Perkembangan Teater
Sejarah merupakan peristiwa yang terjadi di masa lalu. Perkembangan adalah proses berkembangnya sesuatu. Jika dikaitkan dengan judul pembelajaran di atas, Sejarah dan Perkembangan Teater, maka pengertiannya menjadi “peristiwa teater yang terjadi di masa lalu dan proses berkembangnya hingga saat ini.” Mengetahui apa dan bagaimana teater di masa lalu dimaksudkan untuk mengenal dan memahami teater sejak mula tercipta, proses berkembangnya yang melahirkan banyak jenis dan bentuk, sampai ke perubahan-perubahan konvensi dari zaman ke zaman.
Kata ‘teater’ berasal dari kata theatron, bahasa Yunani, yang berarti tempat tontonan (seeing place) atau gedung pertunjukan. Bentuk Theatron pada saat itu terdiri dari panggung (stage) juga ada tempat duduk penonton yang terbuat dari batu berposisi setengah lingkaran. Melalui ritual menari dan menyanyi, masyarakat Yunani purba (sekitar tahun 600 SM) melakukan persembahan terhadap Dewa Anggur dan Dewa Kesuburan, yang bernama Dewa Dionysus. Menurut keyakinan masyarakat Yunani purba, upacara ini dilakukan sebagai permohonan kepada Dewa Dionysus agar berkenan menurunkan kesuburan dan kemakmuran kehidupan mereka.
Upacara sesembahan dilakukan dalam setengah hari yaitu sejak pagi sampai berakhir menjelang sore hari. Di atas panggung yang ada di theatron itu, para tetua adat melakukan ritual tarian dengan menggunakan topeng yang diiringi nyanyian-nyanyian pemujaan. Aksi tarian ritual yang diiringi nyanyian tersebut dinamai Dram atau Draomai. Dari asal kata Dram atau Draomai itulah istilah ‘Drama’ dikenal. Ada lima fase penting dalam perkembangan teater di dunia, yaitu:
Teater Primitif/Klasik (1000 SM – Abad ke-6 M)
Teater Primitif atau Teater Klasik sangat erat kaitannya dengan upacara ritual keagamaan masyarakat pada saat itu. Sebuah upacara keagamaan yang berupa tarian, nyanyian dan pujian-pujian dari potongan naskah kitab suci. Tokohtokoh yang ditampilkan dalam teater klasik seringkali berhubungan dengan pemimpin agama atau representasi dewa-dewa yang mereka sembah. Pada fase ini, bukan saja teater primitif dan zaman Yunani kuno, juga ada Teater Romawi yang berbeda dengan Teater Yunani. Misalnya pada Koor tidak lagi berfungsi mengisi setiap adegan. Peran musik menjadi dominan karena pelengkap ilustrasi setiap pengadeganan. Lakon cenderung mengusung kesenjangan hidup kelas menengah. Ciri-ciri dan bentuk pentasnya:
Bagian dari ritual keagamaan
Menggunakan topeng
Kisah Tragedi dan Komedia
Panggung terbuka dan tinggi berbentuk amphitheater
Dimainkan para pria
Ada kelompok koor (penyanyi), penari, dan narator
Teater Abad Pertengahan (Abad ke-14 – Abad ke-16)
Pentas-pentas teater di abad pertengahan memang masih berorientasi pada perayaan keagamaan (terutama Kristen). Pentas teater banyak dilakukan di gereja-gereja. Namun sejak ada pelarangan pentas teater di dalam gereja, panggung berpindah ke jalan-jalan dan berkeliling karena panggung dibuat di atas kereta yang bergerak dinamis. Para pemain (aktor) teater banyak belajar di universitas. Tema-tema lakon tentang pengetahuan, kebajikan, kebodohan, kehidupan kaya-miskin, dan sebagainya. Pentas teater di zaman ini acap disebut drama moral karena cenderung mengusung pertarungan kebaikan melawan keburukan atau kejahatan. Pada sekitaran abad ini, selain Teater Renaissance, ada juga Teater Neo Klasik, Teater Zaman Elizabethan, dan Teater Restorasi. Bentuk pertunjukan merupakan paduan teater keliling dengan teater akademi yang cenderung klasik. Pada akhir abad ke-16 tumbuh Teater Romantik dan Melodrama. Ciri-ciri dan bentuk pentasnya:
Panggung di atas kereta yang berkeliling
Dekor sederhana dan simbolis
Lirik dialog berdialek dengan dialog yang puitis
Dimainkan di tempat umum dan memungut bayaran
Tidak ada nama pengarang untuk lakon yang dimainkan
Lakon dikaitkan dengan filsafat dan agama
Teater Realis (Mulai dari Abad 18 dan 19 )
Zaman Realisme ini menjadi konvensi baru yang menandai perubahan teater ke arah seni drama modern. Lakon-lakon teater pada zaman ini tidak lagi berkisah tentang halhal yang khayali tetapi lebih banyak mengangkat realita kehidupan sehari-hari. Pola permainan (akting) tidak berorientasi pada keindahan bentuk dengan dialog yang puitis, tetapi merupakan gambaran kenyataan kehidupan masyarakat dalam keseharian atau apa adanya. Ciri-ciri dan bentuk pentasnya:
Terbagi dua aliran: realisme sosial dan realisme psikologis
Lakon tentang kehidupan sehari-hari
Pemeran utama biasanya rakyat jelata
Aktingnya bersifat wajar, tidak berlebihan, seperti kehidupan sehari-hari
Aspek pendukung dan visual disesuaikan dengan keadaan sehari-hari
Aliran realisme psikologis lebih menonjolkan aspek kejiwaan tokoh
Suasana ditampilkan secara simbolis untuk mendukung aspek psikologis tokoh
Lebih mementingkan pembinaan konflik kejiwaan tokoh.
Teater Baru / Avant Garde (Mulai Abad 19)
Yang menonjol pada fase Teater Baru atau Teater Avant Garde yaitu munculnya elemen efek-efek khusus dengan teknologi elektronik baru pada tatanan pencahayaan, dekor panggung, dan musik pengiring atau ilustrasi. Bentuk permainan banyak bersifat eksperimentatif yang tidak mengikuti selera masyarakat. Para dramawan di fase abad ini banyak melahirkan bentukbentuk pertunjukan yang menggunakan pendekatan simbolisme, surealisme, epik, dan absurd. Sehingga di zaman ini muncul keanekaragaman bentuk ekspresi dan makna keindahan dari pentas teater. Ciri-ciri dan bentuk pentasnya:
Kreasi artistik bersifat spontan dan agresif
Cenderung berbenturan dengan selera masyarakat
Tidak lazim karena menyimpang dari bentuk Alamiah
Karya yang merdeka karena lahir dari karakter penciptanya
Pertunjukan menggunakan berbagai variasi materi (film, tari, puisi, musik, dsb.)
Teater Post-Modern (Mulai tahun 1970)
Aliran teater yang berkembang setelah modern ini relatif baru, dimulai sekitar tahun 1970-an. Para penganut aliran post-modern mengibaratkan kehidupan manusia seperti sebuah sandiwara yang terpisah-pisah. Teater menjadi pilihan bentuk untuk menggambarkan tragedi kehidupan itu. Teater postmodern menjadi penolakan atas kehidupan modern. Teater Post-Modern mengurangi penggunaan naskah atau teks lakon untuk mendapatkan penampilan yang bersifat unik dan langsung atau spontan. Ciri-ciri dan bentuk pentasnya:
Bersifat depolitisasi seni
Menitikberatkan pada aktivitas teori
Tak dapat dijelaskan dengan struktur yang jelas
Cerita yang tidak beraturan alurnya
Melahirkan ragam sudut pandang/resepsi
Membuat jaringan antara teori dan praktik
Penuh dengan eksperimen gaya
Pemain dianggap bukan aktor tetapi penanda
Properti panggung mudah diubah bentuknya
Dramaturgi
ada pengertian harfiahnya ‘dramaturgi’ adalah ilmu drama. Pelajaran tentang kaidah-kaidah berteater. Teater yang kompleks diurai berdasarkan norma dan hukum konvensinya. Teater dipelajari sebagai bentuk seni yang kompleks karena unsur penopangnya berasal dari ragam bentuk seni lainnya, seperti seni tari, seni rupa, musik, dan bahkan multimedia. Pada pemahaman lain, dramaturgi diartikan sebagai teori yang mempelajari tingkah laku kehidupan manusia sehari-hari yang tak jauh berbeda dengan pertunjukan teater. Terkait dengan pemahaman itu, substansi dramatik lakon teater memang tidak berbeda dengan kehidupan sehari-hari masyarakat. Dasar drama adalah konflik kemanusiaan yang selalu menguasai perhatian dan minat publik (Nur Iswantara, 2016: 4).
Dramaturgi juga berhubungan dengan ilmu sosial komunikasi. Pada pengertian ini, kehidupan manusia sehari-hari layaknya permainan drama atau teater. Bagaimana dalam kehidupan sehari-hari manusia menjalankan perannya sebagai petani, karyawan, pelajar, guru, anak, orang tua, dan aneka ragam peran dan profesi lainnya. Setiap grup teater akan memiliki karakter penampilannya ketika grup tersebut memegang teguh konsep dramaturgi yang dipilihnya. Keteguhan pada pilihan konsep dramaturgi dipengaruhi oleh proses kreatif sebuah grup teater mulai dari sumber gagasan atau ide lakon yang akan diusungnya, bagaimana mengolah gagasan menjadi lakon, memproses lakon menjadi permainan atau pementasan, sampai kepada bagaimana mendatangkan penonton.
Pada perkembangannya, dramaturgi dipahami sebagai bagian dari konsep penyutradaraan. Sebagai konsep penyutradaraan, dramaturgi menjadi penciri pada setiap penampilan grup teater baik pada pendekatan lakon maupun pada penyajian bentuk pementasannya. Setiap grup teater akan memiliki karakter penampilannya ketika grup tersebut memegang teguh konsep dramaturgi yang dipilihnya. Keteguhan pada pilihan konsep dramaturgi dipengaruhi oleh proses kreatif sebuah grup teater mulai dari sumber gagasan atau ide lakon yang akan diusungnya, bagaimana mengolah gagasan menjadi lakon, memproses lakon menjadi permainan atau pementasan, sampai kepada bagaimana mendatangkan penonton.
Tetater Sebagai Cermin Masyarakat
Pada masyarakat tradisional kuno, teater memang erat kaitannya dengan ritual kepercayaan masyarakat dalam melakukan pemujaan. Namun dalam perkembangannya teater menjadi cermin kehidupan masyarakat pada semua dimensi kehidupan manusia, baik yang terkait dengan ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, maupun pendidikan dan agama. Pada akhirnya, teater dapat menampilkan lakon yang merefleksikan kehidupan masyarakat pada semua dimensinya. Teater, melalui kemapuan akting pemain, menghadirkan pengalaman manusia, baik pengalaman luar (lahiriah) maupun pengalaman dalam (batiniah) manusia.
Dalam proses penciptaan pertunjukan teater, seorang sutradara selalu berupaya untuk menghidupkan suasana pemanggungan sehingga berbentuk tontonan teater yang mengasyikkan bagi yang menontonnya. Pemanggungan teater tidak melulu menampilkan kepiawaian aktor dalam berakting sebagai hal yang utama untuk menyampaikan pesan, tetapi ada unsur pendukung lainnya sebagai pelengkap wujud pertunjukan tersebut. Unsur seni rupa seperti set dekor panggung, tata rias, tata busana, tata musik, dan tata cahaya yang akan membuat teater memiliki daya takjub sehingga mampu menghipnotis para penontonnya. Hal ini dapat menjadi alasan bahwa teater lebih kompleks untuk menciptakan keindahannya dari seni lainnya.
Walau berakting adalah permainan pura-pura, sebagai cermin masyarakat, teater tidak berpura-pura dalam memberikan pesannya melalui permainan aktor. Teater adalah salah satu bentuk seni yang sarat dengan unsur pendidikan. Sebagaimana yang dinyatakan Gus Dur: “Teater tidak mengajarkan orang berpura-pura, tapi melatih orang sungguh-sungguh untuk menghadirkan atau pribadi orang lain” (Gusdur dalam Wijaya., 42). Dari petikan di atas sangat cocok jika siswa mempelajari teater sebagai bagian dari pembelajaran di sekolah sehingga siswa akan mendapatkan pembelajaran tentang kehidupan di masyarakat lingkungannya. Tingkah laku, sikap sosialisasi, cara bertutur, kepekaan sekitar, toleran, jujur, ikhlas, dan kerja sama. Siswa juga harus mampu membuat pertunjukan teater yang baik dii sekolah dengan menulis naskah lakon yang temanya bisa dijadikan contoh, misalnya persahabatan lain suku, sehingga masyarakat bisa bercermin dari pertunjukan teater tersebut.
Teater Tradisional Indonesia
Dari penjelasan materi dan pemaparan di atas, kini kita akan memperlajarai dan mengenal seni teater yang menjadi ciri khas etnik masyarakat Indonesia, yaitu teater tradisional. Beberapa contoh teater tradisioal dari indonesia adalah sebagai berikut:
Wayang Orang merupakan terater tradisional yang berasal dari Yogyakarta dan Jawa Tengah yang menceritakan kisah Pewayangan yakni Ramayana dan Mahabharata.
Ketoprak merupakan seni teater tradisional yang berasal dari wilayah Yogyakarta dan Jawa tengah yang hampir mirip dengan Wayang Orang. tetapi seni teater ini tidak se-kompleks wayang orang dalam struktur penyajian dan estetikanya, serta cerita yang dibawakan lebih variatif dan tidak menceritakan kisah pewayangan.
Wayang Topeng merupakan seni teater tradisional yang berasal dari Malang, Jawa Timur. seni teater ini mirip dengan wayang orang tetapi menggunakan topeng. seni wWayang Topeng Malang menggunakan cerita epos Panji dalam penyajiannya.
Ludruk merupakan seni teater tradisional yang berasal dari wilayah Jawa Timur. seni teater ini lebih memasyarakat karena sering menceritakan kisah hidup sehari-hari yang dibalut dengan guyonan dan lawakan. Selain itu, terdapat beberapa cerita yang dibawakan terkait dengan legenda dan perlawanan tokoh lokal melawan penjajahan Belanda.
Hampir mirip dengan ludruk, lenong merupakan seni teater tradisional yang berasal dari wilayah DKI Jakarta. Lenong merupakan kesenian khas masyarakat Betawi yang berisi lawakan dan guyonan serta menceritakan kehidupan sehari-hari.
Arja merupakan seni teater tradisional yang berasal dari Bali. Kisah yang dibawakan di dalam kesenian ini umunya berakar dari mitologi agama Hindu dan cerita rakyat setempat.
Dulmuluk berasal dari Palembang, Sumatera Selatan. Dulmuluk adalah pertunjukan komedi yang diiringi musik tradisional. Ceritanya seringkali menyindir kehidupan sehari-hari dan para pejabat.
Randai berasal dari Minangkabau, Sumatera Barat. Pertunjukan ini menggabungkan tarian, musik, dan drama. Ceritanya seringkali diambil dari cerita rakyat atau sejarah Minangkabau
Contoh Pertunjukan Teater Tradisional
Wayang Topeng Malang
Sumber :
Soetedja, dkk.2017"Seni Budaya".Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Dr. Wida Rahayuningtyas, M.Pd
pinterest.com