Menjemput Hidayah di Brunei (bagian 3)
Setahun lebih satu bulan semenjak kedatanganku di Brunei. Malam ini kesedihan benar-benar menyelimuti hatiku. Sudah seminggu ini aku tinggal di rumah Pangeran Bakar. Aku memang sengaja menjauhi rumah di Lambak yang aku huni bersama Singgih.
Sungguh sakit dihati yang aku rasakan membuatku seperti orang yang linglung. Tidak sanggup aku untuk mengingat kembali saat-saat terakhir ketika Putri Kirana aku tinggalkan.
Semenjak kepindahan aku ke jalan Lambak, kami benar-benar saling jatuh cinta...... cinta yang sangat mendalam...... cinta yang melibatkan dua negara tetangga...... cinta yang awalnya didukung oleh pihak keluarga Putri Kirana, khususnya dari Dayangku Astari, ibu kandung Putri Kirana.
Tetapi malam itu merupakan malam anti klimaks, ketika aku harus dihadapkan dengan kenyataan pahit.... Di hadapan seluruh keluarga besar yang dikumpulkannya, Pangeran Pandu meminta aku untuk memutuskan hubungan dengan anak gadis mereka..... Sebelumnya, masih di malam yang sama, aku dengan jelas menyaksikan bagaimana sedihnya tangisan Putri ketika ditarik paksa keluar dari rumah disaat menengok aku yang sedang sakit.
Dan malam ini aku benar-benar berusaha untuk melawan diriku agar tidak melakukan perbuatan yang nekat untuk membawa lari Putri..... Aku sadar apa yang aku lakukan di negara tetangga ini bukan sebatas berdampak pada diri pribadiku..... tetapi lebih jauh lagi yang sangat aku jaga adalah dampaknya pada nama baik Kedutaan Besar Republik Indonesia tempat aku mengabdikan diri. Maka dengan sekuat tenaga aku buang jauh-jauh pikiran dan rencana nekat untuk membawa kabur Putri Kirana dari rumahnya......
Kepedihan ini aku pendamnya sendiri........