JURNAL REFLEKSI MODUL 3.1
Modul 3.1
Pengambilan Keputusan Berbasis Nilai-nilai Kebajikan Sebagai Pemimpin
Setelah mempelajari modul 3.1 yang membahas tentang pengambilan keputusan berbasis nilai-nilai kebajikan, saya bisa merefleksi keputusan-keputusan yang pernah saya ambil sebelumnya. Saya juga bisa mengingat kembali kasus yang pernah dialami di sekolah selama ini. Dari kasus tersebut saya bisa menganalisis apakah langkah-langkah yang diambil dalam pengambilan keputusan sudah tepat atau belum.
Selain itu, saya juga bisa praktik langsung menganalisis kasus-kasus yang sudah disediakan di modul bersama rekan CGP Angkatan 9 lainnya. Di sini, saya bisa belajar dari rekan CGP bagaimana mereka mengambil sebuah keputusan. Saling belajar, saling berbagi pengalaman, tentu akan menambah pengetahuan baru serta bisa saling menguatkan.
Namun, satu hal yang perlu diketahui bahwa tidak semua keputusan yang sulit itu merupakan dilema etika. Adakalanya kasus tersebut merupakan bujukan moral. Hal ini akan lebih jelas saat saya menceritakan beberapa pengalaman selama ini dalam mengambil sebuah keputusan. Perbedaan yang mendasar yaitu jika kasus itu antara benar lawan benar maka itu merupakan dilema etika. Sebaliknya, jika kasus itu antara benar lawan salah, maka hal tersebut merupakan bujukan moral.
Beberapa hal inti yang saya pahami dari modul 3.1. ini yaitu tentang empat paradigma dilema etika, tiga prinsip pengambilan keputusan, dan sembilan langkah konsep pengambilan dan pengujian keputusan. Semua itu perlu dipahamai dan dipraktikkan agar bisa menghasilkan keputusan yang lebih berpihak pada kebenaran.
Empat paradigma dilema etika yang dimaksud adalah individu lawan kelompok (Individual vs community), rasa keadilan lawan rasa kasihan (justice vs mercy), kebenaran lawan kesetiaan (truth vs loyalty), dan jangka pendek lawan jangka panjang (short term vs long term).
Saya memiliki pengalaman dari keempat paradigma di atas. Yang pertama adalah individu lawan kelompok. Hal ini terjadi di kelas 1 saat mengajar matematika tentang materi penjumlahan, di mana sebagian besar murid sudah sangat paham dan siap untuk melanjutkan ke materi berikutnya, sedangkan beberapa murid masih membutuhkan bimbingan lagi. Tentu hal ini menjadi dilema antara kelompok kecil dengan kelompok besar, apakah saya akan melanjutkan materi berikutnya atau menunggu kelompok murid lainnya yang belum paham.
Untuk paradigma yang kedua yaitu keadilan lawan rasa kasihan, saya juga pernah mengalaminya. Hal ini terjadi beberapa waktu yang lalu saat saya bersama beberapa rekan guru dan kepala sekolah mengurus identitas kependudukan digital (IKD) ke rumah petugas yang berwenang. Hal itu terjadi pada malam hari. Saat pengurusan itu hampir selesai, ternyata turun hujan lebat sehingga beberapa rekan guru tidak bisa pulang karena tidak membawa jas hujan.
Cukup lama kami menunggu hujan reda, hingga sekitar pukul 22.00 WIB saya di hubungi oleh istri lewat pesan whatsapps. Istri mengingatkan agar saya segera pulang karena sudah larut malam. Sebenarnya saat itu saya bisa pamit pulang duluan karena memang sudah menyiapkan jas hujan dari rumah, tetapi saya merasa tidak nyaman jika harus meninggalkan rekan guru yang lain. Saat itulah saya merasa dilema antara segera pulang atau tetap menunggu hujan reda dan pulang bersama rekan guru yang lain.
Pada kejadian yang lain, saya juga pernah mengalami peristiwa yang melibatkan kebenaran lawan kesetiaan. Saat itu kepala sekolah di tempat saya mengajar ada jadwal kegiatan rapat bulanan. Kebetulan pada tanggal tersebut dia juga ditugaskan untuk mengisi pelatihan di kecamatan yang lain. Kepala sekolah meminta saya untuk mewakilinya hadir di kegiatan rapat bulanan. Saya yang saat itu sedang ada jam mengajar tentu dilema dengan dua pilihan, antara mengajar atau mematuhi kepala sekolah untuk hadir di rapat bulanan.
Untuk dilema jangka pendek lawan jangka panjang, saya memiliki pengalaman saat memutuskan untuk mengikuti program guru penggerak ini. Saya berpikir bahwa jika mengikuti pendidikan guru penggerak (PGP), maka saya akan disibukkan dengan tugas-tugas lain diluar jam mengajar. Sementara, untuk menyiapkan pembelajaran setiap harinya sudah cukup melelahkan. Jika saya tidak mengikutinya, maka saya akan memiliki lebih banyak waktu untuk keluarga tanpa harus disibukkan dengan tugas-tugas PGP.
Di sisi lain, saya berpikir bahwa PGP ini adalah kesempatan saya untuk mengembangkan diri, yang hal ini akan sangat dibutuhkan dalam memberikan pelayanan terbaik terhadap murid ke depannya. Jika ingin mendapatkan sesuatu yang lebih baik, tentu harus ada hal dikorbankan, salah satunya adalah waktu. Hal ini menjadi pertimbangan bagi saya, apakah harus mengikuti PGP atau tidak.
Berdasarkan empat pengalaman tersebut, tentu pada akhirnya saya harus mengambil sebuah keputusan. Hal ini berhubungan dengan tiga prinsip pengambilan keputusan, yaitu prinsip berpikir berbasis hasil akhir (Ends-Based Thinking), prinsip berpikir berbasis peraturan (Rule-Based Thinking), dan prinsip berpikir berbasis rasa peduli (Care-Based Thinking).
Ciri-ciri prinsip berpikir berbasis hasil akhir yaitu saat seseorang berpikir bahwa ‘saya lalukan karena itu yang terbaik untuk kebanyakan orang.’ Sedangkan prinsip berpikir berbasis peraturan yaitu, ‘Ikuti prinsip atau aturan-aturan yang telah ditetapkan,’ dan prinsip berpikir berbasis rasa peduli yaitu, ‘Apa yang Anda harapkan orang lain lakukan terhadap Anda.’
Berdasarkan tiga prinsip di atas, saya bisa menganalisa sendiri prinsip apa yang telah saya pakai saat mengambil sebuah keputusan. Untuk kasus pengalaman saya yang pertama yang berhubungan dengan paradigma individu lawan kelompok, saat itu saya menggunakan prinsip berbasis rasa peduli. Saya menunda untuk melanjutkan materi berikutnya karena masih memberikan bimbingan kepada beberapa murid yang belum paham materi penjumlahan dengan tidak mengabaikan murid lain yang sudah paham.
Begitu juga dengan kasus pada pengalaman saya yang kedua. Pada saituasi tersebut saya memutuskan untuk menunggu hujan reda dan pulang bersama rekan guru yang tidak membawa jas hujan. Saat tiba di rumah, saya menjelaskan keadaan tersebut kepada istri sehingga dia bisa memaklumi situasi yang saya hadapi tersebut.
Sedangkan untuk kasus pengalaman saya yang ketiga dan keempat, saat itu saya menggunakan prinsip berbasis hasil akhir. Saat itu saya memutuskan untuk menghadiri rapat bulanan mewakili kepala sekolah dan tidak mengabaikan murid di kelas dengan meminta bantuan guru honorer menggantikan saya mengajar. Saya berpikir bahwa itulah yang terbaik bagi kepala sekolah atau pun bagi murid.
Begitu juga dengan kasus pengalaman saya yang keempat, di mana saat itu saya memutuskan untuk mengikuti program guru penggerak. Saya berpikir bahwa itu lebih banyak manfaatnya, baik bagi diri saya sendiri, bagi murid, atau pun bagi sekolah untuk ke depannya. Walaupun saya tahu konsekuensinya bahwa saya akan menghadapi tugas-tugas yang lebih banyak serta harus mengorbankan banyak waktu untuk belajar.
Setelah mempelajari modul 3.1. ini, saya juga mendapatkan pemahaman baru tentang sembilan langkah konsep pengambilan dan pengujian keputusan. Dengan langkah-langkah ini, saya bisa menganalisa dan merefleksi setiap pengambilan keputusan yang pernah dilakukan terhadap sebuah kasus, baik oleh pimpinan atau dari saya sendiri.
Sembilan langkah tersebut yaitu, menentukan nilai-nilai yang bertentangan, menentukan siapa yang terlibat dalam situasi ini, kumpulkan fakta-fakta yang relevan, pengujian benar atau salah (uji legal, regulasi, intuisi, publikasi, panutan), pengujian paradigma benar lawan benar, melakukan prinsip resolusi, investigasi opsi trilema, buat keputusan, dan lihat lagi keputusan dan refleksikan.
Sebagai contoh, saya akan menganalisa salah satu situasi yang saya tuliskan sebelumnya, yaitu saat menghadapi paradigma keadilan lawan rasa kasihan. Berdasarkan situasi tersebut, yang terlibat adalah saya sendiri, rekan guru, dan istri saya. Fakta-fakta yang relevan di antaranya, turunnya hujan yang lebat dan cukup lama, rekan guru tidak membawa jas hujan, istri saya mengingatkan untuk segera pulang karena sudah larut malam.
Selanjunya adalah pengujian benar atau salah. Saat uji legal dan regulasi, kasus tersebut termasuk dilema etika, bukan bujukan moral, karena tidak ada pelanggaran hukum di dalamnya. Saat uji intuisi kasus ini juga merupakan dilema etika, karena tidak berlawanan dengan nilai-nilai yang saya yakini. Ketika kasus ini diuji publikasi dengan dipublikasikan dan menjadi konsumsi publik, maka saya tidak merasa berat atau merasa tidak nyaman. Itu menunjukkan bahwa kasus ini adalah dilema etika, bukan bujukan moral. Begitu juga jika kasus ini melalui uji panutan/idola, yaitu jika dialami orang yang saya idolakan seperti ibu saya sendiri, tentu dia akan mengambil keputusan yang terbaik.
Untuk pengujian benar lawan benar, sudah jelas bahwa pada kasus ini ada pertentangan antara keadilan dan rasa kasihan. Di mana saya harus memilih antara bersikap adil terhadap istri, atau menunjukkan rasa kasihan pada rekan guru. Pada tahap melakukan prinsip resolusi, pada kasus ini saya menggunakan prinsip berpikir berbasis rasa peduli, yaitu dengan tetap menemani rekan guru sampai hujan reda, kemudian kami pulang bersama-sama.
Selanjutnya adalah investigasi opsi trilema. Pada bagian ini saya tidak membuat keputusan baru tetapi memilih salah satu nilai kebajikan yang bertentangan. Dalam hal ini saya memilih rasa kasihan terhadap rekan guru. Ini artinya, saya tidak menghasilkan trilema (keputusan baru yang tidak berpihak pada salah satu dari dua nilai kebajikan yang bertentangan).
Pada kasus ini, saya memutuskan untuk tetap menemani rekan guru sampai hujan reda, kemudian kami pulang bersama-sama. Keputusan ini membuat saya merasa lebih nyaman, walaupun saat tiba di rumah perlu menjelaskan secara jujur kepada istri situasi sebenarnya. Saat hal itu di lakukan, istri saya bisa memaklumi kasus tersebut.
Pengalaman yang saya tuliskan di atas sebenarnya hanya sebagian saja dari kasus yang terjadi selama ini. Dengan memahami langkah-langkah dalam mengambil keputusan ini, tentu kita akan lebih bijak dan lebih mudah dalam mengambil sebuah keputusan yang merupakan dilema etika. Jika diterapkan di sekolah maka kita akan bisa menghasilkan keputusan yang berpihak pada murid, berdasarkan nilai-nilai kebajikan, dan bertanggung jawab.
Ke depan, saya akan berusaha menerapkan empat paradigma dilema etika, tiga prinsip pengambilan keputusan, serta sembilan langkah konsep pengambilan dan pengujian keputusan di dalam mengambil sebuah keputusan.