Harta gono gini

Bagaimana cara Pembagian Harta Gono gini di Pengadilan Agama untuk Janda yang di tinggal cerai hidup oleh suami 

Gono-gini atau harta bersama adalah harta yang diperoleh pasangan suami istri secara bersama sama selama masa dalam ikatan perkawinan. Perbincangan masalah gono-gini sering menjadi hangat di masyarakat dan menyita perhatian public, terutama media massa dalam kasus perceraian public figur atau seorang artis terkait perselisihan tentang pembagian gono-gini atau harta bersama. Perkara perceraian yang menjadi pokok perkara justru akan semakin rumit dan berbelik-belit, bahkan sering memanas dalam sidang-sidang perceraian di pengadilan bila dikomulasi dengan tuntutan pembagian gono-gini atau harta bersama, atau apabila ada rekonvensi pembagian gono-gini atau harta bersama dalam perkara perceraian. Oleh karena itu, Mahkamah Agung RI dalam Buku Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama, mewanti-wanti aagar gugatan pembagian harta bersama sedapat mungkin diajukan setelah terjadi perceraian. 

Ketentuan tentang gono-gini atau harta bersama, sudah jelas dalam hukum positif yang berlaku di Indonesia, bahwa harta yang boleh dibagi secara bersama bagi pasangan suami istri yang bercerai adalah hanya terbatas pada harta gono-gini atau harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan. Di dalam hukum positif yang berlaku di Indonesia, gono-gini atau herta bersama diatur dalam Pasal 35 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 119 KHUPerdata, dan Pasal 85 dan 86 Kompilasi Hukum Islam (KHI). Pengaturan harta gonogini ini diakui secara hukum, termasuk dalam pengurusan, penggunaan, dan pembagiannya. Ketentuan tentang harta gono-gini juga diatur dalam hukum Islam meskipun hanya bersifat umum dan tidak diakuinya percampuran harta kekayaan suami istri, namun ternyata setelah dicermati dan dianalisis yang tidak bisa dicampur adalah harta bawaan dan harta perolehan. Hal ini sama dengan ketentuan yang berlaku dalam hukum positif, bahwa kedua macam harta itu (harta bawaan dan harta peroleh) harus terpisah dari harta gono-gini itu sendiri. 

Dalam kitab-kitab fiqh klasik, harta gono-gini atau harta bersama diarikan sebagai harta kekayaan yang dihasilkan oleh suami istri selama mereka diikat oleh tali perkawinan, atau dengan kata lain bahwa harta gono-gini atau harta bersama adalah harta yang dihasilkan dengan jalan syirkah (kongsi) antara suami dan istri sehingga terjadi percampuran harta yang satu dengan yang lain dan tidak dapat dibedakan lagi. 

Para ahli hukum Islam berbeda pendapat tentang dasar hukum harta gono-gini atau harta bersama itu. Sebahagian mereka mengatakan bahwa agama Islam tidak mengatur tentang gono-gini, sehingga oleh karena itu diserahkan sepenuhnya kepada mereka sendiri untuk mengaturnya. Sebahagian ahli hukum Islam yang lain mengatakan bahwa suatu hal yang tidak mungkin jika agama Islam tidak mengatur tentang harta gono-gini atau harta bersama, sedangkan hal-hal lain yang kecil-kecil saja diatur secara rinci oleh agama Islam dan ditentukan dasar hukumnya. Tidak ada satu pun yang tertinggal semuanya termasuk dalam ruang lingkup pembahasan hukum Islam. Demikian menurut Prof. DR. H. Abdul Manan, SH., SIP., M.Hum dalam buku Aneka Masalah Hukum Materiil dalam Praktek Peradilan Agama). 

Hukum Islam juga berpendirian, harta yang diperoleh suami selama dalam perkawinan menjadi hak suami, sedangkan istri hanya berhak terhadap nafkah yang diberikan suami kepadanya. Namun, Al Qur’an maupun Hadits tidak memberikan ketentuan yang tegas bahwa harta yang diperoleh suami selama dalam perkawinan sepnuhnya menjadi hak suami, dan istri hanya terbatas atas nafkah yang diberikan oleh suami. Ketidaktegasan tersebut, menurut Ahmad Azhar Basyir, istri secara langsung juga berhak terhadap harta tersebut. 

Berdasarkan hal tersebut, maka sesungguhnya masalah harta gono gini tidak disinggung secara jelas dan tegas dalam hukum Islam. Dengan kata lain, masalah harta gogo-gini merupakan wilayah hukum yang belum terpikirkan (ghairu al mufakkar fih) dalam hukum Islam, sehingga oleh karena itu, terbuka bagi ahli hukum Islam untuk melakukan ijtihad dengan pendekatan qiyas. 

Dalam ajaran Islam, ijtihad itu diperbolehkan asalkan berkenaan dengan masalahmasalah yang belum ditemukan dasar hukumnya. Masalah harta gono-gini merupakan wilayah keduniaan yang belum tersentu oleh hukum Islam klasik. Hukum Islam kontemporer tentang harga gono gini dianalisis melalui pendekatan ijtihad, yaitu bahwa harta yang diperoleh pasangan suami istri selama dalam ikatan perkawinan merupakan harta gono-gini. untuk lebih jelas silahkan konsultasikan klik disini