IBEF Article

Intuisi atau logika?

Oleh: Yudistira Permana PhD - IBEF behavioural economist

Pengajar tetap Departemen Ekonomika dan Bisnis, Sekolah Vokasi, Universitas Gadjah Mada sejak tahun 2012. Topik utama yang menjadi keahliannya adalah Ekonomika Eksperimen dan Ekonomika Keperilakuan. Yudistira menyelesaikan studi doktoralnya di University of York dengan topik penelitian “pengambilan keputusan individu dalam kondisi berisiko dan ketidakpastian” pada tahun 2019. Profil Yudistira Permana dapat dilihat di https://sites.google.com/site/yudistiraclass/home?authuser=0

Bulan Desember dan Januari, masa di mana hujan sedang deras-derasnya turun di Indonesia. Hampir semua orang mempersiapkan diri dengan membeli dan memakai paying/jas hujan di kala pergi ke luar, memperbaiki kembali talang rumah dan gorong-gorong, sampai pengerukan sungai yang mendangkal. Pun orang-orang hampir pasti mengharapkan laporan perkiraan cuaca adalah hujan pada hari-hari di bulan tersebut. Namun bagaimana jika laporan perkiraan cuaca, di suatu hari di bulan Desember dan Januari, melaporkan bahwa cuaca hari itu adalah cerah? Apakah Anda akan mempercayai sepenuhnya atau berpikir sebaliknya jika hari itu akan hujan?

Kerumitan berpikir terjadi ketika prediksi cuaca tersebut berasal dari lembaga kredibel, seperti BMKG. Lembaga tersebut tentunya telah melakukan prediksi berdasarkan logika ilmiah serta pengukuran yang baik berdasarkan data yang tersedia. Namun individu mungkin saja memiliki intuisinya sendiri yang berlawanan dengan logika ilmiah yang dilakukan lembaga tersebut. Pertanyaannya adalah manakah yang seharusnya lebih dipercaya, intuisi atau logika? Apakah keduanya berlawanan? Ataukah logika berarti berpikir menggunakan akal dan intuisi adalah berpikir menggunakan hati?

Manakah yang benar, berlogika atau berintuisi?

Pertanyaan di atas, setidaknya bagi saya, cukup menggelitik. Apa benar bahwa logika itu harus melepaskan intuisi dan intuisi harus menafikan logika? Baik, sekarang ambil contoh sederhana lainnya. Ketika Anda ditanya berapa rata-rata dari satu set angka [3,2,4,2,1,5,6,5,3,6,8,7,6] maka yang akan Anda lakukan adalah menghitungnya dengan menjumlahkan seluruh angka tersebut lalu dibagi dengan banyaknya kemunculan angka. Dengan sedikit waktu (baik menggunakan kalkulator atau menghitung sendiri) maka Anda akan mendapatkan jawaban sekitar 4.46. Apakah prosedur ini merupakan hasil dari logika atau intuisi?

Dalam hal ini baik intuisi maupun logika bekerja sama untuk menghasilkan prosedur di atas: melalui metode “maximum likelihood” atau “kemungkinan terbesar”. Metode ini mencari kemungkinan terbesar suatu angka untuk muncul sebagai rata-rata set angka tersebut; Ronald Fisher adalah pionir metode ini (Fisher 1922, Fraser dkk 1995). Dengan sedikit “bermain-main” probability density function dari distribusi normal (yang mengakomodasi angka kontinyu antara -¥ dan ¥), Anda akan dapatkan kemungkinan terbesar rata-rata set angka tersebut jatuh pada m dengan formula: . Sekiranya formula yang bagi banyak orang sudah hafal di luar kepala!

Ini bukanlah sebuah kebetulan bahwa pada akhirnya intuisi sama dengan logika. Penggunaan maximum likelihood merupakan ‘jembatan’ yang menghubungkan logika dan intuisi bahwa nilai harapan atas rata-rata dari set angka tersebut berada pada m.

Intuisi atas sebuah logika intuitif

Hal yang mungkin membingungkan bagi pembaca adalah batasan antara intuisi dan logika. Herbert Simon, penerima nobel ilmu ekonomika, berargumen bahwa ada perbedaan karakteristik antara logika dan intuisi (Simon 1987). Logika biasanya dibangun dari alternatif kombinasi dengan perhitungan dan konsekuensi yang jelas. Di sisi lain, intuisi biasanya adalah respon atas kebutuhan untuk memutuskan suatu hal dengan cepat berbasis keyakinan dari pengalaman. Dari sini mulai bisa terlihat koneksi antara keduanya yang mana intuisi dibangun dari logika yang diyakini benar dan dilakukan secara berulang. Sebagai tambahan, intuisi memberikan gambaran secara cepat atas sebuah proposisi, seperti pada contoh kasus prediksi cuaca di atas (Parsons 1980).

Lalu apakah seseorang yang menggunakan intuisi untuk contoh prediksi cuaca di atas melakukan kesalahan, atau ngawur? Bisa jadi tidak karena setidaknya intuisinya telah dibangun dari pengetahuan dan pengalaman yang ada. Studi menyebutkan bahwa manusia pada dasarnya memiliki pengetahuan implisit mengenai logika dasar dan mengalaminya secara berulang dalam rentang waktu yang cukup Panjang (Nakamura & Kawaguchi 2016, Neys 2012). Hanya saja kemungkinan intuisinya akan terjadi lebih kecil daripada prediksi cuaca BMKG mengingat perbedaan data, akurasi alat ukur, dan keunggulan kognitif lainnya.

Bagaimana jika seseorang tersebut, tanpa pengetahuan dan pengalaman, mengatakan punya prediksi dari sebuah intuisi? Nah itu mungkin baru bisa disebut ngawur, atau intuisinya tidak pernah dibangun melalui logika yang baik.


Referensi

[1] Fisher, R. A. (1922). On the mathematical foundations of theoretical statistics. Philosophical Transactions of the Royal Society of London, 222: 309-368.

[2] Fraser, D. A. S., McDunnough, P., Naderi, A., & Plante, A. (1995). On the definition of probability densities and sufficiency of the likelihood map. Probability and Mathematical Statistics, 15: 301-310.

[3] Nakamura, H., & Kawaguchi, J. (2016). People like logical truth: Testing the intuitive detection of logical value in basic propositions. PLoS ONE, 11(12): e0169166. doi:10.1371/journal.pone.0169166

[4] Neys, W. D. (2012). Bias and conflicts: A case for logical intuitions. Perspective on Psychological Science, 7(1): 28-38.

[5] Parsons, C. (1980). Mathematical Intuition. Chapter in “Proceedings of the Aristotelian Society Vol. 80”: Oxford University Press.

[6] Simon, H. A. (1987). Making management decisions: The role of intuition and emotion. The Academy of Management Executive, 1(1): 57-64.