Sepulang dari peritiwa Shiffin (perang antara Ali dengan Muawiyah), Ali bin Abi Thalib bersama seluruh pasukannya kembali ke Kufah. Beberapa mil sebelum sampai Kufah, ada sekitar 14 ribu orang (menurut riwayat Abdurrazaq dalam Mushannaf) yang memisahkan diri dari jamaah dan mencari jalur yang berbeda. Mereka tidak terima dengan genjatan senjata antara Ali dengan Muawiyah.
Peristiwa tahkim, kesepakatan damai antara Ali dengan Muawiyah radhiyallahu ‘anhuma, yang diwakilkan kepada dua sahabat Abu Musa Al-Asy’ari dan Amr bin Ash radhiyallahu ‘anhuma, menjadi pemicu sebagian masyarakat yang sok tahu dengan dalil untuk mengkafirkan Ali bin Abi Thalib. Karena peristiwa ini, pada saat Ali bin Abi Thalib berkhutbah, banyak orang meneriakkan:
لَا حُكْمَ إِلَّا لِلَّهِ “Tidak ada hukum, kecuali hanya milik Allah.”
Mereka beranggapan, Ali telah menyerahkan hukum kepada manusia (Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu) [1]
sumber kedua menyatakan
Bahwa Ibnu Abbas berkata : “Ketika Khawarij memisahkan diri, menempati daerah Ray, saat itu jumlah mereka 6000orang. (1) Mereka sepakat untuk melakukan pemberontakan kepada pemerointahan Khalifah Ali bin Abi Thalib dan para sahabat Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam yang bersamanya.” [2].
nota kaki
(1) Disebutkan dalam riwayat hadits Abdullah bin Syaddad bahwa jumlah merekea mencapai 8.000 orang. sementara yang kembali bertaubat mencapai 4.000 orang. Hadits ini diriwayatkan oleh Al Hakim (II/152-154), Al Baihaqi (VIII/179), Ahmad (I/86-87), dan Ibnu Katsir dalam Bidayah Wan Nihayah (VII/280), disahihkan oleh Asy Syaikh Al Albani dalam Al irwa hadits no.2459. disahihkan juga dengan Asy Syaikh Muqbil dalam tahqiq kitab (al Mustadrak II/180-182 hadits no.2714).
Berkata Ibnu Abbas “Maka ketika itu tak henti-hentinya kaum muslimin terus berdatangan kepada beliau dan berkata: ‘Wahai Amirul Mu’minin -Yakni Ali- sesungguhnya mereka telah memberontak kepadamu.” Maka Khalifah Ali berkata: “Biarkan mereka dulu yang memerangiku dan aku yakin mereka akan melakukannya.”
Maka pada suatu hari aku -Ibnu Abbas- menemui Ali di waktu shalat Dzuhur dan kukatakan kepadanya: “Wahai Amirul Mu’minin, segerakanlah shalat, karena aku akan mendatangi dan berdialog dengan mereka -khawarij-.”
Maka Ali berkata: “Aku mengkhawatirkan keselamatan dirimu.”
Aku katakan: “Jangan khawatir, aku seorang yang berbudi baik dan tidak akan menyakiti siapapun.”
Maka beliau mengizinkanku. Kemudian aku memakai kain yang bagus buatan Yaman dan menyisir. kemudian aku temui merekea di tengah hari. ternyata aku mendatangi suatu kaum yang belum pernah aku lihat kehebatan mereka dalam beribadah. Dahi mereka menghitam karena banyak sujud. tangan-tangan mereka kasar seperti lutut onta. mereka memakai gamis murah dalam keadaan tersingsing. Wajah mereka pucat karena banyak beribadah di waktu malam. Kemudian aku ucapkan salam kepada mereka.
Mereka -khawarij- berkata : “Selamat datang wahai Ibnu Abbaas, ada apakah kiranya?”
Aku -Ibnu Abbas- berkata: “Aku datang dari sisi kaum Muhajirin dan Anshar serta dari sisi menantu Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam -Ali Bin Abi Thalib-. Al Qur’an turun kepada mereka dan mereka lebih tahu tentang tafsirnya daripada kalian”.
Maka sebagian berkata kepada yang lainnya: “Jangan kalian berdebat dengan orang Quraisy, karena Allah telah berfirman: ‘Sebenarnya mereka adalah kaum yang ahli dalam berdebat’ (Qs. Az Zukhruf:58).”
Namun ada dua atau tiga orang dari mereka yang berkata: “Kami akan tetap berdialog dengannya.”
Maka aku -Ibnu Abbas- katakan kepada mereka: “Sampaikanlah alasan apa yang membuat kalian benci kepada menantu Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam serta kaum Muhajiirin dan Anshar. Yang kepada merekalah Al Qur’an turun. Tidak ada seorang pun dari mereka yang ikut bersama kelompok kalian. Mereka adalah orang yang lebih tahu tafsir Al Qur’an.”
Mereka berkata: “Ada tiga hal.”
Aku berkata: “Apa itu?”
Mereka berkata: “Pertama, Dia -Ali bin Abi Thalib- berhukum kepada manusia dalam perkara agama Allah, padahal Allah telah berfirman:
‘Sesungguhnya keputusan hukum hanyalah hak Allah.’ (Qs Al An’am:57, Yusuf:40,67). Maka apa gunanya keberadaan orang-orang itu sementara Allah sendiri telah memutuskan hukumnya?!”
Aku berkata : “Ini yang pertama, kemudian apa lagi?”
Mereka berkata: “Kedua, Dia -Ali bin Abi Thalib- telah berperang dan membunuh, tetapi mengapa dia tidak mau menjadikan wanita mereka -kaum yang diperanginya- sebagai tawanan perang dan mengambil hartanya sebagai ghanimah-rampasan perang-? Jika mereka memang masih tergolong kaum mu’minin, maka tidak halal bagi kita untuk memerangi dan menawan mereka.” (2)
Aku berkata: “Apa yang ketiga?”
Mereka berkata: “Ali telah menghapus dari dirinya gelar Amirul Mu’minin -pemimpin kaum mu’min-, maka kalau dia bukan Amirul Mu’minin berarti dia adalah Amirul Kafirin -pemimpin orang-orang kafir-.”
Aku berkata: “Apakah ada selain ini lagi?”
Mereka menjawab: “Cukup ini saja.”
Aku menjawab: “Adapun ucapan kalian tadi, bahwa: -Dia berhukum kepada manusia dalam memutuskan hukum Allah,- akan aku bacakan kepada kalian sebuah ayat yang akan membantah argumen kalian. Jika argumen kalian telah terpatahkan, apakah kalian akan rujuk?”
Mereka berkata: “Tentu.”
Aku berkata: “Sesungguhnya Allah sendiri telah menyerahkan hukum Nya kepada beberapa orang tentang seperempat dirham harga kelinci, dalam ayat Nya: ‘Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu membunuh binatang buruan, ketika kamu sedang ihram. Barangsiapa di antara kamu membunuhnya dengan sengaja, maka dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak seimbang dengan buruan yang dibunuhnya, menurut putusan dua orang yang adil di antara kamu’ (Qs. Al Ma’idah:95). Juga terkait dengan hubungan seorang isteri dengan suaminya: ‘Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakim dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan.’ (Qs. An Nisaa’:35).
Maka aku sumpah kalian dengan nama Allah, manakah yang lebih baik kalau mereka (3) berhukum dengan hukum manusia untuk meperbaiki hubungan antara mereka -Ali dan Mu’awiyah dan pengikutnya masing-masing- dan menghindarkan dari erjadinya pertumpahan darah, ataukah yang lebih utama berhukum pada manusia sekadar urusan harga seekor kelini atau sekadar urusan kemaluan seorang wanita? manakah di antar keduanya yang lebih utama?”
Mereka menjawab: “Tentu saja yang pertama.”
Aku berkata: “Adapun alasan kalian bahwa ~Dia tidak mau menjadikan musuhnya sebagai tawanan dan harta mereka sebagai ghamimah.` Apakah kalian menawan ibu kalian Aisyah?
Demi Allah, kalau kalian berkata: ‘Dia bukan ibu kami’, berarti kalian telah keluar dari Islam. Demi Allah, kalau kalian berkata: ‘kami tetap menawannya dan menghalalkan nya untuk digauli seperti wanita lainnya -karena jika demikian ibu kita berstatus budak hukumnya boleh digauli oleh tuannya-’ berarti kalian telah keluar dari Islam. Maka kalian berada di antara dua kesesatan, karena Allah telah berfirman: ‘Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri(4) dan isteri-isterinya adalah ibu-ibu mereka.’ (Qs. AL Ahzab:6).
Maka apakah kalian keluar(rujuk) dari kesalahan ini?”
Mereka pun menjawab: “Baiklah.”
Aku berkata: “Adapun alasan kalian bahwa: ‘Dia telah menghapus gelar Amirul Mu’minin dari dirinya.’ Aku akan memberi contoh untuk kalian dengan sosok yang kalian ridhai, yaitu Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam.
Pada perjanjian Hudaibiyyah, beliau berdamai dengan kaum musyrikin, yang diwakili Abu Sufyan bin Harb dan Suhail bin Amr. Beliau Sallallahu Alaihi Wasallam berkata kepada Ali: ‘Tulislah untuk mereka sebuah teks yang berbunyi: ‘Ini adalah sebuah perjanjian yang disepakati oelh Muhammad Rasulullah.’ Maka Kaum Musyrikin berkata: ‘Demi Allah kalau kami mengakuimu sebagai Rasulullah, untuk apa kami memerangimu?!’ Maka beliau Sallallahu Alaihi Wasallam berkata: ‘Ya Allah, engkau lebih tau bahwa aku adalah Rasul Mu. Hapuslah kata ‘RASULULLAH’ ini, wahai Ali.’ Dan tulislah: ‘Ini yang disepakati oleh Muhammad bin Abdillah.’
Maka demi Allah tentu Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam lebih mulia dari Ali, tetapi beliau sendiri menghjapus gelar (kerasulan_ itu dari dirinya pada hari itu.”
Maka Ibnu Abbas berkata : “Maka bertaubatlah 2000 orang dari mereka, dan selebihnya bersikukuh untuk tetap memberontak. Maka merekapun akhirnya dibunuh.”
Diriwayatkan oleh Ya’qub al Fasawi dalam kitabnya Al Ma’rifah Wat Tarikh (hal 522-524).
nota kaki :
(2) Perang yang dimaksud adalah perang yang terjadi antara Ali melawan Aisyah Radhiyallahu Anhu dan para pengikkutnya pada peristiwa Perang Jamal.
(3) Yakni Pihak Ali bin Abi Thalib yang berselisih dengannya.
(4) Yakni Isteri-isteri Rasulullah sepeninggal beliau sebagai Ummahatul Mu’mini (Ibu-Ibu kaum Mu’minin) yang tidak boleh dinikahai apalagi dijadikan budak tawanan perang.
Wajibnya kembali kepada sahabat dalam memahami Islam
Jauh dari jalan sahabat Rasulullah dalam memahami Al-Kitab dan As-Sunnah, adalah petanda kesesatan dan alamat kebinasaan. Dalam sebuah wasiatnya yang agung, Rasulullah mengingatkan umat ini agar selalu berjalan di atas jalan mereka yang lurus. Beliau n bersabda:
فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ
“Maka sungguh, siapa yang hidup di antara kalian akan menyaksikan perselisihan yang banyak, maka wajib atas kalian mengikuti sunnahku dan sunnah Al-Khulafa yang mendapat bimbingan dan petunjuk, pegang eratlah sunnah itu dan gigitlah dengan geraham-geraham kalian.”(5)
Nasihat ini ternyata tidak dihiraukan oleh orang-orang yang mengikuti hawa nafsunya, kaum Khawarij misalnya. Meski mereka orang yang rajin ibadah, tekun berzikir bahkan jidat-jidat mereka hitam terluka karena banyaknya shalat malam, namun tatkala jalan yang mereka tempuh bukan jalan sahabat Rasulullah –salaf (pendahulu) umat ini– mereka pun Allah sesatkan hingga terjerumus dalam jurang kebinasaan. Demikianlah ketentuan Allah atas mereka yang menentang Rasul dan meninggalkan jalan sahabat-sahabatnya.
“Dan barangsiapa menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasinya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahanam, dan Jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (An-Nisa: 115)
Rentetan peristiwa tarikh adalah mata rantai-mata rantai bersambung yang tak terpisahkan. Wafatnya Khalifah Ar-Rasyid Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib dalam keadaan syahid dan terzalimi adalah bagian dari akibat buruk pemahaman Khawarij yang jauh dari sahabat Rasulullah. Mereka memang ahli baca Qur’an, bahkan menghafalnya. Mereka ahli ibadah, bahkan di sebagian besar waktunya. Namun ketika mereka telah tinggalkan sahabat dalam memahami wahyu Allah, mereka pun terjatuh dalam jurang kebinasaan.
Bukti kebodohan Khawarij dan jauhnya mereka dari salaf umat ini terlalu banyak dan cukuplah seperti contoh dialog mereka bersama Ibnu Abbas di atas, putra paman Rasulullah, habrul ummah (ulama umat ini). Dalam dialog tersebut kita dapati mereka menyimpang dari jalan sahabat, dan bagaimana mereka lebih mengedepankan ra’yu (logik/aqal-pentafsiran mudah) dan perasaan ketimbang jalan lurus yang telah Rasulullah gariskan.
Nota kaki
(5) HR. Abu Dawud no. 4607 dan At-Tirmidzi no. 2676.
[1] Debat Khawarij dengan Ibnu Abbas, https://nasehat.net/376-debat-khawarij-dengan-ibnu-abbas.html, 18 Jan 2018.
[2] Kisah Dialog Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma Dengan Khawarij https://mintlisim.wordpress.com/2011/05/03/kisah-dialog-ibnu-abbas-radhiyallahu-%E2%80%98anhuma-dengan-khawarij/, 18 Jan 2018.
[3] DIALOG IBNU ABBAS DENGAN KAUM KHAWARIJ, https://asysyariah.com/dialog-ibnu-abbas-dengan-kaum-khawarij/, 18 Jan 2018.
Kisah di atas ditulis semula bedasarkan sumber sekunder. Sebarang kesilapan mungkin berlaku & sumber pertama adalah dirujuk sebagai yang benar. Penulis juga termotivasi untuk menulis kisah ini setelah ia didengar melalui 106.0 Hang fm Batam, pada 18 Jan 2016 8-8.30 pagi. Kisah ini juga boleh didapati dalam youtube seperti link ini https://www.youtube.com/watch?v=0-dNvqJ-c2I dan https://www.youtube.com/watch?v=hJmZagQRv4Y.