Sering kali terjadi gesekan atau pertikaian antar sekelompok umat beragama di Indonesia oleh karena ada rasa curiga satu terhadap yang lain. Di beberapa wilayah tertentu, terjadi kekerasan baik secara fisik maupun psikis terhadap umat beragama lain, bahkan ketika mereka sedang melakukan ritual keagamaan yang sejatinya tidak dilarang oleh siapapun termasuk institusi negara. Negara menjamin setiap warga negara untuk menjalankan ibadat sesuai agama dan keyakinannya. Setiap pemeluk agama dari agama apapun diharapkan menghormati keyakinan pemeluk agama lain, karena semua agama mengajarkan nilai-nilai persaudaraan dalam kehidupan bersama.
Gereja Katolik sangat menghargai dan menghormati mereka, serta senantiasa menyadari bahwa agama-agama dan kepercayaan yang berbeda-beda itu, dengan tata ibadat, upacara-upacara suci, serta kaidah-kaidah yang berbeda-beda, merupakan bentuk usaha dari manusia untuk menjawab kerinduan hati manusia. Gereja Katolik tidak menolak apa saja yang benar dan suci dari agama lain. Namun, Gereja Katolik juga tiada hentinya memaklumkan Kristus yang diimaninya sebagai jalan, kebenaran, dan hidup. Dalam rangka membangun Kerajaan Allah, mereka menjadi partner. Dialog dengan mereka juga dipandang sebagai ungkapan iman Katolik.
Sejarah singkat Pemisahan Gereja
Gereja Lutheran
Keadaan Gereja pada abad XVI mengalami pasang surut atau terjadi kemerosotan moral yang sangat memprihatinkan. Hal ini terjadi oleh karena Gereja terlalu jauh terlibat dalam banyak urusan duniawi. Paus saat itu menjadi sangat berkuasa dan memegang supremasi, baik dalam urusan Gereja maupun kenegaraan. Paus tampil sebagai penguasa tunggal yang cenderung otoriter.
Sebagaimana pemilihan presiden atau kepala daerah di Indonesia yang selalu diwarnai dengan politik uang, begitu pula situasi pemilihan Paus kala itu. Pemilihan Paus Aleksander VI dan Leo IX, misalnya diwarnai kasus money politic atau korupsi. Komersialisasi jabatan Gereja dipertontonkan secara terbuka. Banyak pejabat Gereja menjadi pangeran duniawi dan melalaikan tugas rohani mereka. Banyak imam-imam paroki tidak terdidik, hedonistis, bodoh, tidak mampu berkhotbah, dan juga tidak mampu mengajar umat. Keadaan semacam ini terjadi dalam kurun waktu yang cukup lama. Teologi skolastik menjadi mandul dan masalah dogmatis dianggap sebagai perdebatan tentang hal sepele antara aneka aliran teologis. Banyak persoalan teologi mengambang dan tidak pasti.
Banyak kebiasaan dalam umat belum seragam. Iman bercampur takhayul, kesalehan berbaur dengan kepentingan duniawi. Kegiatan Agama dianggap sebagai sebuah rutinitas sosial sehari-hari, serta mencampur adukan hal-hal profan dengan hal-hal yang suci atau sakral.
Dalam situasi seperti itu, banyak orang merasa terpanggil untuk memperbaharui hidup Gereja, namun tidak ditanggapi. Kemudian, tampillah Martin Luther. Luther mula-mula menyerang masalah penjualan indulgensi, yaitu orang dapat menghapus dosanya dengan cara memberikan sejumlah uang kepada gereja.
Kemudian, Martin Luther, yang seorang pastor itu membela beberapa pandangan baru khususnya ajaran tentang “pembenaran hanya karena iman” (Sola fide). Luther menyerang wewenang paus dan menolak beberapa ajaran teologi sebelumnya dengan bertumpu hanya pada Alkitab sesuai dengan tafsirannya.
Pada dasarnya, Luther tidak menginginkan perpecahan dalam Gereja. Ia ingin memelopori pembaharuan dalam Gereja. Tetapi ia terseret oleh arus yang disebabkan oleh rasa tidak puas yang umum dalam umat yang mendambakan pembaharuan yang bentuknya kurang jelas. Ajaran-ajaran para teolog yang mendukung perbuatan-perbuatan saleh, kini diragukan Luther.
Indulgensi; stipendium untuk Misa arwah; sumbangan untuk membangun gereja bersama dengan patung-patung yang menghiasinya; pajak untuk Roma; ziarah dan puasa; relikui dan kaul-kaul; semua tidak ditemukan dalam Kitab Suci, sehingg ditolak oleh Luther. Luther menegaskan bahwa semua itu tidak bermanfaat untuk memperoleh keselamatan. Hanya satu yang perlu: yakni beriman (Sola fide). Orang yang percaya dibenarkan Allah tanpa mengindahkan perbuatan baik manusia (Sola gratia).
Dengan sendirinya orang yang dibenarkan itu akan berbuat baik dengan bebas dan tenang, bukan karena cemas akan keselamatannya. Rasa lega membuat orang tertarik kepada khotbah Luther yang disebarluaskan ke seluruh Jerman.
Sola fide – fides ex audito – “Hanya iman, dan iman karena mendengar” itu sudah cukup untuk menjamin keselamatan. Maka, tujuh Sakramen tidak penting lagi; selibat tidak berguna; dan hidup membiara tidak berarti. Semuanya ini ‘buatan paus’ saja untuk mengejar kuasa dan untung. Maka, imam, biarawan, dan suster berbondong-bondong meninggalkan biara mereka masing-masing. Luther didukung oleh banyak kelompok dengan alasan berbeda-beda, misalnya para bangsawan yang mengingini milik biara; warga kota yang mendambakan kebebasan berpikir; para petani yang ingin lepas dari kerja rodi dan pajak; para nasionalis yang membenci privilege Roma; para humanis yang ingin membuang kungkungan teologi skotlastik; pemerintahan kota-kota kerajaan yang mencium kesempatan memperluas wewenang mereka di kota. Luther tampil sebagai pahlawan pembebasan. Ia disambut dengan antusias. Ahirnya pembaharuan sungguh-sungguh dimulai juga. Mula-mula Roma kurang menyadari apa yang terjadi, kemudian bereaksi salah, sehingga tidak mampu mengarahkannya lagi.
Banyak hal baru dimulai, namun tidak jarang merupakan perusakan yang lama saja. Bukan reformasi Gereja yang lama, tetapi orang sudah menunggu terlalu lama. Mereka tidak sabar lagi, ekskomunikasi Luther oleh paus Leo X (1520) dan pengucilan oleh kaisar (1523) tidak dapat membendung gerakan ini. Roma tidak memahami reaksi dahsyat di Jerman dan masih lama bertindak seperti pada abad-abad sebelumnya.
Luther juga menyerang umat yang setia kepada Paus. Tuntutannya semakin radikal. Persatuan Gereja tidak dicari lagi, bahkan diboikot. Para bangsawan yang mendukungnya tidak tertarik pada persatuan kembali, karena antara lain milik gerejani yang mereka rampas tidak mau mereka kembalikan. Unsur keagamaan, politis, dan pribadi di kedua belah pihak menyulitkan persatuan kembali. Reformasi selesai; umat terpecah-belah ke dalam kelompok Katolik, Luteran, Kalvinis, Anglikan, dan sebagainya.
Gereja Kalvinis
Tokoh reformasi lain adalah Yohanes Calvin (1509 – 1564). Tokoh ini tidak jauh berbeda dengan Luther. Ia ingin memperbaharui Gereja dalam terang Injil. Calvin dalam bukunya yang berjudul “Institutio Christianae Religionis” menggambarkan Gereja dalam dua dimensi, yakni Gereja sebagai persekutuan orang-orang terpilih sejak awal dunia yang hanya dikenal oleh Allah dan Gereja sebagai kumpulan mereka yang dalam keterbatasannya di dunia mengaku diri sebagai penganut Kristus dengan ciri-ciri pewartaan Injil dan pelayanan sakramen-sakramen. Pengaturan Gereja ditentukan oleh struktur empat jabatan, yakni pastor, pengajar, diakon, dan penatua.
Gereja Anglikan
Anglikantisme bermula pada pemerintahan Henry VII (1509 – 1547). Di Inggris raja Henry VII menobatkan dirinya sebagai kepala Gereja karena Paus di Roma menolak perceraiannya. Anglikantisme menyerap pengaruh reformasi, namun mempertahankan beberapa corak Gereja (Uskup – Imam – Diakon), sehingga berkembang dengan warna yang khas.
Reaksi dari Gereja Katolik Roma atas gerakan reformasi ini adalah “Kontra-Reformasi” atau “Gerakan Pembaharuan Katolik”. Gerakan pembaharuan ini dimulai dengan menyelenggarakan Konsili Trente. Melalui Konsili Trente (1545–1563), Gereja Katolik berusaha untuk “menyingkirkan kesesatan-kesesatan dalam Gereja dan menjaga kemurnian Injil”.
Konsili juga menegaskan posisi Katolik dalam hal-hal yang disangkal oleh pihak Reformasi, yakni Soal Kitab Suci dan Tradisi; Penafsiran Kitab Suci; pembenaran; jumlah sakramen-sakramen; kurban misa, imamat dan tahbisan; pembedaan imam dan awam.
Konsili Trente dan sesudahnya menekankan Gereja sebagai penjaga iman yang benar dan utuh, ditandai dengan sakramen-sakramen. Khususnya ekaristi yang dimengerti serta dirayakan sebagai kurban sejati. Gereja bercorak hierarkis yang dilengkapi dengan jabatan-jabatan gerejani dan imamat yang berwenang khusus dalam hal merayakan ekaristi, melayani pengakuan dosa. Gereja adalah kelihatan dan ini menjadi jelas dalam lembaga kepausan sebagai puncaknya. Gereja mewujudkan diri sebagai persekutuan para kudus lewat penghormatan pada mereka (para kudus); Gereja menghormati Tradisi.
Usaha untuk bersatu antar-Sesama Gereja Kristus
Berkaitan dengan upaya Gereja Katolik untuk mempersatukan umat Kristus, Konsili vatikan II dalam Dekritnya tentang "Ekumenisme” menyatakan sebagai berikut:
“Sekarang ini, atas dorongan rahmat Roh Kudus, di cukup banyak daerah berlangsunglah banyak usaha berupa doa, pewartaan dan kegiatan, untuk menuju ke arah kepenuhan kesatuan yang dikehendaki oleh Yesus Kristus. Maka Konsili suci mengundang segenap umat katolik, untuk mengenali tanda-tanda zaman, dan secara aktif berperanserta dalam kegiatan ekumenis.
Yang dimaksudkan dengan “Gerakan Ekumenis” ialah: kegiatan-kegiatan dan usaha-usaha, yang menanggapi bermacam-macam kebutuhan Gereja dan berbagai situasi yang diadakan dan ditujukan untuk mendukung kesatuan umat kristen.
Apabila semua usaha itu dilaksanakan dengan bijaksana dan sabar dibawah pengawasan para gembala, akan membantu terwujudnya nilai-nilai keadilan dan kebenaran, kerukunan dan kerja sama, semangat persaudaraan dan persatuan. Diharapkan, lambat-laun dapat terwujud persekutuan gerejawi yang sempurna, dan semua orang kristen dalam satu perayaan Ekaristi, dihimpun membentuk kesatuan Gereja yang satu dan tunggal. Kesatuan itulah yang sejak semula dianugerahkan oleh kristus kepada Gereja-Nya. Kita percaya, bahwa kesatuan itu tetap lestari dalam Gereja katolik, dan berharap, agar kesatuan itu dari hari ke hari bertambah erat sampai kepenuhan zaman.
Jelaslah bahwa karya menyiapkan dan mendamaikan pribadi-pribadi, yang ingin memasuki persekutuan sepenuhnya dengan Gereja katolik, menurut hakekatnya terbedakan dari usaha ekumenis, tetapi juga tidak bertentangan. Karena keduanya berasal dari penyelenggaraan Allah yang mengagumkan.
Dalam kegiatan Ekumenis hendaknya umat katolik tanpa ragu-raga menunjukkan perhatian sepenuhnya terhadap saudara-saudari yang terpisah, dengan cara mendoakan mereka; bertukar pandangan tentang hal-ihwal Gereja dengan mereka; dan mengambil langkah-langkah pendekatan terhadap mereka. Akan tetapi hal utama yang harus dilakukan oleh umat katolik adalah memperbaharui kehidupan keluarga supaya perihidupnya memberi kesaksian lebih setia dan jelas tentang ajaran dan segala sesuatu yang ditetapkan oleh Kristus dan diwariskan melalui para Rasul.
Sebab, walaupun Gereja Katolik diperkaya dengan segala kebenaran yang diwahyukan oleh Allah dan dengan semua upaya rahmat, Jemaatnya belum menghayati sepenuhnya sebagaimana mestinya. Oleh karena itulah, wajah Gereja kurang bersinar terang bagi saudara-saudari yang tercerai dari kita dan bagi seluruh dunia, dan pertumbuhan Kerajaan Allah mengalami hambatan. Karena itu, segenap umat katolik wajib menuju kesempurnaan kristen, dan menurut situasi masing-masing mengusahakan agar Gereja, dari hari ke hari makin dibersihkan dan diperbaharui sampai Kristus menempatkannya dihadapan Dirinya penuh kemuliaan, tanpa cacat atau kerut.
Semoga dengan memelihara kesatuan Gereja-Gereja, sesuai dengan tugas-kewajiban masing-masing, baik dalam aneka bentuk hidup rohani dan tertib gerejawi, maupun dalam bermacam-macam tata-upacara Liturgi, bahkan juga dalam mengembangkan refleksi teologis tentang kebenaran yang diwahyukan, tetap memupuk kebebasan yang sewajarnya dalam kasih. Dengan bertindak demikian mereka akan semakin menampilkan ciri katolik sekaligus apostolik Gereja dalam arti yang sesungguhnya.
Di lain pihak, umat katolik perlu dengan gembira mengakui dan menghargai nilai-nilai kristen yang bersumber pada pusaka warisan bersama, yang terdapat pada saudara-saudari yang tercerai dari kita. Layak diakui kekayaan Kristus serta kuasa-Nya yang berkarya dalam kehidupan orang-orang, yang memberi kesaksian akan Kristus.
Apa yang dilaksanakan oleh rahmat Roh Kudus di antara saudara-saudari yang terpisah, dapat membantu kita membangun diri. Segala sesuatu yang bersifat kristen, tidak pernah berlawanan dengan nilai-nilai iman yang sejati, bahkan dapat membantu mencapai secara lebih sempurna misteri Kristus dan Gereja sendiri.
Bagi Gereja, perpecahan umat kristen merupakan halangan untuk mewujudkan secara nyata kepenuhan ciri katoliknya dalam diri putera-puterinya. Konsili melihat bahwa peran serta umat katolik dalam gerakan ekumenis makin intensif, sehingga dianjurkan agar para Uskup, di manapun juga, supaya mendukung mereka secara intensif, dan membimbing dengan bijaksana”. (UN 4).
Cara untuk mencapai tujuan ekumene
Berupaya untuk menghindari kata-kata, penilaian-penilaian, dan tindakan-tindakan yang ditinjau dari sudut keadilan dan kebenaran tidak cocok dengan situasi saudara-saudari yang terpisah, dan karena itu mempersukar hubungan-hubungan dengan mereka.
Pertemuan-pertemuan umat Kristen dari berbagai Gereja atau Jemaat diselenggarakan dalam suasana religius, “dialog” antara para pakar yang kaya informasi, yang memberi ruang kepada setiap peserta untuk secara lebih mendalam menguraikan ajaran persekutuannya, dan dengan jelas menyajikan corak cirinya. Melalui dialog semacam itu, semua peserta memperoleh pengertian yang lebih cermat tentang ajaran dan peri-hidup kedua persekutuan, serta penghargaan yang lebih sesuai dengan kenyataan.
Persekutuan-persekutuan menggalang kerja sama yang lingkupnya lebih luas dalam aneka usaha demi kesejahteraan umum menurut tuntutan setiap suara hati Kristen; bila mungkin, mereka bertemu dalam doa sehati sejiwa. Akhirnya, mereka semua mengadakan pemeriksaan batin tentang kesetiaan mereka terhadap kehendak Kristus mengenai Gereja, dan menjalankan dengan tekun usaha pembaharuan dan perombakan.
Mengenal Agama Islam
Asal mula Agama Islam
Islam (bahasa Arab) berarti penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah, masuk ke dalam suasana damai, sejahtera, dan hubungan serasi, baik antarsesama manusia maupun antara manusia dan Allah. Mereka mengimani bahwa agama Islam seluruhnya secara lengkap, sebagai suatu sistem, berasal dari Allah sendiri yang mewahyukannya kepada Nabi Muhammad dengan perantaraan malaikat Jibril.
Orang-orang muslimin merupakan sebuah kelompok yang terjalin erat berkat iman pada agama yang sama. Persekutuan muslimin ini disebut ummah atau ummat. Ikatan berdasarkan agama yang sama ini disebut ukhuwah islamiyah yang berarti persaudaraan Islam.
Ummah ini seharusnya dipimpin oleh seorang pemimpin yang disebut khalifah. Sejak hancurnya ke-khalifah-an tahun 1256, karena dihancurleburkan oleh pasukan Mongol Hulagu, umat Islam mengalami kekosongan kepemimpinan sampai sekarang.
Tauhid, Nama-Nama, dan Sifat-Sifat Allah
Islam merupakan agama monoteis dengan tekanan yang amat kuat pada Allah yang Mahabesar (Allahu akbar) menjadi seruan yang kerap digunakan di mana-mana). Monoteisme Islam (yang disebut tauhid)
sedemikian ditekankan sehingga tak ada toleransi sedikit pun terhadap apa pun juga yang dapat mengaburkan keesaan Allah. Syirk atau “men-syarikat-kan Allah” berarti menempatkan sesuatu, betapapun kecilnya, di samping atau sejajar dengan Allah. Syirk merupakan dosa yang terbesar.
Allah yang diimani mempunyai 20 sifat dan 100 nama yang indah. Orang muslim yang saleh mencoba selalu mengucapkan keseratus nama Allah yang indah ini dengan pertolongan sebuah tasbih yang berupa sebuah untaian 100 butir-butiran.
Iman Islam
Kesaksian pokok iman Islam dirumuskan dalam kalimat syahadat yang terdiri atas dua kalimat (karena itu dinamakan juga “dua kalimat syahadat”). Yang pertama kesaksian atas Allah Yang Maha Esa, sedangkan yang kedua kesaksian atas Muhammad sebagai rasul Allah. Kalimat syahadat ini diucapkan pada waktu orang menjadi muslim (sebagai ucapan upacara inisiasi dari non-Islam ke Islam dan waktu akad nikah).
Syahadat akan Allah yang Maha Esa ini merupakan salah satu dari enam rukun iman dalam Islam. Kelima rukun iman lainnya adalah percaya pada Malaikat, Kitab Suci, Rasul, Hari Kiamat, dan Takdir Ilahi.
Islam mengajarkan bahwa dalam kurun waktu tertentu Allah memberikan wahyu-Nya kepada manusia tertentu dengan perantaraan malaikat Jibril. Orang yang mendapat wahyu ini disebut nabi dan jumlahnya banyak sekali, antara lain Adam, Luth, Ibrahim, Daud, dan Isa. Bila nabi itu diutus mewartakan wahyu yang diterimanya itu kepada orang-orang lain, ia disebut rasul, yang berarti utusan (Allah).
Kitab Suci Agama Islam
Wahyu yang diberikan kepada para nabi berupa sebuah Kitab Suci yang merupakan kutipan langsung dari induk Kitab Suci (ummal kitab) yang tersimpan di surga (al lauh al mahfudz).
Allah memberikan Al-Quran kepada segenap umat manusia melalui Muhammad, dalam bahasa Arab dan merupakan Kitab Suci terakhir dan tersempurna dari segala kitab yang pernah ada.
Kedudukan Al-Quran dalam kehidupan umat Islam sangatlah sentral, melebihi kedudukan Muhammad sendiri. Di dalam Al-Quran termuat wahyu ilahi sendiri secara sempurna, tanpa cacat sedikit pun. Termuat di dalamnya segala sesuatu yang dibutuhkan bagi kehidupan manusia dalam segala aspek kehidupannya baik yang menyangkut hubungannya dengan Tuhan (hal ini disebut ibadah) maupun yang mengatur peri-kehidupan antarmanusia yang disebut mu’amalat. Karena itu, Al-Quran sangat dihormati. Membacanya pun merupakan suatu ibadat yang sangat penting dengan penuh hormat.
Pandangan Gereja Katolik Terhadap Agama Islam
Dalam Dekrit Konsili Vatikan II, tentang hubungan Gereja dengan agama-agama bukan Kristen (Nostra Aetate) sikap Gereja Katolik terhadap Islam dinyatakan sebagai berikut:
“Gereja juga menghargai umat Islam, yang menyembah Allah satu-satunya, yang hidup dan berdaulat, penuh belas kasihan dan maha kuasa, Pencipta langit dan bumi, yang telah bersabda kepada umat manusia. Kaum muslimin berusaha menyerahkan diri dengan segenap hati kepada ketetapan-ketetapan Allah yang bersifat rahasia, seperti dahulu Abraham-iman Islam dengan sukarela mengacu kepadanya-telah menyerahkan diri kepada Allah. Memang mereka tidak mengakui Yesus sebagai Allah, melainkan menghormati-Nya sebagai Nabi. Mereka juga menghormati Maria Bunda-Nya yang tetap perawan, dan pada saat-saat tertentu dengan khidmat berseru kepadanya. Selain itu, mereka mendambakan hari pengadilan, saat Allah akan mengganjar semua orang yang telah bangkit. Mereka juga menjunjung tinggi kehidupan susila, dan berbakti kepada Allah terutama dalam doa, dengan memberi sedekah dan berpuasa. Namun demikian, tidak dapat dipungkiri cukup sering timbul pertikaian dan permusuhan antara umat Kristiani dan kaum Muslimin. Konsili suci mendorong agar melupakan peristiwa yang sudah berlalu, dan dengan tulus hati melatih diri untuk saling memahami; bersama-sama membela serta mengembangkan keadilan sosial bagi semua orang, menghormati nilai-nilai moral maupun perdamaian dan kebebasan”. (NA 3).
Mengenal Agama Hindu
Aliran dalam Agama Hindu
Dalam agama Hindu terdapat banyak aliran dan kelompok. Salah satunya yang ada di Indonesia, sejak Mahasabda Parishada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) tahun 1993, disebut agama Hindu Dharma.
Ibadat
Unsur pokok penghayatan agama Hindu Dharma muncul dalam bentuk ibadat, khususnya berupa upacara-upacara harian yang dilaksanakan di tempat-tempat tertentu dan pada saat-saat yang berkaitan erat dengan irama hidup manusia setiap hari, seperti di sekitar rumah tinggal, sumber-sumber air, persawahan, pada waktu matahari terbit dan terbenam, serta waktu-waktu penting lainnya.
Hal yang langsung berhubungan dengan ibadat adalah bangunan-bangunan pura yang tidak hanya merupakan tempat upacara ibadah dilaksanakan, tetapi juga menjadi pusat kebudayaan dan hidup sosial.
Kitab Suci Agama Hindu
Dalam Hindu Dharma terkenal kitab-kitab Weda, Usana Bali, dan juga Upanisad. Isi tulisan suci ini beraneka ragam, tetapi bagian yang terbesar berupa doa dan himne, juga ajaran mengenai Allah (Brahman), dewa-dewa, alam, dan manusia. Ajaran-ajaran tersebut tidak mengikat secara ketat dogmatis, sehingga ada beraneka ragam aliran dan pandangan dalam ajaran Hindu.
Ajaran yang Pokok
Tujuan pokok hidup manusia menurut agama Hindu Dharma adalah moksha, yaitu pembebasan dari lingkaran reinkarnasi yang tak habis-habisnya (samsara). Pembebasan ataupun mokhsa ini dapat dicapai melalui tiga jalan (trimarga), yaitu karma-marga, jnana-marga, dan bhakti-marga. Dengan karma-marga orang ingin mencapai moksha dengan melakukan karya, askese badani, yoga, tapa, ketaatan pada aturan-aturan kasta. Karya-karya yang paling berharga dalam karma-marga adalah samskara, yakni kedua belas upacara liturgis yang berkaitan dengan tahap-tahap kehidupan seseorang.
Dengan Jnana-marga, penyucian diri guna mencapai moksha dilakukan dengan jalan askese budi, mengheningkan cipta dalam meditasi, dengan tujuan semakin menyadari kesatuan dirinya dengan Sang Brahma.
Sedangkan dengan Bhakti-marga orang menyucikan diri dengan penyerahan diri seutuhnya menuju pertemuan dalam cinta kasih dengan Tuhan.
Kasta-Kasta
Agama Hindu (di India) memang mengenal pembagian masyarakat menjadi empat kasta (caturwarna); brahmana, ksatria (keduanya adalah kasta bangsawan, rajawi), waiseya (petani, prajurit, dan pedagang) dan sudra/jaba (rakyat jelata). Sebenarnya di luar keempat kasta ini masih ada kelompok kelima yang disebut paria, yakni mereka yang tersisih, tak mempunyai tempat sosial, marginal, dan terbuang. Namun demikian, dalam agama Hindu Dharma pembagian tersebut tinggal sisa-sisanya yang tak begitu berarti lagi.
Hari Raya Agama Hindu
Hari raya Nyepi merupakan hari besar agama Hindu. Kendati hari nyepi ini jatuh pada pergantian tahun baru Saka, hari tersebut bukanlah hari mengadakan perayaan pesta, melainkan hari untuk menyucikan dan memperkuat diri terhadap perngaruh roh-roh jahat.
Pada hari raya Nyepi umat Hindu dilarang menyalakan api, melakukan pekerjaan, berpergian, dan hubungan seks.
Selain hari raya Nyepi, juga ada hari raya lainnya yaitu Galungan (yang jatuh pada hari Rabu Kliwon) dan Wuku Dungulan (setiap 210 hari sekali). Tujuannya memohon ke hadapan Ida Sanghyang Widhi, Bhatara-Bhatari, dan para leluhur agar pemujaannya dianugerahi keselamatan dan kesejahteraan.
Mengenal Agama Buddha
Sidharta Gautama, Pendiri Agama Buddha
Agama Buddha adalah sebuah agama dan filsafat yang berasal dari anak benua India dan meliputi beragam tradisi kepercayaan, dan praktik yang sebagian besar berdasarkan pada ajaran yang dikaitkan dengan Siddhartha Gautama, yang secara umum dikenal sebagai Sang Buddha (berarti “yang telah sadar” dalam bahasa Sanskerta dan Pali).
Sang Buddha hidup dan mengajar di bagian timur anak benua India dalam beberapa waktu antara abad ke-6 sampai ke-4 SM. Beliau dikenal oleh para umat Buddha sebagai seorang guru yang telah sadar atau tercerahkan yang membagikan wawasan-Nya untuk membantu makhluk hidup mengakhiri ketidaktahuan/kebodohan (avidyā), kehausan/napsu rendah (taṇhā), dan penderitaan (dukkha), dengan menyadari sebab musabab saling bergantungan dan sunyatam dan mencapai Nirvana (Pali: Nibbana).
Kitab Suci Agama Buddha
Setiap aliran Buddha berpegang kepada Tripitaka sebagai rujukan utama karena di dalamnya tercatat sabda dan ajaran sang hyang Buddha Gautama. Pengikut-pengikutnya kemudian mencatat dan mengklasifikasikan ajarannya dalam 3 buku yaitu Sutta Piṭaka (kotbah-kotbah Sang Buddha), Vinaya Piṭaka (peraturan atau tata tertib para bhikkhu) dan Abhidhamma Piṭaka (ajaran hukum metafisika dan psikologi).
Inti Ajaran Agama Buddha
Inti ajaran Buddha mengenai hidup manusia tercantum dalam Catur Arya Satya, yang berarti Empat Kasunyatan atau Kebenaran Mulia, yaitu:
Dukha-Satya: hidup dalam segala bentuk adalah penderitaan.
Samudaya-Satya: penderitaan disebabkan karena manusia memiliki keinginan dan nafsu.
Nirodha-Satya: penderitaan itu dapat dilenyapkan (moksha) dan orang mencapai nirvana (kebahagiaan) dengan membuang segala keinginan dan nafsu.
Marga-Satya: jalan untuk mencapai pelenyapan penderitaan sehingga dapat masuk ke dalam Nirvana adalah Delapan Jalan Utama (asta-arya-marga), yaitu keyakinan yang benar; pikiran yang benar; perkataan yang benar; perbuatan yang benar; kehidupan yang benar; daya upaya yang benar; perhatian yang benar; dan semedi yang benar.
Dalam hukum karmasamsara, manusia terikat oleh perbuatannya (karma) pada roda kehidupannya (cakra). Dari lahir hingga kematiannya, manusia berpindah-pindah tempat pada berbagai alam dan ruang, yakni kamaloka (alam indera dan nafsu), rupaloka (alam tanggapan), dan arupaloka (alam bebas dari keinginan, nafsu, dan pikiran).
Dengan menjalani Marga-Satya, orang dapat mencapai penerangan tertinggi (bodhi), yakni jika jiwa, batin, atau diri manusia secara sempurna dibebaskan dari segala ikatan ketiga ilusi besar tentang adanya roh, diri, dan dunia, karena ketiga-tiganya sebenarnya adalah maya atau ilusi belaka. Dengan demikian, orang mencapai kebahagiaan (suka), keamanan (bahaya), dan kedamaian (shanty) yang olehnya ketiga ilusi besar tadi diganti dengan tiga kebenaran, yakni tanpa diri (anatman), tiada apa-apa (anitya), dan kekosongan sempurna (sunya). Inilah yang dinamakan nirvana, kelenyapan diri yang total. Inilah jati segala-galanya dan merupakan kebahagiaan sempurna.
Terdapat tiga aliran pokok dalam Buddhisme yang disebut Tryana, yaitu : Theravada (yang disebut juga sebagai Hinayana), Mahayana, dan Wajrayan (yang disebut juga sebagai Tantrayana).
Dalam Therevada, penganut-penganutnya mencari keselamatan secara individual. Hanya sedikit yang dapat mencapainya, karena itu dinamakan Hinayana. Sedangkan dalam Mahayana, orang yang sudah memperoleh penerangan tertinggi menunda saat mencapai nirvana guna menolong orang lain mencapai tingkat ini. Karena banyak orang yang dapat mencapainya, aliran ini disebut Mahayana.
Dalam Mahayana, diri Buddha diberi kedudukan transenden dan disembah sebagai dewa yang dapat dimintai perantaraannya. Inilah juga yang berkembang di Indonesia sehingga tanpa banyak kesulitan dapat memasukkan diri dalam agama-agama monoteis.
Dalam Wajrayana (yang berarti kendaraan intan), Buddha dipandang sebagai dhat (pribadi yang gemilang bagaikan intan) yang menjadi asal dan tujuan hidup manusia.
Hari Raya Agama Buddha
Agama Buddha memiliki beberapa hari raya penting yaitu Waisak, Kathina, Asadha, dan Magha Puja. Di Indonesia, hari raya Waisak dijadikan sebagai hari libur nasional.
Penganut Buddha merayakan Waisak sebagai peringatan tiga peristiwa penting dalam agama Buddha yaitu, hari kelahiran Pangeran Siddharta (nama sebelum menjadi Buddha), hari pencapaian Penerangan Sempurna Pertapa Gautama, dan hari Sang Buddha wafat atau mencapai Nibbana/Nirwana. Hari Waisak juga dikenal dengan nama Visakah Puja atau Buddha Purnima di India, Vesak di Malaysia dan Singapura, Visakha Bucha di Thailand, dan Vesak di Sri Lanka. Nama ini diambil dari bahasa Pali “Wesakha”, yang pada gilirannya juga terkait dengan “Waishakha” dari bahasa Sanskerta.
Mendalami Pandangan Gereja Katolik terhadap Agama Buddha
“....Buddhisme dalam berbagai alirannya mengakui, bahwa dunia yang serba berubah ini sama sekali tidak mencukupi, dan mengajarkan kepada manusia jalan untuk dengan jiwa penuh bakti dan kepercayaan memperoleh keadaan kebebasan yang sempurna, atau – entah dengan usaha sendiri entah berkat bantuan dari atas – mencapai penerangan yang tertinggi. Demikian pula agama-agama lain, yang terdapat di seluruh dunia, dengan berbagai cara berusaha menanggapi kegelisahan hati manusia, dengan menunjukkan berbagai jalan, yakni ajaran-ajaran serta kaidah-kaidah hidup maupun upacara-upacara suci.
Gereja Katolik tidak menolak apa pun, yang dalam agama-agama itu serba benar dan suci. Dengan sikap hormat yang tulus, Gereja merenungkan cara-cara bertindak dan hidup, kaidah-kaidah serta ajaran-ajaran, yang memang dalam banyak hal berbeda dari apa yang diyakini dan diajarkannya sendiri, tetapi tidak jarang memantulkan sinar Kebenaran, yang menerangi semua orang. Namun, Gereja tiada hentinya mewartakan dan wajib mewartakan Kristus, yakni “jalan, kebenaran, dan hidup” (lih. Yoh 14: 6); dalam Dia manusia menemukan kepenuhan hidup keagamaan, “dalam Dia pula Allah mendamaikan segala sesuatu dengan diri-Nya”.
Oleh karena itu, Gereja mendorong para putranya supaya dengan bijaksana dan penuh kasih, melalui dialog dan kerja sama dengan para penganut agama-agama lain, sambil memberi kesaksian tentang iman serta perihidup Kristiani, mengakui, memelihara, dan mengembangkan harta kekayaan rohani dan moral serta nilai-nilai sosio-budaya yang terdapat pada mereka” (NA.2).
Mengenal Agama Khonghucu
Pendiri Agama Khonghucu
Khonghucu adalah nabi dan pendiri agama Khonghucu. Ia lahir di kota Tsow di negeri Lu di dataran Cina. Ia ditinggal bapaknya waktu ia masih berusia 3 tahun dan pada usia 26 tahun ibunya juga meninggal dunia. Sejak kecil ia suka berdoa. Dalam permainan dengan teman sebayanya, ia suka memerankan diri sebagai seorang yang memimpin doa. Pada masa mudanya, ia sangat berhasil dalam tugasnya di dinas pertanian dan petenakan. Ia berhasil menciptakan kehidupan masyarakat yang adil dan makmur. Konghucu tumbuh menjadi seorang yang jujur, hidup sederhana, dan suka memberi nasihat orang lain. Ia dikenal sebagai guru dan pemimpin yang bijaksana. Ajaran-ajaran Khonghucu terus dipelihara oleh pengikutnya dan dihayati secara pribadi sebagai jalan hidup.
Inti Ajaran Khonghucu
Khonghucu sangat mementingkan ajaran moral. Jika setiap orang dapat mengusahakan keharmonisan dengan sesama, dengan alam, dan dengan Tuhan maka akan tercipta perdamaian Allah. Tujuan hidup yang dicita-citakan dalam Khonghucu adalah menjadi seorang Kuncu (manusia budiman).
Seorang Kuncu adalah orang yang memiliki moralitas tinggi yang mendekati moralitas Sang Nabi (Khonghucu). Agama Khonghucu sangat menghormati arwah leluhur. Tuhan Yang Maha Esa disebut Tuhan.
Hari Raya Agama Khonghucu
Imlek adalah hari raya umat Khonghucu. Imlek merupakan hari pergantian tahun atau tahun baru Cina atau Tingkok. Di Indonesia hari raya ini ditetapkan sebagai hari libur nasional, sejak masa pemerintahan presiden Abdulrahman Wahid (Gus Dur) dan Megawati Soekarno Putri.
Agama Khonghucu di Indonesia
Agama Khonghucu pada zaman pemerintahan Presiden Soekarno diakui sebagai agama resmi di Indonesia. Karena politik pemerintah Orde Baru, agama Khonghucu tidak diakui sebagai agama yang resmi. Baru pada pemerintahan Presiden Abdulrachman Wahid, agama Khonghucu mendapat angin segar kembali. Kebijaksanaan Presiden Abdulrachman Wahid itu juga diteguhkan oleh Presiden Megawati Soekarno Putri.
Pandangan Gereja Katolik terhadap Agama Khonghucu
Konsili vatikan II dalam dekritnya tentang agama-agama bukan kristen menyatakan antara lain; “Gereja Katolik tidak menolak apa pun, yang dalam agama-agama itu serba benar dan suci. Dengan sikap hormat yang tulus, Gereja merenungkan cara-cara bertindak dan hidup, kaidah-kaidah
serta ajaran-ajaran, yang memang dalam banyak hal berbeda dari apa yang diyakini dan diajarkannya sendiri, tetapi tidak jarang memantulkan sinar Kebenaran, yang menerangi semua orang. Namun, Gereja tiada hentinya mewartakan dan wajib mewartakan Kristus, yakni “jalan, kebenaran, dan hidup” (lih. Yoh 14: 6); dalam Dia manusia menemukan kepenuhan hidup keagamaan, “dalam Dia pula Allah mendamaikan segala sesuatu dengan diri-Nya...(NA.2). Artinya bahwa Gereja Katolik menghargai keberadaan serta ajaran agama-agama lain, termasuk Khonghucu.
Agama Asli dan Aliran Kepercayaan
Agama Asli
Agama asli masih tetap berpengaruh dalam hidup keagamaan banyak orang, walaupun telah menganut salah satu agama yang ada di dunia, khususnya Agama Kristen Katolik. Unsur ajaran kosmis pada agama-agama asli masih melekat dalam hidup keagamaan orang-orang Indonesia dimana-mana. Ajaran kosmis yang dimaksud adalah ajaran tentang jagad raya, bagaimana itu dijadikan; bagaimana perkembangannya; dan bagaimana cara menggunakannya.
Dasar dan Ajaran
Dasar yang mendalam dari agama-agama suku adalah dongeng mengenai ciptaan dan di dalamnya ada hubungan ke Allahan dengan ciptaan.
Ada 2 tema pokok dari cerita-cerita penciptaan:
Perang suci antara dunia atas dan dunia bawah atau perkawinan suci antara surga dan dunia. Keduanya disusul dengan perceraian.
Keterangan tentang terjadinya bermacam-macam tumbuh-tumbuhan, yang diperlukan oleh manusia untuk dapat hidup, dan kenyataan bahwa manusia akan mati suatu saat nanti.
Cerita-cerita penciptaan itu menerangkan tentang terciptanya alam semesta, dunia, musim, pergantian terang dan gelap, serta menunjukkan fungsi segala sesuatu. Pengaturan allah/dewa mereka atas alam semesta setiap manusia; tumbuh-tumbuhan; hewan dan setiap kejadian mempunyai tempat yang penuh arti. Masing-masing harus berbuat sesuai dengan hal itu dan wajib menaati peraturan dan larangan tertentu.
Dalam agama asli/suku inilah pada umumnya timbul keprcayaan bahwa tidak hanya manusia saja yang berjiwa melainkan tumbuh-tumbuhan dan hewan. Karena itu, mereka sangat menghormati alam. Sebagian besar agama-agama asli juga percaya bahwa seseorang yang telah meninggal tetap berhubungan dengan para anggota suku yang masih hidup. Orang yang sudah meninggal mempunyai pengaruh yang langsung dan kuat atas orang yang masih hidup. Mereka juga kebanyakan mengenal imam-imam yang bertugas mempertahankan hubungan orang-orang yang masih hidup dengan nenek moyang, dewa-dewa, jin-jin, dan setan-setan.
Agama-agama Asli di Indonesia
Terdapat berbagai macam agama asli di Indonesia, antara lain, Lera wulan Tana Ekan di Flores Timur dan Lembata; wiwitan di Sunda; Aluk To Dollo di Sulawesi; Sabulungan di Mentawai; Merapu di Sumba; Kaharingan di Kalimantan. Ada pula yang disebut agama-agama suku, seperti yang dianut oleh penduduk beberapa pulau sebelah barat Sumatera; beberapa suku kecil dan bagian suku-suku yang besar di Sumatera; kelompok-kelompok besar dari suku Dayak di Kalimantan; Toraja di Sulawesi; penduduk pulau Sumba; dan penduduk Irian Jaya.
Selain itu, masih terdapat apa yang kini dinamakan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang menurut negara sama kedudukannya dengan agama dalam hal pengalaman ke-Tuhanan Yang Maha Esa.
Aliran Kepercayaan
Ajaran
Aliran kepercayaan dalam dokumen Nostra Aetate disebut juga kepercayaan terhadap Yang Mahatinggi. Aliran Kepercayaan mengajarkan tentang sikap batin dan berkisar pada ilham dari diri sendiri, yakni:
Peningkatan integrasi diri manusia (melawan pengasingan).
Pengalaman batin bahwa diri pribadi beralih ke kesatuan dan persatuan yang lebih tinggi.
Partisipasi dalam tata tertib sempurna yang mengatasi daya kemampuan manusia biasa.
Aliran-aliran Kepercayaan ingin mencapai budi luhur untuk meraih kesempurnaan hidup. Hal itu dilakukan secara perseorangan atau dalam kelompok-kelompok perguruan. “Umat” dalam Aliran Kepercayaan sulit dibatasi. Organisasi tidak dipentingkan, sumbernya adalah terutama tradisi agama-agama asli.
Hubungan Aliran Kepercayaan dan Agama Asli
Aliran Kepercayaan tidak langsung berkembang dari agama asli, tetapi unsur-unsur kebatinan, kerohanian, atau mistisisme dan kejiwaan yang mengembangkan budi pekerti serta adat etis, sudah ada dalam agama-agama asli di seluruh nusantara. Agama-agama asli di Indonesia dalam peredaran zaman mengalami banyak tantangan, tidak hanya dari yang disebut “agama internasional”, tetapi juga dari perkembangan kebudayaan dan modernisasi.
Menurut kepercayaan asli seluruh alam merupakan satu kesatuan sakral, yang didekati manusia melalui sistem penggolongan dan pembagian. Pandangan hidup ini tidak cocok dengan alam pikiran modern, dan memaksa para penganut agama asli mengubah cara berpikir dan mereka menemukannya pada Aliran Kepercayaan itu.
Orang mulai menggali harta terpendam dari pusaka kebudayaan asli. Dengan demikian, tradisi nenek moyang berkembang menjadi suatu kebudayaan rohani, yang unsur-unsurnya menyangkut perilaku, hukum, dan ilmu suci.
Ibadat dan Pembinaan
Unsur ibadat menjadi amat sederhana, sebab yang pokok adalah kesadaran dan keyakinan serta hati nurani. Pertemuan-pertemuan diarahkan pertama-tama kepada pembinaan hati; meneguhkan tekad; kewaspadaan batin; dan serta menghaluskan budi pekerti dalam tata pergaulan. Tujuannya adalah pendidikan, bukan kebaktian, sebab setiap orang menemukan Tuhan dalam hatinya sendiri.
Dengan membersihkan hati serta mengembangkan kedewasaan rohani, maka dengan sendirinya ia berbakti kepada Allah. Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dimaksudkan sebagai pernyataan dan pelaksanaan hubungan pribadi dengan Allah yang diwujudkan dalam perilaku ketakwaan terhadap Tuhan. Peribadatan merupakan pengalaman budi luhur, bukan suatu kebaktian lahiriah, maka tidak ada tempat atau petugas ibadat. Semua bersifat batiniah.
Sikap Gereja Katolik terhadap Aliran Kepercayaan dan Agama Asli
Sejak Konsili Vatikan II, Gereja dengan penuh keyakinan menegaskan bahwa iman dan wahyu orang bukan Kristen dapat bersifat menyelamatkan dan bahwa Gereja harus menolak ‘semua sarana yang memaksa’ dalam pewartaan imannya. Sarana yang dimaksud adalah semacam sifat fanatisme berlebihan dan sifat menakut-nakuti kebudayaan lain. “Gereja Katolik tidak menolak apa pun, yang dalam agama-agama itu serba benar dan suci. Dengan sikap hormat yang tulus, Gereja merenungkan cara-cara bertindak dan hidup, kaidah-kaidah serta ajaran-ajaran, yang memang dalam banyak hal berbeda dari apa yang diyakini dan diajarkannya sendiri, tetapi tidak jarang memantulkan sinar kebenaran, yang menerangi semua orang” (NA art. 2)
Dalam pernyataan ini dapat dilihat bahwa di dalam lembaga gereja dan tradisinya, dalam orang-orang kudus dan kitab-kitab sucinya, ‘pesan kristiani’ secara aktif disingkapkan oleh Roh Kudus di tengah-tengah kita dan melampaui rintangan-rintangan budaya, seturut janji yang Yesus berikan kepada para Rasul-Nya.
Bentuk-Bentuk Dialog
Dialog Kehidupan
Kita sering hidup bersama dengan umat beragama lain dalam suatu lingkungan atau daerah. Dalam hidup bersama itu, kita tentu berusaha untuk bertegur sapa, bergaul, dan saling mendukung serta saling membantu satu sama lain. Hal itu dilakukan bukan saja demi tuntutan sopan santun dan etika pergaulan, tetapi juga tuntutan iman kita. Dengan demikian terjadilah dialog kehidupan.
Dialog Karya
Dalam hidup bersama dengan umat beragama lain, kita sering diajak dan didorong untuk bekerja sama demi kepentingan bersama atau kepentingan yang lebih luas dan luhur. Kita bekerja sama dalam kegiatan sosial kemasyarakatan, kegiatan sosial karitatif, kegiatan rekreatif, dsb. Dalam kegiatan-kegiatan seperti itu, kita dapat lebih saling mengenal dan menghargai.
Dialog Iman
Dalam hal hidup beriman, kita dapat saling memperkaya, walaupun kita berbeda agama. Ada banyak ajaran iman yang sama, ada banyak visi dan misi agama kita yang sama. Lebih dari itu semua, kita mempunyai perjuangan yang sama dalam menghayati ajaran iman kita. Dalam hal ini, kita dapat saling belajar, saling meneguhkan, dan saling memperkaya. Dari pihak kita, umat Katolik, dapat memberikan kesaksian iman kita tentang bagaimana kita menghayati nilai-nilai Injili seperti: cinta kasih, solidaritas, pengampunan, pemaafan, kebenaran, kejujuran, keadilan, perdamaian, dsb.