Tema
"Yesus dalam Kaca Mata Filsafat"
ESAI
Pembuktian KeAllahan Yesus Menurut Pandangan Bambang Noorsena Dan Perbandingannya dalam Konsep Filsafat Ketuhanan Kristiani
Fr. Aditya Ghawa
Pengantar
Doktrin tentang Yesus 100% Tuhan dan 100% manusia, banyak diragukan karena dianggap terlalu kompleks dan tidak rasional. Ada perdebatan dari berbagai kalangan, baik dari internal dan eksternal kristen mengenai manusia sejati Yesus. Sekalipun pandangan Doketisme telah dipatahkan dan ada kalangan yang berpendapat bahwa Yesus hanyalah manusia, tetapi argumen-argumen tersebut juga masih menyisakan keraguan tentang manusia sejati Yesus yang tidak berdosa. Ajaran-ajaran perjanjian baru tentang kemanusian Yesus Kristus, yang didukung berbagai bukti otentik menunjukan bahwa Yesus itu sungguh-sungguh manusia. Namun, adanya kecenderungan-kecenderungan pada masa kekristenan awal yang lebih menonjolkan keilahian Yesus daripada kemanusian-Nya seperti dilakukan kaum Doketisme (kaum yang mengatakan bahwa Yesus Kristus tidak sungguh-sungguh manusia, melainkan hanya tampak sebagai manusia) telah membuat kebingungan di kalangan kristen. Sekalipun demikian, doktrin tentang kemanusiaan dan keAllahan Yesus juga tidak dapat dibantahkan begitu saja dengan berbagai pandangan-pandangan yang masih didukung dengan konstruktif argumentasi yang belum memadai.
Inkarnasi Allah melalui Yesus yang adalah Firman merupakan suatu karya bagi manusia yang didalamnya terdapat kasih yang begitu luar biasa bagi umat-Nya, namun dari zaman ke zaman hingga sekarang masih sedikit orang yang mengerti akan inkarnasi Yesus dalam Firman, sehingga sering kali menimbulkan perdebatan, karena sebagian orang percaya dan tidak lagi ragu untuk yakin bahwa Yesus Kristus adalah Firman Allah itu sendiri. Firman memiliki dua pengertian, yaitu: Logos Endiathetos (Firman yang dipikirkan) dan Logos Prophorikos (Firman yang diucapkan). Seorang dosen bernama, Nelson Semol Kalay beranggapan bahwa logos itu merupakan bukti inkarnasi Allah yang menjadi manusia di dalam Yesus. Jadi istilah logos dalam injil Yohanes menunjuk kepada keilahian yang menjadi manusia dalam misi tertentu tentang penyelamatan manusia. Sebagian orang juga sering terjebak jika mendengar kata logos dalam filsafat Yunani, mengapa? karena logos dalam filsafat Yunani merupakan perantara antara Tuhan dan manusia, sehingga kedudukannya lebih rendah dari Tuhan maka mereka beranggapan bahwa logos bukanlah Tuhan. Inkarnasi tidak berarti Dia melepaskan sifat lama-Nya dan berubah menjadi manusia, tetapi esensi-Nya sebagai Allah tetap ada.
Dalam totalitas atau kodrat manusia-Nya dimana terdiri dari tubuh dan jiwa, Yesus Kristus sepenuhnya tetap adalah Allah. Melalui inkarnasi ini Allah dinyatakan secara pribadi kepada manusia dan dengan cara ini lebih memenuhi Allah dari pada melalui wahyu-Nya. Inkarnasi Yesus Kristus adalah sebuah doktrin dalam Kekristenan yang sangat pokok, untuk karya kasih yang sangat luar biasa dari Allah bagi manusia. Inkarnasi bertujuan untuk menyatakan bahwa Allah itu telah menjadi daging, yaitu bahwa Allah telah menjadi manusia. Yesus sungguh-sungguh menjadi manusia seperti kita, dilahirkan oleh seorang perempuan, seperti kita yang lahir dari rahim ibu. Dikatakan bahwa Yesus Kristus sebagai Anak Allah tidak berarti bahwa Dia setengah Tuhan, kita harus tahu bahwa Yesus Kristus diberi hormat yang sama layaknya manusia, dan juga diberi hormat yang sama besarnya dengan Allah Bapa. Anak Allah bukan berarti bahwa Yesus Kristus adalah anak biologi dari seorang manusia, karena Yesus Kristus itu bukanlah menjadi Allah pada waktu Dia lahir di Betlehem, melainkan dari kekal Dia memang adalah Anak Allah. Oleh karena itu, dalam tulisan ini penulis mencoba untuk mengkaji dan memahami lebih dalam mengenai pembuktian keAllahan Yesus menurut pandangan Bambang Noorsena kemudian direlevansikan dengan Konsep Filsafat Ketuhanan Kristiani.
Pembuktian KeAllahan Yesus menurut pandangan Bambang Noorsena
Bambang Noorsena lahir di Ponorogo, 31 Maret 1964. Bambang Noorsena adalah pendiri Institute for Syriac Culture Studies (sumber:Wikipedia). Dalam pembuktiannya tentang keAllahan Yesus, Bambang Noorsena menjelaskan pengakuan Yesus sebagai Tuhan (Lord) seringkali ditemukan dalam Kitab Suci, namun berkaitan dengan pengakuan-Nya sebagai Allah (God) jarang sekali ditemukan secara eksplisit dalam Kitab Suci. Dilihat dari konteks Yahudi, orang Yahudi sendiri tidak pernah menyebutkan nama Ilahi secara langsung, karena bagi kebudayaan mereka pada zaman itu adalah sebuah larangan. Oleh karena itu, Yesus pada zamannya sama sekali tidak pernah menyebutkan bahwa diri-Nya adalah Allah, sebab bertentangan dengan kebudayaan Yahudi pada saat itu. Dalam teks Yohanes 10:30 yang mengatakan bahwa “Aku dan Bapa adalah satu”, sesungguhnya teks ini tidak bisa dijadikan sebagai bukti yang kuat untuk menyatakan kesatuan Yesus sebagai Firman Allah dengan Allah sendiri. Hal ini dikarenakan dalam Yohanes 10:30, berbicara tentang kesatuan dan ketaatan, tidak berbicara mengenai kesatuan substansial Yesus sebagai Firman Allah dengan Allah sang Bapa.
Bagi Bambang Noorsena ia membuktikan tentang keAllahan Yesus dengan merumuskannya dalam 4 alasan mengapa Yesus disebut Allah, yakni diantaranya adalah; Yesus sebagai Anak Manusia, Yesus adalah Hikmat Allah (Homa Allah), makna ungkapan kata amin, dan karena Aku datang dan keluar dari Allah.
a. Yesus sebagai Anak Manusia
Ungkapan Adikodrati Yesus itu berawal dari ungkapan Sang Anak Manusia. Dalam injil berkali-kali selalu berbicara bahwa Yesus mengakui bahwa diri-Nya sebagai sang Anak Manusia “Kata orang siapakah Anak Manusia itu?” (bdk. Matius 16:13). Dengan kata lain makna dari pertanyaan Yesus ini sesungguhnya adalah bahwa “Menurut kata orang siapakah Aku ini?”. Dalam Lukas 21:27 mengatakan bahwa “pada waktu itu orang akan melihat Anak Manusia datang dalam awan dengan segala kemuliaan dan kekuasaan-Nya”, hal inilah yang menunjukan sosok Adikodrati Yesus, sebab kalau Dia adalah manusia biasa tidak mungkin datang dari dalam awan-awan. Sesungguhnya ungkapan ini berasal dari bahasa Aram. Istilah Anak Manusia ini sesungguhnya bukan pengertian Anak Manusia biasa, tetapi menunjuk kepada sosok Mesias yang akan datang yang dinubuatkan oleh Nabi Daniel. Anak Manusia itu adalah sosok yang Adikodrati, yang Ilahi, yang kepada-Nya diberikan kuasa dilangit dan dibumi, dan diberi kuasa kerajaan-Nya adalah kerajaan kekal, Dia yang adalah kekal (Bdk. Daniel 7:13-14).
Yesus adalah Hikmat Allah (Hokma yang kekal)
Dalam Perjanjian Lama khususnya didalam kitab-kitab sastra, diungkapkan bahwa hokma itu bertitah sebagai Pencipta. Hikmat itu berpraeksisten, jadi Hikmat Allah itu sudah bersama-sama dengan Allah dan Allah telah memiliki Firman-Nya sejak kekal (Bdk. Yoh 1:1). Hikmat Allah atau Firman Allah itu kekal bersama-sama dengan Allah. Dalam 1Kor 1:24, Kristus disebut sebagai kekuatan Allah dan Hikmat Allah, yang berarti melalui Hikmat ini Allah meletakan dasar bumi, menciptakan segala sesuatu, dan sesungguhnya Hikmat Allah itu adalah Kristus sendiri. Istilah Hikmat, Firman, dan Logos itu tidak menunjukan kepada fisik kemanusiaan Yesus yang baru ada pada awal tahun masehi (tahun kristen, tahun Tuhan kita, yang dihitung sejak kelahiran fisik Yesus dimuka bumi). Akan tetapi sesungguhnya Yesus sebagai Firman dan sebagai Hikmat sudah ada sebelum segala sesuatu. Dalam kemanusiaan-Nya, dalam sosok kodrati-Nya sebagai manusia Yesus adalah anak-anak Hikmat; “tetapi Hikmat dibenarkan oleh semua orang yang menerima-Nya” (bdk. Luk 7:35). Namun sebaliknya, dalam kodrat Ilahi-Nya Yesus menyuruh manusia untuk mengikuti jalan-Nya, dan ungkapan-Nya tidak mungkin diucapkan oleh siapapun kecuali oleh sang Hikmat sendiri; “Marilah pada-Ku, semua yang letih lesuh dan berbeban berat, Aku akan memberikan kelegaan kepadamu” (bdk. Mat 11:28). Disini Yesus berbicara sebagai sang Hikmat yang satu dengan Allah, yang berpraeksisten sebelum segala sesuatu itu ada.
Makna ungkapan kata amin
Semua nabi mengajarkan firman yang diterimanya dari Allah. Nabi itu adalah jurubicara Allah yang olehnya Allah memberikan firman-firman. Hal ini misalnya firman Tuhan datang kepada nabi-nabi dalam Perjanjian Lama seperti nabi Yunus, nabi Yesaya, nabi Yehezkiel, dan nabi lainnya. Ketika nabi-nabi itu berbicara selalu saja kata amin disebutkan dibelakang. Yesus juga ketika berbicara tentang Doa Bapa Kami karena diajarkan kepada umat untuk berdoa maka aminnya diucapkan pada akhir doa. Maka kata amin itu selalu berada dibelakang atau diakhir sabda para nabi, misalnya Daud berdoa; “Terpujilah Tuhan Allah Israel dari selama-lamanya sampai selama-lamanya, amin ya amin”. Berkaitan dengan hal ini, Yesus sebaliknya, tatkala Dia berbicara mengenai firman, sesungguhnya firman itu tidak diterima-Nya dari Allah tetapi Dia berbicara atas nama Diri-Nya sendiri dengan ungkapan aminnya didepan. Dalam Yohanes 8:56, ketika Yesus mengungkapkan eksistensi-Nya, Yesus berbicara menggunakan bahasa Aram yang bunyinya “amin amin amar ana lehon”, ini adalah idiom khusus Yesus. Dalam bahasa Indonesia amin diterjemahkan dengan “Sesungguhnya aku berkata kepadamu”. Hal ini menunjukan betapa pentingnya kata yang difirmankan itu, Yesus juga mau menunjukan bahwa apa yang difirmankan oleh-Nya adalah berasal dari Diri-Nya sendiri bukan seperti nabi-nabi lain yang difirmankan dari Diri Allah. Difirmankan dari Diri-Nya sendiri karena Yesus adalah Firman Allah yang hidup, dan Firman Allah itu adalah Allah. Oleh karena itu tidak pernah seorang nabi pun yang berkata aminnya didepan kecuali Yesus.
Karena Aku datang dan keluar dari Allah
Orang Yahudi dalam konteks percakapan atau dialog dengan Yesus mengatakan bahwa “Kami tidak dilahirkan dari Cina, Bapa kami satu yaitu Allah”. Makna dari kalimat ini adalah “Kami bukan penyembah berhala, kami tidak pernah dilahirkan dari perselingkuhan terhadap ilah-ilah yang lain”. Jadi, bagi mereka perzinahan rohani adalah menyembah ilah-ilah yang lain selain Allah. Orang Yahudi sudah diketahui dan diakui seluruh dunia bahwa orang Yahudi mempunyai hanya satu Allah, dan karena pengakuan akan satu Allah itu, mereka lebih memilih mati daripada menyembah berhala. Bapa mereka adalah satu yaitu Allah. Hal ini sesungguhnya menekankan komitmen orang Yahudi tentang Tauhid atau ke-Esa-an Allah. Berkaitan dengan ini, Yesus sendiri sesungguhnya diyakini oleh gereja purba bahwa Dia adalah seorang yang lahir dari benih Ilahi, lahir dari seorang perawan sehingga Dia tidak mempunyai bapa. Orang Yahudi mengembangkan sebuah paham bahwa Yesus adalah anak haram, hasil dari perselingkuhan Mariam dengan seorang perwira Romawi yang namanya adalah Pandra.
Berdasarkan dialog antara Yesus dan Orang Yahudi, kemudian Yesus mengatakan bahwa; “Jikalau Allah adalah Bapamu, kamu akan mengasihi Aku sebab Aku datang dan keluar dari Allah”. Hal ini jelas menunjuk kepada asal-usul Ilahi Yesus, karena kata keluar menunjukan sesuatu yang metafisik. Allah itu adalah Roh, dan yang keluar dari Allah juga adalah Roh. Hal ini sebagaimana dianalogikan dengan matahari, yang keluar dari matahari adalah sinar matahari juga, tidak mungkin matahari mengeluarkan sinar lampu senter, matahari ya sinarnya matahari. Hal ini sehingga dalam Konsili Nicea kemudian memutuskan bahwa Yesus itu adalah “Allah dari Allah, Terang dari Terang, Allah sejati dari Allah sejati”. Hal ini sehingga maknanya adalah sebagaimana terang matahari yang memancar dari wujud matahari, maka sehakikat dengan matahari, demikian juga Allah. Pernyataan “Aku yang keluar dari Allah” adalah Dia yang sudah ada sebelum Abraham, disebut sebagai firman Allah dan yang adalah Allah.
Pembuktian KeAllahan Yesus menurut pandangan Bambang Noorsena dan Perbandingannya menurut Filsafat Ketuhanan
Tuhan memanifestasikan diri kepada kita sebagai Actus Purus, Esse Per Seipsum Subsistens, Causa Prima Incausata, etc. Istilah-istilah ini menunjukkan bahwa Tuhan itu sesungguhnya Esse Separatum, Absolutum, yang secara radikal berada di luar semua sebab dari efek-efek dari mana kita bertitik-tolak. Karena itu, Tuhan itu dari hakekat-Nya incomprehensibile, tidak dapat dipahami sepenuhnya. Prinsip keserupaan antara causa-effectus maka kita paling kurang dapat mengetahui sedikit hakekat Tuhan, walau secara relatif dan terbatas. Pengetahuan kita atas hakekat Tuhan itu bersifat analog, karena memang ada analogia antara ciptaan dan Tuhan Pencipta, yakni persamaan di dalam perbedaan dan perbedaan di dalam persamaan.
Tuhan itu satu, artinya Dia tunggal, dan ketunggalan ini mengekslusifkan pengertian yang majemuk. Ini berarti pula bahwa Allah itu hanya satu. Kesatuan Tuhan didasarkan pada kesederhanaan-Nya. Seandainya Allah mengandung banyak entia dalam diri-Nya, maka dari kodrat-Nya Allah itu tidak lagi sederhana. Konsep banyak mengandaikan distinksi antara satu dengan yang lainnya, dan distinksi itu hanya ada bila yang satu mempunyai kesempurnaan yang tidak ada pada yang lainnya. Ini berarti bahwa yang banyak itu memiliki kekurangan, tidak sempurna dengan sepenuhnya, terbatas dalam kesempurnaan. Di dalam Tuhan tidak ada jumlah. Ketunggalan Tuhan adalah sesuatu yang metafisik, bukan matematik. Ketunggalan Tuhan memiliki dasarnya dalam Aseitas Tuhan. Esse Tuhan itu omnino simplex, kesederhanaan absolute. Tuhan adalah Kebenaran Mutlak, Absolut, Kebenaran tertinggi. Kebenaran Ilahi dapat dipandang dalam Diri-Nya sendiri atau pada-Nya sebagai sebab dari segala ciptaan. Tuhan Yesus berkata: “Akulah jalan, kebenaran, dan hidup: tidak ada manusia yang datang kepada Bapa, tanpa melalui Aku” (bdk. Yohanes 14:6). Kebenaran merupakan tanda dari Tuhan. Tuhan itu kebenaran murni karena pada-Nya tidak ada kemungkinan kekeliruan.
Tuhan adalah Summum Bonum, Kebaikan Paling Sempurna. Sebagai Summum Bonum, Tuhan adalah tujuan terakhir dari segala sesuatu. Karena menarik dan membangkitkan keinginan untuk dicapai, maka kebaikan itu merupakan causa finale. Tuhan sebagai Kebaikan dari segala kebaikan, merupakan juga tujuan akhir dari segala sesuatu. Kebaikan Tuhan berarti juga kesempurnaan-Nya yang Mahasempurna. Tuhan adalah keindahan. Dialah sumber dan sebab dari keindahan yang ditemukan dalam ciptaan. Bagai seorang arsitek ulung, Tuhan mengkomunikasikan dan memperindah alam ciptaan sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh, harmonis, dan cemerlang (indah, estetis). Maka, mengenal Tuhan sebagai Kebenaran Mutlak dan Tertinggi, mencintai-Nya sebagai Kebaikan Absolut, Kesatuan Tersempurna dan Keindahan Absolut, merupakan sumber kebahagiaan tertinggi bagi manusia.sebagaimana yang dikatakan oleh Yesus dalam Matius 5:48 “Karena itu haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di Surga adalah sempurna”.
Penutup
Inkarnasi Yesus Kristus adalah sebuah doktrin dalam kekristenan yang sangat pokok, untuk karya kasih yang sangat luar biasa dari Allah bagi manusia. Inkarnasi bertujuan untuk menyatakan bahwa Allah itu telah menjadi daging, yaitu bahwa Allah telah menjadi manusia. Maka, mengenal Tuhan sebagai Kebenaran Mutlak dan Tertinggi, mencintai-Nya sebagai Kebaikan Absolut, Kesatuan Tersempurna dan Keindahan Absolut, merupakan sumber kebahagiaan tertinggi bagi manusia, Bagi Bambang Noorsena ia membuktikan tentang keAllahan Yesus dengan merumuskannya dalam 4 pembuktian yang menyebutkan Yesus sebagai Allah, yakni diantaranya adalah; Yesus sebagai Anak Manusia, Yesus adalah Hikmat Allah (Homa Allah), makna ungkapan kata amin, dan karena Aku datang dan keluar dari Allah. Hal ini jika dibandingkan dengan konsep filsafat ketuhanan, maka kebenaran Ilahi dapat dipandang dalam Diri-Nya sendiri atau pada-Nya sebagai sebab dari segala ciptaan. Tuhan Yesus berkata: “Akulah jalan, kebenaran, dan hidup: tidak ada manusia yang datang kepada Bapa, tanpa melalui Aku” (bdk. Yohanes 14:6). Kebenaran merupakan tanda dari Tuhan. Tuhan itu kebenaran murni karena pada-Nya tidak ada kemungkinan kekeliruan.
Daftar Pustaka
Alkitab Deuterokanonika, Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia, 2017.
Punda Panda, Herman, Pengantar Teologi.
Saku, Dominikus, Filsafat Ketuhanan.
Dister, Niko Syukur, 2004, Teologi Sistematika, Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Marpaung, Sarma, Analisis Kontrukstif Ketidakberdosaan Yesus dalam Menjalankan Misinya di Dunia, Jurnal Pendidikan Agama Kristen dan Filsafat, Volume. I, No. 4, November 2024.
Untoro, Tri, Trinitas Dalam Konsep Sang Logos Bersama Sang Theos Menurut Yohanes 1:1, Jurnal Teologi Dan Kepemimpinan Kristen 1, No. 1, 2019.
YESUS: CINTA DAN PENGORBANAN DALAM WACANA FILSAFAT MORAL
Fr. Charlos Dhato
Pendahuluan
Yesus dari Nazaret sering dipandang sebagai figur moral utama dalam sejarah, yang ajarannya tidak hanya memiliki dampak spiritual tetapi juga mendalam secara etis dan filosofis. Cinta dan pengorbanan adalah inti dari ajaran dan kehidupan-Nya, menjadikannya teladan moral universal bagi umat manusia. Yesus mengajarkan cinta yang radikal, yang dikenal dalam tradisi Kristen sebagai agape—cinta tanpa syarat yang mencakup semua manusia tanpa memandang status, kebangsaan, atau dosa. Cinta ini bukan hanya perasaan, tetapi tindakan yang menuntut keberanian untuk melampaui egoisme dan memperjuangkan kebaikan bersama. Salah satu perbedaan mencolok antara Yesus dan filsuf-filsuf Yunani kuno, seperti Socrates dan Plato, terletak pada metode pengajaran dan pendekatan terhadap murid. Yesus menggunakan perumpamaan dan kisah-kisah sederhana untuk menyampaikan ajaran moral dan spiritual, menjadikannya lebih mudah dipahami oleh masyarakat umum.
Pengorbanan Yesus, yang berpuncak pada kematian-Nya di kayu salib, sering dipandang sebagai simbol pengorbanan tertinggi demi orang lain. Hal ini juga mau menegaskan bahwasanya Yesus bersediaan untuk menderita demi kebaikan yang lebih besar dan keselamatan umatNya. Pengorbanan ini tidak dilakukan atas dasar paksaan, melainkan sebagai pilihan yang mencerminkan cinta yang tulus. Dalam hal ini juga Yesus menyerahkan diri secara total. Dalam tradisi Kristen, salib tidak hanya melambangkan penderitaan tetapi juga kemenangan cinta yang tidak bersyarat terhadap dosa dan kejahatan. Bukti cinta Yesus bagi diri manusia adalah penyelamataNya bagi umat manusia. Itulah cinta dan kasih terbesar dalam sejarah hidup manusia. Pengorbanan Yesus merupakan ekspresi cinta. Yesus menunjukkan bahwa cinta sejati seringkali melibatkan pengorbanan diri demi orang lain. Pengorbanan ini paling jelas terlihat dalam kematian-Nya di kayu salib, yang dipandang dalam tradisi Kristen sebagai tindakan altruistik tertinggi.
Ajaran Yesus yang berkaitan dengan cinta dan pengorbanan telah membentuk kerangka moral dalam berbagai budaya dan tradisi. Hal ini dapat kita lihat bersama dalam realitas kehidupan kita saat ini. Dalam hubungan pribadi nilai-nilai seperti memaafkan, berbagi, dan melayani menjadi landasan interaksi manusia yang sehat dan bermakna. Ungkapan cinta Yesus yang tidak hanya bagi kehidupan pribadi saja akan tetapi juga dalam dan sudah diterapkan dalam kehidupan sosial. Yakni dalam kehidupan sosial, menjelaskan cinta dan pengorbanan Yesus mendorong perjuangan melawan ketidakadilan, solidaritas dengan yang lemah, dan perlindungan terhadap yang tertindas. Cinta dan pengorbanan adalah dua konsep penting yang terus menjadi bahan refleksi dalam diskursus filsafat moral. Kedua nilai ini tidak hanya berakar pada pengalaman manusia yang mendalam tetapi juga menjadi landasan bagi teori etika yang berupaya menjawab pertanyaan tentang bagaimana manusia seharusnya hidup dan berhubungan dengan sesama. Cinta dan pengorbanan tidak hanya relevan dalam konteks tradisi keagamaan saja akan tetapi juga memainkan peran penting dalam filsafat moral. Sebagai nilai yang mendorong manusia untuk melampaui egoisme, cinta dan pengorbanan memperkaya diskursus etika dengan menawarkan pandangan yang humanis dan transformatif terhadap hubungan manusia. Cinta dan pengorbanan saling melengkapi dalam konteks moral. Tanpa cinta, pengorbanan bisa menjadi tindakan yang kosong atau bahkan merugikan; sebaliknya, tanpa pengorbanan, cinta mungkin hanya akan menjadi perasaan tanpa tindakan nyata.
Kedua hal yakni cinta dan pengorbanan merupakan dua tema yang sangat relevan dalam realitas dunia saat ini, di mana hubungan interpersonal, nilai-nilai sosial, dan tantangan moral seringkali dihadapkan pada kompleksitas yang baru. Berikut adalah beberapa aspek yang menunjukkan relevansi kedua tema ini dalam kehidupan saat ini.
Pembahasan
Konsep Cinta dalam Ajaran Yesus
Pembicaraan mengenai konsep cinta dalam ajaran Yesus dapat diartikan sebagai berikut. Cinta adalah sebuah tema sentral dalam Injil, dengan definisi dan manifestasi yang beragam. Dalam konteks Alkitab, cinta tidak hanya dipandang sebagai perasaan, tetapi juga sebagai tindakan yang mencerminkan karakter Allah. Berikut adalah beberapa aspek penting mengenai definisi cinta dalam konteks Injil. Alkitab menggambarkan cinta dalam beberapa jenis, yang masing-masing memiliki karakteristik unik salah satu yang sudah kita kenal yakni Agape. Cinta agape Ini adalah bentuk cinta tertinggi yang ditunjukkan oleh Allah melalui pengorbanan Yesus Kristus di kayu salib (Yohanes 3:16). Kasih agape bersifat tanpa syarat dan tidak tergantung pada kondisi orang yang dikasihi. Ini adalah cinta yang rela berkorban demi kebaikan orang lain. Yesus mengajarkan bahwa hukum terbesar adalah mengasihi Tuhan dan sesama (Matius 22:37-39). Ini menunjukkan bahwa cinta merupakan inti dari ajaran Kristen dan menjadi dasar bagi semua tindakan moral. Mengasihi sesama seperti diri sendiri menciptakan hubungan yang saling menghormati dan mendukung dalam masyarakat. Cinta dalam pelayanan dan pengajaran Yesus sangat terlihat melalui ajaran-Nya tentang mengasihi musuh dan orang-orang berdosa. Berikut adalah beberapa contoh konkret yang mencerminkan cinta agape dalam konteks ini.
Konsep cinta dalam ajaran Yesus dalam hal ini adalah cinta yang dapat dinikmati oleh orang lain. Sebagai salah satu contoh cinta yang diberikan oleh Yesus dan dapat dinikmati oleh orang lain dalam konteks duniawi yang adalah mengasihi musuhmu. Yesus menunjukkan cinta-Nya kepada orang-orang berdosa dengan cara menerima dan mengampuni mereka. Salah satu contoh paling terkenal adalah ketika Ia berinteraksi dengan perempuan yang ditangkap basah dalam perzinahan (Yohanes 8:1-11). Alih-alih menghukum perempuan tersebut sesuai hukum Taurat, Yesus memilih untuk mengampuni dan memberinya kesempatan kedua, sambil menegaskan pentingnya tidak berbuat dosa lagi. Yesus juga mengajarkan bahwa kasih harus diperluas kepada semua orang tanpa memandang latar belakang atau status sosial. Dalam perumpamaan tentang orang Samaria yang baik hati (Lukas 10:25-37), Yesus menunjukkan bahwa cinta sejati melampaui batas-batas etnis dan agama. Orang Samaria, yang dianggap sebagai musuh oleh orang Yahudi, justru menunjukkan kasih dengan merawat seorang Yahudi yang terluka.
Cinta dalam pelayanan dan pengajaran Yesus adalah cerminan dari cinta agape—cinta tanpa syarat dan penuh pengorbanan. Dengan mengajarkan untuk mengasihi musuh dan menerima orang-orang berdosa, Yesus menantang para pengikut-Nya untuk hidup dengan standar moral yang lebih tinggi. Melalui tindakan nyata seperti pengampunan dan pelayanan, cinta ini menjadi dasar bagi hubungan antar manusia dan hubungan kita dengan Tuhan. Cinta agape ini tidak hanya relevan pada zaman Yesus tetapi juga menjadi panggilan bagi setiap individu di dunia modern untuk mencintai tanpa batasan.
Cinta: Prinsip Etika Universal
Cinta juga dijadikan sebagai salah satu prinsip etika universal memiliki relevansi yang mendalam dalam berbagai konteks kehidupan, baik secara individu maupun sosial. Cinta sering juga dianggap sebagai nilai fundamental dalam etika universal. Bahwasanya Setiap orang harus memiliki keinginan yang sama untuk dicintai, dihormati, dan bahagia. Hal ini mau menunjukkan bahwa cinta dapat menjadi landasan moral yang mengikat semua manusia tanpa harus memandang latar belakang atau keyakinan agama. Pada dasarnya Prinsip ini juga menciptakan kesadaran bahwa seluruh umat manusia adalah satu keluarga, dan cinta dalam ajaran Yesus adalah penghubung yang memperkuat ikatan tersebut. Salah satu filsuf yang berbicara tentang cinta adalah Immanuel Kant. Ia menekankan bahwa cinta bukan sekadar emosi, melainkan sebuah kehendak untuk mencapai kebahagiaan dan kepuasan melalui kebajikan.
Dalam pandangannya, cinta harus diarahkan pada tujuan yang lebih besar, yaitu mencapai kebahagiaan dan keadilan bagi semua orang. Cinta yang sejati dalam konteks Kant adalah cinta yang berlandaskan pada rasa tanggung jawab dan kewajiban moral, serta tidak terikat pada kepentingan egois Ini menunjukkan bahwa cinta harus menjadi pendorong untuk bertindak sesuai dengan nilai-nilai moral yang universal. Cinta sebagai prinsip etika universal juga memiliki implikasi penting dalam konteks sosial dan politik. Ketidakadilan sering kali muncul ketika nilai-nilai moral diabaikan. Oleh karena itu, cinta dapat berfungsi sebagai pendorong untuk memperjuangkan keadilan dan hak asasi manusia. Dalam situasi ketidakadilan, seperti protes terhadap hukum yang tidak adil, cinta dapat menjadi motivasi untuk bertindak demi kebaikan bersama. Dalam etika Kristen, cinta dipandang sebagai prinsip utama yang mengatur perilaku dan pengambilan keputusan. Ajaran Yesus tentang kasih kepada sesama mencerminkan pentingnya cinta dalam membangun masyarakat yang adil dan penuh kasih. Kasih ini mencakup berbagai aspek, seperti belas kasihan, kebenaran, keadilan, dan pelayanan kepada orang lain.
Cinta dalam pandangan iman Kristen tidak hanya untuk diri sendiri saja akan tetapi cinta akan menjadi sebuah cinta sejati jika cinta itu dibagikan kepada orang lain yang adalah sesame yang membutuhkan cinta. Sebab cita akan memiliki arti apabila cinta itu diberikan kepada orang lain. Cinta sebagai prinsip etika universal menawarkan landasan moral yang kuat untuk membangun hubungan antar manusia dan menciptakan masyarakat yang lebih baik. Dengan mengintegrasikan cinta dalam tindakan sehari-hari dan pengambilan keputusan, individu dapat berkontribusi pada terciptanya dunia yang lebih damai dan harmonis. Prinsip ini tidak hanya relevan dalam konteks agama tetapi juga dalam interaksi sosial secara umum, menjadikannya nilai fundamental bagi seluruh umat manusia.
Pengorbanan Yesus sebagai Model Etika Moral
Pengorbanan adalah konsep yang mendalam dan memiliki berbagai dimensi dalam kehidupan manusia, baik secara individu maupun sosial. Makna pengorbanan seringkali terkait dengan nilai-nilai moral yang tinggi seperti kasih sayang, kebaikan, dan solidaritas. Dalam konteks sosial, merupakan pengorbanan menjadi suatu pendorong untuk membantu orang lain dalam kesulitan, memenuhi kebutuhan mereka, atau memberikan dukungan emosional. Tindakan ini tidak hanya memperkuat hubungan antar manusia saja akan tetapi juga membangun masyarakat yang lebih baik untuk kedepanya. Dalam konteks kepercayaan, banyak tradisi agama, pengorbanan memiliki makna spiritual yang mendalam. Misalnya, dalam Islam, praktik qurban merupakan bentuk pengorbanan yang dilakukan untuk mendekatkan diri kepada Allah dan mencari ridha-Nya. Kisah Nabi Ibrahim yang rela mengorbankan putranya sebagai bentuk ketaatan kepada Allah menjadi simbol pengorbanan yang tulus.
Pengorbanan Yesus di kayu salib merupakan puncak dari cinta agape yang ditunjukkan-Nya kepada umat manusia. Tindakan ini bukan hanya sekadar pengorbanan fisik, tetapi juga mencerminkan komitmen yang mendalam untuk menyelamatkan dan menebus dosa manusia. Berikut adalah beberapa aspek penting mengenai pengorbanan Yesus di salib sebagai ekspresi tertinggi cinta. Pengorbanan Yesus di salib memiliki makna teologis yang mendalam sebagai penebusan bagi dosa manusia. Dalam tradisi Yahudi, pengorbanan hewan digunakan untuk menghapus dosa, tetapi Yesus menjadi "Anak Domba Allah" yang memberikan diri-Nya sebagai korban sempurna untuk menebus semua dosa (1 Yohanes 2:2). Dengan demikian, pengorbanan-Nya bukan hanya untuk individu tertentu, tetapi untuk seluruh umat manusia. Salah satu aspek paling luar biasa dari pengorbanan Yesus adalah pengampunan yang Ia tawarkan bahkan kepada mereka yang menyiksa dan menyalibkan-Nya.
Pengorbanan Yesus di salib adalah ekspresi tertinggi dari cinta agape—cinta tanpa syarat dan penuh pengorbanan. Tindakan ini tidak hanya menyelamatkan umat manusia dari belenggu dosa tetapi juga memberikan contoh nyata tentang bagaimana seharusnya kita mencintai sesama, termasuk musuh kita. Melalui pengorbanan ini, Yesus menunjukkan bahwa cinta sejati melibatkan tindakan konkret dan komitmen untuk melakukan kebaikan, bahkan dalam keadaan yang paling sulit sekalipun.
Relevansi Cinta dan Pengorbanan Yesus dalam Dunia Modern
Cinta tanpa syarat, adalah salah satu konsep yang sering dibahas dalam konteks hubungan antar manusia. Ini merujuk pada cinta yang diberikan tanpa mengharapkan imbalan atau syarat tertentu. Salah satu aspek utama dari cinta tanpa syarat adalah kemampuan untuk menerima dan memaafkan kesalahan pasangan. Dalam hubungan yang menerapkan cinta ini, individu akan berusaha untuk memahami dan menerima kesalahan pasangan, terlepas dari seberapa besar dampak yang ditimbulkan. Hal ini menciptakan lingkungan yang aman di mana kedua belah pihak merasa dihargai dan tidak dihakimi. Cinta tanpa syarat memiliki potensi untuk memperkuat hubungan antar manusia dengan menciptakan lingkungan yang aman, saling menghormati, dan penuh pengertian.
Dengan menerapkan prinsip-prinsip cinta ini, individu dapat membangun hubungan yang lebih sehat dan bahagia, meskipun tantangan dan konflik tetap ada. Namun, penting untuk diingat bahwa cinta tanpa syarat harus tetap seimbang dengan kebutuhan diri sendiri dan kesehatan mental masing-masing pasangan. Selain itu juga pengorbanan merujuk pada penting dalam membangun solidaritas dan memperjuangkan keadilan sosial. Dalam konteks ini, pengorbanan tidak hanya berarti memberikan sesuatu yang berharga, tetapi juga mencerminkan komitmen untuk membantu sesama dan memperjuangkan hak-hak mereka. Berikut adalah beberapa aspek yang menggambarkan hubungan antara pengorbanan dan solidaritas dalam konteks keadilan sosial. Pengorbanan juga berfungsi untuk meningkatkan kesadaran sosial tentang isu-isu ketidakadilan yang ada di masyarakat. Ketika individu terlibat dalam tindakan pengorbanan, seperti menyumbangkan harta atau waktu untuk kegiatan amal, mereka tidak hanya membantu secara langsung tetapi juga menyebarkan kesadaran tentang masalah-masalah sosial yang perlu diperjuangkan
Dilain halnya pula pengorbanan juga merupakan salah satu tolak ukur sebagai landasan untuk mencapai harmoni. Bahwasanya adalah cinta Yesus, sebagai inti dari ajaran-Nya, memiliki potensi besar untuk menjadi landasan bagi harmoni lintas budaya dan agama. Prinsip ini tidak hanya menekankan kasih yang tulus dan pengorbanan, tetapi juga mendorong dialog, toleransi, dan kerjasama antar umat beragama. Ada beberapa aspek yang penting mengenai bagaimana prinsip cinta Yesus dapat diaplikasikan dalam konteks multikultural dan lintas agama. Prinsip cinta Yesus menawarkan landasan yang kuat untuk membangun harmoni baik lintas budaya maupun agama. Bahwasanya dengan mengedepankan cinta tanpa syarat, toleransi, dialog, solidaritas dalam keadilan sosial, serta kesadaran kolektif, kita dapat menciptakan masyarakat yang lebih damai dan saling menghormati. Cinta ini tidak hanya relevan dalam konteks Kristen tetapi juga menjadi jembatan bagi semua orang untuk hidup berdampingan meskipun ada perbedaan keyakinan dan budaya. Melalui penerapan prinsip-prinsip ini, kita dapat mewujudkan visi dunia yang harmonis dan berkeadilan bagi semua.
Kesimpulan
Cinta dan pengorbanan Yesus Kristus di kayu salib merupakan dua pilar utama yang membentuk moralitas dalam ajaran Kristen. Pengorbanan-Nya bukan hanya sekadar tindakan fisik, tetapi juga merupakan ekspresi cinta yang mendalam dan tanpa syarat kepada umat manusia. Pengorbanan Yesus di salib adalah bukti nyata dari cinta-Nya yang terbesar bagi umat manusia., Yesus menyatakan bahwa tidak ada cinta yang lebih besar daripada seseorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya. Dengan mengorbankan diri-Nya, Yesus menunjukkan bahwa cinta sejati melibatkan tindakan konkret dan pengorbanan demi keselamatan orang lain. Salah satu aspek penting dari pengorbanan Yesus adalah pengampunan yang Ia tawarkan kepada umat manusia. Ketika Yesus berdoa untuk mereka yang menyalibkan-Nya, "Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat" Ia menunjukkan bahwa cinta sejati juga mencakup kemampuan untuk mengampuni. Ini menjadi landasan moralitas yang mendorong individu untuk tidak hanya mencintai teman-teman mereka tetapi juga musuh-musuh mereka.
Ajaran Yesus Kristus memiliki hubungan yang erat dengan filsafat moral yang terus relevan hingga saat ini. Dengan menekankan cinta sebagai prinsip utama, Golden Rule sebagai panduan etika interpersonal, serta pengampunan dan keadilan sosial sebagai fondasi tanggung jawab moral, ajaran-Nya memberikan kerangka kerja yang kuat untuk memahami dan menerapkan nilai-nilai moral dalam kehidupan sehari-hari. Dalam dunia yang semakin kompleks ini, prinsip-prinsip tersebut tetap menjadi sumber inspirasi bagi individu dan masyarakat dalam upaya menciptakan dunia yang lebih adil dan penuh kasih.
Daftar Pustaka
Anthonio, A. “Stairway to Heaven: Memandang Tuhan Melalui Kacamata Dekonstruksi.” Dekonstruksi, 2021. http://jurnaldekonstruksi.id/index.php/dekonstruksi/article/view/22%0Ahttp://jurnaldekonstruksi.id/index.php/dekonstruksi/article/download/22/8.
https://tirto.id/mengenal-prinsip-unconditional-love-atau-cinta-tanpa-syarat-f5m6
Budi, Jurnal, Pekerti Agama, Volume No June, Benny Zakaria, Hendrik Irwansyah Zebua, Moses Lawalata, Sekolah Tinggi, Teologi Injili, Aras Tamar, and Setia Jakarta. “Prespektif Filsafat Kristen Tentang Eksistensi Allah Khayalan ; Tuhan Menciptakan Pikiran Manusia . Tuhan Merupakan Konstruksi Mental Pemikiran Merasa Didiskriminasi Dan Takut Akan Penganiayaan Oleh Umat Beragama , Sehingga Ia Menulis Konsep Dasar Dalam K,” no. 2 (2024): 170–78.
https://www.kompas.id/baca/nusantara/2024/03/29/pengorbanan-yesus-adalah-bukti-cinta-terbesar
Laksono, Alfian Tri. “Memahami Hakikat Cinta Pada Hubungan Manusia: Berdasarkan Perbandingan Sudut Pandang Filsafat Cinta Dan Psikologi Robert Sternberg.” Jaqfi: Jurnal Aqidah Dan Filsafat Islam 7, no. 1 (2022): 104–16. https://doi.org/10.15575/jaqfi.v7i1.17332.
Tarkowska, Halina. “Deus Caritas Est.” Ruch Biblijny i Liturgiczny 16, no. 2–3 (1963): 134. https://doi.org/10.21906/rbl.2929.
Wariati, Ni Luh Gede. “Cinta Dalam Bingkai Filsafat.” Sanjiwani: Jurnal Filsafat 10, no. 2 (2020): 112. https://doi.org/10.25078/sjf.v10i2.1506.
https://sdnegerimegaeltra.gosch.id/makna-pengorbanan-menginspirasi-kebesaran-hati-dan-kemanusiaan/
Quingue Viae “Lima Jalan” Pembuktian Tentang Keberadaan Tuhan Menurut Thomas Aquinas
Fr. Efron Nggode
PENGANTAR
Dalam perjalanan filsafat sampai terbentuknya berbagai aliraan didalamnya, terjerumus oleh berbagai pengaruh, menimbulkan beberapa filsuf turut membicarakan tentang keberadaanTuhan. Keberadaan Tuhan itu, diungkapakan dalam berbagai kesempatan oleh para filsuf melalui sudut pandang, dengan maksud untuk menjawabi kebingungan, dan ketidaktahuan manusia tentang keberadaan Tuhan, sekaligus meyakinkan semua orang tentang adanya Tuhan yang dapat diterima dan dipercaya. Umumnya para filsuf dalam perjalanan pemikiran filsafat mencoba menganalisah dan memahamai konsep tentang Tuhan dalam beragam pendekatan baik secara rasional, epistemologis, ontologis dan etis. Hal ini ditujukan agar manusia dapat memahami dan memperoleh informasi tentang konsep Tuhan berdasarkan hakekat pendekataan diatas serta tujuan pengajaran masing-masing ilmu pengetahuan tersebut. Hal ini dimaksudkan agar tidak ada ketimpangan, namun sebaliknya memiliki kesinambungan yang dapat dimengerti untuk menyatakan adanya eksistensi Tuhan sehingga tidak melahirkan pemahaman keliru yang dapat salah. Pendekatan dari rana rasio, epistemology, ontology, dan etis merupakan sumber yang diyakni sebagai sebuah konsep pengajaraan yang memiliki pengertiaan yang mengandung kebenaran dan dibuktikan kebenaraannya itu. Maksud pernyataan ini ingin menggaris bawahi tentang bagaimana manusia seharusnya memahmai adanya Tuhan dengan melihatnya dari keselarasaan antara ratio dan kenyataan yang dapat dipercaya diluar dari ratio. Adapun manusia yang terpengaruh oleh berbagai aliran pemikiran, tidak dapat disangkal justru cendrung menyudutkan konsep pengajaraan dalam agama tentang Tuhan dan menolak pengajaraan yang dianut dalamnya. Seperti halnya yang terjadi pada abad pertengahan ketika kekeristenan menguasi berbagi pemikiran. Latar belakang manusia yang telah terlanjur dipengaruhi oleh pemikiran filsafat ahkirnya membangkitkan para filsuf sekaligus para teolog kristen dalam menyikapinya dengan berbagi pengajaraan untuk menutupi kebingungan bahkan penolakann terhadap ajaran kristiani. Adapun para filsuf dan teolog-teolog saat itu, seperti halnya filsuf zaman skolastik berusaha membangkitkan pengajaraan yang dapat dipercaya dengan berusaha menyatukan antara rasionalitas dan keimanan seperti dikonsepkan oleh filsuf Thomas Aquinas dalam argumennya tentang quingue viae “lima jalan” untuk membuktikan adanya Tuhan. Tujuanya agar pertanyaan tentang eksistensi Tuhan dapat diterima oleh akal sehat dan ajaran kristiani yang dianut. Karena itu para filsuf dan teolog-teolog melalui berbagi kurun waktu, sembari berdinamika dalam berbagai tradisi, aliran, dan juga periodisasi, telah menunjukan konsep pemikiran yang melahirkan ungkapan tentang adanya Tuhan, sehingga mudah dipahami dan dipercaya. Berikut adalah beberapa pandangan utama tentang Tuhan dalam filsafat, yang berasal dari pemikir-pemikir besar khususnya pada abad pertengahan yaitu di zaman skolastik. Berikut adalah pandangan tentang aliran teisme dan hubungannya dengan pemikiran filsuf Thomas Aquinas tentang adanya Tuhan berdasarkan argumen quingue viae atau lima jalan yang membuktikan keberadaan eksistensi Tuhan:
PEMBAHASAAN
Aliran Teisme “golongan pemikiran Thomas Aquinas”
Berdasarkan pengertiannya, teisme merupakan suatu aliran pemikiran yang berpandangan bahwa Tuhan adalah pribadi yang memiliki hakekat Maha Kuasa, Maha Tahu, dan Maha Hadir. Teisme berasal dari bahasa Yunani, yaitu dari kata “theos” yang berarti Allah. Istilah ini muncul pertama kali di Inggris pada abad ke-17, yang dikenal dengan “theism” dimana kata ini merupakan lawan dari kata “ateisme”. Teisme juga dapat diartikan sebagai suatu kepercayaan akan hal-hal ilahi, dimana kepercayaan itu tertuju pada satu Tuhan yang trasenden (Dewi, 2021). Aliran ini percaya bahwa Tuhan adalah pencipta dunia dan yang memelihara, serta melalui dirinya alam diatur sedemikian rupa dengan sempurna. Aliran teisme dapat dibedakan dalam beberapa tipe antara lain dapat dibedakan dalam hal kepercayaan tentang Tuhan dan hubungan-Nya dengan alam. Menurut Amsal Bakhtiar sebagian besar penganut teisme percaya bahwa materi alam adalah riil, sedangkan yang lain menyatakan abstrak, itu hanya eksis dalam pikiran dan idea (Kuswanjono & Filsafat, 2014). Bagi Agustinus, Tuhan ada dengan sendirinya, tidak diciptakan, tidak berubah, abadi, bersifat personal dan maha sempurna (Hartaka & Ardiyani, 2020). Pandangan ini dianut oleh agama-agama monoteistik seperti Kristen, Islam dan Yudaisme. Monoteistik atau aliran monoteisme (berasal dari kata Yunani monon yang berarti tunggal dan theos yang berarti Tuhan), adalah kepercayaan yang menyatakan bahwa Tuhan merupakan wujud yang satu/tunggal dan berkuasa penuh atas segala sesuatu. Monoteisme mengambil bentuk teisme, istilah yang mengacu pada keyakinan tentang Tuhan yang ‘pribadi’, artinya satu Tuhan dengan kepribadian yang khas, dan bukan sekadar suatu kekuatan ilahi saja (Zubaidi, 2011). Penganut teisme termasuk juga Thomas Aquinas, dalam pemikirannya Ia mampu menjelaskan keberadaan Tuhan dengan menyatukan antara rationalitas dan iman. Menurutnya kebenaran ajaran Tuhan harus diterima dengan iman. Pengetahuan terhadap dunia material atau dunia obyek- obyek itu sendiri merupakan suatu aspek dari pengetahuan dan pengenalan yang diperoleh atau merupakan hasil daya tangkap akal budi, yang melaluinya sumber pengetahuan itu didapat. Pikiran manusia dapat memperoleh pengetahuan lewat pengenalannya dengan obyek yang nampak nyata dalam realitas yang dihadapi atau yang ditemuinya (Dewantara, 2018). Adapun Ia berpandangan tentang eksistensi Tuhan yang dapat dijumpai melalui argumennya tentang lima jalan untuk membuktikan keberadaan Tuhan. Pembuktiaan tentang eksistensi Tuhan ini, menunjukan bahwa keberadaan sang Maha Hadir sungguh dapat dijumpai. Lantas siapakah Thomas Aquinas?
Thomas Aquinas lahir di Roccasecca, dekat Aquino, Italia tahun 1225. Thomas Aquinas merupakan filsuf dan teolog Kristen. Karyanya yang terbesar adalah Summa Contra Gentiles, dan Summa theologica. Thomas Aquinas mempercayai pencocokan filosofi pengadengan ajaran-ajaran gereja (Sumanto, 2017). Melalui konsep pemikirannya, Ia Menyusun secara rasional argumen tentang eksistensi Tuhan dalam karyanya yang terkenal yaitu dalam summa theologica. Adapun Thonmas Aquinas dalam argumennya mengungkapakan pembuktiaan adanya Tuhan yang dikenal dengan sebutan lima jalan atau Quingue Viae. Menurut Thomas Aquinas akal manusia bisa mengenal Allah. Ia memberi lima jalan (quinque viae) yang berangkat dari lima fenomena di dunia ini (Jansman Rufinus Sihaloho, 1996). Thomas Aquinas sendiri adalah teolog abad pertengahan khususnya pada zaman skolastik yang paling besar. Ia tergolong murid Albertus Magnus. Melalui Albertus, Thomas Aquinas diajarkan tentang filsafat Aristoteles. Oleh karena pengajaraan Albertus Magnus, didalam proses belajar mengajar Ia begitu memiliki kemahiraan yang mendalam tentang filsafat. Pandangan-pandangan filsafat Aristoteles tersebut diselaraskan Thomas Aquinas dengan pandangan-pandangan yang ada dalam alkitab. Thomas Aquinas wafat di Fossanuova di sebuah biara pada tahun 1274 pada tanggal 7 maret. Untuk mengenal lebih dalam tentang argumennya berikut penjelasaan tentang lima jalan (Quingue Viae) untuk mengenal keberadaan Tuhan menurut Thomas Aquinas.
Argumen Quingue Viae “lima jalan” pembuktiaan adanya Tuhan: Thomas Aquinas
· Argumen penggerak yang tidak digerakan (motor immobilis)
Berikut ini merupakan jalan pertama dari lima jalan pemikiran Thomas Aquinas dan pembuktian tentang adanya Tuhan. Menurut Thomas, sebagaimana diambilnya dari Aristoteles, segala sesuatu yang berubah dan bergerak digerakkan oleh sesuatu yang lain. Thomas mengatakan: “Omne quot movetur ab alio movetur”. Ini berarti segala sesuatu tidak pernah digerakkan oleh dirinya sendiri. (Simplesius Sandur, 2020). Sesuatu yang lain itu merupakan penggerak tertinggi yang menggerakan segala sesuatu. Berdasarkan maksud Thomas Aquinas ini, dapat digaris bawahi bahwa segala sesuatu tidak dapat bergerak sendiri tetapi bahwa ada penggerak yang menggeraki segala sesuatu itu. Disini ditujukan kepada maksud yang ada pada realitas didunia. Pernyataan ini dapat diilustrasikan dengan sebuah tongkat bahwa tongkat akan beregerak ketika ada yang menggerakan tongkat tersebut. Begitu pula dengan si penggerak bahwa Ia tidak dapat digerakan oleh yang lain, karena Ia sendiri adalah sumber pengerak segala sesuatu itu. Penggerak utama itu adalah Tuhan.
· Argumen penyebab yang tidak disebabkan (causa non causata)
Berikut penjelasaan pada jalan yang kedua bahwa, pada dunia ini dapat disaksikan penyebab yang menjadikan penyebab segala sesuatu, dimana segala sesuatu terjadi disebabkan karena adanya penyebab. Ini membuktikan bahwa tidak ada segala sesuatu tanpa penyebab. Dengan kata lain, dalam setiap realitas, tidak mungkin ada suatu penyebab bagi dirinya sendiri. Ia ada karena ada sesuatu yang lain yang menjadi penyebabnya. Karena segala sesuatu tidak mungkin menjadi penyebab bagi dirinya sendiri, maka pasti ada suatu penyebab pertama atau sesuatu yang tidak disebabkan untuk menjadi sesuatu yang lain. Penyebab inilah yang disebut sebagai Tuhan. Dalam hal ini, Tuhan adalah penyebab efisien semua yang ada, sementara keberadaannya tidak disebabkan oleh yang lain. Tuhan adalah penyebab pertama yang tidak disebabkan (Simplesius Sandur, 2020). Eksistensi Allah menurut Thomas Aquinas dapat terbukti pada jalan kedua ini. Bahwa penyebab yang yang tidak disebabkan oleh yang lain ini, ahkirnya terbukti yang menyebabkan segala sesuatu yang lain berupa realitas.
· Argumen Kosmologi dan kontingensi
Pada penjelasaan jalan ketiga, Dari sini terlihat dengan jelas ide Thomas Aquinas, berasal dari pengalaman inderawi bahwa ada yang ada karena kemungkinan yang muncul kemudian lenyap, lalu ada yang merupakan ada ‘wajib” yang tidak dapat lenyap atau hancur dan inilah yang disebut sebagai ada “wajib” yang dinamakan sebagai Tuhan.(Simplesius Sandur, 2020). Adapun ada yang akan lenyap dan hancur adalah manusia sendiri namun ada yang wajib tidak dapat lenyap. Keberadaan yang ada atau eksistensi “wajib” dimana keberadaanya dihubungkan dengan realitas indrawi yang dapat ada dan suatu waktu bisa lenyap, pasti ada realitas yang tidak dapat berhenti untuk ada dan keberadaanya adalah suatu kewajiban, dan itulah Tuhan.
· Argumen tingkatan kesempurnaan (gradibus)
Pada bagian penjelasaan jalan keempat ini, Thomas Aquinas mengutarakan tentang tingkatan kesemprnaan dimana eksistensi Tuhan lebih sempurna. Dalam dunia dikenal dengan berbagai macam kesempurnaan yang berbeda. Ada tumbuh-tumbuhan yang cantik, ada yang layu, ada hewan yang berlari lamban dan ada yang berlari sangat cepat, ada manusia bijak, dan ada juga malas dan lain sebagainya. Disini digaris bawahi bahwa, Tuhan adalah kesempurnaan dari semua kesempurnaan di bumi ini. Dialah yang terbaik. Thomas Aquinas mengatakan bahwa maksimum dari genus atau kesempurnaan pada genus adalah penyebab dari sesuatu yang ada dalam genus tersebut. Bahwa penyebab dari kesempurnaan itu berasal dari sang pemberi yaitu Tuhan sendiri.
· Argumen teleologis atau argumentasi rancangan (gubernatione rerum)
Pada bagian yang kelima ini, Thomas Aquinas, menyatakan tentang tujuan. Telelogis sama dengan ahkir, sasaran dan tujuan. Bahwa segala sesuatu bergerak menuju tujuan. Jika segala sesuatu ingin mencapai tujuannya haruslah ada agen untuk menngerakannya. Sebuah anak panah tak dapat bergerak jika tidak ada yang menggerakannya menuju tujuannya. Segala sesuatu dirancang dan akan kembali kepada tujuan ahkir yakni Tuhan.
KESIMPULAAN
Quingue Viae “lima jalan” yang dikemukakan Thomas Aquians dalam karyanya Summa theologica merupakan jawaban atas pertanyaan yang meragukan tentang keberadaan Tuhan. Adapun peristiwa pada abad pertengahan ketika banyak orang terpengaruh oleh berbagai aliran pemikiran, Thomas Aquinas berusaha melalui konsep pemikiranya memperjuangkan agar manusia paham dan percaya bahwa eksistensi Tuhan dapat dibuktikan. Pembuktiaan tentang adanya Tuhan dikonsepkan oleh Thomas Aquinas dalam argumennya yang dikenal dengan lima jalan. Pemikiraan Thomas Aquinas ini sungguh membantu realitas manusia kala itu, bagaimana seharusnya meyakinkan keberadaan Tuhan menggunakan akal dan menghubungkannya dengan iman. Thomas Aquinas melalui pemikirannya berusaha menyatukan rasio dan iman sebagai konsep dasar pemikiran yang saling berhubungan dan tidak dapat keliru. Maka dengan itu jelas terlihat dalam argumen lima jalan pembuktiaan adanya Tuhan, tertera dengan jelas uraian tentang eksistensi Tuhan yang mudah dipahami. Adapun diketemukan hal-hal berupa kebenaraan yang bisa dijadikan acuaan bahwa sesungguhnya pemikiraan Thomas Aquinas bisa dibenarkan. Dari beragam penejelasaan diketemuakan unsur-unsur pengajaraan yang membenarkaan posisi Allah di dunia dan bagaimana Thomas Aquinas menguraikan tentang Allah melalui alam dan menghubungkannya dengan penghuni yang mendiami alam. Oleh karena itu, melalui apa yang diungkapkan oleh Thomas Aquinas tentang lima jalan mengenal keberadaan Tuhan dapat disimpulkan bahwa, Tuhan ada dan hidup dimana saja, sejauh manusia menyadari bahwa Tuhan sedang ada dan hidup berdampingan bersamanya.
DAFTAR PUSTAKA
Dewantara, A. W. (2018). Merefleksikan Tuhan Dalam Perspektif Metafisika, Dan Relevasinya Bagi Multikulturalisme Indonesia. JPAK: Jurnal Pendidikan Agama Katolik, 16(8), 3–18. https://doi.org/10.34150/jpak.v16i8.74
Dewi, N. R. S. (2021). Konsep Ketuhanan Dalam Kajian Filsafat. Abrahamic Religions: Jurnal Studi Agama-Agama, 1(2), 146–158. https://jurnal.ar-raniry.ac.id/index.php/abrahamic
Hartaka, I. M., & Ardiyani, L. P. C. (2020). Berbagai Sikap Terhadap Eksistensi Tuhan Pada Era Industri 4.0. Jurnal DJKN, 2(1), 13–27.
Jansman Rufinus Sihaloho. (1996). Argumen Ontologis Thomas Aquinas. Jurnal Filsafat, 23–27.
Kuswanjono, A., & Filsafat, B. P. (2014). M.Baharudin, konsepsi Ketuhanan....... Al-AdYaN, IX, 35–58.
Simplesius Sandur. (2020). Kritik Dawkins Terhadap Lima Jalan Pembuktian Eksistensi Allah Thomas Aquinas. Jurnal Filsafat Dan Teologi Katolik, 3(2), 34–57. https://doi.org/10.58919/juftek.v3i2.32
Sumanto, E. (2017). Pemikiran Filsafat Politik (Studi Komperatif Al-Farabi dengan Thomas Aquinas). El - Afkar : Jurnal Pemikiran Keislaman Dan Tafsir Hadis, 6(2), 1–12.
Zubaidi, S. (2011). Antara Teodisi dan Monoteisme: Memaknai Esensi Keadilan Ilahi. Tsaqafah, 7(2), 247. https://doi.org/10.21111/tsaqafah.v7i2.2
OPINI
Mengutus untuk Melayani: Refleksi Filsafat tentang Kepemimpinan Yesus
Fr. Dandy Baru
Wacana tentang kepemimpinan akhir-akhir ini menjadi trending topic yang meresahkan bagi masyarakat di berbagai kalangan. Hampir setiap orang menarasikan bagaimana menjadi pemimpin yang bijaksana,baik,dan ideal sesuai dengan yang diinginkan. Banyak orang berargumen bahwa pemimpin hanya mementingkan loyalitas pribadi dibandingkan memikirkan kepentingan semua orang. Salah satu bentuk konkret yang dapat dilihat dari model kepemimpinan sekarang adalah mementingkan kebutuhan sebagian orang. Realitas ini secara singkat menggambarkan bahwa model kepemimpinan yang dijalankan tidak sesuai dengan kenyataan untuk membangun sebuah kehidupan yang baik bagi masyarakat, khususnya masyarakat kalangan menengah. Menilik realitas yang terjadi dalam model kepemimpinan tampak terjadi penyimpangan bahkan keadilan yang tidak merata bagi segelintir orang. Hal ini dibuktikan bahwa para pemimpin yang notabene sudah menjabat hanya sibuk mengurus kepentingan kaum tertentu bahkan dalam hal ini hanya mementingkan kepentingan semata atau keluarga yang membuat semua orang meresahkan. Model kepemimpinan yang menjadi landasan utama saat ini semestinya perlu menggarisbawahi kembali makna dan tujuan dari kepemimpinan yang sejati.
Kepemimpinan merupakan suatu kekuatan yang bisa menggerakan suatu kegiatan atau perjuangan untuk mencapai kesuksesan. Suatu kepemimpinan bisa diartikan juga dengan proses dalam mempengaruhi serta memberikan contoh dari pemimpin kepada kelompoknya dalam suatu organisasi demi mencapai tujuan bersama dalam kelompoknya. Pengertian kepemimpinan semacam ini jika dilihat secara baik dan dimaknai secara mendalam memiliki arti yang sangat besar semacam menuntun, mengarahkan, bahkan memimpin keluar dari kesesakan menuju suatu kehidupan yang lebih baik dan merata. Kepemimpinan yang menuntun seseorang keluar dari kesesakan dan ketidakadilan membentuk suatu relasi yang baik atau pemimpin dan pengikutnya yang dapat mendorong setiap orang dalam hal ini masyarakat menuju suatu ranah kebaikan dan keadilan yang merata. Pemahaman akan kepemimpinan yang bijaksana dan baik dapat mendorong masyarakat untuk tetap mempertahankan pemimpin yang terus berjuang untuk kesejahteraan bersama.
Perkembangan model kepemimpinan dari zaman ke zaman hingga saat ini mestinya terus dipicu dan dilandaskan pada etika kepemimpinan yang berjiwa keadilan, kesejahteraan dan bijaksana. Realitas praktik kepemimpinan yang menjadi perbincangan masyarakat saat ini adalah berjalannya proses antara masyarakat dan pemimpin, antara yang satu dengan yang lainnya. Pandangan ini tentu tidak sejalan dengan yang diharapkan, melihat bahwa para pemimpin hanya sebagai bukti dan nama saja dalam kelancaran menuju suatu kekuasaan. Kepemimpinan semacam ini hanya menggeserkan banyak nilai yang terkandung dalam dunia saat ini seperti lunturnya makna, simbol, dan arti sebagai pemimpin yang benar-benar memimpin. Jika kepemimpinan semacam ini terus dibiarkan begitu saja dan tidak direalisasikan dengan baik maka pemimpin akan terus hanyut dalam model kepemimpinan yang tidak sesuai, terus dininabobokan oleh kekuasaan yang dipimpinnya yang hanya melampaui kemampuan dan kemauannya sendiri. Penyalahgunaan kekuasaan yang dipimpinya ini menaikan “martabat” kaum elit dalam kekuatanya sebagai pemimpin dan di satu sisi dapat meluluhlantakkan kekuatan masyarakat menengah dalam menjalani kehidupannya akibat terus tertinggal. Pergerakan para pemimpin yang terus dan tidak terkontrol menjadi jurang pemisah yang dalam antara masyarakat dan pemimpinnya yang dapat merusak martabat setiap orang. kesenjangan makna antara kekuasaan dan ketidakadilan ini terus merajalela jika tidak ditindak dengan baik dan inilah satu penyebab yang turut melemahkan daerah atau wilayah yang dipimpinnya tidak pernah berkembang.
Merujuk pada pola kepemimpinan semacam ini mesti dilandaskan pada kepemimpinan yang mengutamakan kesejahteraan setiap orang dibandingkan kesejahteraan dirinya sendiri. Dalam hal ini semestinya setiap orang memiliki kemampuan dan jiwa kepemimpinan yang baik seperti yang diteladankan Yesus kepada para muridNya dan umatNya. Kepemimpinan Yesus Kristus telah menjadi teladan bagi banyak orang sepanjang sejarah. Melalui pengajaran dan tindakan-Nya, Yesus menunjukkan bahwa misi sejati bukan hanya tentang mengarahkan, tetapi juga tentang melayani. Di dunia yang sering kali menempatkan kekuasaan di atas pelayanan, penting untuk memikirkan bagaimana model kepemimpinan Yesus dapat diterapkan dalam konteks modern. Dengan teguh Yesus mencari kehendak BapaNya sebagai arah pelayananNya, Daripada sekedar merespons tuntunan populer setiap orang , Ia lebih berinisiatif menjalankan tugas dan tujuan sebagai pemimpin yang memprioritaskan semua orang. “ Marilah kita pergi ke tempat lain, ke kota-kota yang berdekatan, supaya di sana juga Aku memberitakan injil, karena untuk itu Aku telah datang” (Mark.1:38). Ajakan ini semestinya sebagai seorang pribadi yang berjiwa besar sebagai pemimpin mesti merefleksikan dan memaknai ajakan ini jika nantinya Ia diutus untuk memimpin ke suatu daerah.
Konteks kepemimpinan semacam ini sudah jelas sangat dibutuhkan dalam suatu komunitas atau masyarakat. Mereka sangat merindukan sosok pemimpin yang benar-benar memperhatikan dan mengayomi seperti Yesus Kristus. Sosok pemimpin Yesus Kristus ini benar-benar tidak ada habisnya sehingga seandainya Ia membiarkan orang banyak itu menentukan masa depan pelayananNya, Ia tidak akan pernah menyelesaikan pekerjaan yang telah Bapa percayakan kepadaNya, Ia tetap setia kepada BapaNya di Surga. Yesus mengajarkan bahwa misi utama-Nya adalah untuk melayani, bukan untuk dilayani. Dalam (Mark 10:45) Yesus menyatakan, "Sebab Anak Manusia juga datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan memberikan nyawaNya sebagai tebusan bagi banyak orang." Ini menekankan pentingnya sikap melayani dalam misi seseorang. Setiap orang diarahkan untuk melayani sesama yang membutuhkan pertolongan, melayani dalam hal ini bukan saja melayani sebagian orang tetapi melayani semua orang dimanapun diutus. Model kepemimpinan yang Yesus berikan tidak semata-mata dari dirinya sendiri. Ia diutus oleh BapaNya membawa kabar sukacita dan kegembiraan untuk semua orang bukan segelintir orang saja. Ia berkomitmen pada tujuan dan rencananya, Ia selalu sabar dan tabah dalam melayani umatnya dan memimpin umatnya. Kepemimpinan seperti yang Yesus jalankan ini semestinya diterapkan oleh pemimpin pada zaman sekarang. Kunci utama menjadi pemimpin yang berkualitas dan benar-benar mengemban suatu tugas adalah pemimpin yang setia jalan bersama masyarakatnya, disiplin seperti pemimpin yang menghamba, dan mampu membawa masyarakatnya menuju kesejahteraan dan kedamaian.
Prinsip kepemimpinan dan pelayanan yang Yesus berikan adalah bukti kasih dan cerminan sebagai suatu pemimpin yang mengutamakan kepentingan melayani bagi semua orang, Ia sangat mengutamakan tentang pelayanan kepada umatNya bahkan orang lain. Ia tidak hanya berbicara tentang pelayanan, tetapi juga menunjukkan dengan tindakan nyata melalui wujud perbuatanNya sehari-hari. Selama hidup-Nya, Yesus menghabiskan waktu bersama orang-orang yang terpinggirkan, seperti pemungut cukai, orang berdosa, dan orang sakit. Dengan melibatkan diri dalam kehidupan mereka, Yesus menunjukkan bahwa pemimpin sejati adalah mereka yang siap untuk melayani dan bukan siap untuk dilayani. Kepemimpinan yang Yesus berikan merupakan bukti tentang teladan, komitmen dan kesetiaan nya kepada rencana dan kehendak BapaNya. pelayanan yang Yesus berikan bukan sekedar kata-kata atau ungkapan saja tetapi pelayanan yang membutuhkan ketabahan bahkan pengorbanan diriNya sendiri demi semua orang . Dia mengajarkan bahwa pemimpin sejati adalah mereka yang rendah hati, siap melayani, dan berfokus pada kesejahteraan orang lain. Prinsip-prinsip ini mestinya dijalankan dan diterapkan oleh kepemimpinan dalam konteks modern ini, bagaimana kepemimpinan itu harus mendasarkan kunci utama yaitu mengutamakan keadilan bagi orang lain.
Teori kepemimpinan Filsafat Utilitarianisme memberikan satu argumen yang jelas bahwa model kepemimpinan yang berfokus pada tindakan yang menghasilkan manfaat terbesar bagi banyak orang. Teori ini jika dikaitkan dengan teori kepemimpinan yang dijalankan oleh Yesus mau merujuk pada model kepemimpinan Misi Yesus untuk memberi kehidupan yang lebih baik bagi banyak orang dan dapat dilihat sebagai bentuk utilitarianisme. Tindakan nyata yang Yesus berikan sebagai wujud kasihNya kepada umat adalah menyembuhkan orang yang sakit, memberi mereka tumpangan, membantu yang sedang kesusahan, dan menghimpun kembali yang tersesat, teori ini mencerminkan upaya untuk mencapai kebaikan, keadilan dan kesejahteraan bagi banyak orang dan bukan sebagian orang. Model kepemimpinan yang Yesus jalankan mestinya diterapkan dan dijalankan oleh mereka yang sedang mengemban tugas pada masa kepemimpinan saat ini. Bagaimana mereka harus mendahulukan kepentingan semua orang diatas kepentingan pribadi. Hal ini mau menunjukkan bahwa model kepemimpinan mesti dijalankan sesuai dengan tanggung jawab dan kesiapan untuk berkorban bagi semua orang. Semua ini dapat berhasil jika model kepemimpinan yang diterapkan benar-benar melandaskan dan meneladani model kepemimpinan yang mengutus dan melayani, seperti yang diteladankan oleh Yesus. Oleh karena itu, para pemimpin harus terus menjadi agen perubahan bagi kehidupan masyarakat menuju kualitas yang lebih baik.
MITOLOGI MUTIS: KONSEP TUHAN DAN KESUCIAN DALAM KEPERCAYAAN MASYARAKAT MOLO (SUKU DAWAN / ATONI)
Fr. Anggi Tamonob
Masyarakat suku Dawan yang juga dikenal dengan sebutan suku atoni atau atoin meto (orang kering) merupakan suku terbesar di pulau Timor Indonesia. Suku ini mendiami wilayah Barat Pulau Timor, mulai dari daerah Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU) sampai dengan Kabupaten Kupang. Seperti suku-suku lain di Indonesia, suku Dawan memiliki sistem kepercayaan yang unik. Dalam kepercayaan tradisional atau konsep ketuhanan menurut suku Dawan, terdapat struktur kepercayaan yang terdiri dari tiga paham, yakni Uis Neno, Uis Pah, dan Uis Nitu.
Menurut Drs. Mikhael Valens Boy, Lic. Bib., dosen fakultas Filsafat, UNWIRA Kupang, dalam penelitiannya tentang kultur keagamaan Hauteas masyarakat Dawan, pengertian Uis Neno atau Uis Neno Mnanu yang berarti Tuhan langit yang tinggi merupakan Allah tertinggi (Supreme God) bagi manusia Dawan yang dipercaya sebagai penguasa dunia atas (memiliki posisi tertinggi dalam kosmos masyarakat Dawan); kemudian pada kelas yang kedua ada Uis Pah atau Tuhan Bumi merupakan manifestasi dari Tuhan Langit (Uis Neno) yang menguasai ‘dunia bawah/bumi’; sedangkan Uis Nitu atau Bei – Nai merupakan para leluhur yang bertugas sebagai perantara antara manusia dengan Tuhan Langit (Uis Neno Mnanu) dan Tuhan Bumi (Uis Pah).
Dari penjelasan singkat tentang konsep Tuhan menurut filsafat masyarakat suku Dawan, kemudian dipahami bahwa masyarakat suku Dawan dengan pengaruh kepercayaannya sangat menghargai segala macam bentuk kosmos yang ada di alam semesta. Keyakinan masyarakat suku Dawan juga berpengaruh pada perspektif mereka mengenai keluhuran dan kesakralan/kesucian alam di sekitar mereka. Karena itu, mereka (suku Atoni) sangat menghargai alam tempat mereka tinggal.
Beberapa waktu terakhir hingga saat ini, terjadi perdebatan antara pemerintah dan masyarakat suku Dawan, secara khusus masyarakat Molo, mengenai status Gunung Mutis yang hendak diturunkan oleh pemerintah dari status cagar alam menjadi taman wisata. Walaupun pemerintah sudah mencoba membangun negosiasi bersama masyarakat adat dengan alasan demi meningkatkan perekonomian masyarakat, tetap saja terjadi penolakan besar-besaran hingga ada upaya-upaya berupa upacara adat dari masyarakat hanya untuk menolak kebijakan tersebut. Sekarang pertanyaannya, mengapa masyarakat Atoni, khususnya masyarakat Molo dan masyarakat di daerah Timor Tengah Selatan (TTS) dan Timor Tengah Utara (TTU) menolak penurunan status yang dirancang oleh pemerintah? Padahal kebijakan ini juga demi kebaikan masyarakat setempat, yang mana dapat meningkatkan perekonomian masyarakat.
Sebenarnya, penolakan ini bukan hanya oleh masyarakat suku Dawan saja, tapi juga oleh berbagai pihak, misalnya oleh politikus Ansy Lema yang mengingatkan bahwa penurunan status ini memiliki resiko besar bagi kelangsungan hidup masyarakat yang bergantung pada sumber daya alam di Mutis. Selain itu, perlawanan dari masyaraka Molo sendiri disebabkan oleh keyakinan mereka bahwa Gunung Mutis yang hendak diturunkan statusnya oleh pemerintah adalah tempat yang suci dan merupakan tempat tinggal Tuhan yang diyakini masyarakat Atoni, yakni Uis Neno, Uis Pah, dan Uis Nitu.
Dalam kebudayaan suku Atoni, mereka melihat dan mengenal obyek-obyek yang kelihatan dalam tatanan alam sebagai simbol-simbol yang merepresentasikan hal-hal yang tidak kelihatan, dianggap suci, memiliki kekuatan magis dan sangat berpengaruh dalam kehidupan mereka. Masyarakat Molo percaya bahwa Gunung Mutis merupakan gunung yang suci, yang mengalirkan sumber kehidupan bagi mereka. Menurut mitologi masyarakat Molo, Gunung Mutis merupakan tempat leluhur mereka berasal, dan juga percaya bahwa ketika mereka meninggal, arwah mereka akan kembali ke tempat leluhur mereka berasal (Gunung Mutis).
Masyarakat Molo yakin bahwa Gunung Mutis merupakan sumber kelimpahan berkat bagi kehidupan mereka dan Gunung Mutis sebagai tempat tinggal roh leluhur mereka. Karena itu, Gunung Mutis merupakan tempat yang suci dan patut untuk dihargai dan dijaga oleh masyarakat Molo.
Kesakralan dan kesucian Gunung Mutis sangat dijaga oleh budaya masyarakat Molo karena selain dianggap sebagai tempat asal dan tempat tinggal leluhur mereka, mereka juga meyakini bahwa Gunung Mutis merupakan tempat tinggi yang menjadi takhta Uis Neno atau Tuhan langit yang memberi mereka berkat kehidupan – Uis Neno ini yang kemudian diterjemahkan dalam metafora kekristenan, yaitu Tuhan bersemayam di Gunung-Nya yang Kudus dan hanya orang yang bersih tingkah-lakunya yang boleh naik ke Gunung Tuhan.
Dengan meyakini Gunung Mutis sebagai takhta Uis Neno, maka menurut mayarakat Molo orang yang kotor hati tidak boleh naik ke gunung ini. Dalam pengertian positifnya, orang yang hendak pergi ke Gunung Mutis harus memiliki motivasi hati yang benar. Apabila sebaliknya, orang yang pergi ke gunung ini dengan motivasi hati yang buruk, maka orang itu tidak akan mencapai gunung tersebut, melainkan sebaliknya orang tersebut akan mendapat malapetaka seperti tersesat di jalan, atau hal lain yang lebih buruk lagi, yakni orang tersebut bisa saja hilang dan tidak akan pernah ditemukan lagi.
Dengan keyakinan yang demikian, maka masyarakat Molo sangat menghargai dan menjaga eksistensi Gunung Mutis. Kekayaan nilai yang ada yang ada pada Gunung Mutis menjadi identitas masyarakat suku Dawan, khususnya masyarakat Molo dan masyarakat TTS dan TTU. Karena itu, sudah menjadi kewajiban bagi masyarakat suku Molo – dan masyarakat Dawan TTS dan TTU – untuk menjaga dan melestarikan nilai-nilai kearifan lokal yang ada. Selain itu, pemerintah juga wajib untuk menjaga keluhuran nilai Gunung Mutis ini bersama masyarakat, dan bukan malah dengan niat untuk mencari keuntungan ekonomi hendak menurunkan status Gunung Mutis yang beresiko merusak ekosistem dan menghilangkan nilai-nilai kearifan lokal yang ada. Karena Tuhan tinggal di Gunung Mutis (konsep Tuhan menurut filsafat masyarakat Molo), maka penulis mengajak masyarakat suku Dawan dan seluruh masyarakat Indonesia untuk menjaga kesucian gunung ini dan menjaga kekayaan nilai kearifan lokal yang dimiliki masyarakat suku Dawan pada khususnya, dan bangsa Indonesia pada umumnya dari tangan-tangan orang yang datang hanya untuk merusak dan menghilangkan nilai-nilai yang ada demi memenuhi hasrat ego dalam diri mereka.
Yesus: Jembatan Iman dan Akal
Fr. Milty Tampani
Pengantar
Tema yang ditawarkan dalam mading edisi bulan Desember adalah Yesus dalam kacamata filsafat. Saya kemudian mencoba mencari beberapa acuan untuk yang berkaitan dengan tema ini. Dalam pencarian tersebut saya menemukan suatu pemahaman mengenai iman dan akal yang sejatinya saling melengkapi. Memang tidak bisa dipungkiri bahwa akal saja tidak cukup untuk mencapai keselamatan. Akan tetapi akal mempunyai peranan besar dalam pemahaman iman sebagai tanggapan atas wahyu Allah.
Dalam ensiklik Fides et Ratio yang dikeluarkan oleh Paus Yohanes Paulus II, iman dan akal itu bagaikan dua sayap manusia untuk terbang tinggi pada suatu kontemplasi tentang kebenaran. Iman (fides) adalah bagian yang menekuni bidang refleksi teologis; sedangkan akal (ratio) menjadi bidang yang menekuni bidang filsafat dan pemikiran-pemikiran kritis. Kendati demikian, kedua hal ini memunculkan suatu perdebatan yang masif terkait dengan “mana yang lebih penting”? Pertanyaan ini kemudian memunculkan dua model pemikiran. Orang Kristen tentunya akan menganggap iman sebagai suatu hal yang sangat penting di atas segalanya. Di lain pihak, ada yang menjadikan rasio sebagai sebagai standar dari segala bentuk kebenaran. “Kalau tidak masuk akal berarti itu bukan kebenaran”. Perdebatan di atas pada akhirnya membawa kekristenan pada dua model yaitu:
1. Tidak perlu memakai rasio, terima semuanya dengan iman
2. Akal atau rasio menjadi standar kebenaran
Untuk bisa keluar dari persoalan ini maka pertama-tama yang harus dipahami adalah iman dan akal yang merupakan bagian yang tak bisa dipisahkan. Iman membimbing akal, akal memperkuat iman. Iman dan akal bukanlah dua hal yang bertentangan, melainkan dua sisi dari mata uang yang sama. Iman memberikan arah, sedangkan akal memberikan pemahaman. Keduanya saling melengkapi dan bekerja sama untuk membawa manusia menuju kehidupan yang berarti.
Definisi Iman dan Akal
Kata Iman dalam bahasa Ibrani, berasal dari kata “Emun”, yang berarti kesetiaan, dan kata “Batakh”, yang berarti percaya. Peter Kreeft dan Ronald K. Tacelli memberikan pendapat sebagaimana yang dijelaskan Suanglangi bahwa iman bukan hanya percaya tetapi rela mengorbankan diri dalam kepercayaan itu. Lebih lanjut, penulis Ibran memberikan definisi iman, yaitu “dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat (Ibr. 11:1).
Akal berasal dari bahasa Arab, yaitu “aql”, yang memiliki makna kemampuan manusia untuk memahami sesuatu, membedakan antara yang benar dan yang salah, serta mengambil keputusan yang rasional. Seiring dengan perkembangan zaman, makna “akal” semakin ‘bervariasi’. Misalkan dalam aspek filsafat, akal sering dikaitkan dengan kemampuan berpikir abstrak dan bernalar guna memahami konsep-konsep yang kompleks; sedangkan dalam konteks agama akal diposisikan sebagai anugerah Tuhan yang membedakan manusia dengan makhluk lain.
Yesus: Jembatan Iman dan Akal
Selama berabad-abad, banyak orang berdebat tentang hubungan antara iman dan akal. Beberapa memberikan pendapat bahwa keduanya bertentangan, sementara yang lain percaya bahwa keduanya saling melengkapi. Di antara pertentangan ini kemudian muncul sebuah pemahaman bahwa pribadi Yesus merupakan jembatan yang menghubungkan dua hal ini. Kristus sebagai perantara antara manusia dan Allah dalam ajaran Kristen, berdasarkan Alkitab dan teologi Kristen. Allah yang merupakan sumber iman menjumpai manusia sebagai makhluk rasional melalui perantaraan Yesus.
Ensiklik Fides et Ratio menjelaskan bahwa dalam berbagai zaman, manusia tidak berhenti mencari dan bertanya tentang kebenaran, hakikat manusia dan alam semesta, dan realitas yang dialaminya. Pencarian manusia ini diawali dengan pencarian terhadap diri sendiri dan alam di sekitarnya kemudian akal budi naik untuk mencari Tuhan yang dirasakan sebagai sumber dan esensi dari segala sesuatu. Kemudian neurosains memberikan suatu pernyataan yang dianggap sangat bertentangan dengan iman Kristiani. Neurosains mengatakan bahwa rasa kagum dan heran akan misteri Tuhan merupakan suatu tindakan irrasionalitas, hanya tipuan otak dan dengan hal ini manusia sebenarnya masih berada dalam pengaruh ‘candu agama’. Oleh karena itu, Paus Yohanes Paulus II mengkritisi hal ini dalam ensiklik Fides et Ratio. Yohanes Paulus II mengatakan bahwa tidak dapat dipungkiri bahwa secara kodrati akal budi tidak mampu sampai pada sang pencipta. Dengan demikian adanya suatu jurang pemisah antara iman dan akal budi. Meskipun demikian, selama akal budi terus terbuka dan mencari, ada peluang untuk menemukan dan menerima kebenaran. Pada intinya bahwa iman dan akal dalam pemahaman mengenai Allah tidak bisa dibiarkan berdiri sendiri. Keduanya harus tetap berdampingan agar bisa terciptanya keseimbangan arah tujuan yang hendak dicapai.
Iman dapat dipandang sebagai sebuah konstruksi mental yang terdiri dari keyakinan-keyakinan tentang dunia, diri sendiri, dan hubungan dengan entitas yang lebih tinggi. Iman berfungsi memberikan makna, tujuan dan rasa aman bagi individu. Iman diperoleh melalui proses atau pengalaman perjumpaan sosial, pendidikan agama dan pengalaman pribadi yang membentuk kepercayaan individu. Sedangkan akal merupakan hal yang secara naluriah diperoleh sejak lahir. Akal memungkinkan individu untuk dapat berpikir secara kritis terkait dengan segala bentuk persoalan yang dijumpai. Selanjutnya untuk dapat menghubungkan dua hal ini, pribadi Yesus menjadi suatu jembatan yang dapat menghubungkannya. Yesus bagi orang Kristiani dipahami sebagai prototype manusia yang sempurna. Berbagai peristiwa yang terjadi pada diri Yesus sudah mengisyaratkan hubungan akan kedua hal ini. Misalnya mukjizat yang dilakukan oleh Yesus. Di satu sisi, hal ini merupakan misteri yang melampaui pemahaman manusia, namun di sisi lain, Yesus melalui peristiwa ini mengajarkan suatu tindakan kasih yang bertujuan untuk membantu orang lain.
Keberadaan “iman” diartikan sebagai serangkaian keyakinan yang diterima tanpa bukti empiris langsung, sementara "akal" merujuk pada proses kognitif yang melibatkan penalaran, logika, dan evaluasi bukti. Kehadiran Yesus sebagai jembatan penghubung antara iman dan akal, menjembatani segala hal-hal yang duniawi (akal) kepada yang insani (iman). Ajaran-ajaran yang Yesus sampaikan merupakan suatu pengajaran yang sifatnya abstrak, tidak bisa dipahami secara ‘lurus’. Akibat dari ketidakjelasan inilah yang akan memunculkan berbagai pertanyaan terkait dengan makna dari setiap pengajaran tersebut. Maka, di sini Yesus sebenarnya memaksa agar semua pengajaran tersebut dapat diterima secara secara personal dan dipahami dengan iman. Dengan pemahaman atas dasar iman yang kemudian dapat memberikan pengertian yang bisa diterima akal sehat manusia.
Penutup
Yesus sebagai jembatan iman dan akal merupakan fenomena yang kompleks dan menarik untuk dikaji. Dengan menggunakan pendekatan kognitif, kita dapat memahami bagaimana iman dan akal saling berinteraksi dalam membentuk pengalaman keagamaan individu. Namun, perlu diingat bahwa kajian ini tidak bertujuan untuk membuktikan atau menyangkal kebenaran klaim teologis tertentu, melainkan untuk memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang proses kognitif yang mendasarinya. Konsep Yesus sebagai jembatan antara iman dan akal merupakan sebuah pandangan yang mendalam dalam teologi Kristen. Ini menunjukkan bahwa iman pada Yesus tidak bertentangan dengan penggunaan akal, tetapi justru saling melengkapi.
Referensi
Anakotta, Elka. “Titik Temu Hubungan Iman Dan Akal: Suatu Telaah Kritis Atas Evolusi Kesadaran Dalam Perspektif Teori Teilhard de Chardin.” Disertasi, 2008.
Despriyantie, Yuwita, Natalia Natalia, Yohana Katerina Tinopi, and Sarmauli Sarmauli. “Kristus Sebagai Jembatan: Peran Kristus Dalam Memediasi Perjumpaan Dengan Allah.” Jurnal Silih Asah 1, no. 2 (2024): 93–100.
Riyanto, Armada. “Fides et Ratio Menggagas Pertautan Teologi Dan Filsafat plus Implikasinya Dalam Terang Ensiklik Fides et Ratio.” Philosophy and Theology 1, no. 1 (2001): 1–28.
Suanglangi, Hermanto. “Iman Kristen Dan Akal Budi.” Jurnal Jaffray 2, no. 2 (2005): 43. https://doi.org/10.25278/jj71.v2i2.160.
Susanto, Christine. “Menilik Neurologi Dalam Perspektif Fides et Ratio.” Lux et Sal 3, no. 1 (2016): 39–47. https://jurnal.imavi.org/index.php/luxetsal/article/download/89/55.
Thalib, Muh. Dahlan, MA. “Konsep Iman, Akal Dan Wahyu Dalam Al-Qur’an.” Al-Ishlah: Jurnal Pendidikan Islam 20, no. 1 (2022): 9–29. https://doi.org/10.35905/alishlah.v20i1.2661.
Yotham, Yohanes. “Iman Dan Akal Ditinjau Dari Perspektif Alkitab.” Jurnal Simpson: Jurnal Teologi Dan Pendidikan Agama Kristen 2, no. 1 (2015): 40–41.
REFLEKSI
Akulah Jalan Kebenaran dan Hidup (Yohanes 14:6)
Fr. Mardy Dawa
Hidup adalah sebuah perjalan yang harus di tapaki secara aktual. Hidup yang dijalani baik secara sadar maupun tidak sadar adalah tanggungjawab setiap manusia. Dalam kehidupan nyata tentunya bukan sesuatu yang gampang dan rumit hidup itu dijalani, melainkan diantaranya harus ada keseimbangan yang nampak. Baik hidup maupun kehidupan yang dijalani, banyak orang yang beranggapan bahwa hidup itu rumit dijalani dan bahkan ada yang putus asa untuk menjalani hidupnya. Hal ini berpengaruh atas kekuatan dan kemurnian jiwa serta raga yang tidak dikukuhkan secara matang. Jiwa dan raga yang tanpa dikendalikan secara baik maka akan berpengaruh atas seluruh kehidupan yang dijalani. Manusia itu hidup namun dalam kehidupannya telah mati dan tidak berpengharapan. Seorang Filsuf terkenal Aristoteles mengatakan demikian, jiwa seperti inti dari tubuh, makhluk hidup tanpa adanya jiwa maka dia tidak akan bisa menjalani hidupnya semaksimal mungkin. Jika jiwa tidak menyatu dengan tubuh maka jiwa hanya dilihat dari sisi-sisi yang berbeda tidak menyatu dengan tubuh. Disebut jiwa karena keberadaanya suatu yang aktif dalam fisik seseorang dalam melakukan tindakannya.
Pemazmur mengatakan demikian; Hanya Pada Allah Jiwaku Tenang, Dia Allah Keselamatanku. Hal ini mengungkapkan bahwa manusia hanya pada Allah lah ia berteduh dan memperoleh kedamaian. Segala kekuatan baik yang keliatan maupun yang tak kelihatan semuanya ada pada Tuhan. Tanpa adanya campur tangan Tuhan dalam hidup manusia akan hidup sia-sia. Dalam perikop Injil Yohanes menjelaskan juga demikian; Akulah Jalan kebenaran dan Hidup. Disini Yesus mengatakan dirinya sebagai Jalan Kebenaran dan Hidup; Barangsiapa yang melalui Aku akan memperoleh kehidupan kekal dan Barangsiapa yang tidak melalui Aku akan binasa. Yesus menegaskan bahwa manusia yang tidak melalui diri-Nya akan binasa. Manusia terkadang dalam hidupnya menanggalkan Tuhan jika hidupnya memperoleh kelimpahkan, baik harta dan lain sebagainya. Ia tidak sadar bahwa segala kelimpahan yang ia peroleh adalah campur tangan Tuhan itu sendiri. Dan juga manusia itu sendiri mengibaratkan Tuhan seperti obat dalam hidupnya. Ia hanya membutuhkan Tuhan jika mengalami persoalan, musibah, kesakitan, kesedihan kelumpuhan dalam hidupnya. Dan terkadang juga menganggap dirinya kuat tanpa adanya bantuan dari Tuhan tetapi tidak sadar bahwa ia hidup dimuka bumi atas kehendak Tuhan dan kuasa-Nya yang dahsyat. Manusia tak perna sadar hal itu jika hidupnya sudah berkecukupan. Ia selalu dibutuhkan dengan keegoisan akan harta duniawi.
Yesus juga mengangap diri-Nya sebagai kebenaran. Yesus adalah kebenaran sejati. Dan manusia hanyalah penyempurnaan kebenaran. Yesus datang kedunia atas dasar kehendak Bapanya di Surga yang adalah kebenaran itu sendiri. Sebagai penyelamat yang datang namun terkadang cipta-Nya yang mendiskriminasikan secara tidak baik dan melawatnya sebagai suatu yang tidak berguna di dunia ini. Atas dasar tindakan manusia tersebut selalu meletakan dan mebenarkan diri sendiri dalam bertindak. Manusia yang bersifat egois tentu tidak membiarkan dirinya diperlakukan secara tidak benar. Ia selalu menginginkan posisi dirinya yang paling benar dan baik. Berbeda dengan tindakan parang orang-orang bijak yang selalu merendahkanndiri dan selalu merasa diri bersalah dimanapun mereka berada. Sama halnya dengan Yesus juga, Ia selalu memposisikan dirinya sebagai orang yang rendah ahti dan penuh kesederhanaan. Yesus mel;akukan segalah sesuatu bukan sebagai manusiawinya melainkan dari Bapa-Nya di Surga yang telah mengutusnya kedunia. Kemanusian-Nya ada namun seluruh kehidupannya lebih dominan pada ke Allahan-Nya.
Yesus juga mengatakan dirinya sebagai kehidupan;Akulah Jalan Kebenaran dan Hidup. Tidak seorangpun yang datang kepada Bapa tanpa melalui Aku. Sebagai orang yang beriman kita sangat mengenal secara baik bahwa Yesus adalah sumber kehidupan itu sendiri. Percaya dan mengikuti perintahnya manusia akan mengalami kehidupan yang keal abadi. Kehidupan manusia pada umumnya berasal dari Allah maka dengan demikian manusia harus memenuhi janji akan Kristus untuk memuji dan memuliakan nama-Nya. Orang yang hidup dan tinggal di dalam Allah akan memperoleh anugerah-anugerah yang berlimpah. Maka dengan demikian sebagai makhluk ciptaan Tuhan harus sadar akan eksistensial sebagai manusia. Melakukan segala sesuatu tanpa melewati dan menguasai karya Allah. Berjalan dan berkaryalah sesuai tugas sebagai manusia, lakukanlah dengan penuh hati tanpa imbalan. Percayalah Tuhan telah berjanji; Barangsiapa yang datang kepada-Ku ia akan memperoleh keselamat. Tuhan tidak perna katup tangan dan tutup mata bagi orang yang melakukan segalah sesuatu dengan penuh iman. Mari datanglah semua yang letih lesu dan berbeban berat Aku akan memberikan kelegahan kepamu.
Yesus: Perpaduan Antara Dimensi Rohani dan Rasional Manusia
Fr. Andre Alfares
Yesus Kristus telah menjadi subjek kajian yang tidak pernah habis bagi berbagai disiplin ilmu, termasuk filsafat. Sebagai tokoh sentral ajaran agama Kristen, Yesus dikenal bukan hanya sebagai tokoh religius melayani manusia, tetapi juga manusiawi yakin terhadap manusia. Namun, tidak banyak yang memperhatikan selain dualitas keilahian-keinsanian Tuhan Yesus yang bersejarah itu adalah keilmuannya. Bagaimana filosofi pikirannya, tetapi itu adalah tentang diskusi lain. Meskipun tidak menjadi buku, tetapi pengajaran-Nya memuat filsafat yang dalam sekali, karena seluruh kehidupan manusia disentuhnya baik itu etika, antropologi, metafisika, dan sebagainya.
Salah satu tema utama dalam ajaran Yesus adalah pembebasan. Namun, pembebasan yang dimaksud bukanlah pembebasan dalam arti duniawi semata, melainkan pembebasan spiritual dari dosa dan keterikatan dunia. Dari sudut pandang filsafat eksistensial, Yesus mengajak manusia untuk menjadi sadar akan kebebasan sejati mereka: kebebasan dari rasa takut, rasa bersalah, dan pengaruh luar yang mengekang.
Filsuf Jean-Paul Sartre, misalnya, berbicara tentang "keberadaan mendahului esensi"—manusia bebas untuk menentukan makna hidupnya. Dalam konteks ini, Yesus mengajarkan bahwa kebebasan sejati ditemukan ketika seseorang memilih untuk hidup dalam kasih dan pengampunan, bukan dalam balas dendam atau nafsu egois. Ia tidak hanya membebaskan manusia dari struktur sosial atau politik, tetapi dari belenggu batin yang membuat kita teralienasi dari diri sejati kita.
Yesus seringkali menekankan pentingnya kasih, baik terhadap sesama maupun terhadap Tuhan. Kasih bagi Yesus bukanlah sekadar perasaan atau emosi, tetapi sebuah tindakan yang mengarah pada pengorbanan diri dan pelayanan kepada orang lain. Dalam pandangan filsafat moral, khususnya dalam tradisi filsafat Yunani kuno, kita dapat melihat konsep "agape" yang diusung oleh Yesus sebagai puncak etika humanis. Kasih ini lebih dari sekadar tindakan baik atau kebajikan, melainkan suatu prinsip hidup yang menuntut totalitas dan ketulusan.
Filsuf Immanuel Kant mengajarkan tentang "imperatif kategoris", yang menyatakan bahwa kita harus bertindak dengan cara yang dapat menjadi hukum universal bagi semua orang. Dalam hal ini, ajaran Yesus tentang kasih tanpa syarat bisa dilihat sebagai bentuk tindakan moral yang melampaui kepentingan pribadi, sejalan dengan konsep Kantian tentang kewajiban moral yang berlaku secara universal.
Yesus seringkali berbicara dengan cara yang tampaknya tidak logis menurut standar rasionalitas manusia. Misalnya, Ia mengajarkan bahwa "siapa yang ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayan" (Matius 20:26). Secara filosofis, ini bisa dipandang sebagai paradoks—suatu pernyataan yang bertentangan dengan logika duniawi. Dalam dunia yang mengutamakan kekuasaan dan pencapaian pribadi, ajaran Yesus tentang pelayanan sebagai bentuk kebesaran adalah sesuatu yang sangat menantang. Namun, dari perspektif filsafat dialektika, paradoks ini bisa dipahami sebagai bagian dari proses dialektik, di mana kebesaran sejati ditemukan dalam pengosongan diri dan pelayanan kepada orang lain. Yesus, dengan kata-kata dan tindakan-Nya, mengajarkan bahwa dalam kelemahan, terdapat kekuatan yang lebih besar, dan dalam memberi, kita menerima lebih banyak daripada yang kita berikan.
Memandang Yesus dalam kacamata filsafat membuka ruang untuk refleksi yang lebih dalam mengenai eksistensi, etika, dan makna hidup. Ajaran-ajaran-Nya tidak hanya relevan dalam konteks religius, tetapi juga memberikan kontribusi penting dalam diskursus filsafat tentang kebebasan, moralitas, penderitaan, dan pemahaman manusia tentang dirinya sendiri. Yesus, dalam perspektif filsafat, adalah sosok yang mengajak kita untuk merenungkan lebih jauh tentang siapa kita, apa tujuan hidup kita, dan bagaimana kita bisa hidup dengan lebih bijaksana dan penuh kasih.
CERPEN
“EKY DAN YESUS”
Fr. Marko Peka
Hari ini adalah hari terakhir dalam bulan November dan akan memasuki bulan baru yaitu desember. Di sebuah desa kecil ada seorang lansia bernama Eky yang sama sekali belum mengenal Tuhan. Pada waktu itu ada sebuah kunjungan pastor katolik untuk memberi pengakuan dan membaptis orang agar mereka menjadi percaya dan mengakui Yesus serta selalu ke Gereja dan menerima Ekaristi.
“Selamat siang bapa” ujar pastor itu dengan senyuman.
“Siang juga, kamu siapa yaa” ujar Eky dengan muka keheranan.
“Saya pastor Agus bapa, tujuan saya datang ke sini untuk memberikan pengakun serta membatis orang-
orang yang belum mengenal adanya Tuhan,” ujar pastor Agus.
Eky yang penuh kebingungan berkata dalam hatinya.
”Haa apa yang dia maksudkan, siapa itu Tuhan, memangnya siapa dia yang harus diyakini dan percaya,”
ujar Eky dalam hati.
“Memangnya saya harus dibaptis dan mengaku dosa saya?. Tuhan itu siapa kenapa saya harus mempercayai Dia,”ujar Eky dengan nada tanya.
“Begini bapa, Tuhan itu adalah yang Maha Esa, Ia penuh kasih setia dan adil bagi seluruh manusia, Ia penyabar dan tidak pendendam, Ia berasal dari sumber yang sulit dipahami akal budi manusia tapi barangsiapa yang percya kepadanya akan hidup kekal,” ujar pastor Agus dengan senyum.
Sontak Eky yang penuh kebingungan pergi meninggalkan pastor itu dan segera masuk ke dalam rumahnya lalu membanting pintu yang bertanda Eky menolak untuk dibaptis dan diberikan pengakuan. Dengan berat hati pastor itu pergi meninggalkan Eky dan rumahnya serta melanjutkan perjalanannya ke tempat-tempat lain untuk menobatkan dan membabtis orang-orang yang belum percaya. Malam yang sunyi itu membuat Eky selalu memikirkan apa yang telah dikatakan pastor itu. Setelah menyelesaikan makan malam dan membereskan semua peralatan makannya, Eky berjalan masuk menuju kamarnya untuk segera istirahat. Waktu itu sekitar jam 00:00, Eky mulai merasakan hal-hal yang mengganggu tidurnya, dalam mimpi Eky bertemu dengan seorang laki-laki yang menjulurkan tangannya ke hadapan Eky dan berkata,
“Wahai anakku kenapa kamu tidak percaya kepadaku dan kamu begitu jauh dariku, bertobatlah dan ikutilah aku,”ujar orang asing itu dalam mimpi Eky dan seketika itu Eky tersadar dari tidurnya dan merasakan ketakutan.
***
Hari mulai pagi setelah bermimpi, Eky melanjutkan pekerjaan yang biasa dilakukannya diumurnya yang tua itu. Ketika Eky sedang menyapu halaman rumahnya ia dikejutkan oleh warga yang berjalan dengan bergerombolan hendak menuju suatu tempat. Dengan penuh penasaran Eky membuntuti mereka dengan diam-diam, sesampainya di tempat itu ia penuh keheranan melihat sebuah bangunan tua yang besar yang memiliki dua menara berada di bagian kiri dan kanan dan terdapat salib besar yang berada tepat di tengah-tengah bangunan tua itu. Sontak terdengar suara pintu yang dibuka dan ternyata yang keluar dari dalam gedung itu adalah Pastor Agus, penuh keheranan Eky berbicara dalam hatinya.
”Apakan ini tempat tinggal pastor itu, wah rumahnya sangat besar dan bagus, apakah dia orang kaya,”ujar Eky dalam hatinya.
“Selamat pagi bapa-bapa dan mama-mama semua, maaf menunggu lama di luar yaa tadi saya masih menyiapkan perlengkapan yang perlu digunakan saat pembabtisan dan pengakuan bapa dan mama semua,”ujar pastor Agus dengan tersenyum yang lebar dan ramah.
Sontak Eky terkejut ketika rombongan yang ia ikuti adalah rombongan yang sudah percaya pada Tuhan dan mau dibaptis. Eky pun mulai mundur dengan perlahan agar ia tidak ketahuan oleh pastor itu dan menolak untuk dibaptis dan dinobatkan. Dari kejauhan pastor Agus melihat Eky dan memanggilnya,
”Bapa Eky ayo masuk ke gereja untuk dibaptis supaya bapa mengenal Tuhan lebih dalam,”mendengar kata gereja ia menyadari bahwa Gedung tua dan besar itu adalah gereja Eky beranjak dari tempat itu dan berlari meninggalkan tempat itu serta meninggalkan semua orang yang ada disitu. Sesampainya di rumah Eky kembali termenung hal yang ada dimimpinya semalam dengan yang dikatakan oleh pastor Agus. Eky kembali berpikir apa maksud semua ini dan ia berbica dalam hatinya,
”Ada apa dengan diriku, kenapa mimpi semalam sama persis dengan perkataan pastor itu, aku sama sekali belum mengerti dan masih bingung kenapa ada dalam mimpiku, apakah ini tanda dalam hidupku,”ujar Eky dalam hatinya dengan muka kebingungan.
“Ahh lupakan saja itu bukan urusanku, lagi pula aku tidak mengenal orang yang ada dalam mimpiku,”ujar Eky dengan nada bentak.
***
Malam pun tiba terang menjadi gelap dengan suasana yang membingungkan. Eky kembali dalam mimpinya ia bertemu lagi dengan orang yang sama dengan mimpi yang pertamanya, tetapi mimpi kali ini berbeda dengan yang sebelumnya karena orang yang ada dalam mimpinya sedang disiksa oleh algojo-algojo yang bermuka bengis dan membaringkan dia di sebuah kayu salib lalu memaku tangan dan kakinya serta menegakkan salibnya.
Penuh ketakutan Eky berteriak,
”Berhenti,,, cepat berhenti,,,,,, kenapa kalian menyiksanya dengan brutal seperti ini, Dia salah apa sehingga kalian menyiksanya begitu kejam, berhenti,,,, tidak,,,,,,”ujar Eky kaget dan tersadar dari mimpinya.
Eky yang penuh ketakutan akan mimpinya itu bangkit berdiri lalu bergegas ke dapur mengambil segelas air dan meminumnya, Eky yang amat kebingungan sontak berbicara dalam hati.
“Kenapa orang ini muncul lagi dalam mimpiku dan Ia disiksa lalu disalibkan memangnya dia salah apa,”ujar Eky dalam hatinya. Lalu Eky kembali dengan penuh ngantuknya sambil menggaruk kepalanya ia pergi ke kamarnya dan segera tidur kembali.
***
Keesokannya Eky kembali bekerja seperti biasanya. Ketika Eky mengambil parang untuk memotong ranting-ranting kayu, pastor Agus datang mengunjungi Eky untuk bercerita.
“Selamat siang bapa Eky,”ujar pastor Agus dengan suara tenang dan yenyuman.
”Siang juga pastor mari silahkan duduk,”ujar Eky kali ini dengan suara yang sopan dan lembut.
”Bolehkah kita bercerita bapa?,”ujar pastor Agus dengan tanda tanya.
”Boleh pastor, bagaimana yaa pastor,”ujar Eky menyapa kedatangan pastor Agus.
“Begini bapa, kenapa bapa Eky ini tidak mau diberikan diri untuk dibaptis dan percaya pada Tuhan?”ujar pastor Agus dengan nada agak ketakutan untuk bertanya.
Mendengar pertanyaan pastor Agus, Eky mulai bercerita apa yang sebenarnya terjadi.
”Ceritanya begini pastor, dulu ada seorang biarawan juga sama seperti pastor Agus yang datang kerumah saya dan membawa kalung salib untuk diberikan pada istri saya yang sedang hamil, biarawan itu mengatakan bahwa kalung ini akan selalu melindungi istri saya, tapi pada saat istri saya melahirkan ia tidak selamat lalu meninggalkan saya dan anak yang ada dalam kandungan istri saya terkena penyakit juga lalu meninggal, saat itu saya mulai terpukul dan tidak pernah percaya lagi yang dikatakan oleh biarawan itu dan kalung yang istri saya pakai masih saya simpan dalam kotak tersembunyi karena istri saya sangat menyukai kalung itu sehingga saya tidak pernah membuang kalung itu,”ujar Eky yang membendung air matanya.
”Maka dari saat itu saya tidak pernah percaya adanya Tuhan,”ujar Eky.
Pastor yang mendengar cerita itu lalu memegang bahu Eky dan berkata,
”Itulah kehidupan bapa Eky kita manusia tidak pernah tau kapan kita mati,”uajr pastor Agus menenangkan suasana.
Mendengar jawaban pastor Agus, dengan berat hati Eky langsung meninggalkan Pastor Agus dan menyuruh ia pulang saja,
”Pastor kamu pulang saja ini sudah malam waktu untuk istirahat,”ujar Eky dengan suara tegas tanpa melihat pastor itu.
***
Hari kembali menunjukan kegelapan, tanpa mengisi perutnya lagi Eky kembali ke kamarnya kemudian ia berbaring. Ketiak sudah terlelap ia kembali bermipi dan bertemu orang yang ada dimimpi-mimpinya, tetapi dimimpi kali ini Eky melihatnya yang sudah mengunakan pakaian yang putis bersih dan bersinar, di badannya tidak ada lagi darahserta luka dan hanya melinggalkan bebas-bekas saja serta telapak tangannya berlubang karena tertembus paku di kayu salib, Eky yang penuh keheranan bertanya,
”Sebenarnya kamu ini siapa, kenapa kamu selalu ada dalam mimpi saya dan kenapa kamu disiksa dengan cara disalib?,”ujar Eky dengan nada tanya.
”Anak-ku kenapa kamu begitu takut dan kenapa kamu tidak mengenalku, sudah sekian banyaknya orang yang mengenal dan mengikuti Aku, tapi kenapa kamu tidak, Aku adalah putra Allah yang hidup barangsiapa yang percaya kepadaku tidak akan kubuang keluar. Aku adalah Yesus putra Allah yang diutus untuk menebus manusia dari dosa,”ujar Yesus dalam mimpi Eky sambil menjulurkan tangannya.
”Mari ikutlah Aku dan Aku akan menyelamatkan-mu dari dosa-dosa yang ada dalam hidupmu”.
Seketika itu Eky kembali tersadar dalam tidurnya dan ia duduk merenungi perkataan itu.
Keesokan harinya Eky Bersiap-siap dan bergegas meninggalkan rumahnya untuk pergi menemui pastor itu.
”Tok…tok….tok pastor…. pastor selamat pagi, bisakah saya berbicara dengan mu,”ujar Eki sambil mengetuk pintu gereja.
”Pagi bapa Eky, bagaimana ya ada yang bisa saya bantu?,”ujar pastor Agus dengan suara tanya.
”Begini pastor, kedatangan saya kesini mau minta penjelasan tentang mimpi saya, mungkin ini ada kaitanya dengan saya yang tidak mau dibaptis dan bertobat,”ujar Eky.
“Ohh kalau begitu silahkan masuk kita bicarakan di dalam saja,”ujar pastor Agus dengan senyuman.
”Jadi begini pastor sudah beberapa hari ini saya bermimpi seseorang yang menginginkan saya percaya kepadanya dan mengikuti dia, dan pada suatu malam saya bermimpi lagi serta melihat ia disiksa dengan cara dicambuk sehingga seluruh tubuhnya berlumuran darah dan luka-luka, setelah dia disiksa mereka membawanya dan membaringkan di sebuah kayu salib yang besar dan memaku kedua tangan serta kakinya hingga menembusi daging serta tulangnya,”ujar Eky.
”Lalu tadi malam saya bermimpi lagi kalau ia sudah menggunakan pakaian putih cerah dan saya melihat seluruh badanya tidak memiliki luka dan hanya bekas-bekas serta telapak tangannya yang berlubang karena ditembusi paku serta ia mengatakan ia adalah anak Allah yang hidup dan ia datang kedunia ini untuk menebus dosa manusia dan ia mengatakan bahwa Namanya adalah Yesus, memangnya dia siapa ya pastor?,”ujar Eky dengan nada tanya dan kebingungan.
“Syukur kepada Allah,” ujar pastor Agus dengan nafas legah.
”Haa maksudnya pastor,”ujar Eky kebingungan.
”Begini bapa Eky, Yesus datang dan hadir dalam hidupmu itu adalah pertanda Yesus mau bapa Eky berobat dan memberi diri dibabtis agar Bapa percaya kepadanya yang memberikan bapa Eky kehidupan di dunia ini.”ujar pastor Agus dengan senyum.
”Seperti mimpi yang bapa Eky alami dan lihat bahwa Yesus disiksa dan disalib itu adalah cintanya kepada kita manusia, Ia rela mati demi kita yang banyak berbuat dosa dan tidak percaya kepadanya,”ujar pastor Agus lalu berdiri dan memegang Pundak Eky
.
”Lalu Bagaimana caranya saya bisa bertobat dan percaya kepadanya?,”tanya Eky kepada pastor Agus.
”Berikan diri bapa Eky untuk dibaptis dan bertobat,”ujar pastor Agus dengan tersenyum.
Seketika itu berlututlah Eky dan meminta pastor Agus untuk dibaptis serta bertobat. Setelah dibaptis Eky berterima kasih kepada pastor Agus karena telah diterima menjadi anggota gereja.
”Jadi sekarang bapa Eky sudah resmi menjadi anggota gereja dan bapa Eky haruslah selalu rajin untuk datang kegereja ya agar bapa Eky semakin mengenal lebih dekat lagi dengan Tuhan.”ujar pastor Agus dengan senyuman dan menyalami Eky.
Cinta Yesus kepada manusia sangat begitu luar biasa besarnya dan tulus sehingga Ia rela mati disalibkan unruk menebus manusia. Ia berkehendak agar setiap manusia percaya bahwa Ia adalah sumber keselamatan kekal dan hidup serta penyelamat dunia yang diutus Allah.
Natal kali ini
Fr. Agung Pramuji
Kamar kecil ini membuat halusinasi seorang wanita yang elok parasnya teringat kembali tentang lelaki yang dulu pernah menjadi motivator yang membuat hidupnya lebih bermakna dan berubah menjadi seorang wanita yang sesungguhnya.
Eby dikenal dengan karakter seorang wanita yang sama persis dengan karakter seorang pria. Ia tidak pernah mengenal cinta dan tidak mengenal Tuhan yang ia imani. Hari-hari hidupnya hanya bergaul dengan para pemuda berandal yang tidak jelas kerjanya dan tidak memiliki arah masa depan yang sangat tidak jelas. Setiap malam berkumpul hanya untuk minum alkohol, isap rokok dan juga tawuran. Eby terus terjerumus dan ikut bersama kumpulan pemuda berandal itu.
Eby lahir dari keluarga sederhana. Ayahnya bernama Felix dan ibunya bernama Sofy. Eby mempunyai satu saudara kandung yang bernama Ario. Ebi adalah sosok seorang wanita yang sangat jenius dan berprestasi di sekolahnya. Namun karena masalah ekonomi keluarganya ia kadang putus asa dan sering begadang dengan pemuda berandal yang membuat ia sulit untuk berkembang karena lebih memilih untuk bergaul dengan pemuda berandal dan bersenang -senang. Aktivitas Eby setiap hari hanya pergi ke sekolah dan seusai pulang dari sekolah ia langsung berkumpul dengan kumpulan pemuda berandal sampai larut malam.
21 November dikala hujan lebat mengguyur kampungnya,Ia meraih handphonenya membuka facebook dan melihat satu pesan dari seorang lelaki yang bernama Deris yang menghubunginya.
Deris : “Hay Eby. Salam kenal namaku Deris.”
Eby : “hay Deris namaku Eby.”
Deris : “senang bisa berkenalan dengan kamu.”
Eby : “iya Ris. Sama aku juga senang bisa berkenalan dengan kamu.”
Persahabatan mereka melalui media sosial terus berlangsung dan terjalin sangat baik. Setiap malam Deris terus menghubungi Eby. Eby sangat senang dan gembira bisa saling mengenal dan bisa seakrab itu dengan Deris. Eby menceritakan semua tentang keluarga dan karakternya kepada Deris setelah mereka berkenalan.
Saat bertelepon dan video cool Deris selalu memberikan motivasi serta hiburan buat Eby sehingga hidup Eby perlahan mulai berubah. Selama menjalin hubungan pertemanan dengan Eby, mendengar semua curahan hati Eby dan semua seluk beluk hidup Eby, Deris juga termotivasi untuk bisa menjadi seorang laki-laki yang mau peduli dengan seorang wanita dan harus mampu mengarahkan semua orang khususnya wanita untuk keluar dari masa gelapnya. Hari demi hari Deris terus membuat hidup Eby lebih berwarna dan terus berubah. Sehingga Eby mulai mengenal gereja dan terus berdoa setiap hari.
Eby merasa kehadiran Deris sangat membuatnya menjadi seorang wanita yang seutuhnya, penampilan dan sikapnya mulai berubah . Suatu malam dalam kamar kecilnya ia melihat foto-foto Deris.Seketika itu juga rasa suka dan cinta mulai muncul dalam hati Eby. Ia mulai mencintai lelaki berparas tampan dan penyabar itu.
“Tuhan apakah ini yang dinamakan dengan cinta?”..Tutur Eby.
Eby ingin sekali bertemu langsung dengan lelaki itu. Ia pengen bercerita secara langsung bersama Deris dan ingin mengungkapkan isi hatinya kepada Deris.
Teng, teng, teng. Bunyi lonceng di gereja tua itu mulai berbunyi. Orang-orang dengan pakaian yang sangat rapi dan indah berbondong-bondong melangkah menuju gereja tua. Kini Natal telah tiba.
Eby memakai gaun merah yang sangat indah dan meraih madah bakti di tangannya dan berlangkah menuju gereja.
“eh Eby tumben kamu datang ke gereja biasanya kamu hanya di rumah aja.”... ujar ibu Meri tetangga Eby.
Eby memandang ibu Meri dan tersenyum manis tanpa berkata-kata.
Gloria, gloria in excelsis deo. Nyanyian pembuka telah dinyanyikan senyum haru semua umat terlihat jelas dalam gereja tua itu.
Ketika perayaan Ekaristi berlangsung ekor mata Eby melirik pada sosok seorang lelaki yang berjubah putih. Eby melihat sosok lelaki itu yang sama persis dengan Deris.
“ah pikiranku mengambang. tidak mungkin itu Deris.” ...Tutur Eby. Ia tetap fokus mengikuti perayaan Ekaristi.
Ketika perayaan ekaristi selesai dan tepat di depan gereja tua itu Eby memandang begitu banyak pohon-pohon natal dan hiasan yang sangat indah yang diungkapkan oleh umat kristen sebagai ungkapan sukacita natal kali ini. Seketika itu juga uluran tangan damai natal hadir melalui sisi kiri Eby.
“selamat natal Eby”.. Tutur Deris sambil mengulurkan tangannya kepada Eby. Eby tercengan dan terkejut melihat sosok pria tersebut.
“ha.. Derissss, Ternyata selama ini kamu frater?”...jawab Eby.
Seketika itu rasa cinta yang ingin Eby ungkapkan seketika itu buyar dan hilang saat melihat Deris menggunakan jubah putih itu. Eby sejenak menarik napas dan cukup kecewa setelah mengetahui status pria itu namun dia ikhlas menerima semuanya.
“Eby ayo kita pergi ke taman samping gereja kita ngobrol disana” ujar Deris sambil meraih tangan Eby.
Mereka akhirnya bercerita banyak tentang pengalaman hidup mereka masing-masing secara langsung. Mereka berdua akhirnya sangat gembira karena natal kali ini mereka bisa bertemu dan bisa mengubah hidup menjadi lebih berharga**
PUISI
JEJAK ABADI
Fr. Vence Ate
Ada lintasan tanpa ujung,
dijejaki oleh langkah yang berdebu.
Di antara bisikan angin padang tandus,
suara sunyi menyentuh hati yang rapuh.
Apakah Dia hanya seorang insan,
atau tanda dari yang tak terjangkau?
Bagi Plato, mungkin bayangan dalam gua,
bagi Aristoteles, puncak dari yang tertinggi.
Yesus, sang paradoks tak terperi,
eksistensi yang melampaui logika.
Hidup dalam kesederhanaan total,
memberi hingga tak menyisakan apa pun.
Socrates bertanya tentang kebenaran,
Yesus menyebut diri-Nya sebagai jalan.
Di titik temu keduanya,
jiwa bertanya: siapa aku dalam tatapan ini?
Dari salib, bisik lembut-Nya terdengar,
“Kasih adalah kunci segala misteri.”
Dan filsafat terdiam, tak mampu menjelaskan,
karena rahasia tak selalu bisa dijangkau pikiran.
Langkah-Nya masih terdengar,
untuk mereka yang haus makna.
Bukan hanya menawarkan jawaban,
tapi mengajak kita melangkah:
Menemukan hidup dalam pertanyaan-Nya.
Sang cahaya, penerang sanubari
Fr. Charli Muda
Di tengah cahaya, Dia berdiri tegak,
Seorang guru, penuntun langkah,
Dalam setiap kata, ada makna mendalam,
Filsafat hidup, dalam ajaran-Nya terhampar.
Kemanusiaan-Nya, cermin jiwa,
Menggugah rasa, mengurai duka,
Dalam kasih yang tulus, Dia mengajarkan,
Bahwa cinta adalah kunci, pengikat peradaban.
Apakah kebenaran? Tanya yang tak berujung,
Yesus menjawab, dalam ketenangan,
"Jadilah terang, di tengah kegelapan,"
Sebuah panggilan, untuk setiap insan.
Penderitaan, kesakitan, dan pengorbanan,
Dia teladankan, dalam perjalanan,
Filsafat hidup, terjalin dalam sabar,
Menemukan makna, di balik derita yang samar.
Kebangkitan jiwa, harapan abadi,
Dalam setiap keraguan, Dia hadir memberi,
Bahwa hidup ini, bukan sekadar fisik,
Tapi perjalanan ruh, menuju yang ilahi.
Dalam kacamata filsafat, Dia adalah simbol,
Pertanyaan dan jawaban, dalam satu lingkaran,
Yesus, bukan sekadar sejarah,
Tapi cahaya abadi, dalam pencarian makna.
Mari kita renungkan, ajaran-Nya yang suci,
Dalam setiap langkah, dalam setiap hati,
Yesus, sang filsuf, dalam cahaya kasih,
Menuntun kita, menuju hakikat diri.
KARIKATUR
Fr. Putra Manuk