GURU, ENTITAS PENDIDIK YANG UNIK
Oleh AGUS MULYANA
Ketua PGRI Kabupaten Purwakarta, Dr. H. Purwanto yang akrab disapa Bos Ipung atau Kang Ipung menyebutkan, bahwa guru memegang peran yang penting dalam memfasilitasi pembelajaran. Selain sebagai pengajar, guru juga berperan sebagai fasilitator pembelajaran yang menginspirasi, membimbing, dan memberikan panduan kepada siswa. Guru memiliki tanggung jawab untuk mengenalkan siswa pada teknologi terkini, memanfaatkan kemajuan teknologi dalam proses pembelajaran, dan membantu siswa mengembangkan keterampilan multidisipliner yang dibutuhkan di masyarakat.
Lebih jauh Kang Ipung menjelaskan, bahwa peran guru tidak hanya di lingkungan sekolah saja, tetapi juga di masyarakat. Guru sebagai seorang pendidik, dituntut tidak hanya mampu menyampaikan pemikirannya kepada siswa, tetapi juga memasukkan pemikiran kritisnya ke dalam aktivitas tersebut. Banyak guru di masyarakat yang aktif dalam kegiatan, dan organisasi struktur kemasyarakatan. Sebut saja guru sebagai ketua dusun, ketua RT, ketua RW, ketua Bamusdes, dan lain sebagainya. Jabatan itu, tentu saja didasari oleh kepercayaan masyarakat terhadap keberadaan sosok atau figur guru di masyarakat. Tanpa dilandasi kepercayaan, tidak mungkin keberadaan seorang guru diamanahi begitu banyak jabatan sosial.
Sementara itu, Ketua PGRI Kabupaten Sukabumi, Kang Dudung Nurullah Koswara (PR, 2/1/2019) menyebut “Guru Entitas Politik yang Unik”. Majas eufimismeu beliau kentara dengan pemilihan kata unik. Uraian dan penjelasan dari kata uniknya keberadaan seorang guru sangat gamblang. Di ruang kelas dan di ruang publik, guru masih memegang peranan penting. Ketika di ruang publik, masyarakat galau dengan pilihan politiknya, maka guru tidak boleh netral, ia harus berpihak kepada kebaikan dan kebenaran.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, entitas memiliki arti sebagai satuan yang berwujud atau maujud. Entitas adalah suatu objek yang dapat didefinisikan sebagai sesuatu yang penting atau inti. Contoh entitas yang bersifat fisik adalah pegawai, guru, dan karyawan. Terkait konsep, entitas merupakan gaji dan sekolah.
Dalam opininya, Kang Dudung memaparkan sosok penting dalam dunia pendidikan adalah guru. Guru berperan sebagai pengajar, pembimbing, dan sebagai teladan bagi muridnya. Guru sebagai identitas profesi mempunyai dua entitas berbeda dalam hal kemampuan dan karakteristik, yaitu guru sebagai terlahir dan guru sebagai tercipta, sedangkan pendidikan adalah seni yang melahirkan manusia untuk kritis dan mandiri.
Baiklah Kang Dudung, pilihan politik kita mungkin sama, mungkin pula berbeda. Tetapi persamaan kita jelas, sama-sama berprofesi sebagai guru. Di ruang kelas guru sudah terbiasa mengajarkan kebenaran dan menebarkan ilmu untuk kebaikan. Mengajar dan mendidik adalah kewajiban seorang guru, dimanapun ia berada. Entah berada di tahun politik, tahun kabisat, tahun naga, tahun tikus, dan entah tahun apalagi istilah-istilah yang konon berasal dari orang pintar. Makanya, dalam konteks pendidikan, saya menyebut guru adalah entitas pendidik yang unik.
Ketika berada di tahun politik seperti sekarang ini, banyak petarung politik berebut suara dukungan, maka tidak sedikit yang melirik keberadaan guru. Pilihan guru diyakini kebenarannya, diyakini kebaikannya. Guru dapat menjadi “mesin politik” yang strategis bagi pemenangan kandidat yang bertarung dalam pilkada.
Tetapi, bukankah guru sebagai seorang ASN dilarang berpolitik praktis? Mengutip Undang-Undang Nomor 5 tahun 2014 pasal 2 ayat (f) tentang ASN, bahwa setiap pegawai ASN tidak berpihak kepada siapapun alias harus netral. Sedangkan undang-undang adalah produk legislatif yang disahkan eksekutif yang notabene adalah pelaku petarung politik tersebut. Akibatnya, antara larangan dan kepentingan pemenangan menjadi bias, yang dalam bahasa Sunda bisa berarti ongkoh dikenyed tapi diulur.
Peran unik inilah yang membedakan guru sebagai pendidik di ruang kelas dan pendidik di ruang publik. Di ruang kelas guru menyampaikan secara gamblang, tegas, berani, dan meyakini sepenuhnya kebenaran sebuah ilmu dan manfaatnya bagi kehidupan. Guru mengedukasi peserta didik dengan muatan amanah menjalankan kewajiban, untuk mengajar dan mendidik. Tetapi di ruang publik, tatkala masyarakat meminta pendapat guru tentang pilihan politiknya, maka ia akan dianggap terlibat dalam politik praktis.
Kalau begitu, ya sudah diam saja. Bukankah undang-undang sudah mengamanatkan demikian. Tetapi, pada kenyataannya jawabannya tidak sesederhana itu. Netralitas guru sebagai pendidik dalam pilihan politik tidak sebatas untuk dirinya sendiri, melainkan sesama anggota di organisasinya dan masyarakat di lingkungannya. Bisik-bisik tentang pilihan politik jelas tidak akan terhindarkan. Kalau pilihan politiknya sama tentu tidak mengundang perdebatan. Tetapi jika pilihan politiknya berbeda, ini yang mengundang perdebatan. Masing-masing mengeluarkan pendapatnya, mengeluarkan argumennya. Lebih jauhnya saling memengaruhi, saling memberi keyakinan, bahwa pilihan politiknyalah yang paling benar.
Tentu saja menyampaikan pendapat politik secara obyektif tanpa ditunggangi kepentingan akan lebih logis dan cerdas. Dalam arti, argumen yang disampaikan berpijak kepada kebenaran dan kebaikan. Sedangkan penyampaian pendapat politik yang ditunggangi sebuah kepentingan, lebih mengedepankan kelemahan atau kekurangaan bahkan memercayai kabar burung (hoaks) kandidat yang berbeda pilihan politiknya. Apalagi, pada saat ini, apapun selalu dihubungkan dengan kepentingan. Karena, hanya kepentinganlah yang mendasari sebuah tindakan atau pilihan dalam hidup.
Akhirnya teori berpikir ilmiah yang sudah mendarah daging dalam jiwa seorang guru harus diutamakan. Sampaikan kebenaran dengan keilmuan, tanamkan kebaikan juga dengan keilmuan. Bila kita apatis untuk menyampaikan, persis sebuah lirik ... entah apa yang harus kujelaskan//aku enggan bicara//yang penting suara dalam jiwaku//adalah kebenaran//biarpun hanya Tuhan yang mendengar. Demikian lirik “Isyu” yang pernah dilemparkan oleh Ebiet G. Ade.***
PPDB DAN KOMPETISI YANG BIAS
Oleh AGUS MULYANA
Fenomena menarik selalu terjadi dalam masa Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB). Meski tidak semua kabupaten/kota mengalami gejala ini, tetapi beritanya terlanjur menyebar luas. Contohnya baru-baru ini kasus “cuci rapor” di Kota Depok. Sebagai salah satu kota besar di Provinsi Jawa Barat, sangat wajar bila kejadian sekecil apapun di Kota Depok akan menjadi berita nasional, apalagi peristiwa kekisruhan dalam sistem PPDB yang baru lalu.
Yang menarik untuk dicermati dalam kegiatan PPDB tersebut, adalah hilangnya kesempatan sekolah unggul menjaring calon peserta didik unggulan pula. Tidak dapat dipungkiri, meski pemerintah (politisi) berupaya menghilangkan dikotomi sekolah, tetapi secara alami telah terbentuk sekolah unggulan. Predikat dari masyarakat ini, terbentuk karena upaya dari warga sekolah itu sendiri, sehingga menjadi unggul dalam segala bidang, baik unggulan akademik maupun non akademik. Untuk dapat diterima di sekolah unggulan yang diidam-idamkan, dulu peserta didik berlomba dengan belajar yang keras. Selain faktor kecerdasan bawaan, biasanya mereka pun ditunjang fasilitas belajar yang lengkap dari orangtuanya, termasuk mengikuti bimbingan belajar di luar jam sekolah. Sehingga tidak mengherankan apabila hasil ujian mereka pun di atas rata-rata peserta didik yang belajarnya biasa-biasa saja.
Kompetisi seperti itu mengalir secara alami dari tahun ke tahun dari generasi ke generasi. Mulai dari jenjang pendidikan dasar hingga perguruan tinggi, tercipta kompetisi yang jelas dari seluruh kompetitornya. Lulusan SD A banyak diterima di SMP B, lulusan SMP B banyak diterima di SMA/SMK C, lulusan SMA/SMK C banyak diterima di perguruan tinggi D, dan lulusan perguruan tinggi D relatif sukses dalam hidupnya. Meskipun kompetitor tidak seluruhnya berasal dari alamamater yang sama, namun kesamaannya mereka adalah pejuang gigih dalam belajar untuk meraih kesuksesan. Bahkan akan lebih membanggakan bila ada kompetitor yang berasal dari keluarga yang kurang mampu, asal sekolahnya biasa-biasa saja tetapi dianugerahi kecerdasan hasil kerja kerasnya dalam belajar. Dan, itu selalu ada di setiap masa kompetisi, di setiap masa generasi.
Namun yang terjadi sekarang, dengan diubahnya sistem PPDB yang mengutamakan wilayah atau zonasi, jelas berdampak besar terhadap kelangsungan kompetisi dalam belajar. Begitu juga dengan jalur afirmasi yang mengharuskan sekolah menerima peserta didik yang berasal dari keluarga pemegang SKTM, semakin membiaskan kompetisi tersebut. Lebih mengkhawatirkan, apabila peserta didik dengan motivasi belajar kurang dan masuk sekolah unggulan, yang terjadi kesombongan. Sedangkan peserta didik dengan motivasi belajar tinggi dan masuk sekolah biasa-biasa saja, akan membunuh motivasi belajarnya.
Terlepas dari segala kekurangan dan kelemahan sekolah unggulan, masyarakat pendidik telah memandang bahwa sekolah unggulan dianggap lebih mampu membimbing, membina peserta didik menuju cita-cita hidupnya. Hal tersebut berbanding lurus dengan peserta didiknya. Tugas dan kewajiban pendidik sebagai fasilitator ibarat wasit dan pelatih di tengah arena yang menjelaskan teknik bermain, aturan main, dan tujuan akhir permainan.
Jauh akan lebih arif apabila pemerintah mendorong semua sekolah menjadi sekolah unggulan. Lingkungan sekolah tertentu umpamanya, harus menjadi ciri khas atau jati diri yang menjadi unggulan. Unggulan itu tidak hanya dilihat dari segi akademik saja, akan tetapi memberdayakan potensi yang ada di sekolah tersebut untuk dapat dijadikan program unggulan. Contohnya, sekolah A unggulan dalam bidang akademik, sekolah B unggulan dalam bidang olahraga, sekolah C unggulan dalam bidang enterpreuneur, sekolah D unggulan dalam bidang pertanian, dst. minat, bakat, dan potensi peserta didik pun akan tersalurkan sesuai dengan unggulan yang ada pada dirinya. Sehingga peserta didik yang biasa-biasa saja secara alami akan tergerus apabila tidak memiliki kemauan dan usaha yang kuat untuk mengembangkan potensi unggulan yang dimilikinya. Bukankah dalam menghadapi era persaingan bebas dalam berbagai bidang dibutuhkan insan yang cakap, tangguh, terampil, cerdas, dan berakhlak mulia?***
NYANYIAN RINDU GURU HONORER
Oleh AGUS MULYANA
Coba engkau katakan padaku// apa yang seharusnya aku lakukan // Penggalan bait lagu Ebet G. Ade dalam “Nyanyian Rindu” mengalun bak mewakili perasaan hati ribuan guru honorer yang Selasa (30/10/2018) berunjuk rasa di depan istana negara. Mereka datang untuk meminta kejelasan nasib yang sudah sekian lama terkatung-katung. Mereka bertanya, apa yang seharusnya mereka lakukan. Untuk mengikuti tes CPNS saja tidak bisa, karena batas usia melebihi 35 tahun. Apalagi langsung diangkat CPNS tanpa tes, jauh panggang dari api sepertinya.
Pengabdian puluhan tahun menjadi guru honorer dengan harapan suatu saat diangkat menjadi PNS sepertinya sudah sirna. Pemerintah melalui MenPAN-RB telah menjelaskan undang-undang nomor 5 tahun 2014 bahwa pemerintah sudah tegas menyatakan tak ada lagi pengangkatan CPNS. Di sisi lain undang-undang dan peraturan mengamanatkan bahwa pengangkatan CPNS harus melalui seleksi. Pertama, tujuannya adalah untuk taat kepada aturan dan undang-undang. Kedua, adalah bagaimana bangsa dan negara ini betul-betul bisa aparaturnya itu terdidik. Untuk mengakomodir masalah itu, pemerintah pun membuka skema Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Lewat skema tersebut, pemerintah berupaya menjadikan pegawai honorer setara dengan PNS.
Tetapi skema itu tentu saja ditolak oleh para honorer. Alasannya, PNS dengan PPPK tentu saja berbeda. PNS dapat uang pensiun sedangkan PPPK tidak. Kalupun PPPK ikut asuransi pensiun prosedurnya berbeda dengan PNS murni. Perbedaan lainnya, untuk pemberhentian pegawai, bagi PNS diberlakukan pemberhentian dengan hormat karena meninggal dunia, pemberhentian sendiri, telah mencapai batas usia pensiun, tidak bisa melakukan tugas karena tidak cakap jasmani/rohani, dan karena kebijakan pemerintah untuk dilakukan pensiun usia dini. Ditambah dengan batasan-batasan umur pensiun yang telah ditentukan.
Sedangkan untuk PPPK, yang menjadi perbedaan adalah karena habis masa perjanjian kerja dengan pemerintah. Begitu pun masa kerja yang diberlakukan tergantung kebutuhan instansi terkait dan tidak diberikan Nomor Induk Pegawai oleh pemerintah. Perjanjian kerja yang dilakukan berlaku untuk satu tahun dan akan dilakukan perpanjangan jika instansi tersebut masih membutuhkan dan dinilai melalui kualitas kinerja pegawai.
Sementara kenyataan di hampir semua sekolah di Indonesia, keberadaan guru honorer hampir setengahnya. Bahkan bagi sekolah di daerah terpencil, justru guru honorer yang dominan. Kalaupun ada PNS biasanya hanya kepala sekolahnya saja. Belum lagi jarak tempuh. Untuk menuju sekolah tempat mereka mengabdi, mencerdaskan anak bangsa, harus dilalui dengan jalan berliku dan kubangan lumpur. Tengok saja di daerah Cianjur selatan misalnya, penulis menyaksikan sendiri perjuangan guru honorer untuk dapat sampai ke sekolah hartus melalui jalan berlumpur yang licin ketika diguyur hujan. Hanya tanggung jawab dan rasa iba kepada siswa yang telah menanti di sekolah yang mengalahkan keengganan mereka. Tatapan puluhan pasang mata anak-anak begitu ceria menyambut kehadiran gurunya.
Di sisi lain, kreatifitas dan inovasi bahan ajar dalam proses pembelajaran yang dilakukan para guru honorer di daerah terpencil patut diacungi jempol. Dengan sarana seadanya, mereka mampu menciptakan media dan bahan ajar yang ada di sekelilingnya, yang justru mudah dipahami oleh para peserta didiknya.
Kenyataan seperti itu patut mendapat perhatian dari pemerintah. Sudah selayaknya para guru honorer yang sudah puluhan tahun mengabdi diangkat menjadi PNS. Pengabdian mereka layak mendapat jaminan hidup, karena kesejahteraan merupakan salah satu faktor ketenangan dalam melaksanakan tugas.***