Karya: Tantri Darmayanti
Sate klathak kambing muda,
Gurih merasuk sela lambungmu,
Peternak di kampung, anak penggembala,
Mencicip saat qurban saja.
Sate klathak kuah gulai,
Ditusuk jeruji sepeda,
"Klathak" garam menyentuh bara,
Sekeras blantik menyunat harga.
Mbah Ambyah melahirkan penerus,
Warung satu, warung dua, ramai satu, tidak sisanya; membawa si nama besar.
Sate klathak Pasar Jejeran,
Riuh membakar hati saudara.
Karya: Tantri Darmayanti
Lelaki tua duduk bersila
Memandang keluar jendela kaca
Pedagang kaki lima berjajar di bawah gedung yang ia tinggali
Pun terlihat sepasang kekasih dengan jenaka beradu canda,
Mungkin juga luka.
Semakin jauh memandang,
Ia temukan rumah warga berdesak berhimpitan,
Orang-orang ribut menentukan nasib di alun-alun kota,
Mobil-mobil berjalan bagai serangga,
kabut asap mulai membumbung naik ke angkasa.
Kepadatan yang lesak. Sesak, batinnya.
“Silakan. Sudah tiba giliran Tuan,” wanita berkalung arloji membuyarkan pandang,
menyeret dua malaikat di kakinya.
Ternyata, hidup adalah menunggu giliran.
Harus ada yang redup, lalu padam.
Karya: Tantri Darmayanti
"Jogja begitu asing, ya," katamu di tengah percakapan kita.
Tanpa menjawab, pandanganku kabur bersulur,
menembus waktu di masa lalu.
Saat duduk berdua menikmati es lilin di Alun-Alun Selatan,
Mencecap cokelat panas di ujung Jalan Mataram,
menyaksikan teater di tengah kepadatan Sagan,
atau sekadar berboncengan menghitung satu dua jembatan layang.
Hidup begitu nyala kala itu.
hingga kau memilih redup,
meninggalkan ruang yang sebelumnya kau terangi,
dan menganggap semua tak sama lagi.
Ternyata, yang asing bukan Jogja,
tapi kita berdua.
Karya: Tantri Darmayanti
Berjalan ke arah selatan pusat Kota Jogja,
Sepasang kekasih berhenti di perkuburan.
Di dalamnya para pembangkang Amangkurat Tegalwangi tertidur dalam sunyi.
Tak dikunjungi meski ingin.
Tertunduk di salah satu pasareyan,
Sunan Amral menanti Rara Oyi,
kekasih hati yang akan diperistri bapaknya sendiri.
Pangeran Pekik datang bak satria,
membawa gadis pujaan si cucu,
menciptakan murka Raja Mataram.
Seluruhnya ditebas dalam diam.
Sepasang kekasih terhenti di perkuburan.