Biografi singkat

Jasmine Petualang Dari Mataram

 

 

Jasmine dilahirkan atau lebih tepatnya dikeluarkan dari rahim melalui sebuah operasi cesar, pada tanggal 17 April 1995 di Rumah Bersalin Akasia, Mataram. Hari Senin, 17 Dzul Qaidah 1415, sekitar pukul 10:00 pagi. Dokter Dody adalah dokter spesialis kandungan yang menangani persalinan dalam kelahirannya. Dokter Hananto sebagai dokter anak yang pertama menanganinya. Dokter Hananto selalu memuji bahwa bayi, yang diberi nama Jasmine Chanifah Uzdah Bachtiar, adalah tercantik yang pernah dilahirkan di Akasia. Ia lahir ke dunia ditunggui oleh neneknya, Sri Utami, yang datang secara khusus dari Jombang. 

Ayahnya bernama Imam Bachtiar, yang berasal dari Jombang; sedangkan ibunya bernama Ani Mariani yang berasal dari Singaraja. Tiga nama depan Jasmine yang dapat disingkat JCU adalah berasal dari James Cook University, yaitu kampus tempat ayahnya belajar di Australia ketika Jasmine masih di dalam kandungan. Kampus JCU berlokasi di kota Townsville, North Queensland. Ayahnya belajar Marine Biology untuk gelar M.Sc. selama tiga tahun yang ditemani oleh ibunya. Orangtuanya kembali ke Indonesia ketika usia kandungan ibunya lebih enam bulan, tanggal 30 Desember 1994.

Sebagai anak pertama dari Keluarga Imam Bachtiar, Jasmine mempunyai sejumlah pengalaman yang istimewa. Ia adalah bayi pertama di keluarga tersebut sehingga merupakan pengalaman pertama bagi orang-tuanya untuk memelihara bayi. Bayi Jasmine yang berusia dua bulan sudah dimasukkan ke air laut oleh ayahnya, dengan harapan nantinya ia akan menyukai laut. Pemilihan sekolah oleh orang-tuanya juga merupakan pengalaman baru, sehingga sebagai anak pertama keberhasilannya diikuti oleh adiknya. Sebaliknya, kegagalannya akan menjadi pelajaran untuk pendidikan adiknya. Jasmine mempunyai seorang adik perempuan bernama Naila Taslimah Bachtiar.

Ketika masih bayi, Jasmine menderita sakit perut yang hebat. Penyakit perut tersebut baru muncul ketika Jasmine berusia sekitar sebulan, beberapa hari setelah ia ditinggal neneknya pulang kembali ke Jombang.  Ketika sakit perut datang, Jasmine menangis kesakitan sekitar 1-2 jam tanpa dapat ditenangkan. Umumnya bayi yang menangis dapat ditenangkan dengan diayun atau disusui. Tetapi hal itu tidak terjadi pada Jasmine, yang membuat orangtua dan tetangga merasa kasihan. Tidak seorangpun dapat menghiburnya. Bahkan ibunya sendiri hanya bisa menangis dan berdoa melihat anak pertamanya menangis kesakitan berjam-jam. Ini merupakan pengalaman yang sangat traumatis bagi keluarga Imam Bachtiar.

Semua dokter  anak sudah didatangi, bahkan lebih dari sekali, tetapi penyakit perut Jasmine tersebut tidak ada tanda-tanda mereda. Pada suatu hari, bahkan ayahnya melakukan upaya penyembuhan di tiga tempat yang berbeda. Pada pagi hari Jasmine dibawa ke seorang dukun pijat bayi. Sore harinya Jasmine dibawa ke dokter anak. Malam harinya, ayahnya pergi lagi minta air penyembuh ke seorang haji. Semua upaya tersebut tidak juga menunjukkan hasil yang menjanjikan.

 Suatu sore, Jasmine dibawa ke Dokter Jelantik untuk kesekian kalinya. Seperti pemeriksaan sebelumnya dokter tidak tahu benar penyakit perut Jasmine. Ia hanya memberi resep obat yang sama dengan sebelumnya. Ketika Jasmine akan dibawa keluar dari ruang periksa, ia menangis keras karena penyakit perutnya datang. Tangisannya tersebut menarik perhatian Dokter Jelantik, sehingga ia dipanggil lagi untuk diperiksa. Penyakit perutnya ternyata dari ‘kolik usus’ atau usus yang mengejang. Dokter menyarankan untuk membuat ia bersendawa setiap habis menyusu atau makan, agar udara di dalam ususnya keluar. Diduga usus Jasmine belum cukup kuat untuk mencerna makanan bayi.

Ketika berusia 15 bulan, Jasmine harus dipisahkan dari makanan ASI karena ibunya sedang hamil lima bulan anak kedua. Dikhawatirkan pemberian ASI akan mengurangi perkembangan janin adiknya yang sedang tumbuh dan membutuhkan nutrisi yang banyak. Dengan berat hati, Jasmine sejak usia 15 bulan tidak lagi meminum ASI yang digantikan dengan susu bayi buatan pabrik. Walaupun demikian Jasmine tumbuh sebagai balita yang sehat dan cerdas.

Pada waktu usia sekitar 16 bulan, Jasmine pernah jatuh dari sepeda motor. Pagi itu, ibunya naik sepeda motor membonceng Mis (pembantu rumah tangga), yang memangku bayi Jasmine. Karena di jalan agak gerimis maka ibunya menyuruh Mis memakai payung agar Jasmine tidak terkena hujan. Angin yang besar di jalan tidak dapat ditahan oleh Mis, sehingga Mis jatuh dari sepeda motor. Mis yang merawat Jasmine sejak lahir, langsung mendekap jasmine untuk melindunginya sehingga Jasmine tidak terluka sama sekali. Pada kecelakaan tersebut Mis menderita luka-luka pada kulitnya yang bersentuhan dengan aspal jalan. 

Pada usia sekitar tiga tahun, Jasmine dimasukkan ke sekolah balita (playgroup) yang dikelola oleh Dharwma Wanita Universitas Mataram. Di sekolah balita yang terdapat di kampus Universitas Mataram tersebut Jasmine hanya bertahan tiga hari saja. Pada hari pertama, Jasmine masuk ke sekolah dengan senang. Tetapi pada dua hari berikutnya Jasmine masuk sekolah dengan menangis. Bahkan baru dinaikkan ke sepeda motor ia sudah menangis. Akhirnya pada hari keempat, Jasmine dinyatakan “drop-out” saja dari sekolah tersebut, oleh ayahnya sendiri.

Pada usia empat tahun, Jasmine mulai masuk sekolah taman kanak-kanak (TK) Al-Hamidy di Pagutan. Di sekolah ini Jasmine menjadi anak yang paling menonjol. Disamping badannya yang tinggi, mata sipit, dan kulitnya yang putih, Jasmine merupakan anak yang pakaiannya paling bersih, dan satu-satunya anak yang membawa bekal minuman. Siswa TK Al-Hamidy hanya terdiri dari anak-anak kampung di sekitar Pagutan sehingga mereka bersekolah secara orang kampung pula. Botol minuman Jasmine sering dibagikan dengan teman-temannya yang meminta, sehingga Jasmine sering tertular pilek dan batuk. Jasmine belajar di sini sekitar enam bulan.

Pada usia lima tahun, Jasmine dipindahkan ke TK (Bustanul Athfal) Aisyiah, di kompleks perumahan Bumi Pagutan Permai. TK Aisyiah memiliki siswa yang berasal dari kompleks perumahan sehingga sangat sangat berbeda dengan TK Al-Hamidy. Di sekolah ini baru Jasmine dapat membaur dengan senang bersama kawan-kawannya. Pada semester kedua kelas nol kecil, Jasmine sudah bersekolah dengan naik sepeda sehingga sudah tidak perlu diantar-jemput. Ketika ia masuk di kelas nol besar, Jasmine sudah mampu membaca komik Shin-Chan. Jasmine sekolah di TK Aisyiah selama dua tahun.

Jasmine masuk ke sekolah dasar pada usia tujuh tahun, di SDN 44 Ampenan. Sekolah tersebut juga terletak di kompleks perumahan Bumi Pagutan Permai, sehingga para siswanya berasal dari keluarga yang berpendidikan dan berkecukupan. Sejak masih di Kelas 1 hingga Kelas 6, Jasmine hampir selalu menduduki peringkat pertama di kelasnya. Hanya pada dua semester Jasmine pernah tergeser ke peringkat kedua.

Jasmine kecil merupakan anak yang sangat suka membaca. Semua buku yang dibelikan orangtuanya dengan cepat dibacanya hingga habis. Setiap mau tidur ia selalu membawa beberapa buku ke tempat tidurnya, seolah-olah ia tidak dapat tidur tanpa ditemani buku. Ia membaca buku hingga mengantuk, barulah ia dapat tidur. Ketika masih balita, ia memang selalu menikmati ketika ayahnya membacakan buku cerita Sang Kancil, buku seri Cerita Rakyat dari beberapa propinsi atau cerita dari Kumpulan Dongeng Anak-anak se Dunia. Dengan sering mendengarkan cerita buku yang dibacakan, imajinasi Jasmine kecil dapat berkembang. Ia juga mulai memperhatikan bahwa buku merupakan barang yang penting sehingga tidak boleh disobek.

Selama sekolah di SD jasmine tidak pernah ikut les atau kursus, sangat berbeda dengan  teman-teman sekelasnya. Walaupun demikian Jasmine yang belajar mandirinya kuat dengan mudah meninggalkan para pesaing di kelasnya. Jika sedang membaca buku Jasmine tidak tertarik pada televisi, apapun acara yang ada di sana. Pada usia SD, Jasmine sudah membaca novel legendaris karya pujangga lama misalnya Siti Nurbaya, Azab Membawa Sengsara, Salah Asuhan dan sebagainya.

Disamping mempunyai prestasi baik di sekolahnya, Jasmine juga mempunyai prestasi yang baik di luar sekolah. Ia dan timnya pernah memenangi Lomba fahmil Qur’an Tingkat SD/MI se Kota Mataram. Tentu saja ini bukan prestasi yang mudah diraih, karena ia hanya punya pengalaman belajar membaca Al-Qur’an di Masjid al-Achwan tanpa  pernah belajar tentang agama Islam di pondok pesantren atau Diniyah. Jasmine juga memenangi beberapa lomba lukis atau lomba mewarnai di tingkat Lingkungan Griya Pagutan Indah, dan di beberapa lomba lukis di Kota Mataram. Ia memang memiliki bakat untuk melukis. Lukisan favoritnya adalah air terjun.

Disamping sifatnya yang cenderung pendiam dan kurang ekspresif, Jasmine adalah anak yang kreatif. Ia mempunyai inisiatif untuk mengikuti lomba teka-teki silang (TTS) majalah anak-anak Bobo. Jawaban TTS yang pertama kali dikirimnya memenangkan hadiah, berupa jaket dan topi Bobo. Karena namanya tercantum di dalam majalah Bobo, beberapa anak-anak yang membacanya mengirimkan surat perkenalan kepada Jasmine untuk menjadi sahabat pena. Sebagian dari mereka memang akhirnya menjadi sahabat pena Jasmine.

Selama belajar di SDN 44 Mataram, Jasmine adalah anak yang suka dengan kegiatan petualangan di alam. Jika diajak ayahnya pergi jalan-jalan ke sawah atau ke hutan, maka ia tampak sangat menikmati perjalanan yang beresiko tersebut. Jika ia keluar dari pematang maka ia akan masuk ke lumpur sawah. Sayangnya kegiatan Pramuka di sekolah tidak diarahkan oleh pembinanya untuk mengajak anak-anak melakukan petualangan. Tidur di tenda merupakan variasi yang disukainya. Jika liburan tiba ia mengundang teman-temannya untuk tidur di tenda. Sebenarnya ia ingin buat tenda di lapangan di depan rumah. Karena alasan keselamatan, maka ibunya hanya mengijinkan ia membuat tenda di teras rumah, atau lebih tepatnya di garasi.

Setelah tamat SD, Jasmine melanjutkan sekolah di Pondok Pesantren Darussalam (PPD) Gontor Putri. Walaupun nilai ujian sekolahnya memiliki peringkat sangat tinggi di tingkat Kota Mataram (minimal lima besar), Jasmine tidak melanjutkan ke SMPN 2 yang menjadi sekolah favorit di Kota Mataram. Banyaknya guru atau sekolah yang mengajarkan ketidakjujuran kepada murid-muridnya, untuk lulus ujian nasional, membuat ayahnya bersikeras memasukkan Jasmine ke PPD Gontor Putri. Menurut ayahnya, guru atau sekolah haram mengajarkan ketidak-jujuran kepada muridnya, apapun alasannya. Sayangnya, ayahnya hanya percaya pada PPD Gontor Putri untuk mendidik putrinya menjadi muslimah modern yang berwawasan internasional. Jika ia tidak ingin belajar di PPD Gontor Putri, maka ia hanya punya pilihan belajar di SMPN 7 Mataram, tempat ibunya bekerja.

Jasmine pertama kali pergi ke Gontor Putri pada tanggal 23 Juni 2007, ketika ia mendaftarkan diri di PPD Gontor Putri 2 sebagai santri persiapan. Setelah melalui sejumlah test, ia masuk ke Kelas 1F. Urutan kelas di PPD Gontor Putri merupakan urutan kemampuan santri. Santri yang paling baik prestasinya ditempatkan di Kelas B, karena tidak ada Kelas A. Setelah dua bulan menjalani kegiatan persiapan, Jasmine lulus ujian masuk PPD dan ditempatkan di Kelas 1C, PPD Gontor Putri 1. Perubahan abjad pada kelas Jasmine menunjukkan peningkatan prestasinya. Masuknya Jasmine ke PPD Gontor Putri 1 yang merupakan pusat pengendalian mutu PPD Gontor Putri juga menunjukkan kualitas yang dimilikinya.

Di Kelas 1C, prestasi belajar Jasmine tergolong sangat baik. Ketika kenaikan kelas pada tahun 2008, Jasmine naik ke kelas 2B. Baru beberapa minggu Jasmine belajar di Kelas 2B, ia beserta lima santriwati lainnya ditawari untuk ikut akselerasi atau lompat ke Kelas 3. Setelah mendapat persetujuan orangtuanya Jasmine kemudian masuk ke Kelas 3D. Lompatan besar yang dilakukan Jasmine memang sebuah berkah, tetapi berkah tersebut harus ditebus dengan banyak pengorbanan.

Pelompatan kelas atau akselerasi tersebut tentu saja menimbulkan masalah tersendiri buat Jasmine.   Pelajaran di pondok jumlahnya dua kali pelajaran di sekolah umum. Bahasa pengantar di Kelas 3 sebagian besar menggunakan bahasa Arab yang ‘advance’. Jasmine yang baru beradaptasi dengan bahasa Arab ‘beginner’ harus berjuang sangat keras agar dapat mengikuti pelajaran sekolah. Alhamdulillah, satu semester di Kelas 3 sudah lewat. Walaupun Jasmine tidak dapat berharap banyak dengan nilai rapornya kali ini, ia telah melakukan sesuatu yang sangat besar. Tantangan di depan juga sudah menunggu. Jasmine tidak punya waktu untuk belajar sendiri pelajaran Kelas 2 karena padatnya jadwal kegiatan di pondok. Ia harus lebih sabar untuk mencerna pelajaran yang didasarkan pada kurikulum Kelas 2, yang dilewatinya.

Disamping catatan sekolah yang selalu baik, Jasmine juga memiliki catatan yang kurang lazim karena pengaruh pendidikan orangtuanya. Sejak masih di TK hingga SD, orangtuanya mengajarkan Jasmine untuk tidak membeli makanan yang dijual di sekolah. Mereka khawatir Jasmine akan membeli makanan sampah (junk food) yang tidak sehat. Sebagai penggantinya ibunya membekali Jasmine dengan kue yang telah dibeli dari sebuah supermarket, misalnya biscuit wafer atau crackers. Dengan demikian Jasmine hampir tidak pernah beli jajan di sekolah, sehingga ia juga termasuk terlambat memahami nilai uang dibandingkan dengan teman-temannya yang suka jajan di sekolah. Hanya pada hari-hari pelajaran olahraga ia boleh membeli minuman ringan, atau pada hari ada tambahan pelajaran di sekolah ia membeli nasi untuk makan siang.

Sayangnya kebiasaan ini terus terbawa hingga ia belajar di PPD Gontor Putri. Kebiasaannya tidak membeli jajan membuat orangtuanya harus membekalinya dengan banyak makanan sebelum masuk ke pondok, dan mengirimkan makanan lewat pos ketika di pertengahan semester. Walaupun ia diberi bekal uang yang cukup untuk membeli jajan selama lima bulan di pondok, ia tidak mau menggunakan uang tersebut untuk membeli makanan.  Hanya sesekali ia membeli makanan. Ia beralasan katanya “ Membeli makanan itu antriannya panjang sehingga menghabiskan waktu dan tidak sempat membaca buku”, atau “Santriwati yang suka membeli makanan umumnya yang tidak mempunyai nilai baik”. Orangtuanya sangat menginginkan ia banyak membeli jajan di pondok sehingga asupan makanan tidak kurang, mengingat berat badannya yang kurang selama belajar di pondok.

 Pernah suatu hari, di dalam perjalanan dari Gontor pulang ke Mataram ia hanya membawa uang dua ribu rupiah. Jasmine biasanya pulang ke Mataram diantar oleh nenek temannya yang tinggal di Madiun, sehingga mereka pergi bertiga. Orangtua Jasmine sudah menitipkan Jasmine dan biaya perjalanan kepada nenek temannya. Yang di luar dugaan orangtuanya adalah Jasmine pergi dari pondok dengan membawa uang dua ribu rupiah. Dengan perjalanan sejauh itu, ia tidak mampu membayar toilet dengan bekal yang ada. Jasmine mempunyai pengalaman kehilangan uang ketika di perjalanan sehingga ia tidak suka membawa uang dalam jumlah banyak. Dari pengalaman itu, orangtuanya selalu memastikan dulu berapa jumlah uang yang dibawanya agar cukup untuk membeli makanan selama di perjalanan. 

Alamat Jasmine: jcubachtiar@yahoo.com