Secara geografis, Indonesia merupakan negara kepulauan yang terletak di antara dua benua yaitu Benua Asia dan Benua Australia serta dua samudra yaitu Samudra Hindia dan Samudra Pasifik yang membuat posisi tersebut menjadi posisi yang strategis dan memiliki keragaman bentuk muka bumi. Namun di sisi lain, posisi tersebut juga menyebabkan Negara Indonesia menjadi negara yang rawan akan terjadinya bencana alam seperti letusan gunung api, tsunami dan gempa bumi. Hal tersebut diakibatkan oleh Negara Indonesia yang dilalui alur pertemuan 3 lempeng tektonik yaitu Lempeng Indo-Australia, Lempeng Eurasia dan Lempeng Pasifik. Selain itu, Indonesia juga merupakan salah satu negara yang memiliki banyak wilayah dengan risiko tinggi banjir dan cuaca ekstrim karena diakibatkan oleh letak astronomis.
Senada dengan hal tersebut, The World Risk Index tahun 2019 mengemukakan bahwa Indonesia berada pada peringkat 37 dari 180 negara paling rentan bencana. Sampai tanggal 18 Mei 2020, tercatat jumlah kejadian bencana sebanyak 1.296 kejadian dengan dampak kerusakan diantaranya 331 fasilitas pendidikan, 396 fasilitas peribadatan, 32 fasilitas kesehatan, 58 kantor dan 181 jembatan. Direktur BMN, Encep menjelaskan bahwa rata-rata kerugian pertahun akibat bencana pada tahun 2000-2016 adalah Rp22,8 triliun, sedangkan rata-rata dana kontingensi tahunan pada tahun 2005-2017 sebesar Rp3,1 triliun (Kemenkeu RI, 2020). Kemudian, melansir dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengutip dari Arnold (1986), mengemukakan bahwa data menunjukkan Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki tingkat kegempaan yang tinggi di dunia, lebih dari 10 kali lipat tingkat kegempaan di Amerika Serikat.
Adapun salah satu wilayah di Indonesia yang dinyatakan rawan adalah Kabupaten Pangandaran. Menurut Indeks Risiko Bencana (IRBI) yang dikeluarkan oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), tingkat rawan bencana Kabupaten Pangandaran pada tingkat nasional berada di urutan ke-16. Secara umum wilayah Kabupaten Pangandaran memiliki topografi dataran rendah, berbukit dan bergunung-gunung dengan ketinggian wilayah mencapai 1000 meter dan tingkat kemiringan tanah/nilai kelerengan sebesar 0-4,59%. Kemudian, Gemorfologi di daerah Pangandaran cukup beragam dimana sebagian besar daerah pantai memiliki proses fluvial dan marine, sedangkan pegunungan pangandaran termasuk ke dalam pegunungan Jawa selatan yang terbentang dari ujung kulon di barat jawa ke timur jawa (Kastolani, 2017). Selanjutnya dari hasil pemetaan berbasis Citra Satelit Landsat 8 OLI dari penelitian Sopandi, dkk. (2020), mengungkapkan bahwa bentuklahan yang ada di Kabupaten Pangandaran terdiri dari Denudasional, Fluvial, Karst, Marine dan Struktural.
Dari keadaan secara fisik Kabupaten Pangandaran tersebut, tentu dapat disimpulkan bahwa Kabupaten Pangandaran merupakan daerah yang rawan akan bencana namun juga kaya akan wisata. Dengan keragaman bentuklahan yang ada, Ridwan Kamil (2022) sebagai Gubernur Jawa Barat mengklaim bahwa Kabupaten Pangandaran kaya akan panorama alam, dari sawah, sungai, gunung, hingga pantai sehingga layak menjadi destinasi wisata unggulan. Dari narasi tersebut dapat disimpulkan bahwa tidak hanya rawan akan bencana, Kabupaten Pangandaran juga merupakan wilayah yang kaya akan destinasi wisata dan berdampak terhadap perekonomian masyarakat maupun negara. Oleh karena itu, perlu dilakukan adanya suatu tindakan preventif seperti mitigasi bencana baik struktural ataupun non-struktural terhadap masyarakat maupun wisatawan terhadap bencana yang berpotensi terjadi di Kabupaten Pangandaran
Adapun bencana yang dominan terjadi di Kabupaten Pangandaran terutama daerah wisata adalah tsunami dan gempa bumi. Daerah Pantai Pangandaran merupakan salah satu pantai yang terletak di selatan Pulau Jawa dan sangat rawan akan terjadinya gempa dan tsunami. Hal ini dikarenakan letaknya yang berada di tumbukan (subduction zone) diantara Lempeng Indo-Australia dan Eurasia. Sejarah bencana gempa bumi tahun 2006 sebesar 6,8 Skala Ritcher (SR) dengan kedalaman kurang dari 30 km yang berpusat di sebelah selatan Pameungpeuk pada zona pertemuan kedua lempeng tersebut menyebabkan terjadinya gelombang tsunami yang menerjang pantai selatan pulau jawa sehingga menyebabkan ratusan orang cedera, meninggal bahkan hilang (BMKG, 2019).
Adapun langkah mitigasi bencana tsunami secara struktural dapat dilakukan dengan dua cara yaitu secara alami dan buatan. Secara alami, upaya yang dapat dilakukan adalah penanaman mangrove. Selain untuk mitigasi bencana, hal tersebut juga dapat menjadikan pantai pangandaran sebagai wisata edukasi bagi para pengunjung agar dapat belajar tentang ekosistem mangrove. Sedangkan secara buatan, upaya yang dapat dilakukan dengan beberapa cara diantaranya membuat rambu-rambu kebencanaan beserta papan informasi kebencanaan. Adapun secara non-struktural terdapat banyak cara atau upaya yang dapat dilakukan yaitu diantaranya adalah membuat kebijakan terkait tata guna lahan, pengembangan sistem peringatan dini bahaya tsunami dan yang paling penting adalah adanya pelatihan serta simulasi mitigasi bencana (Lestari et al, 2023). Kemudian, mitigasi bencana terhadap gempa bumi juga dapat dilakukan baik secara struktural maupun non-struktural dimana kegiatan struktural dapat berkaitan dengan penyesuaian kontruksi bangunan terhadap gempa dan kegiatan non-struktural dengan cara menanamkan keahlian manusia agar bisa beradaptasi dengan bencana itu sendiri.