Menjadi orang tua merupakan anugerah. Anugerah ketika di luaran sana banyak pasangan suami istri yang mengidamkan memiliki momongan, justru tidak kunjung memilikinya. Kehadiran buah hati pada posisi ini, menjadi augerah yang tidak terkira, penyejuk mata hati bagi setiap pasangan.
Namun, menjadi orang tua pada satu sisi juga menimbulkan kekhawatiran pada tiap pasangan. Kekhawatiran tersebut mencangkup masalah pemenuhan sandang, pangan, dan pendidikan. Kekhawatiran itu akan semakin bertambah ketika anugerah yang diterima itu dipandang kurang cerdas, memiliki nilai pelajaran di bawah rata-rata, hingga kemungkinan tidak memiliki masa depan yang cerah. Pada tahap ini lah, tiap orang tua akan merasa sangat prustasi, tak jarang prustasi itu kemudian dibarengi pemberian hal-hal negatif pada anak. Sehingga akhirnya baik orang tua maupun anak menjadi prustasi.
Memiliki anak yang dianggap kurang cerdas memang sangat meresahkan. Tapi duduk permasalahan ini sesunggunya hanya pada dua hal, yaitu masalah presepsi dan masalah penemuan kecerdasan anak.
Orang tua yang memiliki anak yang dianggap kurang cerdas dan merasa resah akan hal tersebut, umumnya merupakan orang tua yang terbatas pada akses informasi. Orang tua ini tidak mengetahui bahwa kecerdasan anak tidak hanya diukur dari nilai mata pelajaran yang diperolehnya. Dewasa ini, para ahli pendidikan dan parenting telah sepakat bahwa kecerdasan anak itu bersifat majemuk. Ada sembilan kecerdasan yang teridentifikasi saat ini, yaitu Kecerdasan Verbal-Linguistik, Kecerdasan Logis-Matematis, Kecerdasan Spasial-Visual, Kecerdasan Kinestetik-Jasmani, Kecerdasan Musikal, Kecerdasan Intrapersonal, Kecerdasan Interpersonal, Kecerdasan Naturalis, Kecerdasan Eksistensial.
Jadi pada tahap ini, orang tua yang anaknya dianggap kurang cerdas tidak perlu khawatir. Anak yang kurang cerdas pada pelajaran Matematika bisa jadi sesungguhnya cerdas pada mata pelajaran yang lain. Anak yang kurang menyukai berbicara di depan umum, bisa jadi memiliki kepekaan yang besar pada sesama. Anak yang pendiam dan minderan, bisa jadi mampu menebak notasi musik yang sedang ia dengarkan.
Setelah orang tua memiliki presepsi yang benar tentang kecerdasan, masalah selanjutnya yang harus dihadapi adalah menemukan kecerdasan sang anak tersebut. Menemukan kecerdasan anak tentu tidak dapat dilakukan secara instan, atau dapat diketehaui dalam hitungan hari. Menemukan kecerdasan anak memerlukan waktu, tenaga dan pikiran. Pada tahap ini orang tua juga harus bekerja sama dengan sekolah, terutama guru, untuk menemukan kecerdasan tersebut. Peran orang tua dapat menjadi teman sharing, atau mendukung ketertarikan anak dengan sesuatu, misal mendatangkan privat musik ketika anak ada ketertarikan dengan musik, atau menyiapkan perangkat komputer ketika diketahui anak mulai senang dengan hal-hal berbau desain.
Guru di sekolah memiliki peran yang tak kalah penting juga dalam penemuan kecerdasan anak, apalagi jika meliat bahwa salah satu tujuan sekolah adalah untuk hal ini. Maka guru berkewajiban untuk menggali dan menemukan kecerdasan anak, bisa melalui pembelajaran yang menarik, tugas yang menantang, hingga kegiatan sekolah yang ditujukan untuk mencari bakat anak.
Kecerdasan anak, jika boleh diibaratkan, maka kecerdasan itu seperti kembang api. Tugas orang tua dan guru menemukan dan memantik sumbu kembang api kecerdasan tersebut. Jika sumbu kembang api kecerdasan ini sudah tersulut, maka kecerdasan itu akan meledak, menghasilkan warna atau karya yang tak akan pernah padam.
Terakhir, tugas menemukan sumbu kecerdasan anak tidak lah mudah. Sekali lagi: tidaklah mudah. Maka jangan khawatir dan teruslah mencari. Jika sumbu tersebut tidak ditemukan di Sekolah Dasar, cobalah cari lagi di Sekolah Menengah, jika bisa ditemukan juga cobalah cari lagi di tingkat perguruan tinggi. Atau jika tidak ditemukan di jenjang formal pendidikan, mungkin sumbu itu bisa ditemukan di kegiatan non formal. Intinya jangan menyerah dan teruslah mencari.
Dan kepada seluruh orang tua: Selamat mencari.