SELAMAT DATANG DI RUANGQUR'AN HADIS MA ARIFAH
A. MARI RENUNGKAN
Etos kerja pribadi muslim adalah sikap kepribadian yang menciptakan pengertian bahwasannya bekerja bukan hanya untuk mencari kekayaan duniawi, untuk kemuliaan diri sendiri. Melainkan sebagai manifestasi amal saleh sehingga dapat memompakan semangat bekerja keras dan tujuan dari bekerja adalah menunaikan amanah. Hal ini tentu akan dapat meninggikan derajat mereka dihadapan Allah swt.
B. QS al-Qaṣāṣ [28] ayat 77
وَٱبْتَغِ فِيمَآ ءَاتَىٰكَ ٱللَّهُ ٱلدَّارَ ٱلْءَاخِرَةَ ۖ وَلَا تَنسَ نَصِيبَكَ مِنَ ٱلدُّنْيَا ۖ وَأَحْسِن كَمَآ أَحْسَنَ ٱللَّهُ إِلَيْكَ ۖ وَلَا تَبْغِ ٱلْفَسَادَ فِى ٱلْأَرْضِ ۖ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُحِبُّ ٱلْمُفْسِدِينَ
Artinya: Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.
Terjemah Kosa kata/Kalimat (klik sini)
C. Penjelasan Ayat
Di awal ayat ini, Allah swt. memerintahkan kepada orang-orang yang beriman agar membuat keseimbangan antara usaha untuk memperoleh keperluan duniawi dan memenuhi keperluan ukhrawi. Tidak mengejar salah satunya dengan cara meninggalkan yang lain. Nabi Muhammad saw. sangat mencela orang yang yang hanya mengejar akhirat dengan meninggalkan duniawi. Apalagi menjadi beban orang lain dalam masalah nafkah.
Pernah Rasulullah mendapati seorang anak muda yang selalu berada di masjid, kemudian beliau bertanya kepada sahabat, siapakah yang memberi nafkah untuk pemuda tersebut? Para sahabat menjawab, ‛ayahnya!‛ Beliau melanjutkan perkataannya bahwa ayahnya lebih baik daripada anaknya. Sebab si pemuda seyogianya bekerja mencari nafkah, sehingga tidak menjadi beban orang lain.
Pada saat kita mengerjakan ibadah, kita harus sungguh-sungguh dan penuh penghayatan. Misalnya sedang salat, harus berusaha melupakan semua urusan duniawi dan hanya mengingat Allah swt., seolah tidak ada kesempatan lagi untuk beribadah kepada-Nya. Begitu juga dalam menghadapi urusan duniawi, harus penuh perhatian dan kesungguhan, sehingga menimbulkan kesadaran bahwa semua perbuatannya itu akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah swt.
Manusia terdiri dari jasmani dan rohani. Oleh karenanya, penting bagi manusia untuk bisa menyeimbangkan antara kepentingan jasmani (material) dan rohani (spiritual) dalam diri manusia.
Selanjutnya, ayat ini juga memerintahkan kepada manusia untuk bisa berbuat baik kepada Allah swt. dan sesamanya. Kewajiban berbuat baik inisebagai perwujudan sifat-sifat Allah swt. yang Maha Raḥmān dan Raḥīm kepada seluruh makhluk-Nya. Bentuk perbuatan baik itu dapat dikategorikan menjadi empat hal, yaitu:
1). Berbuat baik pada nikmat Allah swt. berupa harta. Kemewahan dan harta yang berlimpah tidak boleh menjadikan dirinya lupa diri dan lupa terhadap kehidupan akhirat. Bentuk perbuatannya baiknya adalah dengan menggunakan harta untuk memberi nafah keluarga, menyantuni anak yatim, ataupun biaya pendidikan keluarga.
2). Berbuat baik kepada diri sendiri dengan memelihara kehidupan dirinya di dunia, namun tidak boleh bertentangan dengan ajaran Islam. Bentuk perbuatan baik ini seperti makan, minum, berpakaian, beragama, berkeluarga, bekerja dan bermasyarakat.
3). Berbuat baik sebagaimana yang diajarkan Allah swt. sebagai wujud pelaksanaan kewajiban muslim, yaitu selalu menaati perintah Allah swt. melalui ibadah dan menjauhi larangan-larangan-Nya.
4). Berbuat baik dengan tidak berbuat kerusakan di muka bumi. Manusia sebagai khalifah dimuka bumi ternyata telah banyak menyia-nyiakan amanah Allah swt. Di dalam QS ar-Rūm: 41 dijelaskan bahwa kerusakan di darat dan di laut adalah akibat ulah manusia. Allah swt. telah banyak mengingatkan manusia di dalam al-Qur’an agar tidak melakukan kerusakan di muka bumi.