Bagi umat beriman Kitab Suci memegang peranan yang sangat penting. Ia menjadi sumber tertulis yang utama untuk memahami karya penyelamatan Allah kepada manusia sepanjang zaman. Ia juga menjadi sumber referensi dan inspirasi untuk mengembangkan imannya. Karena kedudukan dan perannya yang sangat penting itu, maka setiap orang beriman perlu memahami Kitab Suci secara benar.
Pemahaman tersebut akan berpengaruh pada sikap dan tindakan orang beriman dalam mendudukkan dan memperlakukan Kitab Suci bagi kehidupan berimannya. Pemahaman yang benar itu menyangkut pemahaman tentang sejarah terjadinya, latar belakang atau konteks sejarah saat Kitab Suci itu disusun, latar belakang penulisnya, jenis sastra dalam penulisannya, isi dan maksud penulisannya Kitab Suci Perjanjian Lama seperti yang dimiliki umat Kristiani saat ini disusun melalui proses yang panjang sekitar lebih dari sepuluh abad, sejak abad XI SM sampai kurang lebih abad I Sesudah Masehi.
Pada mulanya berupa kumpulan cerita-cerita tentang pengalaman bangsa Israel dalam hubungannya dengan sejarah bangsanya dan sekaligus peranan serta kehadiran Allah dalam seluruh perjalanan hidup mereka. Pengalaman-pengalaman penyelamatan Allah sepanjang sejarah mereka itu diceritakan kepada anak cucu mereka secara turuntemurun. Hingga suatu saat ada orang-orang tertentu, yang mendapat ilham Roh Kudus menyusun dan menuliskannya menjadi sebuah buku utuh seperti yang kita miliki sekarang ini.
Dokumen Konsili Vatikan II tentang Wahyu Ilahi (Dei Verbum), artikel 16, menyatakan sebagai berikut: Allah, pengilham dan pengarang kitab-kitab Perjanjian Lama maupun Baru, dalam kebijaksanaan-Nya mengatur (Kitab Suci) sedemikian rupa, sehingga Perjanjian Baru tersembunyi dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Lama terbuka dalam Perjanjian Baru. Sebab meskipun Kristus mengadakan Perjanjian yang Baru dalam darah-Nya (lihat Lukas 22:20; 1Korintus 11:25), namun Kitab-kitab Perjanjian Lama seutuhnya ditampung dalam pewartaan Injil, dan dalam Perjanjian Baru memperoleh dan memperlihatkan maknanya yang penuh (lihat Matius 5:17; Lukas 24:27; Roma 16:25-26; 2Korintus 3:14- 16) dan sebaliknya juga menyinari dan menjelaskan Perjanjian Baru.
Makna istilah “Perjanjian Lama”
• Istilah “Perjanjian Lama” dipergunakan untuk membedakan dengan “Perjanjian Baru”. Dalam sejarah keselamatan, relasi manusia dengan Allah diikat dengan perjanjian, yang dalam Perjanjian Lama manusia diwakili oleh bangsa Israel, teristimewa melalui para pemimpin mereka. Perjanjian itu adalah perjanjian kasih yang menyelamatkan. Dalam perjanjian itu, Allah berjanji akan senantiasa menyelamatkan manusia, dan dari pihak manusia Allah menuntut kesetiaan.
• Sayangnya kesetiaan Allah itu seringkali dibalas dengan ketidaksetiaan Israel. Maka Allah yang adalah setia tetap menjanjikan penyelamatan pada manusia dengan cara memperbaharui perjanjian melalui putraNya sendiri Yesus Kristus. Maka Perjanjian Lama menunjuk pada perjanjian antara manusia dengan Allah sebelum Kristus.
• Walaupun “Perjanjian Lama” pada dasarnya belum sempurna dan telah ternodai, namun apa yang diungkapkan di dalamnya tetap penting, sebab ia mengungkapkan kepada manusia semua orang pengertian tentang Allah dan manusia serta cara-cara Allah yang adil dan rahim; bergaul dengan manusia. Meskipun juga mencantumkan hal-hal yang tidak sempurna dan bersifat sementara, Kitab-Kitab memaparkan cara pendidikan ilahiah yang sejati. Maka Kitab-Kitab itu mengungkapkan kesadaran hidup akan Allah, yang mencantumkan ajaran-ajaran yang luhur tentang Allah serta kebijaksanaan yang menyelamatkan tentang perikehidupan manusia, pun juga perbendaharaan doa-doa yang menakjubkan. Dan terutama, karena di dalamnya memuat janji kedatangan Kristus Penebus, mempersiapkan warta, Kerajaan Allah, yang dinyatakan dalam nubuatnubuat (lihat Lukas 24:44 Yohanes 5:39; 1Petrus 1:10), dengan pelbagai lambang (lih. 1Korintus 10:11)
• Ini pula yang menjadi dasar Paulus ketika ia mengatakan: “Tetapi pikiran mereka telah menjadi tumpul, sebab sampai pada hari ini selubung ini masih tetap menyelubungi mereka, jika mereka membaca Perjanjian Lama itu tanpa disingkapkan, karena hanya Kristus saja yang dapat menyingkapkannya (2 Korintus 3:14). Maka “perjanjian lama” hanya mungkin dipahami bila kita juga memahami “perjanjian baru” dalam Kristus. g. Masuklah dalam kelompok, carilah dari berbagai sumber hal-hal yang berkaitan dengan Kanonisasi dan Kitab Deuterokanonika, Proses Penyusunan Perjanjian Lama, Proses Penyusunan Kitab Suci Perjanjian Lama
• Kitab –kitab yang termasuk dalam Kitab Suci Perjanjian Lama itu ada 46. Tentu saja kitab-kitab itu tidak ditulis dalam waktu bersamaan, melainkan melalui suatu proses panjang. Berikut ini garis besar proses tersusunnya Kitab Suci Perjanjian Lama.
• Secara garis besar Kitab Suci Perjanjian Lama memuat dua bagian besar, yakni Kitab Prasejarah dan Kitab Sejarah. Kitab Prasejarah, mulai dari Kisah Penciptaan sampai dengan Menara Babel (Kejadian 1-11), sedangkan Kitab Sejarah Israel mulai dari Abraham yang hidup sekitar tahun 2000/1800 sebelum Masehi sampai menjelang Yesus Kristus. Namun, sejarah yang ditulis dalam Perjanjian Lama lebih merupakan sejarah iman. Maka, untuk mengetahui proses terjadinya Kitab Suci Perjanjian Lama, sebaiknya dimulai dengan awal sejarah Israel yaitu sekitar tahun 1800 sebelum Masehi.
Maka untuk mengetahui proses tersusunnya Kitab Suci Perjanjian Lama, proses akan dimulai pada saat awal sejarah Israel, yaitu sekitar tahun 1800 SM
a. Antara tahun 1800 - 1600 S.M.: Zaman Bapa-bapa bangsa (Abraham–Ishak–Yakub). Periode ini adalah awal sejarah bangsa Israel yang dimulai dari panggilan Abraham sampai dengan kisah tentang Yakub. Dalam tahun inilah Bapa-bapa bangsa hidup. Sebagian kisah mereka tersimpan dalam Kej 12 - 50. Kisah ini kemudian diteruskan secara lisan turun temurun.
b. Antara tahun 1600 - 1225 S.M.: Kisah bangsa Israel mengungsi ke Mesir, perbudakan di Mesir, pembebasan dari Mesir sampai Perjanjian di Sinai. Kisah-kisah tersebut juga masih disampaikan secara lisan. Mungkin sekali 10 perintah Allah dalam rumusan yang pendek sudah ditulis pada masa ini sebagai pedoman hidup.
c. Antara tahun 1225 - 1030 S.M.: Perebutan tanah Kanaan dan zaman Hakim-Hakim. Pada periode ini, bangsa Israel merebut tanah Kanaan yang diyakini sebagai Tanah Terjanji di bawah pimpinan Yosua dan kehidupan bangsa Israel di tanah yang baru di bawah para tokoh yang diberi gelar Hakim. Hakim-hakim itu antara lain adalah Debora, Simson, dan sebagainya. Di samping cerita pada masa ini, juga sudah terdapat beberapa hukum.
d. Antara tahun 1030 - 930 S.M.: Periode Raja-Raja. Pada periode ini, bangsa Israel memasuki tahap baru dalam kehidupannya. Mereka mulai menganut sistem kerajaan yang diawali dengan raja Saul, kemudian digantikan oleh raja Daud dan diteruskan oleh raja Salomo, putra Daud. Pada masa inilah bangsa Israel menjadi cukup terkenal dan disegani oleh bangsa-bangsa lain. Pada zaman raja Saul, Daud, dan Salomo, bagian-bagian Kitab Suci Perjanjian Lama mulai ditulis. Misalnya, Kisah Penciptaan Manusia, Manusia jatuh dalam dosa dan akibatnya, Bapabapa Bangsa, Kisah Para Raja, beberapa bagian Mazmur, dan hukumhukum.
e. Antara tahun 930 - 722 S.M.: Kerajaan Israel dan Yahuda. Sesudah raja Salomo wafat, kerajaan Israel terpecah menjadi dua, yaitu kerajaan Utara (Israel) dan kerajaan Selatan (Yuda). Kerajaan Utara hanya berlangsung sampai tahun 722 S.M. Pada periode ini dilanjutkan dengan penulisan Kitab-kitab Suci Perjanjian Lama yang melengkapi ceritacerita Kitab Taurat Musa serta beberapa tambahan hukum. Di samping itu, pada periode ini mulai muncul pewartaan para nabi dan kisah para nabi seperti Elia dan Elisa, Hosea, Amos. Beberapa bagian pewartaan para nabi mulai ditulis. Pada masa ini, beberapa kumpulan hukum perjanjian mulai diterapkan dan ditulis. Kita dapat membacanya dalam kitab Ulangan.
f. Antara tahun 722—587 S.M.: Kerajaan Yehuda masih berlangsung sesudah kerajaan Israel jatuh. Kerajaan Yehuda atau Yuda masih tetap berdiri kokoh sampai akhirnya mereka dibuang ke Babilon pada tahun 587 S.M. Pada masa ini beberapa tradisi tertulis tentang kisah bapabapa bangsa mulai disatukan. Demikian juga, pewartaan para nabi mulai ditulis dan sebagian diteruskan dalam bentuk lisan. Pada masa ini juga muncul tulisan tentang sejarah bangsa Israel, beberapa bagian dari Mazmur, dan Amsal.
g. Antara tahun 586 - 539 S.M.: Zaman pembuangan Babilon. Orangorang Israel yang berasal dari Kerajaan Yuda hidup di pembuangan Babilon atau Babel selama kurang lebih 50 tahun. Pada masa ini, penulisan Kitab Sejarah dilanjutkan. Muncul pula tulisan yang kemudian kita kenal dengan kitab Ratapan. Demikian pula halnya dengan nabinabi, pewartaan para nabi sebelum pembuangan ditulis pada masa ini. Pada periode ini juga muncul para imam yang menuliskan hukumhukum yang sekarang masuk dalam kitab Imamat.
h. Antara tahun 538 - 200 S.M: Sesudah pembuangan, bangsa Israel diizinkan pulang kembali ke tanah airnya oleh raja Persia yang mengalahkan Kerajaan Babilon. Pada masa ini kelima kitab Taurat telah diselesaikan. Juga kitab-kitab Sejarah Yosua, Hakim-hakim, 1-2 Samuel, dan Raja-raja sudah selesai ditulis. Kitab-kitab para nabi pun sudah banyak yang diselesaikan Dari ratusan nyanyian, akhirnya dipilih 150 mazmur yang kita terima sampai sekarang. Pada masa ini muncul pula beberapa tulisan Kebijaksanaan.
i. Dua abad terakhir: Pada masa ini ditulislah kitab-kitab seperti: Daniel, Ester, Yudith, Tobit, 1, 2 Makabe, Sirakh dan Kebijaksanaan Salomo.
Kanonisasi Kitab Suci dan Kitab Deuterokanonika
• Kata “kanon” berasal dari bahasa Yunani “canon”, yang artinya: norma, ukuran atau pedoman. Kitab-kitab yang terdapat dalam kanon disebut kitab-kitab kanonik. Kitab-kitab yang diakui sebagai kanonik tersebut diakui resmi sebagai Kitab Suci dan dijadikan patokan atau norma iman mereka
• Kitab-kitab Perjanjian Lama pada awalnya ditulis dalam bahasa Ibrani (Hebrew), tetapi setelah orang-orang Yahudi terusir dari tanah Palestina dan akhirnya menetap di berbagai tempat, mereka kehilangan bahasa aslinya, banyak keturunan mereka tidak lagi bisa menggunakan bahasa Ibrani, dan mulai berbicara dalam bahasa Yunani (Greek) yang pada waktu itu merupakan bahasa internasional. Oleh karena itu banyak diantara mereka membutuhkan terjemahan seluruh Kitab Perjanjian Lama dalam bahasa Yunani. Kebetulan pada waktu itu di Alexandria berdiam sejumlah besar orang Yahudi yang berbahasa Yunani. Selama pemerintahan Ptolemius II Philadelphus (285 - 246 SM) proyek penterjemahan dari seluruh Kitab Suci orang Yahudi ke dalam bahasa Yunani dimulai oleh 70 atau 72 ahli-kitab Yahudi (mereka adalah wakil dari ke 12 suku bangsa Israel, dan tiap suku diwakili 6 orang )
• Terjemahan ini diselesaikan sekitar tahun 250 - 125 SM dan disebut Septuagint, yaitu dari kata Latin yang berarti 70 (LXX), sesuai dengan jumlah penterjemah. Kitab ini sangat populer dan diakui sebagai Kitab Suci resmi (kanon Alexandria) bagi kaum Yahudi yang terusir, yang tinggal di Asia Kecil dan Mesir. Pada waktu itu bahasa Ibrani nyaris mati dan orang-orang Yahudi di Palestina umumnya berbicara dalam bahasa Aram. (Jadi hampir bisa dipastikan Yesus, para Rasul dan para penulis kitab-kitab Perjanjian Baru menggunakan Perjanjian Lama terjemahan Septuagint. Bahkan, 300 kutipan dari Kitab Perjanjian Lama yang ditemukan dalam Kitab Perjanjian Baru adalah berasal dari Septuagint. Harap diingat juga bahwa seluruh Kitab Perjanjian Baru ditulis dalam bahasa Yunani).
• Setelah Yesus disalibkan dan wafat, para pengikut-Nya tidak menjadi punah tetapi malahan menjadi semakin kuat. Pada sekitar tahun 100 Masehi, para rabbi (imam Yahudi) berkumpul di Jamnia, Palestina, mungkin sebagai reaksi terhadap Gereja. Dalam konsili Jamnia ini mereka menetapkan empat kriteria untuk menentukan kanon Kitab Suci mereka : 1. Ditulis dalam bahasa Ibrani; 2. Sesuai dengan Kitab Taurat; 3. Lebih tua dari zaman Ezra (sekitar 400 SM); 4. Ditulis di Palestina.
• Atas kriteria-kriteria di atas mereka mengeluarkan kanon baru untuk menolak tujuh buku dari kanon Alexandria, yaitu seperti yang tercantum dalam Septuagint, yaitu: Tobit, Yudit, Kebijaksanaan Salomo, Sirakh, Barukh, 1 Makabe, 2 Makabe, berikut tambahantambahan dari kitab Ester dan Daniel. (Catatan: Surat Nabi Yeremia dianggap sebagai pasal 6 dari kitab Barukh). Hal ini dilakukan semata-mata atas alasan bahwa mereka tidak dapat menemukan versi Ibrani dari kitab-kitab yang ditolak di atas.
• Gereja tidak mengakui konsili rabbi-rabbi Yahudi ini dan tetap terus menggunakan Septuagint. Pada konsili di Hippo tahun 393 Masehi dan konsili Kartago tahun 397 Masehi, Gereja Katolik secara resmi menetapkan 46 kitab hasil dari kanon Alexandria sebagai kanon bagi Kitab-kitab Perjanjian Lama. Selama enam belas abad, kanon Alexandria diterima secara bulat oleh Gereja. Masing-masing dari tujuh kitab yang ditolak oleh konsili Jamnia, dikutip oleh para Bapa Gereja (diantaranya: St. Polycarpus, St. Irenaeus, Paus St. Clement, dan St. Cyprianus ) sebagai kitab-kitab yang setara dengan kitabkitab lainnya dalam Perjanjian Lama. Tujuh kitab berikut dua tambahan kitab yang ditolak tersebut dikenal oleh Gereja sebagai Deuterokanonika (=termasuk kanon kedua) yang artinya kira-kira: “disertakan setelah banyak diperdebatkan”.
Kitab Suci Perjanjian Baru
Tidaklah mudah bagi seseorang untuk memahami isi sebuah tulisan yang sudah berusia sekitar 2000 tahun yang lalu. Apalagi isi tulisan tersebut tentang tokoh dan kelompok masyarakat tertentu, yang tinggal di wilayah tertentu dengan konteks geografis, sosial budaya, sosial politik dan sosial keagamaan tertentu yang berbeda dengan si pembaca. Kesulitan yang sama sering dikeluhkan sebagian Umat, terutama ketika mereka berhadapan dengan Kitab Suci Perjanjian Baru. Tetapi kesulitan tidak identik dengan jalan buntu. Siapapun yang hendak mempelajari Kitab Suci Perjanjian Baru dapat masuk dan sampai pada alam pikiran Perjanjian Baru, bila ia berusaha keras disertai keyakinan pada Roh Kudus sendiri yang akan membimbingnya.
Dari keseluruhan isi Kitab Suci Perjanjian Baru tampaklah dengan jelas, bahwa para penulis tidak pertama-tama hendak mewariskan kronologis peristiwa sejarah seperti Yesus Kristus dan kehidupan Gereja Perdana. Yang mereka ungkapkan terutama pengalaman iman akan Yesus. Mereka sebagai saksi mata peristiwa Yesus Kristus sebagai tokoh sentral.
Melalui pergaulan dan kebersamaan dengan Yesus Kristus, baik langsung maupun tidak langsung, mereka pada akhirnya mengimani Yesus Kristus sebagai Anak Allah dan Juru Selamat yang sekaligus menjadi pemenuhan janji penyelamatan Allah kepada manusia, sebagaimana telah dipersiapkan dan diwartakan dalam Perjanjian Lama. Pada dasarnya pengalaman iman para penulis akan Yesus Kristus tidaklah sama, karena sangat dipengaruhi oleh berbagai macam latar belakang yang melekat pada diri penulis sendiri. Itulah sebabnya gaya, cara, dan isi pengalaman iman yang mereka sampaikan mempunyai penekanan yang berbeda satu terhadap yang lain.
Konsekuensi dari itu semua, bila manusia sekarang ingin memahami isi pesan Kitab Perjanjian Baru maka disarankan agar mereka mencoba memahami konteks kemasyarakatan dan keagamaan masyarakat dan para penulis. Walaupun demikian, pemahaman akan konteks bukan hal mutlak, sebab yang paling penting adalah bagaimana kita menempatkan Perjanjian Baru sebagai cara Allah menyampaikan kehendakNya melalui ungkapan pengalaman orang-orang yang hidup pada zaman tertentu.
Di tengah berbagai kesulitan yang dialami Umat dalam membaca dan memahami isi pesan Kitab Perjanjian Baru, Konsili Suci mendesak dengan sangat semua orang beriman supaya sering kali membaca Kitab-Kitab ilahi untuk memperoleh pengertian yang mulia akan Yesus Kristus (Dei Verbum Art. 25). Santo Paulus pun dalam suratnya yang kedua kepada Timotius mengatakan bahwa “segala tulisan yang diilhamkan Allah (Kitab Suci) memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan, dan untuk mendidik orang dalam kebenaran” (lihat 2 Timotius 3: 26). St. Hironimus berkata “Tidak mengenal Kitab Suci berarti tidak mengenal Kristus.”
Istilah Perjanjian Baru
Perjanjian Lama dengan Perjanjian Baru-walaupun sama-sama Sabda Allah merupakan dua Kitab yang berbeda. Perbedaan dapat dilihat dalam perjanjian itu. Buku yang lama (PL) berbicara mengenai perjanjian Tuhan dengan bangsa Israel; sedangkan buku kedua, yang sekarang disebut PB, berbicara mengenai perjanjian Tuhan dengan umat manusia seluruhnya dalam diri Yesus dari Nazaret. Sebetulnya harus dikatakan bahwa apa yang disebut “PB” tidak banyak bicara mengenai “perjanjian.” PB sebetulnya tidak banyak bicara mengenai perjanjian, melainkan mengenai Yesus. Namun adalah kekhususan dari PB, bahwa melihat diri sebagai lanjutan dari PL. Ada suatu kesinambungan. Maka kedua-duanya dilihat sebagai perjanjian Tuhan dengan umat manusia. Cuma dalam fase pertama, atau dalam perjanjian yang lama itu, perjanjian masih dibatasi pada bangsa Israel, sedangkan dalam periode kedua, yang disebut “perjanjian yang baru,” hubungan itu diperluas kepada umat manusia seluruhnya. Maka isi daripada kata “perjanjian” lebih jelas dalam PL, tetapi lebih mendalam dalam PB. Dalam PB Tuhan berhubungan dengan umat manusia bukan lagi melalui suatu naskah perjanjian, melainkan melalui Putera-Nya sendiri ialah Tuhan kita Yesus Kristus.
Proses penyusunan Kitab Suci Perjanjian Baru
Ke 27 Kitab dalam Perjanjian Baru, tentu saja tidak langsung jadi, tetapi melalui proses yang kurang lebih 100 tahun. Ketika Yesus masih hidup, tidak seorangpun di antara murid-murid-Nya yang terpikir untuk mencatat tentang apa yang Ia lakukan atau Ia katakan, atau segala sesuatu tentang kehidupan-Nya. Mereka hanya ingin menjadi murid Yesus yang mengikuti Yesus ke manapun Ia pergi, mereka tinggal bersama Yesus, mereka belajar mendengarkan ajaran-Nya, dan menyaksikan tindakan Yesus.
Baru sesudah Yesus dibangkitkan, mereka mulai merasakan arti kehadiran Yesus bagi hidup mereka, dan bagi banyak orang yang selama ini mengikuti Yesus percaya kepada-Nya. Sesudah Yesus bangkit, para murid mulai sadar, bahwa Ia yang selama ini diikuti adalah sosok yang menjadi kegenapan janji Allah, sebagai Tuhan dan Juru Selamat. Peristiwa Pentakosta seolah membakar hati mereka untuk mulai berani bercerita kepada banyak orang tentang siapa Yesus sesungguhnya. Berkat Pentakosta, mereka mulai keluar dari persembunyian, dan pergi ke berbagai tempat menceritakan secara lisan tentang ajaran, karya (mukjizat-mukjizat), serta hidup Yesus.
Dari situ terbentuklah semakin banyak kelompok orang yang percaya kepada Yesus di berbagai kota, tapi sampai ke wilayah di luar Palestina. Karena orang-orang yang percaya kepada Yesus itu tersebar di berbagai kota, dan tidak selamanya para rasul bisa hadir di tengah mereka, maka kadangkadang komunikasi dilakukan melalui surat. Surat itu bisa berisi wejangan untuk menyelesaikan masalah atau pengajaran atau cerita-cerita tentang kehidupan Yesus. Baru sesudah para murid meninggal dan umat yang percaya kepada Yesus Kristus semakin banyak, muncullah kebutuhan akan tulisan baik mengenai hidup Yesus, karya-Nya, sabda-Nya maupun akhir hidup-Nya. Berkat bimbingan Roh Kudus, mereka menuliskan kisah tentang Yesus berdasarkan cerita-cerita dari para saksi mata, para pengikut-Nya yang sudah beredar dan berkembang luas di tengah-tengah (bacalah Lukas 1:1-4). Tentu tulisantulisan tersebut dipengaruhi oleh kemampuan, iman dan maksud serta tujuan penulis serta situasi jemaat yang dituju oleh tulisan itu.
Oleh sebab itu, kita tidak perlu heran jika tulisan-tulisan dari para penulis tentang Yesus tersebut terdapat perbedaan. Sebab, mereka bukan menulis suatu laporan atau sejarah tentang Yesus melainkan melalui tulisan itu mereka mau mewartakan iman mereka (dan iman jemaat) akan Yesus Kristus, sebagai Tuhan dan Juru Selamat.
Untuk memahami lebih dalam tentang proses tersusunnya tulisan-tulisan mengenai Yesus Kristus, kita harus mulai dari periode hidup Yesus sampai pembentukan kanon Perjanjian Baru.
Antara tahun 7/6 sebelum Masehi (SM) - 30 sesudah Masehi (M)
a. Yesus lahir sekitar tahun 7/6 SM*, dibesarkan di desa Nazaret wilayah Galilea. Ia seorang Yahudi yang saleh yang menaati hukum dengan penuh semangat (bandingkan Matius 5:17). Sekitar tahun 27/28 Masehi Yesus dibaptis di sungai Yordan oleh Yohanes Pembaptis. Kemudian la berkarya sebentar seperti Yohanes Pembaptis, yaitu bersama dengan murid-murid-Nya membaptis (bandingkan Yohanes 3:22-26), tetapi kemudian Ia berkeliling di seluruh Galilea dan Yudea untuk mewartakan Kerajaan Allah. Ketika Yesus lahir dan tampil di depan umum, Palestina berada di bawah kekuasaan Roma dipimpin oleh Agustus dan di Palestina dipimpin oleh Herodes Agung.
b. Dalam situasi seperti itu ada suasana kebencian di kalangan orang Yahudi terhadap penjajah Roma. Sementara itu dalam kehidupan Umat Yahudi sejak lama tumbuh keyakinan bahwa Allah mereka adalah Allah yang setia dan selalu terlibat dalam seluruh kehidupan umat-Nya. Dalam kondisi dijajah oleh bangsa lain mereka menaruh harapan pada Allah yang akan membebaskan mereka dari derita dan penjajahan. Campur tangan Allah itu diyakini akan dilaksanakan melalui seorang tokoh yang disebut Mesias. Mesias digambarkan sebagai utusan Allah, seorang pahlawan yang akan membebaskan Israel dari penjajah dan antek-anteknya. Maka timbullah berbagai gerakan mesianisme. Salah satu gerakan mesianisme bercorak keagamaan adalah seperti yang dirintis Yohanes. Yohanes mewartakan bahwa Allah akan memenuhi janji-Nya, bilamana bangsa Israel bertobat sebagaimana dituntut oleh para nabi (Matius 3:1-12). Yohanes juga memberitakan tentang Yesus sebagai utusan Allah yang akan membawa pembebasan bagi mereka. Seruan pertobatan Yohanes ditanggapi bangsa Israel. Mereka memberi diri dibaptis oleh Yohanes sebagai tanda pertobatan. Yesus pun mengikuti mereka sebagai tanda solidaritas dengan mereka.
c. Setelah dibaptis oleh Yohanes, Yesus meneruskan pesan yang sudah diserukan oleh Yohanes. Tetapi gambaran Yohanes tentang diri Yesus sebagai Mesias berbeda dengan yang dipahami Yesus sendiri. Yohanes menggambarkan bahwa campur tangan Allah akan terlaksana secara mengerikan, sedangkan Yesus menyatakan campur tangan Allah sebagai kabar baik sebagaimana dinyatakan oleh para nabi (bandingkan Yesaya 40:11; 52:7-10), yakni hidup, sabda dan karyaNya.
d. Dalam mewartakan misinya sebagai Mesias, Yesus kerap mengajar dengan menggunakan perumpamaan agar mudah ditangkap oleh orang-orang sederhana. Namun demikian semua disampaikan dengan kewibawaan Ilahi. Itulah sebabnya Yesus selalu bersabda: “Aku berkata kepada-mu... (Markus 1:27). Yesus juga tampil dengan gaya dan cara hidup yang berbeda dengan orang lain. Kerap kali Ia “melanggar” kaidah-kaidah umum yang berlaku, misalnya: menyembuhkan orang pada hari Sabat, bergaul dengan orang-orang berdosa, makan bersama atau mengadakan perjamuan dengan orang-orang yang oleh masyarakat dicap sebagai sampah masyarakat (pendosa), Yesus banyak melakukan mukjizat, mengampuni dosa atau membangkitkan orang mati (yang menurut pandangan banyak orang hal itu hanya bisa dilakukan oleh Allah). Sebagian orang yang melihat tindakan Yesus semakin mengagumi Dia, dan semakin membuat orang bertanya-tanya siapa sebenarnya Dia ini? (bandingkan Markus 8:27-30 dan Injil lain). Tetapi hal yang sama membuat kebencian Kaum Farisi, khususnya para Imam dan ahli Taurat. Yesus dianggap oleh mereka menghojat Allah. Kendati demikian, Yesus tidak takut dan tetap mewartakan kedatangan Kerajaan Allah dan mengajak setiap orang yang mendengar-Nya bertobat dan percaya kepada Injil.
e. Kebencian para pemimpin agama dan kaum Farisi tampak dalam tindakan mereka yang selalu menguji Yesus untuk mencari kesalahanNya. Bahkkan diceritakan, bahwa beberapa kali mereka bersekongkol untuk membunuh Yesus, tetapi Yesus berhasil menyingkir, meloloskan diri (Matius 12:14). Hingga pada akhirnya, mereka menggunakan kesempatan perayaan Paska untuk menangkap Yesus. Yesus ditangkap kemudian diadili oleh pengadilan Agama (Sanhedrin) di sini Yesus diputuskan untuk dihukum mati. Maka mereka membawa Yesus kepada penguasa Romawi (Ponsius Pilatus) untuk mengizinkan menghukum mati Yesus. Atas desakan orang banyak, akhirnya Ponsius Pilatus menjatuhkan hukuman mati di kayu salib. Kemungkinan besar hal itu terjadi sekitar tanggal 7 April tahun 30 M.
f. Sejak penangkapan Yesus di Taman Getsemani, murid-murid yang selama ini selalu bersama-sama dengan Dia sangat ketakutan. Petrus menyangkal, para murid yang lain entah ke mana. Yesus harus menghadapi pengadilan sendirian bahkan berjalan salib tanpa mereka. Sampai akhirnya Yesus wafat di Salib. Sesaat seolah-olah apapun tentang Yesus lenyap ditelan bumi. Para murid bersembunyi di rumahrumah, tidak berani tampil di muka umum. Titik balik mulai muncul, ketika tiga hari kemudian mereka mendapati Yesus bangkit. Tidak ada laporan dan kesaksian yang utuh tentang kebangkitan Yesus. Mereka hanya menceritakan tentang makam Yesus yang kosong, dengan hanya menyisakan kain kafan, serta malaikat yang memberitakan kabangkitan Yesus. Beberapa waktu kemudian, mengalami beberapa kali penampakan Yesus. Mereka mengalami seolah Yesus yang hadir dalam wujud mulia.
g. Kebangkitan Yesus itu memperkokoh iman mereka. Mereka menjadi semakin percaya bahwa Yesus sungguh-sungguh Mesias, Putera Allah, Tuhan dan Penyelamat. Mereka semakin yakin akan segala sesuatu yang telah diwartakan Perjanjian Lama tentang Mesias, dan hal itu dilihat sebagai terlaksana dalam diri Yesus. Keyakinan baru ini dirasakan mereka sebagai datang dari Allah sendiri, bukan hasil olah pikir mereka. Lebih-lebih berkat Pentakosta keyakinan dan keberanian itu semakin menguatkan mereka untuk memberi kesaksian kepada semua orang.
Antara Tahun 40 - 120 Masehi: penyusunan dan penulisan Kitab Suci Perjanjian Baru.
a. Karangan tertua dari Kitab Suci Perjanjian Baru adalah 1 Tesalonika (ditulis sekitar tahun 40 an) sedangkan yang paling akhir adalah 2 Petrus (tahun 120-an)
b. Yesus pasti tidak menulis apapun yang berkaitan dengan karya dan sabdasabda-Nya, tidak juga menyuruh para murid-Nya untuk menuliskannya, meskipun Ia bisa membaca dan menulis (lihat Lukas 4:17-19 dan Yohanes 8:6). Ia hanya berkeliling mengajar dan berbuat baik (menyembuhkan, mengusir setan dan sebagainya) di dalam pengajaran-Nya Yesus kerapkali menggunakan Kitab Suci, tetapi Kitab Suci yang la gunakan adalah Kitab Suci Perjanjian Lama. Namun karena sabda-Nya dan hidup-Nya serta karya-Nya begitu mengesankan dan berwibawa maka banyak orang tertarik dan mengikuti Yesus. Lebih-lebih setelah kebangkitan, di mana Yesus diakui dengan berbagai macam gelar (Kristus, Tuhan, Juru Selamat dan sebagainya), maka para pengikutnya mulai meneruskan apa yang telah dimulai oleh Yesus. Mereka berkeliling tidak hanya di Palestina tetapi sampai di luar Palestina, untuk mewartakan karya keselamatan Allah yang terlaksana melalui Yesus Kristus.
c. Mula-mula para murid mulai mewartakan Yesus secara lisan. Inti pewartaan pada mulanya adalah wafat dan kebangkitan-Nya (bdk. Kisah Para Rasul: Khotbah Petrus pada hari Pentakosta, Kisah Para Rasul 2). Kemudian pewartaan itu berkembang dengan mewartakan juga hidup, karya dan sabda-Nya dan yang terakhir adalah masa muda-Nya atau masa kanak-kanak-Nya. Semua diwartakan dalam terang kebangkitan, karena kebangkitan Kristus merupakan dasar dari iman kepada Yesus Kristus.
d. Setelah komunitas jemaat berkembang di berbagai kota maka seringkali para Rasul berhubungan dengan komunitas tersebut melalui utusan dan surat-surat (Kisah Para Rasul 15:2. 20-23). Itulah sebabnya karangan yang tertua dan tertulis adalah dalam bentuk surat (lihat poin 1).
e. Karena banyak komunitas yang perlu untuk terus dibina, sementara para saksi mata jumlahnya terbatas, maka mulailah juga ditulis beberapa pokok iman yang penting, seperti kisah kebangkitan, sengsara, sabdasabda Yesus dan karya Yesus dengan maksud untuk membina mereka.
f. Setelah generasi pertama mulai menghilang, maka dibutuhkan tulisantulisan tentang Yesus yang dapat dipertanggungjawabkan. Maka muncullah karangan-karangan yang masih berupa fragmen-fragmen: kisah sengsara, mukjizat--mukjizat, kumpulan sabda, kumpulan perumpamaan, dan sebagainya. Dari situ akhirnya disusunlah injil-injil dan kisah para rasul, sampai akhirnya seperti yang kita miliki sekarang ini. Injil itu disusun berdasar atas tradisi, baik lisan maupun tertulis dan yang disesuaikan dengan maksud dan tujuan penulis serta situasi jemaat.
Antara tahun 120 - 400 Masehi: pembentukan kanon (Daftar resmi Kitab Suci Perjanjian Baru).
a. Pada awal abad kedua sampai akhir abad kedua muncul begitu banyak tulisan tentang Yesus, yang membingungkan umat beriman. Dalam situasi seperti itu umat mulai mencari kepastian, manakah Kitab-Kitab yang membina iman sejati.
b. Untuk mengatasi hal tersebut pada akhir abad kedua mulai tahun 200, beberapa tokoh penting mulai menyaring karangan-karangan yang ada. Mereka menyusun daftar karangan yang berwibawa dan layak disebut Kitab Suci. Sementara karangan-karangan yang menyeleweng dari iman sejati ditolak. Salah satu daftar yang terkenal pada saat itu adalah kanon Muratori.
c. Sekitar tahun 254, Origines, memberikan daftar kisah yang umum diterima dan daftar Kitab-Kitab yang harus ditolak. Juga Eusebius pada tahun 303 menyajikan Kitab yang umum diterima dan sejumlah karangan yang mesti ditolak. Pada tahun 300 secara umum yang sudah diterima sebagai Kitab Suci adalah: 4 injil seperti sekarang; 13 surat Paulus, Kisah Para Rasul, 1 Petrus, 1 Yohanes dan Wahyu
d. Pada tahun 400, barulah perbedaan pendapat dalam hal jumlah Kitab Suci hampir hilang seluruhnya. Pada tahun 367 Batrik Aleksandria yang bernama Atanasius menyusun daftar Kitab Suci yang termasuk Perjanjian Baru. Jumlahnya 27 seperti yang kita miliki sekarang. Demikian juga Konsili Hippo (393) dan Karthago (397) menetapkan daftar yang sama.
Kitab-kitab dalam Kitab Suci Perjanjian Baru
Gereja Katolik mengakui bahwa jumlah tulisan atau Kitab dalam Perjanjian Baru ada 27 tulisan atau Kitab. Semua Kitab pada intinya berbicara tentang Yesus Kristus karya-Nya, sabda-Nya, tuntutan-Nya dan hidup-Nya, dengan cara dan gaya penulisan masing-masing. Meskipun Perjanjian Baru berpusat pada Yesus Kristus, namun di dalamnya juga tercantum beberapa hal mengenai mereka (jemaat perdana) yang percaya kepada Yesus Kristus. Secara umum, Kitab Suci Perjanjian Baru bentuknya bersifat kisah (baik perjalanan atau mukjizat) perumpamaan, ajaran, surat dan nubuat.
Keempat Injil
Kitab Suci Perjanjian Baru dibuka dengan empat tulisan yang disebut Injil (Matius, Markus, Lukas dan Yohanes). Sebagian besar isinya berupa cerita mengenai Yesus selagi hidup di dunia, karya-Nya, wejangan-wejangan-Nya dan perjuangan-Nya. Tulisan mereka berhenti dengan kisah tentang Yesus yang menampakkan diri sesudah bangkit dari antara orang mati. Mengingat isinya, maka keempat Kitab Injil itu dipandang sebagai Kitab yang paling utama (paling penting).
Kisah Para Rasul
Kisah Para Rasul” sebenarnya bukan berisi kisah tentang semua rasul, melainkan lebih bercerita tentang apa yang terjadi setelah Yesus wafat dan bangkit. Intinya, berkisah tentang munculnya jemaat kristen pertama dan perkembangannya selama kurang lebih 30 tahun dengan dua tokoh utama yaitu Petrus dan Paulus
Surat-surat
Tulisan berikutnya adalah 21 tulisan yang gaya penulisannya semacam “surat”. Isinya lebih merupakan wejangan, anjuran dan ajaran yang bermacammacam tentang hidup sesuai dengan Yesus Kristus. Wejangan, anjuran dan ajaran itu diajarkan oleh Santo Paulus, Yakobus dan tokoh-tokoh lain yang ditujukan kepada jemaat tertentu atau orang tertentu.
Wahyu
Tulisan terakhir adalah Kitab Wahyu Yohanes. Kitab ini berisi serangkaian penglihatan mengenai hal ihwal umat Kristen dan dunia seluruhnya. Kitab ini terarah ke masa depan atau akhir zaman, dan sekaligus merupakan rangkuman atau penegasan tentang karya keselamatan Allah.
Bacalah teks dibawah ini:
• Konstitusi Dogmatik tentang Wahyu Ilahi menegaskan bahwa: Kitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru ditulis di bawah bimbingan Roh Kudus; Allah adalah pengarang yang benar dan “harus diakui bahwa Alkitab mengajarkan dengan teguh dan setia serta tanpa kekeliruan kebenaran, yang oleh Allah dikehendaki supaya dicantumkan dalam KitabKitab Suci demi keselamatan kita” (DV art. 11). Untuk itu ia menjadi norma bagi iman dan ajaran Kristiani, serta sebagai sabda Allah yang merupakan sumber yang kaya bagi doa pribadi.
• Santo Paulus dalam suratnya kepada Timotius menegaskan, “segala tulisan yang diilhamkan oleh Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan mendidik orang dalam kebenaran” (2 Timotius 3:16-17).
• St. Hironimus mengatakan, “Tidak mengenal Kitab Suci berarti tidak mengenal Kristus”. Kutipan inilah yang akhirnya juga dikutip kembali oleh Konsili Vatikan II dalam dokumen Dei Verbum. Kutipan itu hendak menegaskan bahwa sarana utama untuk dapat mengenal Kristus adalah Kitab Suci.
• “Konsili mendesak dengan sangat semua orang beriman supaya seringkali membaca Kitab-Kitab Ilahi untuk memperoleh pengertian yang mulia akan Yesus Kristus” (DV art. 25).
• “Tetapi hendaklah kamu menjadi pelaku firman dan bukan hanya pendengar saja, sebab jika tidak demikian kamu menipu diri sendiri” (Yakobus 1:22) DRAFT 10 MARET 2016 138 Buku Guru Kelas X SMA/SMK e. Setelah kalian membaca uraian di atas, coba rumuskan: alasan pentingnya membaca Kitab Suci Perjanjian Baru. f. Bila dipandang perlu guru dapat menyampaikan beberapa gagasan berikut:
Pentingnya Mendalami Kitab Suci Perjanjian Baru
• Para penulis Kitab Suci berkat ilham Roh Kudus, menuliskan kesaksian imannya dalam Kitab Suci untuk semua orang yang beriman. Ia tidak menyusun buku untuk pajangan atau hiasan. Dengan kata lain, Kitab Suci Perjanjian Baru menjadi benar-benar kitab yang bermakna dan kitab yang hidup bila dibaca dan direnungkan, serta nilai-nilainya diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari.
• Konstitusi Dogmatik tentang Wahyu Ilahi menegaskan bahwa: Kitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru ditulis di bawah bimbingan Roh Kudus; Allah adalah pengarang yang benar dan “harus diakui bahwa Alkitab mengajarkan dengan teguh dan setia serta tanpa kekeliruan kebenaran, yang oleh Allah dikehendaki supaya dicantumkan dalam Kitab-Kitab Suci demi keselamatan kita” (DV art. 11). Untuk itu menjadi norma bagi iman dan ajaran Kristiani, serta sebagai sabda Allah yang merupakan sumber yang kaya bagi doa pribadi.
• Ada beberapa alasan perlunya kita membaca dan mendalami sabda Tuhan yang terdapat dalam Kitab Suci tersebut. Pertama, iman kita akan tumbuh dan berkembang dengan membaca Kitab Suci. Santo Paulus dalam suratnya kepada Timotius menegaskan, “segala tulisan yang diilhamkan oleh Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan mendidik orang dalam kebenaran” (2 Timotius 3:16-17). Kedua, kita tidak akan mengenal Kristus jika kita tidak membaca Kitab Suci. St. Hironimus mengatakan, “Tidak mengenal Kitab Suci berarti tidak mengenal Kristus”. Kutipan inilah yang akhirnya juga dikutip kembali oleh Konsili Vatikan II dalam dokumen Dei Verbum. Kutipan itu hendak menegaskan bahwa sarana utama untuk dapat mengenal Kristus adalah Kitab Suci. Ketiga, Kitab Suci adalah buku Gereja, buku iman Gereja. Kitab Suci adalah sabda Allah dalam bahasa manusia, Gereja menerimanya sebagai yang suci dan ilahi karena di dalamnya mengandung sabda Allah. Dan sebab itu, Kitab Suci (Alkitab) bersama Tradisi menjadi tolok ukur tertinggi bagaimana kita mengenal iman Gereja. Untuk itu, Gereja menghendaki agar kita semua semakin membaca dan mendalami Kitab Suci, seperti ditegaskan oleh bapa-bapa Konsili: “Konsili mendesak dengan sangat semua orang beriman supaya seringkali membaca Kitab-Kitab Ilahi untuk memperoleh pengertian yang mulia akan Yesus Kristus” (DV art. 25). Pun pula, melalui Kitab Suci ini, kita juga dapat semakin mendekatkan diri dengan saudara-saudara kita dari Gereja-gereja Kristen lain.
• Karena Kitab Suci adalah Sabda Allah , maka untuk dapat menangkap isi pesannya hanya mungkin dibaca dan direnungkan dengan iman kepercayaan, dan bahwa dalam Kitab Suci itu Allah sungguh hadir dan bersabda. Kita juga perlu membaca Kitab Suci dengan doa dengan berharap bahwa apapun yang difirmankan Allah mampu kita terima, entah itu nasehat, teguran, atau peneguhan untuk hidup iman kita. Kita perlu membaca Kitab Suci disertai dengan kesediaan untuk bertobat, membiarkan hidup kita siap diperbaharui, diubah dari dalam sampai keakar-akarnya, sehingga dalam kehidupan selanjutnya kita menjalani hidup baru dan meninggalkan dosa. Dan yang paling penting adalah kemauan mewujudkan firman Allah dalam kehidupan sehari-hari. “Tetapi hendaklah kamu menjadi pelaku firman dan bukan hanya pendengar saja, sebab jika tidak demikian kamu menipu diri sendiri” (Yakobus 1:22)
• Memang untuk mencapai hasil maksimal dari manfaat membaca Kitab Suci tidak bisa diraih dengan mudah. Kita membutuhkan ketekunan yang terus menerus, sampai menjadi kebiasaan dan kebutuhan. Andaikan setiap orang selalu merasa haus untuk selalu menimba kekuatan dari firman-Nya, betapa indah hidup ini.