Versi dongeng / legenda mengambil setting waktu pada zaman Kediri (sekitar abad ke12), yakni berisi tentang cerita tanah Wengker (wewengkon angker; Jawa: tempat penuh keramat), tempat berdirinya kerajaan Bantarangin dengan penguasa bernama Prabu Kelanasewandana. Seni Reyog bermula dari iring-iringan 40 penunggang kuda yang diikuti oleh Singo Barong dan burung Merak dengan diiringi gamelan "unik" (pertunjukan yang belum pernah ada di belahan bumi), yang dimaksudkan sebagai maskawin atau mahar Prabu Klonosewandono kepada Putri Sanggalangit. Sejarah yang berlatar legenda inilah, yang hingga saat ini dipakai sebagai basis alur tari seni Reyog Ponorogo varian Panggung / Garapan. Secara rinci, sejarah Reyog Ponorogo perspektif legenda ini, ditulis oleh Ki Kasni Gunopati dalam tulisan berjudul "Cerita Wengker dan Terjadinya Reyog Ponorogo". Di dalam konteks legenda ini, Seni Reyog Ponorogo dikaitkan dengan Wengker" dan Bantarangin.
Cerita ini di awali dari konteks keinginan Raja Bantar Angin, yakni Prabu Kelana Sewandana untuk mewariskan kerajaan kepada putra mahkota.Sementara hingga usia sang raja menuju ketuaan, muncullah keinginan untuk menikah. Dalam proses pencarian calon permaisuri ini, terdengar informasi tentang seorang putri yang cantik jelita bernama Diyah Ayu Songgolangit, seorang putri Raja Kediri Lembu Amiseno. Misi pencarian kemudian di mulai. Sang raja mempercayakan tugas ini kepada sang patih, yakni Pujang Ganong dengan didampingi para prajurit pilihan. Perjalanan dimulai dengan menyisir hutan belantara di wilayah Trenggalek dan Tulungagung. Diceritakan, bahwa di antara belantara Tulungagung dan Blitar terdapat sebuah tempat yang disebut Alas Roban (Hutan Roban), dimana di wilayah ini hidup segerombolan harimau yang tunduk dibawah Raja Hutan yang bergelar Singa Barong dengan pusat kekuasaan di daerah Lodoyo Blitar. Konon sang Raja Hutan ini memiliki hewan kesukaan yakni Burung Merak karena parasnya yang cantik dan jalannya yang lenggak langgok, sehingga sangat menghibur sang Raja Hutan. Singkat cerita, misi perjalanan mencari permaisuri yang dipimpin Patih Pujang Ganong dihadang oleh pasukan Harimau dengan pimpinan Singa Barong tersebut. Pertarungan akhirnya tidak terelakkan, hingga utusan kerajaan Bantarangin terdesak karena kalah kesaktian dengan pasukan Harimau itu. Patih Pujang Ganong segera memberikan sasmita (isyarat) kepada Prabu Kelana Sewandana dengan apa yang terjadi di tengah perjalanan. Mengetahui isyarat bahaya yang dikirim lewat pesan semadi sang Patih tersebut, Prabu Kelanasewandana segera bergegas menuju lokasi kejadian. Singkat cerita, Sang Prabu memukulkan Aji Pecut Samandiman ke tubuh Singa Barong hingga tidak berdaya. Di dalam kekelahannya itu, Singa Barong memohon kepada Sang Prabu agar memberikan kesempatan hidup dan akan setia menjadi abdi Sang Prabu. Sesampai di Kerajaan Kediri, Sang Patih segera menyampaikan maksud kedatangannya, yakni mempersunting Diyah Ayu Songgolangit untuk Prabu Kelanasewandana. Jawaban lamaran itu diserahkan ke putri Sang Raja sendiri, dan kemudian dijawab dengan 3 syarat berikut;
(1) perjalanan mempelai dari Wengker (Kerajaan Bantarangin) Ponorogo hingga ke alun-alun Kediri harus melalui jalan bawah tanah;
(2) perjalanan mempelai harus diiringi seni budaya unik dan belum pernah ada di kolong langit ini; dan
(3) para pengiring mempelai harus dipilih dari kalangan prajurit muda yang tampan dan gagah berani serta terampil menunggang kuda sebanyak 144 prajurit.
Setelah proses lamaran berikut persyaratan diutarakan kepada Prabu Kelana Sewandana, maka segeralah semua permintaan sang Dewi dipersiapkan. Jalan bawah tanah dimulai pengerjaannya; seni budaya unik yang akan dipakai untuk mengiring mempelai dipercayakan kepada Singa Barong; dan berikut iring-iringan 144 prajurit muda berkuda juga sudah dipersiapkan. Dalam proses persiapan ini, ternyata sang Prabu menghadapi tantangan cukup berat pada aspek pembuatan terowongan (jalan bawah tanah) yang tembus Ponorogo-Kediri. Inilah yang kemudian membuat Prabu Kelana Sewandana tidak sabar, lalu memutuskan untuk mengambil jalan pintas dengan memukulkan Pecut Samandiman pada bumi yang direncanakan menjadi jalan bawah tanah tersebut. Suara gemuruh Aji Pecut Samandiman membuat terkejut Sang Brahmana (Kanjeng Sunan Lawu); Sang Guru yang telah menghadiahkan Aji Pecut Samandiman. Merasa bahwa muridnya (Prabu Kelanasewandana) telah melanggar janji, maka Sang Brahmana segera bergegas menuju tempat Prabu Kelanasewandana berada. Al-kisah, tempat dimana Prabu Kelanasewandana memukulkan Pecut Samandiman ini berikut kehadiran Sang Brahmana secara tiba-tiba (yang dalam bahasa Jawa disebut "tak jujug" ini dikemudian hari dinamakan Desa Tajug, karena telah melanggar wewaler (pantangan) Sang Guru untuk kedua kalinya, maka disini Sang Prabu Kelanasewandana harus memilih satu diantara dua pilihan: (1) hidup abadi menjadi junjungan, memperoleh penghormatan dan pujian dari rakyat (kawulo) Bantarangin hingga di luar wilayah kekuasaannya; atau (2) menikah dengan putri Sanggalangit, tetapi tidak memiliki keturunan berikut tidak meninggalkan sejarah apapun tentang Bantarangin. Menurut kisah yang ditulis Fauzannafi, Prabu Kelanasewandana tetap melamar Dewi Sanggalangit dengan mengutus patihnya yang bernama Patih Pujangganong.43 Singkat cerita, lamaran raja Bantarangin ini diterima dengan syarat mampu menyediakan seperangkat gamelan (musik Jawa) yang belum pernah ada di bumi dan pada saat iring-iringan mempelai raja Bantarangin harus mampu menghadirkan seluruh binatang hutan untuk mengikuti prosesi pernikahan sekaligus binatang hutan itu akan diminta untuk menghias taman Kerajaan Kediri. Konon, berkat kesaktian Raja Bantarangin, semua persyaratan yang diminta oleh Dewi Sanggalangit mampu dipenuhi. Setelah persiapan dianggap cukup, berangkatlah Raja Bantarangin dengan membawa balatentara serta seluruh persyaratan yang diminta oleh Dewi Sanggalangit. Mereka membentuk iring-iringan yang sangat rapi, dengan tata urut sebagai berikut; barisan paling depan adalah para prajurit penunggang kuda; di belakang prajurit penunggang kuda ini adalah barisan seluruh binatang belantara yang berhasil ditaklukkan Raja Bantarangin; berikutnya adalah para nayaga (pemain musik/gamelan) tengah mengumandangkan alunan musik yang menggetarkan jiwa; dibelakang barisan inilah Prabu Kelanasewandana menunggang kuda dengan gagah diapit oleh dua orang Warok berpakaian hitam-hitam. Menurut versi ini, Patih Pujangganong tidak ikut menyertai karena dilarang oleh Prabu Kelanasewandana disebabkan wajahnya jelek dan khawatir akan menganggu prosesi lamaran. Diceritakan bahwa akibat larangan itu, Patih Pujangganong merasa sangat terpukul hingga membuatnya pergi meninggalkan Kerajaan Bantarangin untuk bertapa di Gunung Wilis. Dalam semadinya, ia meminta kepada Dewa Bathara (dewa) agar berkenan memberikan wajah yang tampan seperti kakaknya (Kelanasewandana). Dewa Bathara mengabulkan permintaannya dengan memberikan sebuah topeng (apabila topeng ini dipakai berubahlah wajah Patih Pujangganong menjadi tampan).
Disamping itu, Dewa Bathara juga memberinya pusakan sakti yang disebut dengan Pecut Samandiman, yang kesaktiannya digambarkan mampu meluluh lantakkan gunung dan mengeringkan air samudera. Sementara, Dewi Sanggalangit (yang sebenarnya tidak mau dipersunting Prabu Kelanasewandana dengan menolak lamaran dengan cara halus, yakni memberikan persyaratan yang sebenarnya di luar nalar/kemampuan manusia biasa) meminta ayahandanya yang bernama Prabu Kertajaya agar membatalkan lamaran. Diceritakan, bahwa Raja Kediri ini akhirnya meminta bantuan kepada Patih Singa Lodra. Singkat cerita dalam perjalanan menuju kerajaan Daha Kediri, rombongan Raja Bantarangin dicegat oleh Patih Singa Lodra bersama pasukannya. Terjadilah pertempuran hebat yang berakhir dengan kekalahan Prabu Kelanasewandana. Seluruh wajahnya terkena cakaran Singa Lodra yang mampu mengubah diri menjadi seekor macan putih. Di saat kritis inilah, ia ingat akan adiknya (Patih Pujangganong) yang dilarang mengikuti bersamaan dengan rintihan kesakitan akibat luka yang dideritanya. Bersamaan dengan suasana yang cukup mencekam itulah, tiba-tiba adiknya telah berada di sisi Prabu Kelanasewandana dan menyerang Patih Singa Lodra. Pertempuran dahsyat tidak terelakkan, hingga Pujangganong memukulkan senjata sakti (Pecut Samandiman) ke tubuh Singa Lodra dan berakhir dengan kekalahan Singa Lodra. Setelah melumpuhkan Singa Lodra, Patih Pujangganong kemudian mengusapkan tangannya ke wajah kakaknya (Prabu Kelanasewandana) dan hasilnya luar biasa menakjubkan - semua luka di wajah Raja Bantarangin sembuh, tetapi tetap meninggalkan bekas yang cukup mengerikan. Melihat kondisi tersebut, Patih Pujangganong memberikan topeng sakti pemberian Dewa Bathara agar dipakai oleh kakaknya sehingga berubah menjadi tampan lagi berikut ia juga menyerahkan pusaka sakti - Pecut Samandiman kepada kakaknya tersebut. Sementara itu, di istana Kediri, Dewi Sanggalangit sangat terpukul mendengar kemenangan Prabu Kelanasewandana. Dalam kecemasannya itu, ia memutuskan melarikan diri ke dalam sebuah goa. Saat Prabu Kelana Sewandana menemukan Dewi Sanggalangit di dalam sebuah goa itu, Dewi Sanggalangit telah menjadi arca (patung). Kisah berlatar legenda inilah yang dipakai oleh seni Reyog Ponorogo sebagai dasar pertunjukan hingga saat ini. sejarah berbasis lamaran ini menjadi prosesi baku dalam tarian Reyog Ponorogo, terutama versi Reyog Panggung/Garapan. Bahkan telah dibakukan dalam Buku Pedoman Dasar Kesenian Reyog Ponorogo dalam Pentas Budaya Bangsa yang disusun dan diterbitkan oleh Pemerintah Kabupaten Ponorogo. Puku ini selanjutnya menjadi acuan dasar bagi seluruh group Reyog yag mengikuti Festival Reyog Ponorogo yang diselenggarakan setiap tahun.