BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Setiap negara haruslah mempunyai kekuasaan yang jelas. Sejak dulu teori-teori yang menggolongkan negara-negara berdasarkan legitimasi kekuasaannya sudah berkembang. Meskipun Indonesia telah menganut sistem pemerintahan yang demokratis, akan tetapi perlu juga dianalisa berdasarkan sejarah-sejarahdan teori-teori yang ada.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana perkembangan dari teori-teori mengenai legitimasi kekuasaan?
2. Termasuk kedalam teori legitimasi kekuasaan manakah negaraRepublik Indonesia?
1.3 Tujuan penulisan
Menganalisa beberapa teori-teori yang ada dan juga mengkategorikan negaraIndonesia kedalam salah satu teori yang ada.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Tinjauan pustaka
Legitimasi merupakan perkara dasar yang sangat penting bagi seorang pemimpin, tanpa legitimasi sangat sulit bagi seseorang bisa meneruskan kepemimpinannya. Tanpa legitimasi bahkan mustahil bagi pemerintah untuk menerapkan undang-undang dan membangun sebuah negara. Sumber legitimasi dan cara memperoleh legalitas juga permasalahan yang tidak kalah penting untuk dibicarakan dari legitimasi itu sendiri.
Legitimasi telah menjadi pembahasan berkepanjangan sejak manusia mengenal hidup secara berkelompok. Ia telah muncul sejak zaman Yunani kuno, dimana Plato dan Aristotle menyatakan bahwa negara memerlukan legitimasi yang mutlak untuk mendidik rakyatnya dengan nilai-nilai moral rasional. Pada zaman yang sama gagasan legitimasi kekuasaan yang bersumber dari rakyat telah muncul dalam bentuk yang sangat sederhana sebagaimana terdapat pada negara kota (city state) abad VI sampai III sebelum masihi.
Para pakar ilmu politik menyebutkan beberapa teori yang menunjukkan kepada dasar legalitas seorang pemimpin negara memperoleh kekuasaannya. Mereka merumuskan bahwa seorang pemimpin mendapatkan legitimasi melalui;
Pemberian Tuhan (God Sovereignty), faham ini dianut oleh: Agustinus, Thomas Aquinas dan Marsilius.
Dasar hukum (legal sovereignty). Pandangan ini dikemukakan oleh Hugo Krabbe dan dikembangkan oleh pengikutnya R. Kranenburg.
Sumber kekekuasaanan Negara (State Sovereignty). Pandangan ini disokong oleh Paul Laband.
Berasaskan kepada kedaulatan rakyat (Popular Sovereignty atau Poeple Power). Pandangan ini dianut oleh John Locke dan Jean Jacques Rousseau.
Bagaimanapun teori terakhirlah yang lebih popular dan kerap digunakan dalam pembahasan terkini dalam bingkai istilah civil society. Teori ini juga populer dikalangan pemikir Islam, terutamanya dari Muhammad Yusuf Musa, ‘Abd al-Wahhab Khallaf, Muhammad Rasyid Rida dan ‘Abd al-Qadir Abu Faris.
Dalam menjelaskan teori ini, kalangan pemikir Islam mencoba untuk mengaitkannya dengan teori siadah al-ummah. Istilah ini digunakan untuk menggambarkan kekuasaan yang dimiliki rakyat melebihi kekuasaan yang dimiliki oleh pemimpin suatu negara.
Pembahasan secara sistematik mengenai rakyat sebagai sumber legitimasi penguasa dibuat pertama kali oleh Jean Bodin, Ia berpendapat bahwa kedaulatan adalah kekuasaan penuh dan tertinggi yang berada ditangan rakyat, namun begitu Bodin lebih mengutamakan kekuasaan yang ada pada seorang raja dalam pembahasannya. Ini dibuktikan melalui perkataan yang menunjukkan kepada tinngginya kedaulatan raja pada setiap permulaan seremonial resmi, seperti sebutan “open, in the King’s name”
Tulisan ini ingin mengangkat dasar-dasar legitimasi pemimpin Negara yang berasal dari rakyat berdasarkan nash-nash syari’ah dan teori-teori yang dikemukakan oleh para fuqaha dalam menguraikan proses pendelegasian kekuasaan tersebut kepada seorang pemimpin. Tulisan ini juga membandingkan antara pandangan fuqaha dengan pendapat pakar politik umum dalam menguraikan masalah asas legitimasi.
2.2 Pembahasan rumusan masalah
1. Pengertian Legitimasi Kekuasaan
Sebelum kita membahas apa itu legitimasi kekuasaan, sebelumnya kita terlebih dahulu memahami apa yang dimaksud kekuasaan. Konsep kekuasaan menurut Max Weber dalam Frans Magnis-Suseno (1994:54) bahwa ”kekuasaan adalah kemampuan untuk, dalam suatu hubungan sosial, melaksanakan kemauan sendiri sekalipun mengalami perlawanan dan apapun dasar kemampuan itu”. Tetapi kekuasaan yang dipersoalkan disini adalah kekuasaan negara. Adalah ciri khas negara bahwa kekuasaannya memiliki wewenang. Maka kekuasaan negara itu dapat disebut ”otoritas” atau ”wewenang”.
Menurut Miriam Budiardjo dalam Frans Magnis—Suseno (1994:54) otoritas atau wewenang adalah ”kekuasaan yang dilembagakan”, yaitu kekuasaan yang tidak hanya de facto menguasai, melainkan juga berhak untuk menguasai. Wewenang adalah kekuasaan yang berhak untuk menuntut ketaatan, jadi berhak untuk memberikan perintah.
Terhadap wewenang itu timbul pertanyaan tentang apa yang menjadi dasarnya. Itulah pertanyaan tentang legitimasi atau keabsahan kekuasaan. Terhadap setiap wewenang dapat dipersoalkan apakah wewenang itu absah atau tidak, apakah mempunyai dasar atau tidak.
Konsep legitimasi berkaitan dengan sikap masyarakat terhadap kewenangan. Artinya apakah masyarakat menerima dan mengakui hak moral pemimpin untuk membuat dan melaksanakan keputusan yang mengikat masyarakat ataukah tidak. Apabila masyarakat menerima dan mengakui hak moral pemimpin untuk membuat dan melaksanakan keputusan yang mengikat masyarakat maka kewenangan itu dikategorikan sebagai berlegitimasi. Maksudnya, legitimasi merupakan penerimaan dan pengakuan masyarakat terhadap hak moral pemimpin untuk memerintah, membuat dan melaksanakan keputusan politik.
Secara etimologi legitimasi berasal dari bahasa latin “lex” yang berarti hukum. Kata legitimasi identik dengan munculnya kata-kata seperti legalitas, legal dan legitim. Jadi secara sederhana legitimasi adalah kesesuaian suatu tindakan perbuatan dengan hukum yang berlaku, atau peraturan yang ada, baik peraturan hukum formal, etis, adat istiadat maupun hukum kemasyarakatan yang sudah lama tercipta secara sah.
2. Teori Legitimasi
Kekuasaan Negara adalah suatu organisasi kekuasaan dan organisasi itu merupakan tatakerja daripada alat-alat perlengkapan negara yang merupakan suatu keutuhan, tatakerja mana melukiskan hubungan serta pembagian tugas dan kewajiban antara masing-masing alat perlengkapan negara itu untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Suatu negara pasti dipimpin oleh pemegang kekuasaan.
2.3 Obyek dan Tipe Kekuasaan
Suatu sistem politik dapat lestari apabila sistem politik secara keseluruhan mendapatkan dukungan, seperti penerimaan dan pengakuan dari masyarakat. Dengan demikian, legitimasi diperlukan bukan hanya untuk pemerintah, tetapi juga untuk unsur-unsur sistem politik yang ada. Yang menjadi obyek legitimasi bukan hanya pemerintah, tetapi juga unsur-unsur lain dalam sistem politik. Jadi legitimasi dalam arti luas adalah dukungan masyarakat terhadap sistem politik sedangkan dalam arti sempit legitimasi merupakan dukungan masyarakat terhadap pemerintah yang berwenang.
Menurut Easton dalam Ramlan Subakti (Memahami Ilmu Politik, 1999:93), terdapat tiga objek dalam sistem politik yang memerlukan legitimasi agar suatu sistem politik tidak hanya berlangsung secara terus menerus, tetapi mampu pula mentransformasikan tuntutan menjadi kebijakan umum. Ketiga obyek legitimasi itu meliputi: komunitas politik, rezim dan pemerintahan.
Sementara Andrain menyebutkan lima objek dalam sistem politik yang memerlukan legitimasi agar suatu sistem politik tetap berlangsung dan fungsional. Kelima obyek legitimasi itu meliputi: masyarakat politik, hukum, lembaga politik, pemimpin politik dan kebijakan.
Menurut Zippelius dalam Franz Magnis—Suseno (Etika Politik, 1994:54) bentuk legitimasi dilihat dari segi obyek dapat dibagi atas dua bentuk yakni :
1. Legitimasi materi wewenang
Legitimasi materi wewenang mempertanyakan wewenang dari segi fungsinya: untuk tujuan apa wewenang dapat dipergunakan dengan sah? Wewenang tertinggi dalam dimensi politis kehidupan manusia menjelma dalam dua lembaga yang sekaligus merupakan dua dimensi hakiki kekuasaan politik: yakni dalam hukum sebagai lembaga penataan masyarakat yang normatif dan dalam kekuasaan (eksekutif) negara sebagai lembaga penataan efektif dalam arti mampu mengambil tindakan.
2. Legitimasi subyek kekuasaan
Legitimasi ini mempertanyakan apa yang menjadi dasar wewenang seseorang atau sekompok orang untuk membuat undang-undang dan peraturan bagi masyarakat dan untuk memegang kekuasaan negara. Pada prinsipnya terdapat tiga macam legitimasi subyek kekuasaan:
a. Legitimasi religius
Legitimasi yang mendasarkan hak untuk memerintah faktor-faktor yang adiduniawi, jadi bukan pada kehendak rakyat atau pada suatu kecakapan empiris khususnya penguasa.
b. Legitimasi eliter
Legitimasi yang mendasarkan hak untuk memerintah pada kecakapan khusus suatu golongan untuk memerintah. Paham legitimasi ini berdasarkan anggapan bahwa untuk memerintah masyarakat diperlukan kualifikasi khusus yang tidak dimiliki oleh seluruh rakyat. Legitimasi eliter dibagi menjadi empat macam yakni (1) legitimasi aristoktratis : secara tradisional satu golongan, kasta atau kelas dalam masyarakat dianggap lebih unggul dari masyarakat lain dalam kemampuan untuk memimpin, biasanya juga dalam kepandaian untuk berperang. Maka golongan itu dengan sendirinya dianggap berhak untuk memimpin rakyat secara politis. (2) legtimasi ideologis modern : legitimasi ini mengandaikan adanya suatu idiologis negara yang mengikat seluruh masyarakat. Dengan demikian para pengembangan idiologi itu memiliki privilese kebenaran dan kekuasaan. Mereka tahu bagaimana seharusnya kehidupan masyarakat diatur dan berdasarkan monopoli pengetahuan itu mereka menganggap diri berhak untuk menentukkannya. (3) legitimasi teknoratis atau pemerintahan oleh para ahli: berdasarkan argumentasi bahwa materi pemerintahan masyarakat dizaman modern ini sedemikian canggih dan kompleks sehingga hanya dapat dijalankan secara bertanggungjawab oleh mereka yang betul-betul ahli. (4) legitimasi pragmatis: orang, golongan atau kelas yang de facto menganggap dirinya paling cocok untuk memegang kekuasaan dan sanggup untuk merebut serta untuk menanganinya inilah yang dianggap berhak untuk berkuasa. Calah satu contoh adalah pemerintahan militer yang pada umumnya berdasarkan argumen bahwa tidak ada pihak lain yang dapat menjaga kestabilan nasional dan kelanjutan pemerintahan segara secara teratur.
Menurut Andrain dalam Ramlan Subakti (Memahami Ilmu Politik, 1999:97) berdasarkan prinsip pengakuan dan dukungan masyarakat terhadap pemerintah maka legitimasi dikelompokkan menjadi lima tipe yaitu :
1. Legitimasi tradisional; masyarakat memberikan pengakuan dan dukungan kepada pemimpin pemerintahan karena pemimpin tersebut merupakan keturunan pemimpin ”berdarah biru” yang dipercaya harus memimpin masyarakat.
2. Legitimasi ideologi; masyarakat memberikan dukungan kepada pemimpin pemerintahan karena pemimpin tersebut dianggap sebagai penafsir dan pelaksana ideologi. Ideologi yang dimaksudkan tidak hanya yang doktriner seperti komunisme, tetapi juga yang pragmatis seperti liberalisme dan ideologi pancasila.
3. Legitimasi kualitas pribadi; masyarakat memberikan pengakuan dan dukungan kepada pemerintah karena pemimpin tersebut memiliki kualitas pribadi berupa kharismatik maupun penampilan pribadi dan prestasi cemerlang dalam bidang tertentu.
4. Legitimasi prosedural; masyarakat memberikan pengakuan dan dukungan kepada pemerintah karena pemimpin tersebut mendapat kewenangan menurut prosedur yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.
5. Legitimasi instrumental; masyarakat memberikan pengakuan dan dukungan kepada pemerintah karena pemimpin tersebut menjanjikan atau menjamin kesejahteraan materiil (instrumental) kepada masyarakat.
2.4 Sumber Kekuasaan
Ada beberapa cara mengapa seseorang atau sekelompok orang memiliki kekuasaan, yaitu : (Inu Kencana, 200:54)
1. Legitimate Power
Legitimate berarti penangkatan, jadi legitimate power adalah perolehan kekuasaan melalui pengangkatan.
2. Coersive Power
Perolehan kekuasaan melalui kekerasan, bahkan mungkin bersifat perebutan atau perampasan bersenjata yang sudah tentu diluar jalur konstitusional atau biasa disebut dengan kudeta.
3. Expert Power
Perolehan kekuasaan melalui keahlian seseorang, maksudnya pihak yang mengambil kekuasaan memang memiliki keahlian untuk memangku jabatan tersebut.
4. Reward Power
Perolehan kekuasaan melalui suatu pemberian atau karena karena berbagai pemberian. Sebagai contoh bagaimana orang-orang kaya dapat memerintah orang-orang miskin untuk bekerja dengan patuh. Orang-orang yang melakukan pekerjaan tersebut hanya karena mengharapkan dan butuh sejumlah uang pembayaran (gaji).
5. Reverent Power
Perolehan kekuasaan melalui daya tarik seseorang. Walaupun daya tarik tidak menjadi faktor utama mengapa seseorang ditentukan menjadi kepala kemudian menguasai keadaan, namun daya tarik seperti postur tubuh, wajah, penampilan dan pakaian yang parlente dalam mementukan dalam mengambil perhatian orang lain, dalam usaha menjadi kepala.
6. Information Power
Kekuasaan yang dipeorleh karena seseorang yang begitu bayak memiliki keteranga sehingga orang lain membutuhkan dirinya untuk bertanya, untuk itu yang bersangkutan membatasi keterangannnya agar terus menerus dibutuhkan.
7. Connetion Power
Mereka yang mempunyai hubungan yang luas dan banyak akan memperoleh kekuasaan yang besar pula, baik dilapangan politik maupun perekonomian. Yang biasa disebut dengan ”relasi”. Atau kekuasaan seseorang memiliki hubungan keterkaitan dengan seseorang yang memang sedang berkuasa, hal ini biasanya disebut denga hubunga kekerabatan atau kekekeluargaan.
Menurut beberapa ahli yang dikutip Muchtar Pakpahan (Ilmu Negara dan Politik,2006:68 , ada tiga teori sumber kekuasaan yakni:
1. Teori Teokrasi.
Teori ini menyatakan bahwa kekuasaan itu datangnya dari tuhan. Tuhanlah yang mengangkat orang untuk mewakili tuhan mengatur pemerintahan.
2. Teori Hukum Alam.
Teori ini menyatakan bahwa kekuasaan itu ada karena diperjanjikan oleh masyarakat. Selanjutnya masyarakat membuat perjanjian untuk mengangkat siapa yang memegang kekuasaan.
3. Teori Kekuatan.
Teori ini menyatakan siapa yang kuat dari antara masyarakat itu, dialah yang muncuk sebagai pemegang kekuasaan.
2.5 Pembagian Kekuasaan
Inu Kencana (Ilmu Politik, 2000:60) mengutip pendapat para ahli pemerintah mengusulkan pendapat untuk membagi atau memisahkan kekuasaan, walaupun pada prinsipnya tidak pernah secara keseluruhan diikuti oleh para birokrat. Pendapat-pendapat tersebut dapat digolongkan sebagai berikut :
§ Eka Praja
Kekuasaan dipegang oleh satu badan. Bentuk ini sudah tentu diktator (authokrasi) karena tidak ada balance (tandingan) dalam era pemerintahan. Jadi yang ada hanya pihak eksekutif saja dan bisa muncul pada suatu kerajaan absolut dan pemerintahan fasisme.
§ Dwi Praja
Kekuasaan dipegang oleh dua badan. Bentuk ini oleh Frank J. Goodnow dan Wodrow Wilson dikategorikan sebagai lembaga administratif (unsur penyelenggara pemerintahan) dan lembaga politik (unsur pengatur undang-undang).
§ Tri Praja
Kekuasaan dipegang tiga badan. Bentuk ini banyak diusulkan oleh para pakar yang menginginkan demokrasi murni, yaitu dengan pemisahan atas lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif. Tokohnya, montesquieu dan John Locke.
§ Catur Praja
Kekuasaan dipegang empat badan. Bentuk ini baik apabila benar-benar dijalankan dengan konsekuen, bila tidak akan tampak kemubaziran. Van Vollenhoven Mengkategorikan bentuk ini yakni :
1. Regeling (Kekuasaan membuat undang-undang)
2. Bestuur (Kekuasaan pemerintah)
3. Politie (Kekuasaan kepolisian)
4. Rechtsspraak (kekuasaan mengadili)
§ Panca Praja
Kekuasaan dipegang lima lembaga. Bentuk ini sekarang dianut Indonesia, karena walaupun dalam hitungan tampak ada enam badan yaitu konsultatif, eksekutif, legislatif, yudikatif, inspektif, dan legislatif, namun dalam kenyataannya konsultatif (MPR) anggota-anggotanya terdiri dari anggota legislatif.
Inu Kencana (Ilmu Politik, 2000:61-63), dengan mengutip pendapat beberapa ahli mengatakan pemisahan tersebut secara lengkap adalah sebagai berikut:
Menurut Gabriel Almond
1. Rule Making Function
2. Rule Application Function
3. Rule Adjudication Function
Menurut Montesquieu (1689-1755)
1. Kekuasaan Legislatif, yaitu pembuat undang-undang
2. Kekuasaan Eksekutif, yaitu pelaksana undang-undang
3. Kekuasaan Yudikatif, yaitu yang mengadili (badan peradilan)
Menurut John Locke (1632-1704)
1. Kekuasaan Legislatif
2. Kekuasaan Eksekutif
3. Kekuasaan Federatif (untuk memimpin perserikatan)
Menurut Lemaire
1. Wetgeving: Kewenaga membuat undang-undang
2. Bestuur : Kewenangan pemerintahan
3. Politie: Kewenangan Penertiban
4. Rechtsspraak: Kewenangan peradilan
5. Bestuur Zorg : Kewenangan untuk mensejahterakan masyarakat.
2.6 Bentuk-bentuk Legitimasi
Pendobrakan legitimasi kekuasaan religious melahirkan etika politik. Ada dua perkembangan dalam pengertian manusia yang secara terpisah. Yang pertama, kesadaran bahwa hanya ada satu Allah dan segala dimensi yang lain adalah ciptaan belaka. Yang kedua, lahir bersama dengan filsafat paham modern di Yunani. Kenegaraan merupakan sesuatu yang biasa bagi mereka dan kekuasaan nampak sebagaimana adanya. Dua perkembangan penduniawian bidang kekuasaan politik itu secara mendalam mempengaruhi dua lingkungan budaya dan agama besar di dunia ini. Pertama di dunia Kristen dan kedua didunia Islam.
1. Paham Umum Legitimasi
Menurut Max Weber ³kekuasaan adalah kemampuan untul, dalam suatu hubungan sosial, melaksanakan kemauan sendiri sekalipun mengalami perlawaanan, dan apa pun dasar kemampuan ini´. Setiap kekuasaan Negara memiliki otoritas dan wewenang. Otoritas adalah kekuasaan yang dilembagakan, yaitu kekuasaan yang tidak hanya de facto menguasai, melainkan juga berhak untuk menuntut ketaatan, jadi berhak untuk memberikan perintah. Wewenang memiliki keabsahan apabila sesuai dengan norma-norma yang ada.
2. Obyek LegitimasiAda dua pertanyaan legitimasi
a. Legitimasi materi
Wewenang mempertanyakan wewenang dari segi fungsi. Wewenang tertinggi dalam dimensi politis kehidupan manusia menjelma dalam dua lembaga yang sekaligus merupakan dua dimensi hakiki kekuasaan politik. Dalam hukum sebagai lembaga penataan masyarakat yang normatif, dan dalam kekuasaan negara sebagai lembaga penataan efektif.
b. Legitimasi subyek kekuasaan
Mempertanyakan apa yang menjadi dasar wewenang seseorang.
Ada 3 macam legitimasi subyek kekuasaan, yaitu legitimasi religius, legitimasieliter, legitimasi demokratis.
a. Legitimasi religious
Mendasarkan hak untuk memerintah pada faktor-faktor yang diduniawi. Ada dua paham legitimasi religius, yaitu penguasadipandang sebagai manusia yang memiliki kekuatan-kekuatanadiduniawi dan wewenang penguasa pada penetapan oleh Allah. Perbedaan antara dua paham tersebut ialah bahwa paham gaib tidak memungkinkan tuntutan legitimasi moral, sedangkan paham penetepan oleh Allah Yang Esa malah mempertajam tuntutan itu.
b. Legitimasi eliter
Mendasarkan hak untuk memerintah pada kecakapan khusus suatu golongan untuk memerintah. Untuk memerintah rakyat dibutuhkan kualifikasi khusus. Kita dapat membedakan antara sekurang-kurangnya empat macam legitimasi eliter. Yang tertua adalah legitimasi arsitokratis (suatu golongan dianggap lebih unggul dari masyarakat lain dalam kemampuan memimpin), legitimasi pragmatis (golongan yang de facto menganggap diri paling cocok untuk memegang kekuasaan dan sanggup untuk merebut serta untuk menangani), legitimasi ideologis (mengandaikan ada suatu ideology yang mengikat seluruh masyarakat), legitimasi teknokratis ( dizaman yang modern ini hanya mereka yang bertanggung jawab yang dapat menjalankan pemerintahan)
c. Legitimasi demokratis
Berdasarkan prinsip kedaulatan rakyat, yang akan merupakan salahsatu pokok pembahasan dalam buku ini.
2.7 Kriteria Legitimasi
Pada prinsipnya ada 3 kemungkinan kriteria legitimasi, yaitu :
a. Legitimasi Sosiologis
Legitimasi sosiologis yaitu mempertanyakan mekanisme motivatif mana yang nyata-nyata memmbuat masyarakat mau menerimawewenang penguasa. Sejauh sosiologis membatasi diri pada penggambaran fungsi-fungsi yang terdapat dalam masyarakat, sosiologis mengajukan pertanyaan apakah, dan karena motivasi manakah, suatu tatanan kenegaraan diterima dan disetujui oleh masyarakat. Max Weber merumuskan tiga motivasi penerimaan kekuasaan klasik :
· Legitimasi Tradisional Adalah keyakinan masyarakat tradisional, bahwa pihak yangmenurut tradisi lama memegang pemerintahan memang berhak untuk berkuasa (ex : bangsawan atau keluarga raja)
· Legitimasi Karismatik Adalah rasa hormat, kagum atau cinta masyarakat kepada seorang pribadi sehingga dengan sendirinya bersedia untuk taatkepadanya (ex : seseorang yang dianggap memiliki kesaktian)
· Legitimasi Rasional-Legal Adalah kepercayaan pada tatanan hukum rasional yang melandasi kedudukan seorang pemimpin
b. Legalitas
Kata “legal”berarti “sesuai dengan hukum”. Legalitas adalah kesesuaian dengan hukum yang berlaku. Legalitas adalah salah satu kemungkinan bagi keabsahan wewenang dan menuntut agar wewenang dijalankan sesuai dengan hukum yang berlaku. Adalah cukup jelas bahwa legalitas tidak mungkin merupakan tolak ukur paling fundamental bagikeabsahan wewenang politis, karena legalitas hanya dapat memperbandingkan suatu tindakan dengan hukum yang berlaku, maka selalu sudah diandaikan keabsahan hukum. Pendasaran wewenang politik pada legalitas akhirnya merupakan regressus ad infinitum (mundur tanpa akhir) karena hukum positif yang mendasari legalitas selalu harus berdasarkan suatu hukum positif lagi.Dengan kata lain, legitimasi paling fundamental tidak dapat didasarkan pada penetapan hukum positif.
c. Legitimasi Etis
Mempersoalkan keabsahan wewenang kekuasaan politik dari seginorma-norma moral. Setiap tindakan negara (eksekutif atau legislatif) dapat harus dipertanyakan dari segi norma-norma moral. Legitimasietis yang menjadi pokok bahasan etika politik tidak menyangkut masing-masing kebijaksanaan dari kekuasaan politik, melainkan dasar kekuatan politis itu sendiri.
d. Kekhasan Legitimasi Etisa.
Legitimasi etis dan legalitasLegitimasi etis dimaksud pembenaran atau pengabsahan wewenang negara berdasarkan prinsip-prinsip moral, maka legalitas menyangkut fungsi-fungsi kekuasaan negara dan menuntut agar fungsi-fungsi itu diperoleh dan dilakukan sesuai dengan hukum yang berlaku. Namun legalitas semata-mata tidak dapat menjamin legitimasi etis. Dikarenakan,legalitas hanya memakai hukum yang berlaku sebagai kriteria keabsahan.
2.8 Konsep-konsep legitimasi pemberian kekekuasaan dalam teori politik.
Dalam sistem demokrasi, kekuasaan yang dimiliki oleh seorang pemimpin berasal dari rakyat berdasarkan suatu perjanjian yang dibuat antara pemimpin dengan rakyat yang dinamakan dengan kontrak sosial. Menurut Hobbes, manusia sebelum adanya negara dalam keadaan anarkis, mementingkan diri sendiri, penuh dendam kesumat, bertindak ganas dan sewenang-wenang. Manusia digambarkan memiliki hak alamiah (natural right) tanpa batas. Kepemilikan hak tanpa batas ini mengakibatkan perselisihan tanpa kesudahan. Tegasnya manusia digambarkan bukan hanya pra sosial akan tetapi juga mengalami pra politik. Jika hal ini dibiarkan berkepanjangan akan mengakibatkan punahnya kehidupan manusia. oleh karena itu mereka bersepakat untuk menyerahkan segala hak mereka kepada individu atau lembaga tertentu yang dinamakan dengan sovereign body untuk mengatur mereka. Sovereign body tidak membuat perjanjian apapun dengan masyarakat bahkan sebaliknya masyarakatlah yang mengakui dan menjustifikasi serta mengikat janji taat setia kepadanya.
Teori ini berkembang selangkah lagi dengan munculnya John Locke yang beranggapan bahwa manusia pra negara hanyalah manusia pra politik bukannya pra sosial sebagaimana digambarkan Hobbes. Walaupun tanpa institusi politik, manusia dikatakan hidup dibawah peraturan undang-undang alamiah (law of nature). Permasalahan muncul ketika tidak ada lembaga yang menafsirkan undang-undang tersebut, sehingga masing-masing individu menafsirkan sesuai dengan kehendak masing-masing. Keadaan kacaupun terjadi apabila kepentingan saling bertentangan. Berdasarkan hal ini, maka diperlukan suatu lembaga yang dapat menafsirkan dan mengimplimentasikan undang-undang yang dapat diterima oleh semua kalangan. Dengan demikian maka sebuah masyarakat sipil dirasakan perlu untuk diwujudkan.
Menurut Locke, perjanjian yang dibuat adalah penyerahan kekuasaan kepada masyarakat bukan kepada Negara sebagaimana pandangan Hobbes. Dengan demikian Negara ada demi kepentingan rakyat bukan sebaliknya. Rakyat masih memiliki kebebasan individu sebagaimana sebelum terwujudnya Negara karena yang diserahkan hanya hak untuk melaksanakan undang-undang. Negara hanya boleh memerintah atas persetujuan rakyat untuk memelihara dan menjaga kesejahteraan rakyat. Pada sisi lain pemerintah tidak memiliki hak untuk berbuat sewenang-wenang terhadap rakyat. Apabila tujuan yang disepakati-menjaga kesejahteraan rakyat- tidak tercapai maka hak rakyat untuk menentang tidak boleh dibelenggu. Teori Locke yang menyatakan pemerintahan ada dengan restu rakyat merupakan dasar sistem demokrasi perwakilan yang dianut sekarang.
Teori kontrak sosial berkembang lebih jauh dengan kehadiran pemikir politik Perancis Jean Jaques Rosseuau yang berpandangan bahwa manusia sebelum adanya Negara berada dalam keadaan tenteram dan aman. Bagaimanapun keadaan ini berubah dengan bertambah banyak jumlah masyarakat sehingga terjadi pergesekan yang mengakibatkan huru-hara dan pertumpahan darah akibat mempertahankan kepemilikan pribadi (private property). Persengketaan dalam mempertahankan hak peribadi dan konflik antara golongan kaya dengan miskin membuat manusia mencari jalan keluar dengan mengikat suatu perjanjian bersama. Dalam perjanjian tersebut semua hak individu diserahkan kepada masyarakat. Penyerahan ini membuat masyarakat berdaulat dan berkuasa, disinilah masyarakat sipil (civil Society) lahir.
Rosseuau memperkenalkan suatu konsep baru dalam kontrak sosial yang berbeda dengan konsep Hobbes dan Locke yang berupa konsep “kehendak umum” (general Will). Berasaskan konsep ini maka segala bentuk undang-undang yang dibuat harus sesuai dengan kehendak umum, dan pemimpin Negara hanya pelaksana keputusan rakyat. Dengan demikian Rosseuau dapat dikatakan cenderung menyokong sistem demokrasi langsung, dimana jika perlu semua orang turut dilibatkan dalam mengamil keputusan sebelum dilaksanakan oleh kepala Negara.
Konsep yang dikemukakan oleh Rosseuau jelas menjadi penguat konsep demokrasi dan asas kedaulatan rakyat. Dengan demikian kehendak rakyat merupakan penentu dalam setiap apa yang dilakukan oleh kepala Negara, bukannya kekerasan. Penekanan kepada konsep kehendak umum memperlihatkan betapa Rosseuau mendukung ciri-ciri demokrasi langsung yang berupa pemilihan umum dan jajak pendapat (referendum) sebagai unsur penting dalam membuat keputusan. Besarnya kekuasaan yang dimiliki rakyat juga memberikan justifikasi kebolehan menentang pemerintahan yang sewenang-wenang.
Sungguhpun konsep perjanjian masyarakat tersusun dengan begitu rapi, namun pada hakikatnya konsep ini adalah bersifat andaian dan hipotetikal yang belum dapat dibuktikan secara nyata dalam tataran praktis. Sedangkan konsep bai’ah dalam perspektif Islam bukan hanya andaian dan angan-angan, akan tetapi telah dibuktikan dalam sejarah dan benar-benar berlaku secara nyata semenjak khalifah pertama dilantik oleh rakyat.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan analisa teori-teori yang ada, kami menyimpulkan Negara Indonesia menganut teori kedaulatan rakyat, karena teori ini menggambarkan bahwa kekuasaan ada pada rakyat yang diwalkan oleh seseorang yang dipilih langsung oleh rakyat. Adapun struktur lembaga negara di Indonesia seperti DPR bersifat menampung setiap aspirasi dari masyarakat dan bertujuan untuk kebaikan masyarakat itu sendiri. Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh J.J. Rousseau bahwa kedaulatan rakyat itu adalah cara atau sistem yang bagaimana pemecahan suatu soal memenuhi kehendak umum.
3.2 Saran
Makalah ini tersusun dari hasil kerja sama kelompok dan masih sangat memiliki banyak kekurangan baik dalam segi materi dan penyajiannya. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan karya ini akan bermanfaat bagi penulis sendiri maupun kepada para pembaca. Kritik dan saran yang bersifat membangun juga sangat diharapkan demi terwujudnya kesempurnaan penyelesaiannya kelak.
DAFTAR PUSTAKA
Bdk. F. Budi Hardiman, 2007, ”Machiavelli dan Seni Berkuasa” dalam Filsafat Politik (diktat), Jakarta : STF Driyarkara, hlm. 26.
Budi Hardiman, F. Filsafat Modern:Dari Marchiavelli sampai Nietzsche. Gramedia:Jakarta, 2007. Hlm. 18-19.
Hardiman, F. Budi. Filsafat Fragmentaris. Yogyakarta: Kanisius. 2007.
Hardiman, F. Budi.. Filsafat Modern: Dari Machiavelli sampai Nietzsche. Jakarta : Gramedia. 2007
Hardiman, F. Budi. Filsafat Politik (diktat). Jakarta: STF Driyarkara. 2007.
Hardiman, F. Budi. 2001. “’Politik’ dan ’Antipolitik’: Hannah Arendt Tentang Krisis Negara” dalam Atma nan Jaya, Tahun XV, No. 3. Jakarta : Lembaga Penelitian Atmajaya.
Hardiman, F. Budi. 2002. ”Membaca ’Teks Negatif’ Hannah Arendt” dalam
Rapar, J. H. Filsafat Politik:Plato, Aristoteles, Agustinus, Marchiavelli.Grafindo Persada: Jakarta, 2002.
Rapar, J.H. Filsafat Politik:Plato, Aristoteles, Agustinus, Marchiavelli. Op Cit. Hlm. 441.
Sularto, ST. Niccolo Machiavelli: Penguasa Arsitek Masyarakat. Jakarta: Kompas. 2003.