi, motivator terjadinya gejala yang baru, mekanisme yang baru, yang pada gilirannya menampilkan makna-makna yang baru. Tanpa antarhubungan sesungguhnya unsur tidak berarti, tanpa antarhubungan unsur-unsur hanya berfungsi sebagai agregasi. Mekanisme antarhubungan di atas dianggap sebagai pergeseran yang signifikan dan fundamental, yaitu dari struktur yang otonom ke arah relevansi fungsi karya sebagai sistem komunikasi. Karya dengan demikian tidak dipahami melalui ergon yang terisolasi, melainkan selalu dalam kaitannya dengan perubahan realitas sosial. Karya tidak dapat diisolasi, karya mesti dikondisikan sebagai fakta kemanusiaan sehingga memungkinkan untuk mengoperasikan secara maksimal berbagai saluran komunikasi yang terkandung di dalamnya.
Melalui tradisi formalis, khususnya tradisi strukturalisme, ciri-ciri antarhubungan memperoleh tempat yang memadai. Teori-teori poststrukturalisme, baik sebagai negasi maupun afirmasi terhadap prinsip-prinsip strukturalisme jelas memanfaatkan secara maksimal kualitas antarhubungan tersebut. Antarhubungan merupakan sistem jaringan yang mengikat sekaligus memberikan makna terhadap gejala-gejala yang ditangkap. Dalam mekanisme antarhubungan dievokasi pola-pola yang memungkinkan terjadinya kualitas estetis. Suatu cerita menjadi menarik, misalnya, salah satu cara yang dilakukan oleh pengarang adalah dengan mempercepat, atau sebaliknya memperlambat terjadinya suatu peristiwa, meningkatkan atau sebaliknya menurunkan frekuensi pemanfaatan kata-kata tertentu, sehingga merangsang keingintahuan pembaca.
Kehidupan praktis sehari-hari jelas didominasi oleh konsep hubungan. Setiap orang mengenal dirinya sendiri atas dasar perbedaanya dengan orang lain di sekitarnya. Proses dan sistem komunikasi didasarkan atas terjadinya berbagai bentuk hubungan, baik dalam ruang maupun waktu. Perubahan status perana disadarkan atas perubahan pola-pola hubungan sosial. Dinamika dan dengan demikian keberlangsungan kehidupan itu sendiri pun diakibatkan melalui terjadinya perubahan hubungan. Sebagai replika kehidupan, jelas karya sastra memanfaatkan energi antarhubungan dalam membangun totalitas. Melalui medium bahasa, pengarang hanya menyajikan unsur-unsur fisik, sebagai fabula. Antarhubunganlah, yaitu melalui imajinasi pembaca, yang mengubah crita sehingga menyerupai kehidupan, dalam bentuk plot. Antarhubungan mengimplikasikan unsur-unsur kebudayaan, artinya antarhubungan merupakan indikator penyebarluasan unsur-unsur kebudayaan sehingga khazanah suatu kebudayaan dapat dipahami oleh komunitas yang lain. Keberhasilan sebuah karya sastra dengan demikian juga ditentukan oleh kemampuan penulis dalam menyajikan keberagaman antarhubungan.
Dengan mengambil analogi dalam bidang bahasa, sebagai hubungan sintagmatis dan paradigmatis, maka karya sastra dapat dianalisis dengan dua cara. Pertama, menganalisis unsur-unsur yang terkandung dalam karya sastra. Kedua, menganalisis karya melalui perbandingannya dengan unsur-unsur di luarnya, yaitu kebudayaan pada umumnya. Mekanisme tata hubungan sintagmatis memberikan pemahaman dalam kaitannya dengan jumlah unsur dalam karya, sedangkan mekanisme tata hubungan paradigmatis memberikan pemahaman dalam kaitan karya dengan masyarakat yang menghasilkannya. Analisis pertama dilakukan melalui pendekatan interistik, sedangkan analisis yang kedua dilakukan melalui pendekatan ekstrinsik. Sastra bandingan, sosiologi sastra, dan psikologi sastra, dilakukan atas dasar antarhubungan yang kedua.
Studi mengenai struktur dan fungsi, khususnya dalam teori-teori sosiologi kontemporer menghantarkan manusia pada pemahaman mendasar terhadap nilai-nilai kehidupan secara keseluruhan. Struktur mengacu pada seperangkat unit sosial yang relatif stabil dan berpola, sedangkan fungsi mengacu pada proses dinamis yang terjadi dalam struktur tersebut. Fungsi-fungsi mengandaikan terjadinya antarhubungan, sebaliknya, antarhubungan mengevokasi perubahan fungsi. Pada dasarnya struktur sudah mengimplikasikan antarhubungan sekaligus fungsi. Menurut Poloma (1987: 23-26), asal usul sosiologisnya adalah sosiolog Perancis Emile Durkheim yang kemudian dilanjutkan oleh Auguste Comte dengan konsep masyarakat sebagai struktur dan fungsi, masyarakat adalah suatu sistem yang terdiri atas bagian-bagian yang saling tergantung satu dengan yang lain. Pada umumnya para sosiolog mengambil analogi organisme hidup, dengan pertimbangan bahwa baik masyarakat maupun organisme hidup sama-sama mengalami pertumbuhan, setiap bagian memiliki fungsi yang berbeda, sehingga setiap perubahan pada bagian tertentu akan berpengaruh terhadap bagian-bagian yang lain. Konsep Durkheim kemudian dilanjutkan juga oleh Malinowski dan Radcliffe-Brown, termasuk Talcot Parsons.
Relevansi prinsip-prinsip antarhubungan dalam analisis karya sastra, di satu pihak mengarahkan peneliti agar secara terus-menerus memperhatikan setiap unsur sebagai bagian yang tak terpisahkan dengan unsur-unsur yang lain. Di pihak lain, antarhubunganlah yang menyebabkan sebuah karya sastra, suatu masyarakat, dan gejala apa saja agar memiliki arti yang sesungguhnya. Kesalahpahaman mengenai fungsi-fungsi antarhubungan menyebabkan peneliti hanya meneliti salah satu unsur tertentu, yang pada gilirannya berarti memperkosa hakikat suatu totalitas. Analisis terhadap penokohan, misalnya, tidak mungkin dilakukan secara terpisah dari unsur-unsur yang lain. Dengan kalimat lain, penokohan tidak dapat dipahami tanpa menghubungkannya dengan unsur-unsur yang lain, seperti kejadian, latar, plot, dan sebagainya.
B. Teori Formalisme
Sebagai teori modern mengenai sastra, secara historis kelahiran formalisme dipicu oleh paling sedikit tiga faktor, sebagai berikut.
Formalisme lahir sebagai akibat penolakannya terhadap paradigma positivisme abad ke-19 yang memegang teguh prinsip-prinsip kausalitas, dalam hubungan ini sebagai reaksi terhadap studi biografi.
Kecenderungan yang terjadi dalam ilmu humaniora, dimana terjadinya pergeseran dari paradigma diakronis ke sinkronis.
Penolakan terhadap pendekatan tradisional yang selalu memberikan perhatian terhadap hubungan karya sastra dengan sejarah, sosiologi, dan psikologi.
Dikaitkan dengan tradisi keilmuan secara luas, Ian Craib (1994: 156-157) menunjuk beberapa disiplin yang dianggap sebagai awal perkembangan formalisme. Bidang filsafat, melalui Emmanuel Kant (1724-1808), mulai mempertimbangkan kemampuan manusia untuk memahami keteraturan dunia. Melalui aliran kritisisme, Kant memadukan rasionalisme dengan empirisme. Artinya, di satu pihak Kant mempertahankan kualitas objektivitas dan keniscayaan penegrtian, di pihak yang lain juga menerima pengertian yang bertolak dari gejala-gejala. Sudut pandang yang lain (Scholes, 1977: 7) menganggap konsep unsur terkandung dalam hermeneutika, khususnya melalui paradigma Schleiermacher dan Dilthey, dengan anggapan bahwa sebuah karya seni harus dipahami melaui hubungan antara bagian-bagian dengan keseluruhannya. Di samping itu, analisis unsur-unsur dengan hermeneutika, sebagai teori dan metode, diharapkan akan menampilkan mekanisme yang saling melengkapi sebab keduanya memiliki objek yang sama, yaitu teks. Struktur tes yang berlapis-lapis dan mengandung ruang-ruang kosong merupakan medan makna dari hermeneutika. Dalam bidang antropologi budaya yang dipelopori oleh Emile Durkheim (1858-1917), dengan ide solidaritas dan integrasi sosial, memandang hubungan individu dengan masyarakat sebagai suatu sistem, dalam struktur sosial. Paradigma baru dari ilmu bahasa, sebagaimana dikemukakan oleh Ferdinand de Saussure yang lahir di Swis (1857-1913), khususnya melalui karyanya yang berjudul Cours de linguistque generale (1916), yang selanjutnya dianggap sebagai bapak strukturalisme, menampilkan pergeseran yang radikal untuk menganalisis bahasa sebagai sistem, makna hanya dapat dipahami melalui mekanisme relasionalnya. Perkembangannya yang sangat pesat, bahkan juga sesudah menjadi poststrukturalisme terjadi di Perancis sekitar tahun 1960-an, dengan ciri-ciri tersendiri, yang dipelopori oleh Clude Levi-Strauss, Roland Barthes, Tzvetan Todorov, A.J Greimas, Claude Bremond, Gerard Genette, Julia Kristeva, Michel Foucault, Jacques Derrida, dan sebagainya. Melalui tradisi intelektual linguistik inilah kemudian berkembang ke disiplin lain, seperti Antropologi (Levi-Strauss), Christian Metz (kritik film), Michel Foucault (sejarah pemikiran), Roland Barthes (kritik sastra), Jacques Lacan (psikologi), Jacques Derida (filsafat).
Dengan adanya divergensi subjek kreator, maka formalisme dengan demikian juga menolak karya sastra sebagai ungkapan pandangan hidup, sekaligus perbedaan secara dikotomis antara bentuk dan isi. Sebagai kandungan, masalah-masalah yang berkaitan dengan isi dapat dipahami dengan kaitanya dengan fungsi. Formalisme juga menolak peranan karaya satra semata-mata sebagai sarana untuk memahami hakikat kebudayaan yang lebih luas. Sebagai sistem komunikasi, berbeda dengan bahasa sehari-hari yang menyampaikan informasi melalui sarana-sarana di luar bahasa, formalisme menyampaikannya melalui tanda-tanda bahasa itu sendiri. Secara etimologis formalisme berasal dari kata forma (latin), yang berarti bentuk atau wujud. Formalisme mengutamakan pola-pola suara dan kata-kata formal, bukan isi, olehkarena itulah, cara kerjanya disebut metode formal.
Peletak dasar formalisme adalah kelompok formalis Rusia, yang terdiri atas para pakar sastra dan linguistik. Ada dua pusat kegiatan, yaitu: a) Lingkaran Linguistik Moskow yang didirikan tahun 1915 oleh Roman Jakobson, Petr Bogatyrev, dan Grigorii Vinokur, dan b) Mazhab Opojaz (Masyarakat Studi Puitika Bahasa) Leningrad yang didirikan tahun 1916 oleh Boris Eichenbaum, Victor Sklovski, Osip Brik, dan Lev laukubinskii (Nina Kolesnikoff dalam Irena R Makaryk, ed, 1993: 53). Tujuan pokok formalisme adalah studi ilmiah tentang sastra, dengan cara meneliti unsur-unsur kesastraan, puitika, asosiasi, oposisi, dan sebagainya. Metode yang digunakan, baik dalam tradisi formalisme maupun sesudah menjadi strukturalisme, bahkan sesudah strukturalisme, adalah metode formal. Metode formal tidak merusak teks, juga tidak mereduksi, melainkan merekonstruksi dengan cara memaksimalkan konsep fungsi, sehingga menjadikanteks sebagai suatu kesatuan yang terorganisasikan. Prinsip dan sarana inilah yang mengarahkannya pada konsep sistem dan akhirnya ke konsep struktur. Oleh karena itulah, menurut Luxemburg, dkk. (1984: 35) formalisme dianggap sebagai peletak dasar ilmu sastra modern.
Sekitar tahun 1930-an, sebagai akibat situasi politik, dengan alasan bahwa model-model pendekatan formal bertentangan dengan ajaran Marxis, formalisme dilarang di Rusia tetapi berkembang di Praha (Cekoslovakia), melalui tokoh-tokoh Roman Jakobson, Mukarovsky, Rene Wellek, dan Felix Vodicka, formalisme Praha justru mengkritik formalisme Rusia yang dianggap tidak menopang perkembangan sastra sebab terlalu banyak memberikan perhatian pada bentuk, sehingga sama sekali mengabaikan isi. Setelah memperoleh kritik formalisme Praha ini, maka formalisme pada umumnya dianggap sudah menjadi strukturalisme,. Oleh karena situsi politik yang terus berlanjut, yaitu sebagai campur tangan Nazisme, tokoh-tokoh strukturalisme, di antaranya Rene Wellek dan Roman Jakobson, sekitar tahun 1940-an meninggalkan Cekoslovakia dan pergi ke Amerika, yang sekaligus melairkan mazhab Kritik Baru.
Masalah pendekatan, teori, dan metode, demikian juga konsep-konsep berfikir liannya, tidak bisa dibatasi secara pasti, kapan kelahirannya, demikian juga kapan kematiannya.
Konsep struktur pada dasarnya sudah ada sejak Aristoteles, tetapi menjadi teori modern sesudah melalui perkembangan formalisme di atas. Melalui perkembangannya yang sangat pesat tersebut, konsep strukturalisme tampil secara berbeda-beda, meliputi berbagai disiplin, seperti: matematika, logika, biologi, fisika, psikologi, antropologi, linguistik, dan ilmu-ilmu humaniora lainnya. Meskipun demikian, persamaan pokok yang ditunjukan adalah peranan unsur-unsur dalam membentuk totalitas, kaitan secara fungsional antara unsur-unsur tersebut, sehingga totalitas tidak dengan sendirinya sama dengan jumlah unsur-unsurnya. Menurut Jean Piaget, ada tiga dasar strukturalisme, yaitu: a) kesatuan, sebagai koherensi internal, b) transformasi, sebagai pembentukan bahan-bahan baru secara terus-menerus, dan c) regulasi diri, yaitu mengadakan perubahan dengan kekuatan dari dalam.
Penerapan strukturalisme dalam disiplin linguistik yang dipelopori oleh Ferdinand de Saussure, melalui mazhab Jenewa, merupakan langkah yang sangat maju dalam rangka mengarahkan teori tersebut sebagai teori modern selanjutnya. Konsep dasar yang ditawarkan adalah perbedaan yang jelas, dikotomi antara a) signifiant (bentuk, bunyi, lambang, penanda) dan signifie (yang diartikan, yang ditandakan, yang dilambangkan, petanda), b) paroie (tuturan, penggunaan bahasa individual) dan langue (bahasa yang hukum-hukumnya telah disepakati bersama), dan c) sinkroni (analisis karya-karya sezaman) dan diakroni (analisis karya dalam perkembangan kesejarahannya). Saussure (Gertz, 2001: 178-179) menolak pemahaman bahasa secara historis yang terjadi abad ke-19, pemahaman kata-kata dan ekspresi (parole) sepanjang sejarah. Menurutnya, pemahaman yang benar adalah pemahaman antihistoris, bahasa sebagai sistem internal (langue). Menurut Saussure, bahasa diumpamakan sebagai karya musik, untuk memahaminya kita harus memperhatikan keutuhannya, bukan pada permainan individual. Menurut Saussure (Norris, 1983: 25) linguistik modern dengan demikian dapat berkembang semata-mata dengan cara: a) memberikan prioritas terhadap penelitian sinkronis sekaligus meninggalkan model-model penelitian diakronis abad ke-19, dan b) memberikan prioritas terhadap bahasa sebagai sistem (langue) sebab sistem inilah yang mendasari ranah bahasa tuturan. Makna hanya bisa dihasilkan atas dasar aturan-aturan yang baku. Studi bahasa sinkronik adalah studi terhadap fakta-fakta sosial sebab bahasa adalah gejala sosial. Ahli bahasa mengamati kebiasaan-kebiasaan bahasa pada waktu tertentu, yang pada gilirannya akan menghasilkannilai dalam sistem tersebut. Pada saat ini pada dasarnya strukturalisme sudah melahirkan semiologi. Di samping dalam bidang linguistik juga berkembang dalam antropologi (Claude Levi-Strauss), filsafat (Foucault, Althusser), psikoanalisis (Lacan), analisis puisi (Roman Jakobson), dan analisis cerita (Genete).
Sejumlah istilah dan konsep yang secara khas disumbangkan oleh kelompok formalisme, diantaranya: kesastraan, bentuk dan isi, fabula dan sjuzet, otomatisasi dan defamiliarisasi. Hakikat kesastraan (literariness) merupakan ciri-ciri umum kelompok formalis. Menurutnya, meskipun pada dasarnya tidak ada perbedaan secara intristik antara bahasa sastra dengan bahasa sehari-hari, tetapi dengan cara mengadakan penyusunan kembali, dengan mempertimbangkan fungsinya dalam suatu struktur, maka bahasa sastra akan berbeda dengan bahasa biasa. Dalam hubungan inilah dikatakan bahwa bahasa sastra adalah bahasa yang diciptakan, aspek-aspek kesastraanlah yang membuat karya tertentu sebagai karya sastra. Intensitas terhadap bahasa sastra pada gilirannya menghilangkan perbedaan bentuk dan isi. Karya sastra dengan demikian adalah bentuk sekaligus isi, isi hadir hanya melalui medium bentuk. Dengan kalimat lain, isi adalah struktur itu sendiri.
Fabula dan sjuzet merupakan konsep formalis yang paling terkenal. Cerita dan penceritaan, cerita dan plot, dianggap sebagai konsep kunci dalam membedakan karya sastra, khususnya sastra naratif, dengan sejarah dan peristiwa sehari-hari. Fabula adalah bahan kasar, kejadian yang tersusun secara kronologis, oleh karena itu fabula disebut juga konstituten plot. Sjuzet mengorganisasikan keseluruhan kejadian kedalam struktur penceritaan. Dalam puisi, energi organisatoris ini dipegang oleh ritme. Semata-mata dalam struktur penceritaan inilah, sebagai kualitas yang dibangun, sebagai struktur yang diciptakan, terkandung kualitas estetis sebuah karya sastra. Konsep lain yang juga sangat terkenal, yang dikemukakan oleh Sklovsky (baca Selden, 6-15), adalah otomatisasi yang defamiliarisasi. Otomatisasi adalah pemakaian bahasa yang sudah biasa, otomatis. Defamiliarisasi (pengasingan) membuat yang sudah biasa menjadi luar biasa, menjadi baru, menjadi aneh, menyimpang, misalnya, dengan cara memperlambat, menunda, dan menyisipi. Dalam sastra naratif, defamiliarisasi biasanya diperoleh mekanisme pemplotan dengan cara mengubah susunan kejadian. Otomatisasi mirip dengan reifikasi menurut pemahaman Berger dan Luckmann (1973: 106-107) dan ada sesejajaran denga estetika persamaan dan estetika pertentangan menurut pemahaman Lotman (baca Teeuw, 1988: 360). Pada dasarnya evolusi sastra adalah proses pengasingan secara terus-menerus.
Usaha maksimal kelompok formalis dalam rangka menemukan hakikat karya sastra dengan cara megeksploitasi sarana bahasa telah mencapai klimaksnya. Meskipun demikian, penemuan tersebut justru mngarahkan pada paradigma baru, karya tidak bisa dipahami secara terisolasi semata-mata melalui akumulasi perngkat-perangkat intrinsiknya, tetapi juga harus melibatkan keseluruhan faktor yang membentuknya. Pergeseran perhatian dari masalah-masalah teknis, khususnya sebagaiimana digemari oleh kelompok formalisme awal, ke arah pemahaman sastra secara lebih luas, melahirkan strukturalisme. Formalisme memiliki dampak atas strukturalisme Perancis, yang kemudian memicu penelitian Todorov, Roland Barthes, dan Gerarld Genette. Formalisme juga memegang peranan dalam perkembangan strukturalisme Rusia tahun 1960-an, mempengaruhi kelompok Tartu-Moskow, termasuk Lotman, Alexander Zholkovsky, dan Boris Uspensij.
Sebagai asal-usul teori modern dalam bidang sastra relevansi formalisme seperti telah dijelaskan di atas adalah pergeseran pandangan dari unsur-unsur di luar sastra ke sastra itu sendiri. Pergeseran yang dimaksudkan membawa implikasi langsung pada pandangan bahwa yang terpenting dalam analisis adalah karya, dalam hubungan ini medium bahasa dan aspek-aspek kesastraan dengan berbagai problematikanya. Sesuai dengan perkembangan formalisme, pada tahap permulaan karya sastra yang memperoleh perhatian adalah puisi yang kemudian dilanjutkan dengan jenis fiksi. Pada perkembangan yang terakhir inilah dikemukakan konsep-konsep yang relevan dalam analisis novel, seperti perbedaan antara cerita dengan penceritaan. Pada dasarnya keseluruhan unsur fikis dimanifestasikan dalam penceritaan, yang pada umumnya disebut plot. Teks dan wacana, dua istilah yang menduduki posisi yang sangat penting dalam teori sastra kontemporer pada dasarnya juga dieksploitasi melalui mekanisme penceritaan tersebut. Melalui relasi oposisi fabula dan sjuzet, formalisme membawa ilmu sastra pada pemahaman baru, sastra sebagai energi untuk menjadikan segala sesuatu seolah-olah terlihat untuk pertama kali.
C. Teori Strukturalisme Dinamik
Secara etimologis struktur berasal dari kata structura, bahasa Latin, yang berari bentuk atau bangunan. Asal-muasal strukturalisme, seperti sudah dikemukakan di atas, dapat dilacak dalam Poetica Aristoteles, dalam kaitannya dengan tragedi, lebih khusus lagi dalam pembicaraanya mengenai plot. Konsep plot harus memiliki ciri-ciri yang terdiri atas kesatuan, keseluruhan, kebulatan, dan keterjalinan (Teeuw, 1988: 121-134). Perubahan paradigma yang sangat mendasar baru terjadi dua puluh lima abad kemudian, yaitu dengan memberikan prioritas pada karya sastra itu sendiri. Perkembangan tersebut diawali oleh formalisme Rusia (1915-1930), strukturalime Praha (1930-an), Kritik baru di Amerika Serikat (tahun 1940-an), dan sekitar tahun 1960-an disusul oleh strukturalisme baru di Rusia, strukturalisme Perancis, strukturalisme Inggris, gerakan otonomi di Jerman, strukturalisme di Belanda, dan strukturalisme di Belanda, dan strukturalisme di Indonesia melalui kelompok Rawamangun (1960-an).
Menurut Teeuw (1988: 131), khususnya dalam ilmu sastra, strukturalisme berkembang melalui tradisi formalisme. Artinya, hasil-hasil yang dicapai melalui tradisi formalis sebagian besar dilanjutkan dalam strukturalis. Di satu pihak, para pelopor formalis sebagian besar terlibat dalam mendirikan strukturalis. Di pihak yang lain atas dasar pengalaman formalislah mereka mendirikan strukturalisme. Oleh karena itulah, menurut Mukarovsky (Rene Wellek, 1970: 275-276), strukturalisme sebagaimana yang mulai iperkenalkan tahun 1934, tidak menggunakan nama metode atau teori sebab di satu pihak, teori berarti bidang ilmu pengetahuan tertentu, di pihak yang lain, metode berarti prosedur ilmu yang relatif baku. Pada masa tersebut strukturalisme terbatas sebagai sudut pandang etimologi, sebagai sistem tertentu denga mekanisme antarhubungannya. Oleh karena itu pulalah, Robert Scholes (1977) menjelaskan keberadaan strukturalisme menjadi tiga tahap, yaitu: sebagai pergeseran paradigma berfikir, sebagai metode, dan terakhir sebagai teori. Mekanisme seperti itu merupakan cara yang biasa dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Demikianlah akhirnya strukturalisme disempurnakan kembali dalam strukturalisme genetik, resepsi, interteks, dan akhirnya pascastrukturalisme , khususnya dalam dekonstruksi.
Seperti dijelaskan diatas, secara definitif srtukturalisme mulai dengan lahirnya ketidakpuasan dan berbagai kritik atas formalisme. Sejarah strukturalisme, demikian juga sejarah teori pada umumnya adalah sejarah proses intelektualitas. Menurut Kuhn (1962), sejarah tersebut dibangun atas dasar kekuatan evolusi sekaligus revolusi. Perkembangan teori tidak cukup dibangun atas dasar akumulasi konsep, metode, dan berbagai pandangan dunia lainnya, melainkan juga memerlukan perubahan secara radikal yang pada gilirannya memicu proses percepatan lahirnya teori-teori yang baru. Hal yang senada juga dikemukakan oleh Saussure dalam menjelaskan bahasa, di mana bahasa bukanlah tumpukan kata yang berfungsi untuk menjelaskan benda-benda. Simbol tidak berhubungan dengan rujukan, tetapi terdiri atas penanda dan petanda dan semata-mata berfungsi dalam sistem, sebagaimana makna tanda-tanda lampu lalu lintas. Meskipun demikian, dalam kenyataannya, meskipun strukturalisme berhubungan erat dengan formalisme Rusia, aliran Praha, dan strukturalisme Polandia, strukturalisme pada umumnya diasosiasikan dengan pemikiran Perancis tahun 1960-an, yang sebagian besar dihubungkan dengan etnografi Levi-Strauss, demikian juga pemikiran Roland Barthes, Michel Foucault, Gerard Genette, Louis Althusser, Jaques Lacan, J. Greimas, dan Jean Piaget. Sebagaian dari mereka memasuki era baru dalam teori postsrukturalis.
Ilmu pengetahuan, khususnya ilmu humaniora, tidak berkembang secara garis lurus dan tidak searah, melainkan berada dalam kondisi saling mempengaruhi, saling melengkapi sehingga lebih banyak bergerak sebagai kualitas dialektis. Apabila dalam ilmu sastra strukturalisme dianggap sebagai perkembangan kemudia dari formalisme, dalam sosiologi, menurut Marvin Haris (1979: 166-167), asal-usul strukturalisme adalah ide sebagaimana dikemukakan oleh Durkheim. Sejajar dengan penjelasannya mengenai hakikat suatu masyarakat, totalitas yang tediri atas kesadaran kolektif, maka pikiran pun terdiri atas cetakan-cetakan yang memungkinkan untuk memahami totalitas benda-benda. Dengan cara yang sama maka setiap kebudayaan terdiri atas pola-pola, dengan isi yang berbeda-beda. Di sinilah tugas analisis struktur yaitu membongkar unsur-unsur yang tersembunyi yang berada di baliknya. Berbeda dengan paradigma sosiologi sebelumnya yang disebut sebagai teori-teori individualistis, yang menyatakan masyarakat dibentuk oleh individu, sebaliknya, menurut Durkheim, justru individulah yang dibentuk masyarakat. Sejajar dengan konsep ini, naka dalam strukturalisme, unsur memiliki arti hanya dalam totalitasnya.
Tokoh-tokoh penting strukturalisme, di antaranya: Roman Jakobson, Jan Mukarovsky, Felix Vodicka, Rene Wellek, Jonathan Culler, Robert Scheles, dan sebagainya. Jakobson sekaligus merupakan tokoh formalis, strukturalisme Ceko, strukturalisme di Amerika Serikat, dan strukturalisme modern pada umumnya. Teori Jakobson (Teeuw, 1988: 53), yang terdiri atas enam faktor (addresser, addesse, context, message, contact, dan code) dengan enam fungsi (emotive, conative, reverential, poetic, phatic, dan metalingual), meskipun banyak ditolak, tetapi sangat relevan dalam kaitannyadengan pemahaman fungsi-fungsi puitika bahasa. Bersama Levi-Strauss, teori tersebut diterapkan dalam menganalisis puisi Charles Baudelaire yang berjudul ‘Les Chats’. Meskipun demikian, buku yang paling berwibawa mengenai konsep strukturalisme adalah Theory of Literature yang ditulis oleh Rene Wellek dan Austin Warren, terbit pertama kali tahun 1942. buku tersebut merupakan perpaduan antara strukturalisme Ceko dengan Kritik Baru.(1) Aspek Ekstrinsik (historis, sosiologis, psikologis, filosofis, religius),(2)Aspek Intristik
Elemen-elemen cipta sastra (a)insiden, (b)plot, (c) karakterisasi,(d)teknik cerita,(e) komposisi cerita, dan (f) gaya bahasa
Teori Semiotika
Secara definitif, menurut Paul Cobley (2002) Semiotika berasal dari kata seme,bahasa Yunani yang artinya penafsir tanda.Literatur lain semiotika berasal dari kata semeion yang berarti tanda. Dalam pengertian yang luas sebagai teori semeotika berarti studi sistematis mengenai produksi dan interprestasi tanda, bagaimana cara kerjanya,apa manfaatnya terhadapa kehidupan manusia . Kehidupan manusi dipenuhi oleh tanda, dengan perantaraan tanda-tanda proses kehidupan menjadi lebih efesien,dengan perantaran tanda-tanda manusia dapat berkomunikasi degan sesamanya, sekaligus mengadakan pemahaman yang lebih baik terhadap dunia, dengan demikian manusia adalah homo semioticus. Buku Saussure yang terkenal berjudul Cours d Linguistique Generale, yang terbit tahun 1916 dianggap sebagai asal-muasal teori strukturalisme sekaligus sebagai teori bahasa,yaitu linguistik sebagai bagian integral teori komunikasi dan keseluruhan hubungan sosial.Apabila konsep-konsep Saussure bersisi ganda,sebagai diadik, maka konsep Peirce bersisi tiga sebagai triadik.Diadik Saussure ditandai oleh ciri-ciri kesatuan internal,sedangkan triadik ditandai oleh dinamisme internal..Dilihat dari cara kerjanya , maka terdapat (a) semiotika sintaksis yaitu studi dengan memberikan intensitas hubungan antara tanda dengan tanda-tanda yang lain.(b)semantik semiotika,studi yang memberikan perhatian hubungan tanda dengan acuannya , dan (c) pragmatik semiotika, yaitu studi yang memberikan perhatian antara pengirim dan penerima. Dilihat dari faktor yang menentukan tanda, maka tanda dibedakan menjadi (1) representamen,ground tanda itu sendiri sebagai perwujudan gejala umum qualisigns (terbentuk oleh kualitas),sinsigns (terbentuk melalui realitas fisik),dan (c) legisigns types (berupa hukum). (2) object( designatum,denotatum,referent) yaitu apa yang diacu: ikon hubungan antara tanda dengan obyek karena serupa,indeks hubungan tanda dengan objek karena sebab akibat, simbol adalah hubungan tanda dengan obyek karena kesepakatan, (3) interpretan yaitu tanda-tanda baru yang terjadi dalam batin penerima seperti : rheme tanda sebagai kemungkinan (konsep),dicisigns,dicent signs tanda sebagai fakta(pernyataan deskripsi), argument tanda tampak sebagai nalar(proposisi). Diantara representament,obyect, dan interpretant yang paling banyak diulas adalah object.
INTERTEKSTUAL
Intertekstual merupakan kajian tentang hubungan suatu teks dengan teks yang lain karena tidak ada teks karya sastra yang begitu saja lahir, melainkan sebelumnya sudah ada karya sastra lainnya. Nurgiyantoro (2000:50) menyatakan dengan lebih khusus bahwa kajian intertekstual merupakan usaha untuk menemukan aspek–aspek tertentu yang telah ada pada karya sastra sebelumnya pada karya sastra yang muncul kemudian.
Kajian intertekstual berangkat dari asumsi bahwa kapan pun karya sastra ditulis, ia tidak lahir dari kekosongan budaya (Riffatere dikutip Nurgiyantoro, 2000:50). Unsur budaya, termasuk semua konvensi dan tradisi di masyarakat dalam wujudnya yang khusus berupa teks–teks kesastraan yang ditulis sebelumnya. Kajian ini menekankan bahwa suatu teks pada hakikatnya terdapat teks lain di dalamnya.
Prinsip intertekstual ini berarti bahwa setiap teks sastra dibaca harus dengan latar belakang teks–teks lain: tidak ada sebuah teks pun yang sungguh–sungguh mandiri (Ratih, 2003:126). Lebih lanjut, Ratna (2004:175) juga mengatakan bahwa tidak ada orisinalitas yang sungguh–sungguh dalam konsep interteks. Sependapat dengan kedua pendapat tersebut, Handayani (2006:10) menyatakan bahwa setiap teks sastra yang dibaca pasti memiliki latar belakang teks–teks lainnya.
Dengan menggunakan pendekatan intertekstual ini, sebuah karya sastra diharapkan maknanya bisa lebih diterima oleh pembacanya. Hal tersebut dinyatakan Pradopo (2002:268) bahwa dengan pengajaran atau mempertentangkan dua atau lebih karya sastra yang menunjukkan adanya hubungan antarteks, makna karya sastra itu diharapkan akan lebih dapat digali secara timbal balik. Senada dengan itu, Ratih (2003:126) mengemukakan bahwa sebuah karya sastra baru mendapatkan maknanya yang hakiki dalam kontrasnya dengan karya sebelumnya.
Pengertian paham, atau prinsip intertekstualitas berasal dari Perancis dan bersumber pada aliran strukturalisme Perancis yang dipengaruhi oleh pemikiran filsuf Perancis, Jaques Derrida dan dikembangkan oleh Julia Kristeva (Ratih, 2003:125).
Prinsip intertekstualitas dalam kritik sastra di dunia Barat sudah mulai dikenal tahun enam puluhan. Di Indonesia, prinsip ini baru diterapkan pada karya sastra Indonesia pada tahun delapan puluhan dipelopori Teeuw dalam artikel Majalah Basis tahun 1980 No. 301. yang ditulis kembali dalam buku Membaca dan Menilai Sastra yang terbit tiga tahun setelah itu.
Hipogram
Teks yang menjadi latar penciptaan teks baru disebut teks hipogram. Pendapat ini dinyatakan oleh Ratna (2004:175) yang mengemukakan bahwa hipogram merupakan landasan untuk menciptakan karya–karya yang baru. Hal yang senada juga diungkapkan oleh Riffaterre (dikutip Nurgiyantoro, 2000:51) yang menyatakan bahwa karya sastra yang dijadikan dasar penulisan bagi karya yang kemudian disebut sebagai hipogram.
Sebuah teks hipogram tidak pernah sepenuhnya diserap ke dalam teks transformasi. Nurgiyantoro (2000:53) menguatkan pendapat ini dengan menyatakan bahwa hipogram tidak akan tertuang komplit melainkan hanya berupa uraian leksikal, denotasi, pilihan paradigmatis kata–kata, atau pemakaian bentuk sinonim. Selain itu, perlu diketahui bahwa teks hipogram sangat mungkin mengalami perubahan setelah ditransformasikan. Hal ini dikemukakan Luxemburg (dikutip Setiawati, 2002:9) dengan mengatakan bahwa unsur–unsur yang dipinjam dari karya sastra lain dalam konteks baru dapat memperoleh fungsi yang lain dari fungsi yang semula.
Ditinjau dari eksplisit atau tidaknya sebuah hipogram, teks hipogram diklasifikasikan menjadi dua jenis, yaitu hipogram potensial dan hipogram aktual (Riffaterre dikutip Mukmin, 2005:33).
Hipogram potensial tidak eksplisit dalam teks, tetapi dapat diabstraksikan dari teks. Hipogram potensial ini adalah matriks yang merupakan inti teks atau kata kunci, yang dapat berupa kata, frase, dan klausa (Pradopo dikutip Mukmin, 2005:33–34). Lebih lanjut, Mukmin (2005: 33–34) juga menyatakan bahwa hipogram potensial merupakan potensi sistem tanda sebuah teks sehingga makna teks dapat dipahami pada karya itu sendiri, tanpa mengacu pada teks yang lain atau teks sebelumnya.
Hipogram aktual adalah kebalikan dari hipogram potensial. Hipogram aktual tertuang secara eksplisit. Hipogram aktual adalah teks yang nyata, berupa kata, frasa, kalimat, peribahasa, atau seluruh teks, yang menjadi latar penciptaan teks baru sehingga signifikansi teks harus ditemukan dengan mengacu pada teks yang sudah ada sebelumnya (Mukmin, 2005:34).
Perlu diingat juga bahwa secara umum teks adalah dunia semesta, bukan hanya tulisan dan lisan. Adat istiadat, kebudayaan, film, drama, bahkan dunia ini juga merupakan teks (Pradopo, 2007:132). Oleh sebab itu, bukan hanya teks tertulis dan lisan yang bisa menjadi sebuah hipogram, tetapi juga semua kejadian yang terjadi di alam ini.
Transformasi
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2001:1209) transformasi merupakan perubahan bentuk, sifat, fungsi, dan sebagainya. Dalam kaitannya dengan intertekstual, hal senada juga diungkapkan oleh Pradopo (2002:81) bahwa transformasi dalam teori intertekstual sendiri merupakan pemindahan suatu teks dalam bentuk lain yang pada hakikatnya sama tetapi dalam bentuk yang berbeda. Endraswara (2008:141) juga menyatakan bahwa transformasi adalah perubahan atau pemindahan bentuk–bentuk sastra dari waktu ke waktu.
Teori penerapan hipogram menurut Riffaterre (dikutip Pradotokusumo, 1986:63) ada dua, yaitu ekspansi dan konversi. Ekspansi adalah perluasan dan pengembangan karya dengan mengubah unsur–unsur pokok matriks kalimat menjadi bentuk yang lebih kompleks, ekspansi ini tidak sekedar repetisi, tetapi juga mencakup perubahan gramatikal, misalnya mengubah jenis kata. Matriks itu sendiri berarti kalimat minimal yang harfiah. Matriks bersifat hipotesis dan di dalam struktur teks terlihat sebagai aktualisasi kata–kata. Matriks bisa saja berupa sebuah kata dan dalam hal ini tidak pernah muncul dalam teks (Riffaterre dikutip Suarka, 2011:4). Lebih lanjut Riffaterre (dikutip Suarka, 2011:4) juga mengemukakan bahwa matriks selalu diaktualisasikan dalam varian–varian yang bentuknya diatur oleh model. Matriks, model, dan teks adalah varian–varian dari struktur yang sama. Ekspansi salah satunya bisa dilakukan dengan penambahan jumlah tokoh.
Teknik kedua yaitu konversi yang berarti pemutarbalikan hipogram atau matriksnya dengan mengubah unsur–unsur kalimat matrik dengan sejumlah faktor yang sama dengan bentuk yang berbeda. Pradotokusumo (1986:63) mengembangkan teori ini dengan menambahkan modifikasi dan ekserp. Modifikasiadalah perubahan tataran linguistik, memanipulasi kata atau urutan kata dalam kalimat. Dapat saja pengarang hanya mengganti nama tokoh, padahal tema dan jalan ceritanya sama. Ekserp adalah penyerapan intisari suatu unsur atau episode atau hipogram.
Berdasarkan teori–teori yang telah disampaikan, dapat diambil kesimpulan bahwa teknik transformasi diklasifikasi menjadi empat, yaitu (1) Ekspansi, yang mengubah pokok–pokok matriks menjadi lebih kompleks, (2) Konversi yang memutarbalikkan hipogram atau matriks, (3) Modifikasi yang mengubah atau memanipulasi tataran linguistik, dan (4) Ekserp yang hanya menyerap intisari hipogram.
Pendekatan intertekstual mencakup langkah–langkah berikut. (1) penyalinan, penyaduran, penerjemahan, (2) pembacaan berulang–ulang, (3) perbandingan dan penilaian teks–teks yang berbeda dengan teks yang lain, (4) pemberian makna terhadap teks–teks yang berbeda. (Emzir dan Rohman, 2016:214).