Fasya Basmara (bagian 1)
Jakarta, di bulan April :
Sepanjang hari ini hatiku berbunga-bunga... Bagaimana tidak, hari ini aku mendapat surat panggilan dari Duta Besar Republik Indonesia di Brunei untuk segera berangkat kesana.
Aku sadar babak baru dalam kehidupanku akan segera mulai : Kedutaan Besar Republik Indonesia di Brunei, menerima aku untuk membaktikan diri disana sebagai seorang staf di bagian Politik.
Tentu saja Tante Ramlah, adik ibuku dan suaminya, Om Marsudi, ikut berbahagia dan sangat mendukung rencana kepergianku ke negeri jiran ini.
Semenjak meninggalkan kampung halaman di Banjarmasin, keluarga Tante Ramlah dan Om Marsudi inilah sebagai pengganti orang tuaku yang sudah meninggal beberapa tahun yang lalu.
Hari berikutnya aku menuju Kementrian Luar Negeri di Jalan Pejambon, Jakarta, untuk proses pemeriksaan lebih lanjut bagi staf yang akan bergabung di perwakilan Republik Indonesia di luar negeri.
Rencananya aku akan berangkat bersama Singgih Budiono, mantan staf kantor Sekretariat ASEAN yang juga diterima untuk bekerja di KBRI Brunei.
Aku yang tidak ingin menyusahkan keluarga tante Ramlah dengan biaya keberangkatan ke luar negeri ini, akhirnya memutuskan untuk berangkat ke Surabaya sebelum menuju Negara Brunei Darussalam.
Aku mempunyai sebidang tanah di Surabaya, yang merupakan hak milikku setelah warisan dari Almarhum Ayah dibagi secara hukum Islam.
Di Surabaya, aku menemui Faridah, saudara sepupu dan menceritakan rencanaku untuk berhijrah ke Brunei serta menawarkan kepadanya untuk membeli tanah itu.
Karena Faridah belum mempunyai dana yang cukup untuk membeli, maka akhirnya tercapai kesepakatan untuk menukar kapling tanah milikku dengan sebuah toko miliknya.
Kebetulan saat itu ada orang yang berminat untuk membeli toko, maka dengan mudah akhirnya aku mendapatkan uang tunai untuk dibawa ke Brunei Darussalam.
Dan tibalah hari itu ....... ketika pesawat Royal Brunei Airlines yang aku tumpangi, dengan mulus mendarat di Bandara Brunei......