CERPEN EDISI NOVEMBER'21

GLORIA PUTRI WOLO

SISWI KELAS IXA

BETA MAU BELAJAR

OLEH : Gloria Josepha Meli Putri Wolo

SISWI KELAS 9A

Ada saatnya manusia merasa lelah. Merasa stres dengan keadaan, putus asa dengan kondisi yang terjadi. Beberapa orang bahkan mencoba untuk mengakhiri hidupnya. Tapi pernahkah kalian mendengar istilah berjuang sampai titik darah penghabisan? Saat beberapa orang memilih mengakhiri hidupnya, beberapa orang yang lain malah memilih untuk bangkit dan berjuang. Di sini kita melihat bahwa kegagalan atau rasa stres bukanlah akhir dari segalanya. Oleh karena itu kita harus menanamkan dalam diri. Bahwa jika kita gagal, kita harus bangkit. Itulah mengapa tema kami di Mading bulan ini adalah, November bersemi “Belajar sampai mati”.

Pesan Frater saat akhir pelajaran tadi begitu terngiang-ngiang di telingaku. Aku penasaran apa arti belajar sampai mati ini. Apakah belajar sampai kita mengakhiri hidup? Apakah belajar terus-menerus tanpa jeda, sampai kita mati dengan sendirinya? Atau mungkin belajar sampai kita tua, kemudian mati? Ataukah ada hal lain?

Rasa penasaran ini mendorongku untuk bergegas ke perpustakaan. Ku amati buku-buku yang begitu rapi, jarang tersentuh. Menelisik setiap sudutnya yang begitu berdebu, sambil berpikir apa sih belajar sampai mati itu? Ku jatuhkan pilihanku pada sebuah buku di barisan paling ujung. Sekilas tidak ada yang istimewa dengan buku berwarna biru tersebut. Ku raih dan kubuka halaman depannya sebelum sebuah suara menghentikan pergerakan ku, “Lydia, tolong bantu ibu periksa hasil ulangan anak kelas 8.”

Tersadar, aku menjawab “Iya ibu, sekarang ko?” “Sonde, pas lu tamat dolo. Ya sekarang lah, Lydia. Mari ikut ibu pi ruang guru.” Dengan cengiran lebar, aku mengikuti Ibu Febri yang sudah beberapa langkah meninggalkanku di belakang. Begitu sampai di ruang guru aku benar-benar melakukan tugas tersebut, sejenak melupakan tujuanku datang ke perpustakaan tadi. Waktu terus berjalan. Karena begitu fokus, tidak terasa lembar jawaban yang ku periksa tersisa sedikit. Sambil merenggangkan badan, tidak sengaja aku menoleh ke jendela besar diujung kanan. Ada beberapa anak kecil yang duduk di luar dekat jendela tersebut, sambil membaca buku.

Ku perhatikan baik-baik, ternyata mereka adalah beberapa anak yang tinggal di sekitaran situ, dan ku tebak mungkin sekitar kelas 4 SD. Iseng, ku dekati jendela dan kemudian bertanya, “Besong ada buat apa?”. Seorang anak yang mungkin saja ketua dari mereka semua menoleh dan menjawab, “Belajar, kak. Soalnya beta mau jadi pilot.” “Kalau beta pung kawan yang ini,” sambil menunjuk anak yang di sebelah kanannya, “—mau jadi polisi.” “Terus kalau yang ini,” sambil menunjuk anak perempuan di sebelah kirinya, “—mau jadi suster. Beta pung Bapa bilang, kalau mau jadi ‘orang’ harus rajin baca buku. Terus belajar baik-baik sampai ketong besar, sampai ketong mati.” “Eh?” Aku merasa déjà vu dan teringat kembali kata-kata Frater tadi. Anak sekecil ini saja, sudah bisa mengatakan belajar sampai mati.

Aku pun bertanya-tanya lagi, “Memangnya adek kalau belajar, rasa kermana?” Anak itu terlihat berpikir sejenak kemudian menjawab, “Beta rasa Beta mengerti. Terus karena Beta mengerti, Beta mau baca yang lain.” Aku lanjut bertanya, “Adek su baca buku apa sa?” Dengan semangat ia mengabsen satu persatu buku yang sudah ia baca. “Ada banyak! Buku IPA, terus buku IPS, ada buku cerita bergambar ju yang di sekolah.” Aku bertanya untuk yang keempat kalinya, “Kalau su habis baca buku, adek masih ingat ko sonde apa yang adek baca?” Anak itu menjawab lagi dengan berani, “Ingat e, Beta pung Bapa ju bilang kalau baca tuh harus ingat terus. Sonde boleh lupa. Di kelas Ibu guru suka puji Beta, Ibu bilang Beta ingatan kuat. Kalo kak sonde percaya, na tanya beta pung kawan.”

Dengan sedikit menyombongkan diri, anak itu melanjutkan ucapannya, “Beta ju biasa juara juara, kak sa yang son tau.” Sambil tertawa aku menanggapi ucapannya, “Oh, begitu ko? Pernah rasa bosan kalau belajar?” Dia mengangguk, “Hooh, pernah. Kalau baca lama-lama Beta bosan. Terus habis itu Beta pi main.” Mendengar itu aku semakin gencar bertanya, “Jadi adek nih suka sekali ko belajar? Antara belajar deng bermain, pilih yang mana?” Ia nampak berpikir dan menjawab dengan wajah sedikit sedih, “Karena beta mau jadi pilot, Beta pilih belajar sa. Pokoknya harus rajin supaya cepat jadi pilot. Beta pung ibu guru ju bilang begitu.”

Aku tersenyum, dan berujar dalam hati. Anak ini ternyata begitu berani dan tidak ragu melakukan sesuatu, agar mencapai impiannya. Salah satunya dengan belajar. Dari situ aku mengerti bahwa belajar sampai mati berarti kita belajar dengan sepenuh hati dan tidak raguragu. Belajar demi mencapai impian kita. Dengan kata lain, kita membentuk diri kita dari sekarang demi masa depan kita. Belajar sampai mati bukan berarti kita belajar sampai kita mati, tapi kita belajar mati-matian demi mencapai impian kita. Sambil tersenyum ku tatap anak itu, lalu kuberikan permen yang kebetulan berada di saku baju seragamku. “Belajar baik-baik e. Kalau nanti su jadi pilot, jangan lupa bawa Kakak terbang.