Andriyansyah Marjuki, S.S., Gr

Guru Bahasa Indonesia SMAN 1 Cikarang Utara

NASI BUNGKUS PRESIDEN

Cerita Pendek Karya A. Marjuki

Sore itu aku berjalan susuri barisan gerbong kereta tua yang sudah pensiun. Di gerbong-gerbong yang sudah pensiun inilah tinggal beberapa keluarga kecil yang tidak mampu membeli apartement atau sekadar mengontrak sebuah kamar sempit di kota yang sudah tidak layak huni ini. Kota ini memang sudah hampir tak mengenal kata 'manusiawi'. Ketika aku berada di samping salah satu gerbong kereta tua dengan jendela yang sudah retak, tiba-tiba terdengar sebuah suara menyayat hati.

“Bu ..., lapar ....”

Kupertajam indera dengarku.

“Bu, pengen makan ....”

“Iya, Nak, ibu tahu kau lapar. Tapi, ibu tak punya apa-apa. Tunggu bapak, ya ....”

“Bu ..., aku lapar.”

“Iya, Nak, ibu tahu. Tunggu bapakmu.”

Aku tak berdaya mendengarnya. Kuingin membantu, tapi ... nasibku serupa. Sudah sejak pagi tadi perutku hampa. Hanya air mineral yang bisa kuteguk. Itupun hanya setengah botol yang tersisa. Beruntung kutemukan botol air itu di kursi gerbong kereta paling ujung yang baru saja tiba dari Surabaya. Tak biasanya aku kehabisan barang penumpang yang tertinggal.

“Bu, lapar ....”

“Iyaaaa, Nak, tunggu bapakmu.”

Tiba-tiba kulihat di kejauhan tampak seorang tua berjalan agak gontai. Dia menghampiri sumber suara yang kudengar tadi.

“Nak, Tuhan mendengarmu. Bapakmu sudah datang. Semoga ia membawa makanan.”

“Bu, bapak pulang.”

“Bapak ..., Ara lapar, mau makan.”

“Iya, Nak, bapak juga dengar suaramu. Beruntung kita hari ini karena presiden kita mau menaikkan harga BBM. Semoga terus setiap hari berita itu muncul.”

“Pak, Ara lapar. Ara gak ngerti BBM. Ara mau makan.”

“Iya, Nak. Bapak tahu. Bapak bawa makanan. Tapi, kamu harus bilang makasih.”

“Iya, Pak, makasih.”

“Bukan ke bapak, Nak, tapi ke presiden kita.”

“Memang makanan ini dari presiden ya, Pak?”

“Iya, Nak, karena presiden mau menaikkan BBM, hari ini bapak dapat makanan.”

“Pak presiden yang ngasih nasi bungkus ini, Pak? Bapak tadi ketemu presiden, ya? Bapak hebat. Ara mau ketemu presiden, Pak. Ara mau bilang makasih ke presiden. Bapak antarkan Ara, Ya ....”

“Sudah, kamu makan dulu sana. Habiskan ya, Nak.”

Sesaat aku terdiam. Kurenungkan dialog bapak dan anak itu. Presiden memberi nasi bungkus? Kepada bapak tua yang tinggal di gerbong? Telingaku terganggukah? Bermimpikah aku? Atau memang benar sang presiden sebaik itu?

Alangkah baiknya sang presiden. Sungguh seorang pemimpin yang peduli pada rakyatnya. Aku terharu.

Namun tiba-tiba secuil otakku berontak. Tidak, presiden tidak sebaik itu. Kudengar tadi ada isu BBM akan dinaikkan. BBM naik. Bukankah hal itu berat untuk rakyat? Termasuk aku dan bapak itu sekeluarga akan terkena dampaknya.

BBM naik. Presiden memberi nasi bungkus. Apa hubungannya?

Otakku yang kerdil ini tak sanggup temukan jawabannya. Aku linglung. Di tengah kelinglunganku aku limbung. Aku tertidur dengan perut yang hanya terisi air mineral setengah botol, yang tadi tertinggal.

Keesokan paginya aku terbangun. Seperti biasanya kususuri gerbong demi gerbong berharap ada makanan atau barang penumpang tertinggal. Hari ini aku lebih beruntung. Kutemukan di salah satu gerbong, setengah roti sobek ukuran sedang dan seperapat botol air mineral. Tuhan berbaik hati padaku. Walau bukan presiden yang memberiku makan, aku bersyukur Tuhan masih sayang padaku.

Hari ini perutku lebih terisi. Sepertinya utangku pada perutku kemarin telah kulunasi. Kunikmati kebaikan Tuhan hari ini. Puas mengisi perut, aku berjalan susuri barisan gerbong-gerbong tua yang sudah pensiun. Aku di salah satu gerbong, sedangkan bapak tua yang mendapat nasi bungkus dari presiden itu dan keluarganya di gerbong selanjutnya.

Masih penasaran dengan kisah mereka kemarin. Aku pun lalu kembali mendekati mereka. Kucoba menguping untuk mendapatkan jawaban. Benarkah sang presiden memberikan nasi bungkus kepada bapak tua itu? Lalu apa hubungannya dengan BBM akan naik?

Dengan sabar kutunggu si bapak tua itu pulang. Lalu seperti hari-hari sebelumnya. Kudengar dialog dengan urutan yang sudah kuhapal.

“Bu, lapar ... mau makan.”

“Iya, Nak, tunggu bapak pulang.”

Seperti sebelumnya pula, beberapa lama kemudian sang bapak tua pulang. Tentu saja membawa makanan untuk anaknya.

“Pak, lapar ....”

“Iya, Nak, nih bapak bawa nasi bungkus lagi buat kamu. Ini dari presiden juga, Nak.”

“Bapak ketemu pak presiden lagi?”

Sang bapak tua tak menjawab. Ia malah menjawab seperti tadi.

“Nasi ini dari presiden kita, Nak.”

Lalu meminta anaknya makan.

“Sudah, makan dulu sana. Habiskan nasi dari pak presiden.”

Beberapa saat kemudian, sang ibu menarik bapak tua itu menjauh dari anaknya. Kemudian ia berbisik. Sayup kudengar dialog mereka, sementara si anak asik dengan makanannya.

“Bapak benar bertemu pak presiden? Benar Bapak diberi nasi bungkus oleh presiden? Benar Bapak .... Benar Bapak ....”

Rentetan pertanyaan berbisik itu meluncur deras dari mulut sang ibu. Seolah menumpahkan segudang rasa penasaran.

Hahahaha, ternyata rasa penasaranku tak kalah dengan sang ibu. Dalam hati aku merasa sebentar lagi penasaran itu 'kan terjawab.

Dengan tenang sang bapak memegang kedua pundak sang ibu.

“Bu, kita ini siapa? Presiden kita siapa? Kita tinggal di gerbong tua, beliau di istana. Dia tak mengenal kita, Bu. Dia tak kenal bapak. Lagipula, Ibu percaya bahwa presiden memberi nasi bungkus kepada rakyat hina seperti kita?”

“Tapi, Pak .... Beberapa hari ini bapak bilang dapat nasi bungkus dari presiden.”

“Bu ..., bapak sendiri takkan percaya seandainya hal itu benar.”

“Lalu, Pak .... Dari mana nasi bungkus itu?”

Rasa penasaranku semakin menjadi. Otakku mendidih, badanku bergetar menanti jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan itu.

“Bu, bapak beberapa hari ini mendekati lokasi demonstrasi. Mereka katanya menolak kenaikan BBM. Bapak tidak tahu masalah BBM. Bapak juga tak peduli. Siang-malam kita tidak berhubungan dengan BBM. Yang bapak tahu, menurut teman-teman pemulung lainnya, di sana ada demonstrasi. Mereka menolak BBM naik.

Kata mereka, setiap siang sekitar jam 12-an pendemo itu istirahat. Mereka makan siang. Mereka bilang setiap siang itu ada beberapa orang yang datang membawa makanan, nasi bungkus. Nasi bungkus itu dibagikan kepada para pendemo. Tukang becak, pengemis, dan pemulung yang ada di sana dikasih juga, Bu.

Beberapa hari ini bapak mendekati demonstrasi dan ketika pembagian nasi, bapak juga dapat bagian. Bapak tidak tahu siapa yang mengirim nasi bungkus itu. Bapak cuma tahu pak presiden ingin menaikkan harga BBM. Bagi bapak, nasi bungkus ini karena niat presiden, nasi ini dari presiden.”

Seketika aku tergagap. Aku terdiam berjuta bahasa. Presiden memang baik hati. Presiden memang memberi nasi bungkus kepada bapak tua itu.

===TAMAT===


(Cikarang Utara, Minggu, 8 April 2012; revisi ejaan: Kamis, 11 Maret 2021)

=========================================


Tentang Cerpen

Cerpen di atas ditulis pertama kali pada tanggal 8 April 2012 dan direvisi ejaannya sesuai dengan PUEBI (Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia) pada hari Kamis, 11 Maret 2021. Awalnya cerpen ini dimuat di Twitter. Lalu dimuat di blog pribadi penulis, yaitu http://basando.blogspot.com/2012/07/cerpen-nasi-bungkus-presiden.html. Selanjutnya, diposting di situs Loker Seni (https://adoc.pub/keefektifan-strategi-pohon-cerita-dalam-pembelajaran-menyima.html) hingga akhirnya menyebar ke beberapa situs lain, baik dengan izin, maupun tanpa izin dari penulis.

Cerpen ini sudah mendapatkan beberapa apresiasi (ulasan) dari beberapa situs/blog pribadi. Bahkan, sudah dijadikan sebagai objek penelitian ilmiah di UNY (Universitas Negeri Yogyakarta) dalam skripsi Veronica Ade Rani Larasati yang berjudul Keefektifan Strategi Meringkas Berkelompok dalam Pembelajaran Membaca Cerpen Siswa Kelas X SMA Negeri 1 Gamping, Sleman (lihat: https://docplayer.info/59527892-Keefektifan-strategi-meringkas-berkelompok-dalam-pembelajaran-membaca-cerpen-siswa-kelas-x-sma-negeri-1-gamping-sleman-skripsi.html; http://eprints.uny.ac.id/20695/1/Veronica%20Ade%20Rani%20Larasati%2010201244021.pdf) dan dalam skripsi Velania Devy Pramita yang berjudul Keefektifan Strategi Pohon Cerita dalam Pembelajaran Menyimak Cerpen pada Siswa Kelas XI SMA N 6 Yogyakarta (lihat: https://adoc.pub/keefektifan-strategi-pohon-cerita-dalam-pembelajaran-menyima.html).

Kisah cerpen tersebut terinspirasi dari peristiwa-peristiwa demonstrasi mahasiswa untuk memprotes kebijakan pemerintah mengenai kenaikan harga BBM. Ada secuil kisah yang menarik dibalik demonstrasi tersebut hingga akhirnya dijadikan cerpen. Tentu saja sudah diberi sedikit bumbu imajinasi dan cinta.

Tentang Penulis

Penulis yang saat ini lebih senang menggunakan nama A. Marjuki masih terdaftar dalam Dapodik sebagai guru Bahasa Indonesia di SMA Negeri 1 Cikarang Utara. Kegiatan mengajar dimulai sejak Juli 2009 di sekolah yang sama. Namun demikian, penulis pernah beberapa kali menjadi guru “terbang” di beberapa sekolah swasta dan dosen “terbang” di beberapa kampus swasta dan Universitas Terbuka. Selain itu, penulis juga masih menjadi Instruktur/Tentor di lembaga bimbingan belajar. Penulis pernah mengikuti pelatihan Instruktur Nasional untuk Kurikulum 2013 dan sudah meraih sertifikat pendidik sejak 2019. Kini, salah satu hal yang masih diperjuangkannya adalah status sebagai guru PNS atau PPPK. Mohon doanya semoga Allah SWT memberikan yang terbaik. Silakan baca tulisan lainnya di https://www.kompasiana.com/abankjuki.


PURNAMA DI BALIK AWAN


Cerita Pendek Karya A. Marjuki

Adakah keindahan

Sunyi sepinya malam tanpa purnama

Adakah menawannya malam nir sinar purnama

Adakah cerahnya gelap pekat nan kelam nir purnama


Purnama, oh purnama, engkau sang purnama yang cerah

Engkaulah yang dinanti para pecinta nan dirundung duka

Engkaulah penghangat jiwa beku, kaulah yang kunanti

Kutunggu, kubuka jendela hatiku yang tertutup

Tengadahkan hadapku ke hamparan

Langit maha luas



Tiga bulan berlalu sejak terakhir kali kulihat dirinya. Sejak pemecatan dirinya yang menyakitkan. Aku ingat saat itu ia masih asyik bekerja di balik meja kasir. Sebelum akhirnya sang manajer toko kami memanggilnya.

Setiap hari ia selalu berada di posisi yang sama dengan tugas yang sama. Tak pernah nampak kelelahan di rona wajahnya, melainkan senyum ramah kepada setiap pelanggan. Tak tampak tanda-tanda adanya masalah besar dalam hidupnya. Mungkin senyumnyalah yang menjadi salah satu faktor penarik pelanggan untuk selalu kembali ke waralaba tempat kami bekerja.

Ia bukan bidadari. Ia hanyalah perempuan yang terlalu tangguh menghadapi kerasnya hidup. Di tengah keterbatasan ekonomi keluarganya, ialah yang menyangga tiang kehidupan keluarganya. Kadang aku heran, bagaimana mungkin seorang kasir di waralaba seperti itu mampu menyekolahkan adiknya di bangku SMP. Setahuku gaji kasir hanya cukup untuk ongkos dan makan sehari-hari seorang diri saja. Bagaimana mungkin ia mampu?

Aku saja yang menjadi karyawan senior di waralaba tersebut hanya mampu menghidupi diriku sendiri, bahkan kadang gajiku tak cukup untuk mencukupi kebutuhan pribadi. Seringkali malah, orang tuaku memberi subsidi kepadaku untuk sekadar uang makan dan ongkos menuju tempat kerjaku itu.

Karena itulah, kadang otakku melenceng jauh dan berpikiran negatif tentang Inov, perempuan yang terlalu tangguh itu. Wajah cantiknya dan tubuh seksinya seringkali membuatku membayangkan bahwa mungkin saja penghasilan lain ia dapatkan dengan memanfaatkan kelebihannya itu. Lelaki normal mana yang tak tertarik dengan dirinya.

Sering kucuri-dengar pembicaraan para pelanggan dengan dirinya. Selain dialog standar berkaitan dengan pembayaran barang belanjaan, kadang terselip pertanyaan (baik langsung maupun tersirat) mengenai nomor HP-nya ataupun WA-nya. Bagiku itu adalah sebuah pertanda jelas dari ketertarikan seorang lelaki kepada bidadari cantik seperti Inov.

***

Aku bekerja di waralaba ini lebih dahulu daripada Inov. Kurang lebih setelah setahun aku mulai kerja, datanglah Inov mengajukan lamaran. Awalnya lamaran itu didiamkan selama kurang lebih dua minggu karena memang tempatku bekerja ini belum membutuhkan karyawan/karyawati baru. Barulah ketika ada salah satu karyawati yang mengundurkan diri, Inov dipanggil untuk mengikuti tes dan wawancara. Tak butuh waktu lama, beberapa hari kemudian dia diterima kerja dan mulai bertugas khusus sebagai kasir.

Tak banyak yang kuketahui tentang dirinya pada awal dia bekerja. Selain itu, memang aku tidak terlalu peduli dengan urusan orang lain. Bagiku cukup untuk mengetahui bahwa dia adalah rekan kerjaku. Ketidakpedulianku itu tak bertahan terlalu lama hingga suatu sore datanglah seorang anak kecil berseragam SMP yang mengaku sebagai adiknya Inov.

“Mas, mbak Inov-nya ada gak?”

Aku yang kebetulan berada di depan karena sedang membersihkan lantai agak keheranan.

“Mbak Inov?”

“Iya, Mas. Mbak Inov ada gak? Aku mau ketemu dia.”

“Ada di dalam. Tuh, dia di kasir. Emang kamu siapa?”

“Aku adiknya mbak Inov, Mas. Aku mau minta uang.”

“Minta uang? kok, minta ke Mbak Inov? Uang buat apa?”

“Tadi di sekolah aku disuruh bapak guru beli buku. Kalau gak beli, aku gak boleh ikut ulangan.”

“Ohh… gitu. Kenapa gak minta ke ibu kamu?”

“Kata Mbak Inov, kalau uang jajan, aku boleh minta ke ibu. Tapi, kalau uang untuk yang lain-lain, aku gak boleh minta ke ibu. Aku disuruh minta ke Mbak Inov aja.”

“Ohh… gitu. Ya sudah, tuh Mbak Inov-nya. Kamu masuk saja.”

Tak berapa lama kemudian anak kecil itu masuk dan langsung menemui Inov. Aku masih belum bisa melepaskan dialog tadi dari ingatanku. Rasanya ada sesuatu yang ganjil. Hingga akhirnya aku tersadar setelah anak kecil tadi keluar dan berpamitan.

“Mas, makasih ya …. Aku pulang dulu ya, Mas.”

“Oh, iya. Hati-hati, ya ….”

Sejak itulah aku menjadi “tertarik” untuk mengetahui kehidupan Inov lebih dalam.

***

Suatu ketika aku berkesempatan untuk mengorek informasi langsung darinya. Kebetulan pada hari itu aku mendapat giliran shift yang sama dengannya. Sepulang kerja kuajak Inov untuk makan malam bersama. Jangan bayangkan candle light dinner di restoran yang mewah! Aku hanya mampu mengajaknya untuk makan malam di tukang nasi goreng pinggir jalan. Setelah memesan nasi untuk kami berdua, mulailah aku membuka pembicaraan.

“Nov, kamu ingat gak, waktu adikmu datang minta uang ke kamu?”

“Iya, kenapa?”

Gak apa-apa, kok. Aku cuma penasaran saja sama kamu.”

“Penasaran kenapa? Emang ada yang salah kalau mbak ngasih uang ke adiknya sendiri?”

“Bukan gitu maksudku. Emang orang tua kalian …, maaf, nih ya sebelumnya …, nggak kerja, gitu?”

“Penting, ya …, aku jawab pertanyaan itu?”

Aku terdiam sesaat. Beruntunglah nasi goreng yang kami pesan tadi sudah siap disajikan. Kebekuan sesaat tadi bisa mencair kembali. Setelah nasi goreng terhidang di hadapan kami, mulailah kami menyantapnya. Setelah beberapa suapan, aku mulai membuka obrolan kembali.

“Nov, maaf, ya …. Aku gak ada maksud membongkar urusan keluargamu. Aku hanya ingin tahu saja.”

Mmm …, ya, sebenarnya gak apa-apa, sih. Cuma aku heran saja, kenapa tiba-tiba kamu ingin tahu urusan keluargaku?”

“Ya, gak apa-apa, Nov. Kalaupun kamu gak mau cerita, gak apa-apa, kok.”

Kami pun kembali beku. Di tengah kebekuan itu, kami hanya bisa menyantap nasi goreng kami masing-masing. Entah rasanya bagi Inov, tapi bagiku nasi goreng itu terasa hambar, hambar sekali.

Beberapa waktu kemudian nasi goreng yang terhidang untuk kami telah tandas karena memang kami berdua lapar. Setelah membayar nasi goreng untuk kami berdua, aku bermaksud mengajaknya pulang. Tapi, ternyata Inov menahanku.

“Dika, tunggu.”

Kenapa? Nasi gorengnya sudah dibayar, kok. Ayo, kita pulang!”

“Tunggu, aku mau ngomong sebentar.”

Aku pun menurut saja. Kami kembali duduk di tempat yang sama. Kebetulan pada saat itu pelanggan nasi goreng tidak terlalu banyak. Jadi, kami bisa dengan leluasa melanjutkan obrolan.

“Dika …, aku mau cerita, tapi janji ya …, kamu gak akan cerita ke orang lain?”

“Iya, aku janji.”

“Sebenarnya kedua orang tuaku sudah tidak bekerja lagi. Ibuku kadang hanya menjadi tukang cuci di rumah tetangga yang kaya. Itupun tidak setiap hari. Bapakku hanya pengumpul barang-barang bekas, plastik, dan kardus. Jika sudah banyak barulah dia bawa ke tukang rongsok untuk dijual. Seminggu sekali biasanya dia bawa semua barang bekas yang dia kumpulkan ke tukang rongsok. Itupun paling hanya dapat 5 sampai 7 kilo saja. Uang yang didapat bapakku paling banyak 20 sampai 30 ribu saja. Hanya cukup untuk makan kami berempat. Seringkali kurang.”

Inov menghela nafas sesaat. Kurasakan betapa beratnya helaan nafas Inov. Aku terdiam. Tak mampu berkata apa-apa. Kemudian sambil sesekali menatap hampa gelapnya langit tanpa purnama, Inov kembali melanjutkan ceritanya.

“Jadi, orang tuaku hanya sanggup memberi uang jajan seadanya. Jika ada keperluan lainnya untuk adikku, akulah yang harus memberinya uang. Aku berusaha sekuat tenagaku agar adikku tidak sebodoh mbaknya. Aku hanya lulusan SMP. Ijazah SMA yang kumiliki hanyalah ijazah Kejar Paket C. Beruntung aku bisa diterima kerja dengan ijazah Kejar Paket C itu.”

Inov kembali menghela nafas yang nampaknya semakin berat. Di sudut matanya kulihat mulai ada tetes bening yang mengintip siap untuk meluncur deras ke pipinya yang mulus. Aku beku. Tak mampu mengeluarkan suara. Dinginnya malam kurasakan tak sedingin tubuhku yang kaku tak berdaya. Inov kembali melanjutkan kisahnya.

“Aku bodoh, hanya lulusan SMP. Aku tak ingin adikku sepertiku. Aku ingin dia terus sekolah hingga SMA. Bahkan, kalau bisa dan aku mampu, aku ingin dia kuliah mendapatkan gelar sarjana.”

Tetes bening yang tadi mengintip sudah mulai mengalir perlahan. Aku masih membeku.

“Sekuatku, semampuku, akan kuusahakan supaya adikku bisa terus sekolah. Aku tak peduli kerja siang-malam. Aku tak peduli betapa lelahnya aku. Yang aku pikirkan hanya adikku.”

Tetes bening lainnya mulai mengikuti aliran yang sama. Kurasa sebentar lagi akan semakin deras. Aku tersadar. Aku tak boleh membiarkannya menangis di tukang nasi goreng pinggir jalan ini. Aku harus segera mengajaknya pulang.

“Nov, sudah cukup aku dengar ceritamu. Ayo, kita pulang! Sudah malam. Besok, kan kita masuk kerja lagi.”

Tanpa banyak kata lagi, kami pun akhirnya pulang. Aku antar dia ke rumahnya yang kebetulan tak terlalu jauh. Setelah mengantarnya pulang, terngiang kembali dialog di tukang nasi goreng itu. Otakku berputar, tapi kurasa putarannya tidak beraturan, mungkin lebih tepatnya absurd.

***

Beberapa minggu kemudian, ketika kami sedang melayani pelanggan seperti biasanya, Inov dipanggil oleh manajer toko kami. Aku tak tahu apa alasannya dan juga tak mau tahu. Sikap acuh tak acuhku masih lekat. Tak sampai setengah jam Inov sudah keluar dari ruangan manajer. Aku tetap diam tak berusaha bertanya kepadanya.

Di luar dugaanku, Inov berkata kepadaku bahwa ia ditawari pekerjaan baru oleh manajer kami. Namun, lokasinya agak jauh. Setengah jam perjalanan dari waralaba yang sekarang menjadi tempat kerja kami. Katanya sih, gajinya jauh lebih besar, hampir dua kali lipat malah.

Aku tidak memberi saran apapun. Aku rasa dia sudah bisa menentukan pilihan sendiri. Tapi, rasa penasaranku muncul.

“Terus gimana, Nov? Kamu mau?”

“Aku bingung, Dik. Gajinya memang lebih besar, tapi terlalu jauh buatku. Aku sudah nyaman berada di sini, dekat dengan rumah.”

“Ya …, itu sih terserah kamu.”

Pembicaraan terhenti sampai di situ dan kami pun melanjutkan pekerjaan kami melayani pelanggan dengan penuh senyum. Tentu saja senyum Inov lebih indah daripada senyumku.

Beberapa waktu berlalu dan Inov tetap pada keputusannya untuk bertahan di waralaba ini, yang dekat dengan tempat tinggalnya.

***

Pada suatu malam sebelum kami pulang, kebetulan hari itu kembali aku mendapat jadwal yang sama dengannya, kami melakukan penghitungan akhir sebelum menyerahkan toko kepada karyawan lain yang melanjutkan shift kami.

Penghitungan uang cash dan laporan barang terjual sudah biasa kami lakukan dan biasanya tidak ada masalah berarti. Hanya sedikit selisih, yang tak lebih dari 5000 rupiah, sudah biasa kami alami. Tapi, malam ini kami kaget bukan kepalang. Selisih antara uang cash dan laporan barang terjual ternyata sangat besar, mencapai hampir 300 ribu rupiah. Tentu saja itu di luar perkiraan kami, khususnya Inov yang berada di bagian kasir.

Penghitungan ulang kami lakukan hingga 3 kali dan akhirnya kami menyerah karena memang selisihnya tetap sebesar itu. Kami berdua heran. Adakah yang mengambil uang cash di meja kasir? Ataukah ini hanya kesalahan penghitungan saja? Inov terlihat sangat terpukul karena baru kali ini selisihnya sebesar itu. Padahal selama bekerja ia tak pernah meninggalkan meja kasir. Kalaupun ada keperluan ke belakang, ia selalu menitipkannya kepada karyawan lain, termasuk aku. Malam itu kami bingung.

Sampai akhirnya karyawan lain memberi jalan keluar, yang bagiku sebenarnya bukanlah jalan keluar. Ia meminta kami untuk membuat laporan khusus bahwa malam ini terjadi selisih sebesar itu dengan alasan yang belum diketahui. Ia menyarankan bahwa besok barulah kami mengecek ulang laporan penjualan.

Membuat laporan khusus memang mudah, tapi itu artinya kami harus menyerahkan laporan kepada manajer dan arti lanjutannya adalah kami harus siap mendapatkan SP-1. Di tengah kebingungan yang semakin tak menentu, aku pun meng-iya-kan saran teman kami itu. Inov pun akhirnya kuajak membuat laporan khusus itu. Setelah itu kami pulang dengan kekhawatiran mengenai nasib pekerjaan kami berdua.

***

Keesokan harinya, seperti yang telah kami duga, kami berdua dipanggil menghadap manajer. Tanpa banyak penjelasan lagi, kami akhirnya mendapat sanksi. Aku mendapat SP-1. Kupikir Inov pun akan mendapatkan hal yang sama. Tapi, ternyata sanksi untuk Inov lebih berat. Sang manajer beralasan bahwa karena selisih ini adalah tanggung jawab Inov sebagai kasir, maka tidak ada toleransi untuk Inov. Ia dipecat!

Aku tak percaya dengan apa yang kudengar. Inov coba membela diri. Akupun berusaha membelanya. Tapi, manajer kami tetap bertahan dengan keputusannya. Kesalahan Inov tak dapat ditoleransi lagi. Inov harus meninggalkan pekerjaannya.

Di sudut matanya tak kulihat tetes bening yang mengintip dan siap meluncur. Aku heran, betapa tegarnya gadis ini. Beberapa saat kemudian baru kusadari, ternyata tetes-tetes bening itu sudah meluncur deras sejak tadi, membasahi pipinya yang lembut dan halus. Terisak ia meninggalkan ruangan. Bahkan tak ada kata pamit terucap dari bibirnya kepada sang manajer.

Inov dipecat tanpa pesangon. Ia hanya mendapatkan gajinya bulan ini. Aku terdiam. Aku beku melihat Inov pergi terisak meninggalkan waralaba ini. Kurasa Inov akan menyimpan benci yang teramat sangat kepada manajer kami karena ia tak diberi kesempatan untuk membela diri lebih jauh lagi. Aku merasakan kebencian itu.

Tak ada yang terlintas di otakku selain bayangan adiknya yang berseragam SMP, dengan wajah sendu. Aku beku.

***

Beberapa hari setelah pemecatan itu, aku coba menghubungi Inov. Aku menanyakan kabarnya dan mencari tahu apakah ia sudah bekerja kembali. Sambil terisak ia mengatakan bahwa ia sekarang hanya diam di rumah. Ia sudah melamar ke beberapa tempat tapi belum mendapatkan jawaban.

***

Sebulan kemudian aku mendapatkan sms dari Inov. Ia mengatakan bahwa dirinya sudah mendapat kerja. Gajinya lebih besar, lebih dari dua kali lipat dibandingkan gajinya saat menjadi kasir di waralaba tempatku bekerja. Tak banyak yang kusampaikan padanya selain ucapan selamat dan rasa syukurku karena ia telah kembali bekerja. Kembali melintas di otakku adiknya yang berseragam SMP, tapi kali ini dengan senyum yang merekah lebar.

Hari demi hari berlalu. Minggu demi minggu pun demikian. Tak terasa sudah hampir tiga bulan Inov bekerja di tempatnya yang baru. Tiga bulan persis setelah pemecatan dirinya.

Pada suatu hari Inov meneleponku.

“Dik, aku merasa ada yang aneh.”

“Aneh? Apanya yang aneh? Kamu sudah enak bekerja di tempat yang baru. Gajimu lebih besar. Apa yang aneh?”

“Justru itu, Dik. Aku merasa semuanya terlalu mudah dan nyaman. Gajiku besar. Lebih dari cukup untuk uang makanku sendiri. Aku bisa memberi kepada orang tuaku lebih banyak dari sebelumnya. Keperluan sekolah adikku bisa kupenuhi semua. Bahkan, aku masih bisa menyisihkan uang untuk menabung. Semuanya aneh, Dik. Semuanya terlalu mudah.”

Aku terdiam. Bukan iri padanya, tapi aku bersyukur bahwa ternyata Inov mendapatkan balasan kehidupan yang jauh lebih baik akibat pemecatan beberapa bulan lalu.

“Ya, sudah …. Kamu bersyukur saja telah mendapatkan kehidupan yang sekarang ini. Bekerjalah sebaik mungkin supaya kamu tidak dipecat lagi.” Aku berpesan setengah bercanda.

Pembicaraan itupun berakhir. Aku merasa Inov masih keheranan dengan kehidupannya yang sekarang, yang jauh lebih baik dari sebelumnya.

***

Hari demi hari terus berlalu. Tapi, entah mengapa keheranan Inov membayangi pikiranku. Keanehan yang dirasakan Inov cukup beralasan. Sebelumnya ia bekerja sebagai kasir dengan gaji yang pas-pasan. Kemudian ia dipecat tanpa pesangon sepeser pun. Sekarang ia bekerja dan mendapatkan gaji yang lebih dari cukup. Aneh memang ….

Beberapa hari kemudian aku terdorong untuk mencari tahu masalah pemecatan Inov beberapa bulan lalu kepada beberapa karyawan lain. Kasus itu memang sudah dianggap selesai dengan dipecatnya Inov. Akupun sebenarnya sudah melupakan kasus itu. Tapi, telepon dari Inov menyegarkan ingatanku mengenai kejadian itu. Seingatku pada malam itu memang uang cash yang ada di meja kasir sudah sesuai dengan laporan penjualan barang. Tak ada selisih yang terlalu besar. Tapi mengapa pada saat penghitungan akhir selisihnya menjadi sebesar itu? Otakku berputar tanpa poros yang pasti. Absurd.

Beberapa hari selanjutnya aku terus mencari informasi mengenai beberapa keanehan yang semakin kurasakan. Karyawan lain mengatakan kepadaku bahwa sebaiknya aku melupakan semua peristiwa itu. Toh, semuanya sudah berlalu dan Inov sudah hidup lebih baik. Mereka benar, tapi otakku masih terus berputar pada poros yang tak pasti.

***

Pada suatu malam yang gelap dan dingin seperti biasanya, aku bersiap pulang setelah menyelesaikan urusan pekerjaanku. Tak disangka manajer toko memanggilku.

“Dika, tunggu!”

“Ya, Pak. Ada apa?”

“Tunggu bapak. Ada yang ingin bapak bicarakan.”

“Semua pekerjaan sudah beres, Pak. Sudah rapi.”

“Bukan masalah pekerjaan. Tunggu ….”

Aku terdiam dan menunggu manajerku itu. Kemudian ia mengajakku ke sebuah kedai kopi yang berada di udara terbuka. Kebetulan malam itu cukup cerah walaupun gelap membayangi. Sebenarnya ada purnama di atas sana, tapi awan tebal menghalangi sinar indahnya.

Manajerku memesan dua gelas kopi kental untuk kami berdua. Kemudian ia mulai menyulut rokoknya. Pembicaraan pun di mulai.

“Dika …. Coba kau lihat ke atas, ke langit luas.”

“Iya, Pak, kenapa? Cuma awan gelap dan pekat, Pak. Gak ada apa-apa.”

“Iya, memang hanya awan gelap dan pekat. Tapi, kau tahu kan sebenarnya di balik awan itu ada purnama yang cerah bersinar?”

“Iya, Pak. Memang sepertinya ada purnama yang bersinar indah. Memang kenapa, Pak?”

“Bapak tahu, beberapa hari belakangan ini kamu mencari informasi mengenai kejadian pemecatan Inov yang dulu itu. Kamu masih penasaran? Belum dapat jawaban?”

“Iya, Pak. Saya masih penasaran. Bapak tahu kejadian sebenarnya?”

Akupun kemudian ikut menyulut rokok untuk menemani hangatnya kopi kental yang sudah tersaji sejak tadi. Pembicaraan kembali berlanjut.

“Kamu ingat kalau bapak pernah memanggil Inov dan menawarkan pekerjaan lain kepadanya?”

“Iya, Pak, saya ingat betul.”

“Kamu ingat Inov menolak pekerjaan itu dengan alasan terlalu jauh dari rumahnya?”

“Iya, Pak, saya ingat.”

“Kamu tahu kalau Inov hanya lulusan SMP? Kamu tahu Inov melamar kerja di waralaba ini menggunakan ijazah Kejar Paket C?”

“Iya, Pak. Inov pernah cerita kepada saya.”

“Dika …, jujur saja, sejak awal Inov melamar sebenarnya Inov sudah ditolak. Inov sebenarnya sudah tidak masuk kualifikasi administrasi karena syarat minimal adalah lulusan SMA dan memiliki ijazah SMA. Bukan ijazah Kejar Paket C. Memang kedua ijazah tersebut setara, tapi peraturan dari kantor pusat menyatakan bahwa yang bisa diterima hanyalah lulusan SMA yang memiliki ijazah SMA.”

“Lalu…?”

“Iya, sebenarnya Inov sudah ditolak sejak awal. Tapi, ketika bapak membaca surat lamarannya sekali lagi, di bagian bawah surat itu tertulis kata-kata: Saya bekerja bukan untuk diri saya. Saya bekerja untuk menyekolahkan adik saya yang masih SMP. Saya ingin agar ia tidak menjadi bodoh seperti mbaknya ini yang hanya lulusan SMP. Saya ingin ia bisa melanjutkan hingga SMA, bahkan kalau bisa hingga sarjana.”

Aku terdiam. Aku beku. Aku kemudian teringat bahwa Inov pernah menceritakan hal itu. Manajerku kembali melanjutkan ceritanya.

“Bapak tidak menyadari, ketika membaca surat lamaran itu, air mata bapak menetes membasahi surat lamaran Inov. Akhirnya bapak putuskan sedikit melanggar aturan dari kantor pusat. Bapak putuskan memanggil Inov untuk wawancara.”

“Akhirnya Bapak terima Inov kerja, kan?”

“Iya, setelah mendengar penjelasan langsung dari Inov, bapak putuskan untuk menerimanya bekerja.”

Aku sedikit tercerahkan. Putaran otakku mulai menemukan porosnya. Ternyata ….

“Lalu, mengapa Inov dipecat, Pak? Bukankah Bapak yang menerimanya bekerja karena mengetahui kondisinya itu?”

“Iya, memang benar. Bapak yang menerimanya bekerja dan bapak pula yang memecatnya.”

Sambil menghisap rokoknya, manajerku itu kembali melanjutkan ceritanya.

“Setelah beberapa waktu Inov bekerja, bapak merasa Inov adalah pekerja yang baik dan seharusnya mendapat penghasilan lebih besar. Tapi, masalahnya adalah di toko kita ini ada batasan maksimal gaji yang bisa didapatkan oleh karyawan seperti kamu dan Inov. Bapak tidak mungkin menggaji Inov lebih besar daripada ketentuan dari kantor pusat. Oleh karena itulah, bapak sempat menawarinya untuk pindah bekerja.”

“Tapi, Inov tidak mau ya, Pak. Karena ia tidak mau bekerja jauh dari rumahnya.”

“Ya, itulah masalahnya. Inov tidak mau menerima pekerjaan baru. Hingga akhirnya bapak membuat skenario pemecatan itu. Bapak minta kamu tidak salah paham dengan bapak. Bapak sendirilah yang membuat Inov dipecat. Hanya dengan cara itulah Inov bisa dipaksa keluar. Bapak hanya ingin dia bekerja di tempat lain yang penghasilannya lebih besar.”

Tak terasa jari-jariku mengepal erat. Jika tidak kutahan emosi dan tidak kuingat siapa yang berada di hadapanku ini, mungkin bogem mentah sudah melayang ke wajah tanpa dosa itu.

“Dika, bapak tahu kamu emosi. Tapi, tahukah kamu, sekarang Inov bekerja di mana? Siapakah yang memanggilnya untuk bekerja?

“Bapak?”

“Iya, kantor tempat Inov bekerja sekarang adalah milik orang tua bapak. Bapaklah yang mengajukan rekomendasi agar Inov dipanggil bekerja di sana.”

Aku terdiam, beku, sedingin malam yang udaranya kurasa menusuk tulangku hingga ke sumsum terdalam. Kutengadahkan wajahku ke langit. Di sana memang ada purnama yang bersinar cerah. Tapi, terkadang ia tak perlu menunjukkan dirinya dan lebih memilih bersembunyi di balik awan. Kini kurasakan bahwa otakku telah berputar normal pada porosnya.


##TAMAT##


(Cikarang Utara, 13 April 2012; revisi ejaan: 11 Maret 2021)


====================================


Tentang Cerpen

Hidup penuh dengan lika-liku, naik dan turun saling bergantian. Kisah hidup pun terkadang sulit ditebak dan seringkali tak sesuai keinginan kita. Cerpen di atas hanyalah secuil kisah kehidupan yang keras di tengah ganasnya perjuangan hidup masa kini. Banyak orang yang merintih kekurangan. Banyak orang yang sibuk memikirkan dirinya sendiri. Namun, tak sedikit pula orang yang diam-diam membantu orang lain seperti tokoh manager dalam cerpen di atas. Memang, terkadang kebaikan tak perlu ditampakkan agar pahala kebaikannya tidak gugur. Cukup kita sendiri dan Tuhan yang tahu. Cerpen ini sudah tayang terlebih dahulu di blog pribadi penulis: http://basando.blogspot.com/2012/07/cerpen-purnama-di-balik-awan.html