Penderitaan monyet yang dijadikan objek eksperimen
American Anti-Vivisection Society melaporkan; Diperkirakan 200 primata mati setiap tahun di fasilitas karantina di US. Pada tahun 2009, 582 primata yang diimpor mati di karantina, 537 di antaranya di euthanasia karena positif TBC atau terpapar hewan yang positif. Pada tahun 2010, 4424 primata mati di karantina dan tiga ditemukan tewas saat tiba di US. Pada tahun 2011, 45 primata mati di karantina, dan tiga ditemukan tewas saat tiba di US. Beberapa penyebab kematian dalam pengiriman dan karantina termasuk kembung, perikarditis, enteritis hemoragik, pneumonia, dehidrasi, trauma, stres, edema paru, prolaps rektal, dan infestasi cacing parasit.
Studi menegaskan bahwa pengangkutan monyet cynomolgus (Macaca fascicularis) menimbulkan stres. Penelitian telah menunjukkan bahwa mengirim monyet berpasangan dapat mengurangi, tetapi sama sekali tidak menghilangkan, tingkat stres mereka.
Hewan yang diekspor biasanya dipindahkan beberapa kali sebelum sampai di tujuan, antara lain: penangkapan dari kandangnya ke kandang angkut, dikurung di kandang karantina, dipindahkan ke kandang angkut maskapai kargo, diangkut truk ke bandara, dimuat ke pesawat, naik pesawat, kemungkinan pemindahan ke pesawat lain, bongkar muat dari pesawat udara, dimuat ke truk, bongkar muat di fasilitas karantina laboratorium, dan akhirnya dipindahkan ke kandang laboratorium.
Mustahil melindungi hewan yang diangkut dari infeksi ketika mereka dikurung dan dikirim ke negara lain dalam jarak jauh dan melalui kemungkinan beberapa kali singgah di negara lain, terlepas apakah dilakukan dengan maskapai komersial regular atau sewa.
Monyet hidup dalam kelompok, ketika ditangkap, mereka dipisahkan secara paksa dari kelompoknya. Mereka meresponnya dengan kesedihan, bahkan menimbulkan perilaku yang abnormal seperti menggigit atau menggenggam anggota tubuh sendiri.
Praktik standar mengharuskan sejumlah besar hewan digunakan dalam eksperimen biomedis atau uji coba vaksin/antivirus. Setiap tahun, hanya di US, lebih dari 100 ribu hewan digunakan dan mati untuk uji coba.
John Gluck, Ph.D., seorang psikolog dan ahli primata yang pernah bekerja dengan dengan kera di laboratorium penelitian mengakui, Selama bekerja di lab penelitian, ia menemukan segala macam alasan untuk tidak berada di sana, ia menghindari lab karena merasa tidak enak. Di lab itu, dia melihat betapa sangat terbatas kehidupan hewan-hewan itu, yang dikurung sendirian.
Laboratorium adalah penjara seumur hidup bagi primata. Dari sudut pandang finansial, monyet bukanlah tikus. Primata terlalu mahal untuk euthanasia setelah percobaan. sehingga mereka seakan menjalani karir sebagai hewan penelitian hingga mati.
Kegagalan uji coba obat manusia pada hewan
Pada Oktober 2020, satu publikasi mengenai kasus Covid-19 pada manusia dan hewan (meliputi hamster, primata non-manusia, monyet, hewan pengerat, tikus, musang, kelinci, kucing, dan anjing) menyimpulkan; Tidak ada penyakit parah yang terkait dengan kematian yang diamati, menunjukkan kesenjangan yang lebar antara COVID-19 pada manusia dan hewan.
Penelitian vaksin HIV/AIDS yang menggunakan primata non-manusia (NHPs) merupakan salah satu kegagalan paling menonjol dalam eksperimen pada hewan. Sumber daya yang sangat besar dan waktu puluhan tahun telah dikhususkan untuk menciptakan model HIV NHP (termasuk simpanse). Sekitar 90 vaksin HIV yang berhasil pada hewan gagal pada manusia.
Respon vaksin pada simpanse dan manusia sangat tidak sesuai. Klaim pentingnya simpanse dalam pengembangan vaksin AIDS tidak berdasar, dan penggunaan kembali simpanse dalam penelitian/ pengembangan vaksin AIDS tidak dapat dibenarkan secara ilmiah.
Perbedaan fisiologis dan genetik antara manusia dan hewan lain dapat membatalkan penggunaan hewan untuk mempelajari penyakit manusia, pengobatan, obat-obatan, dan sejenisnya. Pengukuran yang tidak signifikan, model hewan secara khusus, dan hewan percobaan secara umum, adalah dasar yang tidak memadai untuk memprediksi hasil klinis pada manusia dalam sebagian besar ilmu biomedis. Akibatnya, manusia dapat mengalami kerusakan yang signifikan, yang semestinya dapat dihindari.
Pada Januari 2016, Enam orang dirawat di rumah sakit dan satu meninggal setelah ikut dalam uji coba Tahap I pengobatan gangguan nyeri dan pengobatan penyimpangan emosi di lembaga penelitian Biotrial, di Prancis barat. Meski telah dilakukan banyak pengujian pendahuluan pada hewan— tikus, anjing, dan monyet—dengan dosis 400 kali lebih kuat.
Laporan National Academy of Sciences Animal Models for Assessing Countermeasures to Bioterrorism Agents (December 2011) menyatakan; Model hewan mungkin tidak sempurna untuk kebutuhan tertentu dan mahal untuk dilakukan (memerlukan hewan dalam jumlah besar dan harus digunakan di fasilitas pengurungan yang aman). [...] Jika memungkinkan, teknologi transformasi medis harus mendorong upaya menggantikan primata sebagai hewan dalam penelitian pertahanan hayati.
Rekam jejak ekspor monyet oleh Indonesia
Pada 20 Januari 1994, Menteri Kehutanan Indonesia Djamaludin Suryohadikusumo menandatangani larangan ekspor monyet hasil tangkapan liar dua tahun setelah 110 monyet mati dalam perjalanan dari Inquatex, pemasok monyet di Jakarta, ke Worldwide Primates, perusahaan pemasok hewan laboratorium. Kematian tersebut diketahui tepat saat British Union for the Abolition of Vivisection (BUAV) mengumumkan bahwa dari penyelidikan selama setahun mereka menemukan tingkat kematian 22% di antara 260 monyet yang diekspor oleh Inquatex ke Inggris; dan oleh kematian 18% pada 2.150 yang diekspor CV. Primata, dan 21%, pada 810 monyet yang diekspor Primaco, dua perusahaan Indonesia lainnya.
Pada bulan Juli 1996, Laboratory Animal Breeders Services (LABS) sepakat membeli 1.400 monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) dari Inquatex seharga $ 700.000. Inquatex kemudian mengirim 253 monyet ke LABS, termasuk 17 monyet hamil dan 20 bayi menyusui, beberapa baru berusia empat minggu—suatu pelanggaran hukum AS yang melarang impor hewan yang tidak disapih kecuali untuk perawatan medis darurat. Pengiriman keempat berisi 255 kera, enam di antaranya hamil dan 19 masih bayi. Salah satu ibu dari bayi yang sedang menyusui, ditemukan tewas di dalam kandangnya setibanya di Bandara Charles de Gaulle di Paris. Seorang lainnya berhasil melarikan diri di area kargo.
Pada tahun 2010, CITES menangguhkan ekspor monyet Indonesia karena melanggar peraturan serta melanggar pedoman perlindungan hewan internasional, setelah menemukan bahwa monyet yang diekspor Indonesia bukan dari generasi F1 tetapi dari hasil tangkapan liar.
Pada 2019, pemerintah mulai berbicara dengan media tentang ekspor monyet tangkapan liar, dengan alasan kelebihan populasi dan konflik manusia-monyet.
Pada Maret 2021, Indonesia mengekspor 120 ekor monyet ekor panjang ke AS untuk tujuan penelitian biomedis, menurut pihak berwenang semua monyet berasal dari penangkaran. Ekspor ini merupakan pengiriman pertama dari permintaan AS dengan total 1.000 ekor monyet.