IFI
PENGANTAR
WIDYA CASTRENA DHARMA SIDDHA
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas perkenanNYA kita semua dapat berada dalam lindungan dan berkah rachmadNYA sampai saat ini.
Tanpa terasa , Batalyon I Mahawarman ITB telah mengabdikan dirinya selama 50 tahun , sejak menjadi cikal bakal pada tahun 1959, teruji dalam operasi “Pagar Betis” bersama Pasukan Siliwangi di wilayah Tasikmalaya-Ciamis Jawa Barat , turut serta dalam Operasi Trikora di Irian Barat dan mengawal perbatasan Kalimantan Barat pada Operasi Dwikora tahun 1962 – 1964 dengan membentuk Brigade Cadangan – Siliwangi yang akhirnya dikukuhkan menjadi Resimen Mahawarman pada tahun 1964.
Sejak didirikan pada tanggal 20 Maret 1964, Batalyon I Mahawarman ITB terus berkiprah dalam kegiatan2 operasi bhakti militer, maupun acara2 di Kampus ITB dan di seluruh Indonesia. Lebih dari 2000 alumni tersebar diseluruh penjuru dunia, mengambil peran sebagai sosok professional berkarakter yang sangat mencintai tanah airnya.
Sehubungan dengan peringatan kelahiran dan masa bhakti Batalyon I Mahawarman ITB yang ke-50 , kami, KORPS Menwa ITB mengajak civitas academica ITB dan masyarakat pada umumnya, untuk melihat kembali sejarah kelahiran dan pembentukan jati diri seorang MAHAWARMAN yang tumbuh berkembang di Kampus Perguruan Tinggi Teknik tertua di Indonesia.
Dengan membaca buku ini, diharapkan terungkap berbagai cerita biasa dari sekelompok mahasiswa luar biasa yang datang ke Bandung dari berbagai pelosok penjuru tanah air, dari berbagai macam latar belakang kehidupan orangtua yang ternyata masih mencuri waktu2nya yang berharga untuk berlatih bersama kelompok Batalyon I Mahawarman. Sangat menarik dipelajari , bahwa dalam suasana kurikuler yang ketat, ternyata masih ada mahasiswa yang berani mengikuti pendidikan dasar militer yang sangat keras dan memilih berada dalam lingkungan keras dengan disiplin yang tinggi , dan mereka tetap menyelesaikan pendidikannya dalam waktu rata rata yang ditentukan dalam kurikulum.
Pelatihan militer yang keras melahirkan seseorang dengan disiplin yang tinggi dan punya komitmen pada masa depannya , yang semuanya dapat dicapai dengan perencanaan yang baik dan pengendalian terukur untuk mencapai tujuan. Cerita yang menarik tersedia dalam buku ini untuk menambah kecintaan pada KORPS dan peningkatan pengabdian pada Ibu Pertiwi.
Selaku Ketua KORPS Menwa ITB , saya menyampaikan terimakasih kepada para penulis dan contributor yang memungkinkan kisah perjalanan organisasi ini ditulis dalam sebuah Buku Kenangan Tahun Emas Batalyon I Mahawarman ITB.
Terimakasih juga ditujukan kepada DR Rifki Muhida ,selaku Komandan Team Garuda Emas yang disela sela kesibukannya sebagai Dekan di Universitas Surya menyempatkan diri untuk menghimpun dan mengedit seluruh tulisan yang masuk dan menerbitkannya sebagai sebuah buku yang akan dikenang sepanjang masa.
“Menyempurnakan Pengabdian dengan Ilmu Pengetahuan dan Ilmu Keprajuritan”
Bab 1
Gambar 1.1 Penutupan Pendidikan Dasar Resimen Mahasiswa Mahawarman Batalyon I/ITB
“Pejuang yang memadukan intelektualitas dan jiwa keprajuritan untuk bela negara yang selalu setia mengawal NKRI sejak masa perjuangan kemerdekaan hingga sepanjang masa”.
Tujuan utama dan motivasi utama membuat buku ini adalah untuk meneruskan dan menularkan nilai-nilai kejuangan Yon-1/ITB dari masa ke masa. Menularkan nilai-nilai Luhur yang terbentuk dalam diri setiap alumni Yon-!/ITB. Wawasan Kenusantaraan, wawasan kebangsaan dan wawasan kebudayaan yang kemudian mengkristal menjadi Karakter Kebangsaan, yang mewujud menjadi Cinta Tanah Air, Cinta Produk Indonesia, Bela Negara, Jiwa perwira dan Kesatria.
Harapan besarnya, setelah membaca buku ini pembaca bukan hanya lebih mengerti dan memahami Jejak Perjalanan Yon-1/ITB, namun juga mendapatkan inspirasi dari nilai-nilai kejuangan yang muncul dari masa ke masa, dan akhirnya memotivasi pembaca untuk Berbuat lebih baik untuk Indonesia.
Resimen Mahasiswa Indonesia sebagai salah satu wadah yang mampu berperan dalam
membentuk jiwa dan karakter generasi bangsa yang handal, berdedikasi, bertanggung jawab dan patriot yang berwawasan kebangsaan, penuh kreativitas dan dedikasi untuk menyongsong hari depan yang lebih baik merupakan salah satu wujud pembinaan peningkatan Kesadaran Bela Negara. Ini merupakan bagian penting dari Ketahanan Nasional yang berfungsi untuk meningkatkan motif moral, sebagai gambaran kecerdasan sosial dalam wujud kemampuan mengamati dan mengawasi secara komprehensif. Kemampuan ini berguna untuk menumbuhkan kemampuan partisipatif warga negara dalam wujud kemampuan melakukan kontrol sosial yang dilandasi nilai moral kebangsaan.
Resimen Mahasiswa (Menwa) adalah salah satu di antara sejumlah kekuatan sipil untuk mempertahankan negeri. Ia lahir di perguruan tinggi sebagai perwujudan Sistem Pertahanan dan Keamanan Rakyat Semesta (Sishankamrata), beranggotakan para mahasiswa yang merasa terpanggil untuk membela negeri. Para anggota Menwa (Wira) di setiap kampus membentuk satuan. Sebagai salah satu unit kegiatan kemahasiswaan, komandan satuan melapor langsung kepada rektor/pimpinan perguruan tinggi. Oleh sebab itu pembinaan Resimen Mahasiswa Indonesia yang sudah memuat kesadaran bela negara, di arahkan untuk membentuk dan mengembangkan kepribadian yang memiliki jiwa kebangsaan dan cinta tanah air, serta memiliki kesadaran dalam pembelaan negara sebagai upaya membangun sumberdaya daya manusia Indonesia seutuhnya, juga sebagai prasyarat dalam membangun sistem pertahanan negara.
Kesadaran belanegara lebih terfokus dan bersifat universal serta penerapannya lebih fleksibel sesuai kepentingan Nasional dan perkembangan jaman yang berorientasi pada kepentingan, kebutuhan situasi dan kondisi perkembangan masyarakat, sehingga terwujud warga negara Indonesia yang memiliki kesadaran belanegara, berbangsa dan bernegara serta cinta tanah air. Untuk menjaga tetap tegaknya NKRI pada era globalisasi sekarang ini, kesadaran belanegara serta jiwa nasionalisme merupakan materi yang lebih tepat dibina serta dikembangkan karena merupakan kunci perekat antar masyarakat, antar agama, antar budaya serta antar daerah. Resimen Mahasiswa Indonesia sebagai salah satu wadah yang berperan dalam membentuk jiwa dan karakter generasi bangsa yang handal, berwawasan kebangsaan, penuh kreativitas dan dedikasi untuk menyongsong hari depan yang lebih baik.
Dalam pembinaan Resimen Mahasiswa Indonesia di dalamnya sudah memuat kesadaran bela negara, diarahkan untuk membentuk dan mengembangkan kepribadian yang memiliki jiwa kebangsaan dan cinta tanah air, serta memiliki kesadaran dalam pembelaan negara sebagai upaya membangun sumberdaya daya manusia Indonesia seutuhnya, juga sebagai prasyarat dalam membangun sistem pertahanan negara.
Batalyon I/ITB Mahawarman secara historis lahir sebagai bentuk respon terhadap perlawanan kelompok separatis Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) di Jawa Barat ditambah aspirasi para mahasiswa yang ingin berbuat sesuatu untuk melindungi bangsa mereka yang tengah carut-marut waktu itu diakomodir pemerintah dengan mengeluarkan SK Pangdam VI Siliwangi No.40/2/5 tahun 1959 tentang diterapkannya wajib latih (kemiliteran) bagi mahasiswa yang populer dengan sebutan Walawa.
Angkatan pertama Walawa melibatkan 960 mahasiswa dari tiga perguruan tinggi terkemuka Jawa Barat ( ITB, Unpad, Unpar) dan pelatihannya secara resmi dimulai pada tanggal 13 Juni 1959 dengan upacara defile yang dihadiri oleh Jendral Abdul Haris Nasution. Pemberian nama Mahawarman untuk cikal bakal Menwa Indonesia tersebut juga dilakukan oleh beliau saat itu.
Setelah menjalani latihan kemiliteran taktis di bawah pengarahan para instruktur berpengalaman dari Kodam VI/ Siliwangi, para perintis Menwa ini membuktikan kesadaran bela negara mereka dengan terjun langsung mempertaruhkan nyawa saat mendukung TNI menghadapi gempuran berbagai kelompok separatis, merebut kembali Irian Barat dari cengkraman kolonialis Belanda dalam Operasi Mandala Trikora (1962-1963), dan konflik bersenjata melawan Malaysia dalam Operasi Dwikora ( sekitar 1963- 1964). Ini bukan klaim kosong karena fakta memperlihatkan bahwa hingga tanggal 20 Mei 1971, sebanyak 802 (delapan ratus dua) orang anggota Menwa memperoleh anugerah Satya Lencana Penegak dan beberapa memperoleh anugerah Satya Lencana Dwikora. Pada 1965-1966 Menwa pun ditugaskan untuk, sebagai pendukung TNI, turut meredam kekacauan yang ditimbulkan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) lewat makar Gerakan 30 September (G30S) .
Pada tahun 1978 Korps Menwa pun terlibat aktif sebagai anggota Pasukan Perdamaian PBB yang ditugaskan ke Timur Tengah dan,masih pada tahun yang sama, mereka juga memberikan kontribusi bagi tanah air dalam konflik Timor Timur di era Presiden BJ Habibie. Sebenarnya masih banyak jasa mereka di luar area pertempuran yang luput dari catatan sejarah dan harus digali kembali sebagai modal pembelajaran cinta tanah air.
Resimen mahasiswa merupakan organisasi yang kegiatannya berbau kemiliteran. Maka, tak sedikit orang menganggap Menwa itu antek militer. Di Menwa itu belajar kemiliteran, organisasi militer, dan hal-hal berbau militer lainnya. Pandangan ini perlu diluruskan. Menwa terbentuk dari tentara pelajar sekitar tahun 1962. Pada zaman itu, negara kita benar-benar membutuhkan pasukan yang tak hanya hebat fisiknya, tetapi juga cerdas otaknya.
Waktu itu, Menwa dipercaya presiden, bahkan pembentukannya di bawah payung hukum Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri, yaitu Menteri Pendidikan, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Pertahanan. Dengan adanya SKB itu, kehidupan Menwa sungguh sejahtera, segala kebutuhan yang di perlukan selalu terpenuhi.
Bagaimana dengan Menwa kini? Kalau Menwa zaman dulu lebih di tekankan pada kata resimen, Menwa sekarang lebih di tonjolkan pada kata mahasiswa. Semenjak SKB tiga menteri itu dicabut tahun 2000, ada banyak pergolakan di tubuh Menwa. Bahkan, Reformasi 1998 pun menyuarakan agar Menwa di bubarkan.
Payung hukum Menwa sekarang adalah rektor perguruan tinggi masing-masing. Menwa tak lebih sekadar Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM), yang posisinya sama dengan UKM lainnya. Di Malaysia, sebutan Menwa namanya Palapis. Perbedaannya sungguh besar. Di Malaysia, mereka dibayar, di beri asrama, bahkan ketika lulus langsung menjadi perwira Angkatan Darat. Di Indonesia, mengikuti Menwa merupakan panggilan hati. Tanpa dibayar, tanpa asrama bagus, tanpa iming-iming jabatan.
Menwa ada karena sejarah. Bersikap tegas merupakan ciri yang kemudian di nilai militeristik. Penampilan dari ujung kaki yang bersepatu mirip tentara, sampai ujung kepala menggunakan baret ungu, membuat orang berpikir apakah Menwa ini tentara?
Menwa bukan tentara, tetapi Resimen Mahasiswa, bukan terlatih tetapi berlatih, bukan sok sibuk tetapi semangat, bukan perintah tetapi tanggung jawab, bukan idealis tetapi dedikasi dan loyalitas.
Dalam Menwa, mempelajari bagaimana menghormati dan menghargai orang lain, jiwa korsa dan rasa kekeluargaan karena anggota Menwa di kampus bukan hanya berasal dari satu daerah, tetapi dari berbagai daerah.
Keberadaan Menwa di kampus modern mengundang banyak pertanyaan, siapa Menwa, apa fungsinya? Banyak teman-teman menilai Menwa adalah polisi kampus dan mengira tugasnya semata-mata menjaga keamanan kampus. Dalam kesehariannya, kegiatan intern Menwa, contohnya berlatih mountenering, geladi posko, dan bimbingan pemantapan (bintap), membantu kampus dalam pelaksanaan kegiatan kampus, seperti ospek.
Apakah Menwa masih militeristik? Resimen mahasiswa memang tak bisa dipisahkan dengan militer. Sebagai organisasi kemahasiswaan yang berbasis bela negara, untuk mendapatkan latihan bela negara atau olah keprajuritan, pastilah yang melatih militer. Anggapan mahasiswa tentang Menwa terlalu terdikotomi oleh sejarah kelam militer di negara ini, sehingga Menwa ikut ditafsirkan sebagai perpanjangan militer.
Ilmu resimen dapatkan dari militer, dan ilmu mahasiswa kami dapatkan dari kampus, untuk mewujudkan Tri Dharma Perguruan Tnggi untuk pengabdian kepada bangsa. Apa dampak positif-negatifnya bagi kampus modern? Kampus Menwa menjadi pioner dalam memberi contoh di siplin. Ini menandakan Menwa berdampak positif terhadap perkembangan kampus modern.
Pertahanan Negara Indonesia di selenggarakan dalam suatu Sistem Pertahanan Semesta yang melibatkan seluruh warga negara, wilayah, serta segenap sumber daya nasional yang di persiapkan secara dini oleh pemerintah dan di selenggarakan secara total, terpadu, terarah, dan berlanjut. Sistem Pertahanan Semesta memadukan pertahanan militer dan pertahanan nirmiliter yang saling menyokong dalam menegakkan kedaulatan negara, keutuhan wilayah NKRI, dan keselamatan segenap bangsa dari segala ancaman.
Pada masa damai, Sistem Pertahanan Semesta di bangun untuk menghasilkan daya tangkal yang tangguh dengan menutup setiap ruang kelemahan yang dapat menjadi titik lemah. Pembangunan Sistem Pertahanan Semesta pada masa damai di laksanakan dalam kerangka pembangunan nasional yang tertuang dalam program pemerintah yang berlaku secara nasional.
Pada masa perang atau pada kondisi negara menghadapi ancaman nyata, pemerintah mendayagunakan Sistem Pertahanan Negara sesuai dengan hakikat ancaman atau tantangan yang di hadapi. Sistem Pertahanan Negara dalam menghadapi ancaman militer memadukan pertahanan militer dan pertahanan nirmiliter dalam susunan Komponen Utama Pertahanan, yaitu TNI, serta Komponen Cadangan dan Komponen Pendukung yang terdiri atas warga negara, sumber daya alam, sumber daya buatan, serta sarana dan prasarana nasional. Komponen Cadangan dibentuk dari sumber daya nasional yang di persiapkan untuk dikerahkan melalui mobilisasi guna memperbesar dan memperkuat kekuatan dan kemampuan TNI.
Sistem Pertahanan Semesta dipersiapkan secara dini oleh pemerintah melalui usaha membangun kekuatan dan kemampuan pertahanan yang kuat dan di segani baik kawan maupun calon lawan. Di persiapkan secara dini berarti Sistem Pertahanan Semesta di bangun secara terus-menerus sejak masa damai sampai masa perang.
Mobilisasi merupakan tindakan politik dari pemerintah melalui pernyataan Presiden untuk mengerahkan dan menggunakan secara serentak sumber daya nasional serta sarana dan prasarana nasional sebagai kekuatan pertahanan. Komponen Pendukung adalah sumber daya nasional selain Komponen Utama dan Komponen Cadangan yang dapat di gunakan untuk meningkatkan kekuatan dan kemampuan Komponen Utama dan Komponen Cadangan. Komponen Pendukung di kelompokkan dalam lima suku komponen pendukung, yakni Garda Bangsa, tenaga ahli sesuai dengan profesi dan bidang keahliannya, warga negara lainnya, industri nasional, sarana dan prasarana, serta sumber daya buatan dan sumber daya alam yang dapat di gunakan untuk kepentingan pertahanan.
Komponen Pendukung, yang terdiri atas warga negara yang memiliki kecakapan dan keterampilan khusus, jiwa juang, kedisiplinan, serta berada dalam satu garis komando yang sewaktu-waktu dapat di kerahkan untuk membantu tugas-tugas pertahanan pada saat negara membutuhkan Komponen Pendukung. Unsur-unsur Garda Bangsa berasal dari unsur Kepolisian Negara, Satuan Polisi Pamong Praja yang di miliki Pemerintah Daerah (Pemda), unsur Perlindungan Masyarakat (Linmas) yang di koordinir oleh Pemda, Resimen Mahasiswa yang pembinaannya di bawah perguruan tinggi, Alumni Resimen Mahasiswa, serta organisasi kepemudaan.
Posisi Polisi Negara di tempatkan dalam Komponen Pendukung di dasarkan pada statusnya sebagai alat negara yang lingkup fungsi dan pendekatan dalam pelaksanaan fungsinya berbeda dengan tentara. Polisi Negara adalah warga negara yang memiliki kualifikasi dan keterampilan tinggi seperti tentara, namun status dan perlakuannya sebagai masyarakat sipil sehingga tidak dapat secara serta-merta ditransfer sebagai Komponen Utama. Untuk menjadi Komponen Utama, Polisi Negara terlebih dahulu menanggalkan status kepolisiannya, dan selanjutnya mengikuti tahapan rekrutmen sesuai dengan mekanisme untuk menjadi calon prajurit TNI. Dalam Sistem Pertahanan Semesta, posisi yang paling tepat bagi Polisi adalah berada dalam Komponen Pendukung dan, karena keterampilannya, di tempatkan dalam suku Garda Bangsa.
Peningkatan Kesadaran Bela Negara merupakan bagian penting dari Ketahanan Nasional yang berfungsi untuk meningkatkan motif moral sebagai gambaran kecerdasan sosial dalam wujud kemampuan mengamati dan mengawasi secara komprehensif. Kemampuan ini berguna untuk menumbuhkan kemampuan partisipatif warga negara dalam wujud kemampuan melakukan kontrol sosial yang di landasi nilai moral kebangsaan.
Apalagi dalam kehidupan era globalisasi sekarang ini dimana setiap peristiwa di suatu negara menjadi akan menjadi perhatian dan pantauan dunia Internasional, demikian pula dengan Indonesia. Oleh karenanya untuk menjaga tetap tegaknya NKRI kesadaran belanegara serta jiwa nasionalisme merupakan materi yang lebih tepat di bina serta di kembangkan karena merupakan kunci perekat antar masyarakat, antar agama, antar budaya serta antar daerah. Dalam rangka pembinaan dan pengembangan kesadaran belanegara bagi setiap komponen masyarakat salah satunya di laksanakan kepada generasi muda sebagai penerus bangsa.
Kesadaran belanegara lebih terfokus dan bersifat universal serta penerapannya lebih fleksibel sesuai kepentingan Nasional dan perkembangan jaman yang berorientasi pada kepentingan, kebutuhan situasi dan kondisi perkembangan masyarakat, sehingga terwujud warga negara Indonesia yang memiliki kesadaran belanegara, berbangsa dan bernegara serta cinta tanah air. Resimen Mahasiswa Indonesia sebagai salah satu wadah yang berperan dalam membentuk jiwa dan karakter generasi bangsa yang handal, berwawasan kebangsaan, penuh kreativitas dan dedikasi untuk menyongsong hari depan yang lebih baik.
Dalam pembinaan Resimen Mahasiswa Indonesia di dalamnya sudah memuat kesadaran bela negara, di arahkan untuk membentuk dan mengembangkan kepribadian yang memiliki jiwa kebangsaan dan cinta tanah air, serta memiliki kesadaran dalam pembelaan negara sebagai upaya membangun sumberdaya daya manusia Indonesia seutuhnya, juga sebagai prasyarat dalam membangun sistem pertahanan negara.
Pertahanan nirmiliter adalah peran serta rakyat dan segenap sumber daya nasional dalam pertahanan negara, baik sebagai Komponen Cadangan dan Komponen Pendukung yang dipersiapkan untuk menghadapi ancaman militer maupun sebagai fungsi pertahanan sipil dalam menghadapi ancaman nirmiliter. Fungsi pertahanan nirmiliter yang diwujudkan dalam Komponen Cadangan dan Komponen Pendukung merupakan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara Pasal 7 Ayat (2) dalam menghadapi ancaman militer.
Pertahanan nirmiliter tidak terbatas pada perwujudan daya tangkal bangsa melalui pembangunan untuk kesejahteraan masyarakat yang berkeadilan. Dalam kondisi negara menghadapi agresi atau invasi dari negara lain yang mengancam NKRI, fungsi pertahanan nirmiliter berperan dalam upaya pertahanan sesuai dengan lingkup fungsinya masing-masing dalam Sistem Pertahanan Semesta.
Pertahanan nirmiliter dalam hal ini melaksanakan langkah-langkah untuk memberikan tekanan politik melalui upaya diplomasi. Langkah-langkah nirmiliter di kerahkan sebagai bentuk perlawanan pantang menyerah dalam mempertahankan kelangsungan bangsa dan negara.
Inti pertahanan nirmiliter adalah pertahanan melalui usaha tanpa menggunakan kekuatan senjata dengan pemberdayaan faktor-faktor ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, dan teknologi. Keterlibatan warga negara dalam pertahanan nirmiliter di wujudkan melalui profesi, pengetahuan dan keahlian, serta kecerdasan dalam pembangunan nasional dan dalam penyelenggaraan pertahanan negara, baik langsung maupun tidak langsung, untuk mencapai kesejahteraan masyarakat yang berkeadilan, sehingga merupakan daya tangkal.
Sejarah perjuangan pergerakan nasional dimulai sebagai babakan baru dengan lahirnya gerakan “BOEDI OETOMO” pada tanggal 20 Mei 1908 oleh para mahasiswa STOVIA Jakarta. BOEDI OETOMO merupakan wadah pergerakan kebangsaan yang kemudian menentukan perjuangan nasional selanjutnya. Dengan lahirnya gerakan ini, maka terdapat cara dan kesadaran baru dalam kerangka perjuangan bangsa menghadapi kolonial Belanda dengan membentuk organisasi berwawasan nasional. Organisasi ini merupakan salah satu upaya nyata untuk mewujudkan persatuan dan kesatuan dan selanjutnya terbentuklah berbagai organisasi perjuangan yang lain, seperti Syarikat Dagang Islam, Indische Partij dan lain sebagainya.
Mahasiswa Indonesia di negeri Belanda pada tahun 1908 mendirikan Indische Verenigde (VI) yang berubah menjadi Perkoempoelan Indonesia (PI), kemudian pada tahun 1922 berubah lagi menjadi Perhimpoenan Indonesia (PI). Sejak itu hingga tahun 1924 PI tegas menuntut kemerdekaan Indonesia, hingga pada dekade ini, para pemuda mahasiswa Indonesia yang belajar di luar negeri telah membuka lembaran baru bangsa Indonesia untuk memperoleh kemerdekaan Indonesia melalui forum luar negeri.
Perhimpoenan Indonesia (PI-1922), Perhimpoenan Peladjar-Peladjar Indonesia (PPPI-1926) dan Pemoeda Indonesia (1927) merupakan organisasi pemuda dan mahasiswa yang memiliki andil besar dalam merintis dan menyelenggarakan Kongres Pemoeda Indonesia tahun 1928, kemudian tercetuslah “Soempah Pemoeda”. Dengan demikian, semangat persatuan dan kesatuan semakin kuat menjadi tekad bagi setiap pemuda Indonesia dalam mencapai cita-cita Indonesia merdeka.
Tekanan pemerintah Jepang mengakibatkan aktifitas pemuda dan mahasiswa menjadi terbatas, bahkan menjadikan mereka berjuang di bawah tanah. Sekalipun demikian para pemuda mahasiswa mampu mengorganisir dirinya dengan mengadakan sidang pertemuan pada tanggal 3 Juni 1945 di Jl. Menteng 31 Jakarta, dengan menghasilkan keputusan bahwa pemuda mahasiswa bertekad dan berkeinginan kuat untuk merdeka dengan kesanggupan dan kekuatan sendiri. Keputusan tersebut kemudian dikenal dengan Ikrar Pemoeda 3 Juni 1945. Menjelang Jepang di kalahkan tanpa syarat dalam Perang Dunia II, maka untuk memperkuat posisinya di Indonesia, Jepang melatih rakyat, pemuda, pelajar dan mahasiswa dengan latihan kemiliteran yang disebut dengan “GAKUKOTAI”.
Walaupun kemerdekaan Indonesia telah diproklamirkan, akan tetapi keikutsertaan pemuda dan mahasiswa terus berlanjut dengan perjalanan sejarah TNI. Tanggal 23 Agustus 1945, PPKI membentuk BKR. Di lingkungan pemuda dan mahasiswa dibentuk BKR Pelajar. Setelah mengikuti kebijakan Pemerintah tanggal 5 Oktober 1945, maka diubah menjadi TKR, sedangkan di lingkungan pelajar dan mahasiswa di ubah menjadi TKR Pelajar.
Pada tanggal 24 Januari 1946 TKR diubah lagi menjadi TRI. Untuk mengikuti kebijakan Pemerintah ini, pada kesekian kalinya, laskar dan barisan pemuda pelajar dan mahasiswa mengubah namanya. Nama-nama tersebut menjadi bermacam-macam antara lain: TRIP, TP, TGP, MOBPEL dan CM.
Lalu pada tanggal 3 Juni 1946, Presiden RI telah mengambil keputusan baru untuk mengubah TRI menjadi TNI. Keputusan ini dimaksudkan agar dalam satu wilayah negara kesatuan, yaitu tentara nasional hanya mengenal satu komandan. Dengan demikian maka laskar dan barisan pejuang melebur menjadi satu dalam TNI. Sementara itu laskar pelajar dan mahasiswa disatukan dalam wadah yang kemudian dikenal sebagai “Brigade 17/TNI-Tentara Pelajar”. Peleburan badan-badan perjuangan di kalangan pemuda pelajar dan mahasiswa ini merupakan manifestasi dari semangat nilai-nilai persatuan dan kesatuan, kemerdekaan serta cinta tanah air, dalam kadarnya yang lebih tinggi. Semangat berjuang, berkorban dan militansi untuk mencapai cita-cita luhur dan tinggi, merupakan motivasi pemuda pelajar dan mahasiswa yang tidak pernah padam hingga sekarang, yaitu dengan mengisi kemerdekaan melalui pembangunan nasional.
Dengan di akuinya kedaulatan Negara Kesatuan RI sebagai hasil keputusan Konferensi Meja Bundar 27 Desember 1949 di Den Haag, maka perang kemerdekaan yang telah mengorbankan jiwa raga dan penderitaan rakyat berakhir sudah. Dekade 1950-an, ternyata perjalanan bangsa dan negara ini mengalami banyakancaman, tantangan, hambatan dan gangguan. Pemberontakan demi pemberontakan terjadi di tengah-tengah perjuangan antara lain DI/TII, pemberontakan Kartosuwiryo dan sebagainya. Pemberontakan meminta banyak korban dan penderitaan rakyat banyak. Rakyat tidak bisa hidup dengan tenang, karena situasi tidak aman dan penuh kecemasan.
Karenanya Pemerintah memandang perlu agar para pemuda pelajar dan mahasiswa yang telah ikut berjuang dalam perang kemerdekaan, dapat menentukan masa depannya, yaitu perlu diberi kesempatan untuk melanjutkan tugas pokoknya, yaitu Belajar, sehingga pada tanggal 31 Januari 1952 Pemerintah melikuidasi dan melakukan demobilisasi Brigade 17/TNI-Tentara Pelajar. Para anggotanya diberi dua pilihan, terus mengabdi sebagai prajurit TNI atau melanjutkan studi.
Gambar 2. 1 Devile Pasukan Resimen Mahasiswa Mahawarman Batalyon I ITB sepanjang jalan Asia- Afrika menuju alun-alun kota Bandung pada tahun 1965, saat itu anggota Batalyon I ITB meliputi Wala 59 dan Batalyon inti berjumlah sekitar 400 orang dan merupakan pasukkan
Pada saat itu kondisi sosial ekonomi dan politik di dalam negeri sebagai akibat dari pengerahan tenaga rakyat dalam perang kemerdekaan, di anggap perlu di atur dan di tetapkan dengan Undang-Undang. Maka dikeluarkanlah UU Nomor 29 Tahun 1954 tentang Pertahanan Negara.
Memperhatikan kondisi semacam itu para mahasiswa kembali terjun dalam perjuangan bersenjata untuk ikut serta mempertahankan membela NKRI bersama-sama ABRI. Sebagai realisasi pelaksanaan UU Nomor 29 Tahun 1954, untuk itu diselenggarkan Wajib Latih di kalangan mahasiswa dengan pilot project di Bandung pada tanggal 13 Juni - 14 September 1959 diselenggarakan wajib latih bagi para mahasiswa di Jawa Barat. Mahasiswa yang memperoleh latihan ini siap mempertahankan home-front dan bila perlu ikut memanggul senjata ke medan pertempuran. Mahasiswa-mahasiswa ini kemudian dikenal dengan WALA 59 (Wajib Latih tahun 1959). Mahasiswa-mahasiswa WALA ini dididik di Kodam VI/ Siliwangi, dan diberi hak untuk mengenakan lambang Siliwangi. WALA 59 ini merupakan batalyon inti mahasiswa yang menjadi cikal bakal Resimen Mahasiswa saat ini.
Penyelenggaraan pendidikan dan latihan kemiliteran selanjutnya dilaksanakan untuk mempersiapkan mahasiswa sebagai potensi pertahanan dan keamanan negara melalui RINWA (Resimen Induk Mahasiswa), yang selanjutnya namanya berubah menjadi MENWA (Resimen Mahasiswa).
Berdasarkan dua surat keputusan Pangdam VI Siliwangi, maka oleh pihak Universitas pada 20 Januari 1962 dibentuk suatu badan koordinasi yang diberi nama Badan Persiapan Pembentukan Resimen Serba Guna Mahasiswa Dam VI Siliwangi Resimen Mahasiswa DAM VI/ Siliwangi, beranggotakan :
1. Prof. drg. R. G. Surya Sumantri ( Rektor Unpad) selaku Koordinator
2. Dr. Isrin Nurdin (Pembantu Rektor ITB) selaku Wakil Koordinator I
3. Drs. Kusdarminto (PR Unpar) selaku wakil Koordinator II
4. Major. Moch. Sunarman dari PUS PSYAD pada waktu itu selaku sekretaris.
Pada Februari 1962 diadakan Refreshing Course selama sepuluh minggu di Resimen Induk Infantri dan dilanjutkan dengan latihan selama 14 hari yang dikenal dengan sebutan Latihan Pasopati. Pada 20 Mei 1962 anggota Resimen Mahasiswa Angkatan 1959 dilantik oleh Pangdam VI/SLW menjadi bagian organik dari Kodam VI/SLW. Setelah operasi pembebasan Irian Barat pada tanggal 19 Desember 1962, Trikora, maka untuk menindaklanjutinya, Menteri PTIP mengeluarkan Instruksi Nomor 1 Tahun 1962 tentang Pembentukan Korps Sukarelawan di lingkungan Perguruan Tinggi. Berikutnya, kedua keputusan di atas disusul dengan Keputusan Bersama Wampa Hankam dan Menteri PTIP Nomor: M/A/20/1963 tanggal 24 Januari 1963 tentang Pelaksanaan Wajib Latih dan Pembentukan Resimen Mahasiswa di lingkungan Perguruan Tinggi. Pengembangannya dilakukan dalam satuan-satuan Resimen Induk Mahasiswa (RINWA), yang diatur dalam Keputusan Bersama Wampa Hankam dan Menteri PTIP Nomor: 14A/19-20-21/1963 tentang Resimen Induk Mahasiswa.
Dalam rencana kerja empat tahunnya tercantumlah pembentukan kader inti dan ini sudah terlaksana sejak permulaan semester 2 tahun ajaran 1962-1963. termasuk pembentukan kader inti putri.
Mahasiswa/i Jabar (Bandung khususnya) mengikuti Latihan di Bihbul, tempat penggodokan prajurit-prajurit TNI. (Sekarang Secaba Dam III/ Slw, Bihbul). Satuan-satuan inti dari Yon mahasiswa dari beberapa universitas dan akademi di kirim ke tempat ini di bawah asuhan pelatih-pelatih dari RINSIL.
Tahun 1964 melalui Instruksi Menko Hankam/Kasab Nomor: AB/34046/1964 tanggal 21 April 1964 dilakukan pembentukan Menwa di tiap-tiap Kodam. Hal ini dipertegas dengan Keputusan Bersama Menko Hankam/Kasab dan Menteri PTIP Nomor: M/A/165/1965 dan Nomor: 2/PTIP/65 tentang Organisasi dan Prosedur Resimen Mahasiswa, Menwa ikut serta mendukung operasi Dwikora (Dwi Komando Rakyat) tanggal 14 Mei 1964. Sebagai bukti keikutsertaan ini dapat diketahui bahwa hingga tanggal 20 Mei 1971, sebanyak 802 (delapan ratus dua) orang anggota Menwa memperoleh anugerah “Satya Lencana Penegak” dan beberapa memperoleh anugerah “Satya Lencana Dwikora”.
12 Juni 1964 keluarlah Surat Keputusan Menteri Koordinator Komponen Pertahanan dan Keamanan DR. A.H. Nasution Jenderal TNI yang mengesahkan Duaja Resimen Mahawarman. Penyerahan Duaja di lakukan oleh Menko sendiri. Garuda Mahawarman resmi berdiri berdampingan dengan Harimau Siliwangi.
Pada masa itu Menwa memiliki andil yang besar dalam membantu menegakkan NKRI, menyebabkan PKI (Partai Komunis Indonesia) merasakan ancaman, sehingga pada tanggal 28 September 1965, Ketua PKI D.N. Aidit menuntut kepada Presiden Soekarno supaya Resimen Mahasiswa yang telah di bentuk di seluruh Indonesia dibubarkan. Tetapi upaya itu tidak berhasil.
Peran dan aktifitas Resimen Mahasiswa terus berlanjut dalam bidang Pertahanan Keamanan Negara, sekalipun tantangan juga semakin besar pada masa awal Orde Baru. Keterlibatan Menwa cukup besar dalam penumpasan sisa-sisa G 30 S/PKI, di lanjutkan dengan menjadi bagian dari Pasukan Kontingen Garuda ke Timur Tengah, operasi teritorial di Timor Timur dan sebagainya. Penyelenggaraan pendidikan dan latihan dasar kemiliteran untuk menciptakan kader dan generasi baru bagi Menwa juga terus di laksanakan.
Sementara itu, di lain pihak, di lingkungan Perguruan Tinggi pada tahun 1968 dikeluarkan keputusan untuk wajib latih bagi mahasiswa (WALAWA) dan wajib militer bagi mahasiswa (WAMIL) berdasarkan Keputusan Menhankam Nomor: Kep/B/32/1968 tanggal 14 Februari 1968 tentang Pengesahan Naskah Rencana Realisasi Program Sistem Wajib Latih dan Wajib Militer bagi Mahasiswa. Di anjutkan operasionalisasinya dengan Keputusan Bersama Dirjen Dikti dan Kas Kodik Walawa Nomor 2 Tahun 1968 dan Nomor: Kep/002/SKW-PW/68. Program ini kemudian di ganti dengan Pendidikan Kewiraan dan Pendidikan Perwira Cadangan (PACAD) pada tahun 1973 (Keputusan Bersama Menhankam/Pangab dan Menteri P & K Nomor: Kep/B/21/1973 dan Nomor: 0228/U/1973 tanggal 3 Desember 1973 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Kewiraan dan Pendidikan Perwira Cadangan di Perguruan Tinggi/Universitas/Akademi). Program WALAWA ini di ikuti oleh seluruh mahasiswa dan berbeda dengan Menwa keberadaannya.
Pada tahun 1974 Program WALAWA dibubarkan, kemudian pada tahun 1975 sejalan dengan perkembangan dan kemajuan penyempurnaan organisasi Menwa terus diupayakan. Setelah di keluarkan Keputusan Bersama Menhankam/Pangab, Mendikbud dan Mendagri Nomor: Kep/39/XI/1975, Nomor: 0246 a/U/1975 dan Nomor: 247 Tahun 1975 tanggal 11 November 1975 tentang Pembinaan Organisasi Resimen Mahasiswa Dalam Rangka Mengikutsertakan Rakyat Dalam Pembelaan Negara, di sebutkan bahwa Resimen Mahasiswa di bentuk menurut pembagian wilayah Propinsi Daerah Tingkat I sehingga berjumlah 27 Resimen Mahasiswa di Indonesia. Sedangkan keanggotaan Menwa adalah mahasiswa yang telah lulus pendidikan Menwa (latihan dasar kemiliteran) dan Alumni Walawa.
Sebagai pelaksanaan ketentuan tersebut di atas, di keluarkan Keputusan Bersama Menhankam/Pangab, Mendikbud dan Mendagri Nomor: Kep/02/I/1978, Nomor: 05/a/U/1978 dan Nomor: 17A Tahun 1978 tanggal 19 Januari 1978 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pembinaan Organisasi Resimen Mahasiswa, hingga kemudian dalam perkembangannya di lakukan lagi penyempurnaan peraturan pada tahun 1994.
Pada tanggal 28 Desember 1994 Organisasi Menwa mengalami penyempurnaan melalui Keputusan Bersama Menhankam, Mendikbud dan Mendagri Nomor: Kep/11/XII/1994, Nomor: 0342/U/1994 dan Nomor: 149 Tahun 1994 tanggal 28 Desember 1994 tentang Pembinaan dan Penggunaan Resimen Mahasiswa Dalam Bela Negara. Sebagai pelaksanaan ketentuan tersebut di keluarkan serangkaian keputusan pada Direktur Jenderal terkait dari ketiga Departemen Pembina, yang terdiri atas Keputusan Dirjen Persmanvet Dephankam RI Nomor: Kep/03/III/1996 tanggal 14 Maret 1996 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pendidikan dan Latihan Resimen Mahasiswa, Nomor: Kep/04/III/1996 tanggal 14 Maret 1996 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pakaian Seragam, Tunggul dan Dhuaja Menwa dan Pemakaiannya dan Nomor: Kep/05/III/1996 tanggal 14 Maret 1996 tentang Peraturan Disiplin Resimen Mahasiswa. Serta Keputusan Dirjen Dikti Depdikbud RI Nomor: 522/Dikti/1996 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pembinaan Satuan Resimen Mahasiswa di Lingkungan Perguruan Tinggi.
Ketika perpolitik Orde Lama berubah menjadi masa reformasi, yang salah satu agendanya adalah penghapusan Dwi Fungsi TNI, hal itu berimbas pada keberadaan Resimen Mahasiswa Indonesia, karena Menwa dianggap merupakan perpanjangan tangan TNI di lingkungan perguruan tinggi. Kemudian muncul tuntutan pembubaran Menwa di berbagai perguruan tinggi pada awal tahun 2000.
Menyikapi tuntutan pembubaran Menwa tersebut, para Pimpinan Menwa di berbagai daerah baik Komandan Satuan maupun Kepala Staf Resimen Mahasiswa mengadakan berbagai koordinasi tingkat regional dan nasional, antara lain di laksanakan di Bandung, Yogyakarta, Bali dan di Jakarta.
Para Pembantu Rektor III Bidang Kemahasiswaan yang dikoordinasikan oleh Dirmawa Ditjen Dikti Depdiknas juga membentuk tim untuk membahas masalah Menwa dan mengadakan pertemuan di Yogyakarta, Jakarta dan terakhir di Makassar pada awal sampai pertengahan tahun 2000.
Gambar 2. 2 Ir. Budiono Kartohadiprojo (Danyon ke 3 Menwa ITB, 1967) mewakili Corps Menwa Indonesia menerima Duadja Tentara Pelajar dari Sekjen Keluarga Besar Pelajar Pejuang Kemerdekaan (PKB-PPK) Comodor (c) Andoko pada tanggal 2 Juni 2013 di Tugu Proklam
Selanjutnya pada akhir September 2000 diadakan Rapat Koordinasi antara tim PR III Bidang Kemahasiswaan dengan seluruh Kepala Staf Resimen Mahasiswa se-Indonesia di Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta Timur yang menghasilkan rancangan Keputusan Bersama 3 Menteri (Menhan, Mendiknas dan Mendagri) yang baru.
Maka pada tanggal 11 Oktober 2000 diterbitkan Keputusan Bersama Menhan, Mendiknas dan Mendagri & OtdaNomor: KB/14/M/X/2000, Nomor: 6/U/KB/2000 dan Nomor: 39 A Tahun 2000 tanggal 11 Oktober 2000 tentang Pembinaan dan Pemberdayaan Resimen Mahasiswa.
Sebagai penjabaran ketentuan dari KB 3 Menteri tersebut, dikeluarkan serangkaian surat dari Dirjen terkait dari 3 Departemen Pembina, yakni: Surat Mendagri & Otda RI Nomor: 188.42/2764/SJ tanggal 23 Nopember 2000 tentang Keputusan Bersama Menteri Pertahanan, Menteri Pendidikan Nasional, Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah, Surat Edaran Dirjen Dikti Depdiknas RI Nomor: 212/D/T/2001 tanggal 19 Januari 2001 tentang Tindakan Keputusan Bersama Tiga Menteri, Surat Telegram Dirjen Sundaman Dephan RI Nomor: ST/02/I/2001 tanggal 23 Januari 2001 tentang Kedudukan Resimen Mahasiswa, Surat Telegram Dirjen Sundaman Dephan RI Nomor: ST/03/2001 tanggal 9 Februari 2001, Surat Telegram Dirjen Pothan Dephan RI Nomor: ST/06/2001 tanggal 18 Juli 2001 dan Surat Dirjen Kesbangpol Depdagri RI Nomor: 340/294.D.III tanggal 28 Januari 2002.
Nama Skomen (Menwa di Tingkat Provinsi) di Republik Indonesia :
1. Resimen Mahasiswa Darussalam (Men Mahadasa)Provinsi Nangroe Aceh Darussalam
2. Resimen Mahasiswa Sumatera Utara (Men Mahatara) Prov.insi Sumatera Utara
3. Resimen Mahasiswa Pagaruyung (Men Maharuyung) Provinsi. Sumatera Barat
4. Resimen Mahasiswa Indra Pahlawan Prov. Riau
5. Resimen Mahasiswa Bahari (Men Mahabahari)Prov.Riau Kepulauan
6. Resimen Mahasiswa Dwi Yudha (Men Mahayudha)Provinsi [Bengkulu]]
7. Resimen Mahasiswa Sultan Taha Prov. Jambi
8. Resimen Mahasiswa Sriwijya (Men Mahawijaya) Provinsi. Sumatera Selatan
9. Resimen Mahasiswa Raden Intan (Men Maharatan) Provinsi Lampung
10. Resimen Mahasiswa Jayakarta (Men Jayakarta) DKI Jakarta
11. Resimen Mahasiswa Mahawarman (Men Mahawarman)Prov.insi Jawa Barat
12. Resimen Mahasiswa Banten (Men Mahabanten) Provinsi Banten
13. Resimen Mahasiswa Mahadipa (Men Mahadipa) Provinsi. Jawa Tenah
14. Resimen Mahasiswa Yogyakarta (Men Mahakarta) Daerah Istimewa Yogyakarta
15. Resimen Mahasiswa Mahasurya (Men Mahasurya)Provinsi Jawa Timur
16. Resimen Mahasiswa Ugracena (Men Ugracena) Prov.insi Bali
17. Resimen Mahasiswa Tanjungpura (Men Mahapura) Provinsi. Kaliomantan Barat
18. Resimen Mahasiswa Palangkaraya (Men Maharaya) Prov.insi Kalimantan Tengah
19. Resimen Mahasiswa Suranata (Men Mahanata) Prov.insi Kalimantan Selatan
20. Resimen Mahasiswa Mulawarman (Men Mulawarman) Prov.insi Kalimanan Timur
21. Resimen Mahasiswa Sam Ratulangie (Men Mahasamra) Provinsi Sulawesi Utara dan Prov.Gorontalo
22. Resimen Mahasiswa Pawana Çakti (Men Mahapati) Prov.insi Sulawesi Tengah
23. Resimen Mahasiswa Wolter Monginsidi (Men Wolter Mongisidi)Provinsi. Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat
24. Resimen Mahasiswa Halu Oleo (Men Mahaleo) Prov.insi Sulawesi Tenggara
25. Resimen Mahasiswa Maluku (Men Mahamaku) Provinsi.Maluku dan Maluku Utara
26. Resimen Mahasiswa Cendrawasih (Men Maha Candra)14 Prov.insi Irian Jaya dan Papua
27. Resimen Mahasiswa Wira Dharma (Men Maha Dharma, eks Provinsi Timor Timur, sampai 10 Oktober 2004 belum dibubarkan)
28. Resimen Mahasiswa Nusa Cendana (Men Mahadana) Provinsi. Nusa Tenggara Timur
29. Resimen Mahasiswa Rinjani (Men Mahajani) Provinsi. Nusa Tenggara Barat
30. Resimen Mahasiswa MAHA Giri Riau (Skomenwa dua Universitas Negeri di Riau yaitu : Universitas Riau & Universitas Islam Negeri Susqo).
Sejarah perjuangan pergerakan nasional dimulai sebagai babakan baru dengan lahirnya gerakan “BOEDI OETOMO” pada tanggal 20 Mei 1908 oleh para mahasiswa STOVIA Jakarta. BOEDI OETOMO merupakan wadah pergerakan kebangsaan yang kemudian menentukan perjuangan nasional selanjutnya. Dengan lahirnya gerakan ini, maka terdapat cara dan kesadaran baru dalam kerangka perjuangan bangsa menghadapi kolonial Belanda dengan membentuk organisasi berwawasan nasional. Organisasi ini merupakan salah satu upaya nyata untuk mewujudkan persatuan dan kesatuan dan selanjutnya terbentuklah berbagai organisasi perjuangan yang lain, seperti Syarikat Dagang Islam, Indische Partij dan lain sebagainya.
Mahasiswa Indonesia di negeri Belanda pada tahun 1908 mendirikan Indische Verenigde (VI) yang berubah menjadi Perkoempoelan Indonesia (PI), kemudian pada tahun 1922 berubah lagi menjadi Perhimpoenan Indonesia (PI). Sejak itu hingga tahun 1924 PI tegas menuntut kemerdekaan Indonesia, hingga pada dekade ini, para pemuda mahasiswa Indonesia yang belajar di luar negeri telah membuka lembaran baru bangsa Indonesia untuk memperoleh kemerdekaan Indonesia melalui forum luar negeri.
Perhimpoenan Indonesia (PI-1922), Perhimpoenan Peladjar-Peladjar Indonesia (PPPI-1926) dan Pemoeda Indonesia (1927) merupakan organisasi pemuda dan mahasiswa yang memiliki andil besar dalam merintis dan menyelenggarakan Kongres Pemoeda Indonesia tahun 1928, kemudian tercetuslah “Soempah Pemoeda”. Dengan demikian, semangat persatuan dan kesatuan semakin kuat menjadi tekad bagi setiap pemuda Indonesia dalam mencapai cita-cita Indonesia merdeka.
Tanggal kelahiran Resimen Mahasiswa Mahawarman diambil dari saat pertama kali diadakan program wajib latih kemiliteran atau WALA yaitu Wajib Latih, yang untuk pertama kalinya diadakan dari tanggal 13 juni 1959 sampai dengan tanggal 14 september 1959 selama 20 minggu, dengan peserta latihan sebanyak 960 orang mahasiswa dari UNPAD, ITB, UNPAR, Akademi Pendidikan Jasmani, dan Akademi PTT (Pos Telegrap dan Telepon). yang terbagi dalam 6 kompie latihan. Kemudian latihan serupa di adakan kembali thn 1961 dalam rangka pembebasan Irian Barat (Trikora) , mahasiswa yang pernah mengikuti Wajib Latih tahun 1959 di panggil kembali untuk di latih ulang, kali ini mereka dihimpun dalam organisasiResimen Seba Guna Mahasiswa Jawa Barat. Dari jumlah 960 orang yang pernah mengikuti Wajib Latih tahun 1959 itu tersisa sebanyak 320 orang karena sebagian besar telah menyelesaikan pendidikannya dan tinggal di luar kota Bandung. Kemudian mereka di latih kembali selama 10 minggu dan di tambah lagi latihan elama 14 hari yang diselenggarakan di tempat pendidikan Infantri Bihbul. Penutupan latihan di akukan oleh Pangdam VI Siliwangi yang sekaligus melantik mereka sebagai angkatan pertama Resimen Serbaguna Mahasiswa Jawa Barat dan Pangdam menyatakan mereka sebagai bagian organik dari Kodam VI Siliwangi.
Saat pembentukan itu, Resimen Serbaguna Mahasiswa Jawa Barat belum mempunyai identitas khas korps, sehingga kemudian muncul usulan dari anggota, yang kemudian pada saat apel besar di lapangan gasibu Bandung memperingati hari jadi Resimen Serbaguna Mahasiswa Jawa Barat tgl 13 juni 1964, Menko Hankam/KASAB Jendral A.H Nasution dengan di dampingi oleh Mentri PTIP Prof Ir Thoyib Hadiwijaya dan Pangdam VI/Siliwangi Brigadir Jendral Ibrahim Ajie, meresmikan penggunaan nama “RESIMEN MAHASISWA MAHAWARMAN” sebagai nama Resimen Mahasiswa Jawa Barat, dan diserahkan secara langsung Dhuaja Resimen Mahasiswa Mahawarman kepada Komandan nya yaitu Kapten Ojik Soeroto.
Pada awal pembentukan Resimen Serbaguna Mahasiswa Jawa Barat terdiri dari empat Kompi, yaitu Kompi I dan II beranggotakan mahasiswa ITB, Kompi III dari UNPAD, kompi IV dari UNPAR dan Akademi Negeri. Pada perkembangan selanjutnya, kompi kompi itu berkembang menjadi Batalyon I ITB, Batalyon II UNPAD, Batalyon III UNPAR, Batalyon IV gabungan Universitas swasta dan STO, Batalyon V karyawan IKIP yang kemudian bubar, Batalyon VI gabungan Akademi, Batalyon VII Perguruan Tinggi di wilayah hukum Korem 61 Suryakencana Bogor, Batalyon VIII untuk Perti yang berkedudukan di wilayah hukum Korem 62 Tarumanegara wilayah Taikmalaya dan sekitarnya, Batalyon IX wilayah Korem 63 Sunan Gunung Jati wilayah Cirebon dan sekitarnya, Batalyon X wilayah Banten dan sekitarnya, tapi kemudian dengan adanya Propinsi Banten, Batalyon X memisahkan diri dan menjadi Maha Banten, dan Batalyon XI UPI Bandung. Rasanya tidak berlebihan jika di sebutkan bahwa Resimen Mahasiswa Mahawarman adalah cikal bakal lahirnya Resimen Mahasiswa Indonesia.
Resimen Mahasiswa (Menwa) adalah salah satu komponen pendukung sebagai kekuatan sipil untuk mempertahankan negeri sebagai perwujudan Sistem Pertahanan dan Keamanan Rakyat Semesta (Sishankamrata). Menwa bermarkas di perguruan tinggi dan beranggotakan para mahasiswa yang terpanggil untuk membela negeri. Para anggota Menwa di setiap kampus membentuk satuan sebagai salah satu unit kegiatan kemahasiswaan (UKM). Komandan satuan bertanggungjawab dan melapor langsung kepada rektor/pimpinan perguruan tinggi. Pembinaan Menwa di lakukan oleh pembantu rektor bagian kemahasiswaan dengan supervisi dari Angkatan Bersenjata. Dalam kondisi darurat, Menwa harus berfungsi sebagai ‘Resimen Tempur”. Namun, dalam kondisi damai Menwa berfungsi sebagai ‘Resimen pendidikan’ yaitu sebagai wadah untuk memenuhi kebutuhan mahasiswa/I akan bela negara, nilai – nilai keprajuritan, juga akan latihan kepemimpinan.
Resimen Mahasiswa Batalyon I/ITB merupakan Menwa tertua yang berdiri pada tanggal 20 Maret 1965 dengan Komandan pertamanya Harjanto Dhanutirto (mantan Menhub RI). Dalam struktur organisasinya, batalyon I/ITB di pimpin oleh seorang Komandan Batalyon (Danyon) yang membawahi Staf dan Kompi.
Setiap Staf, sesuai dengan bidangnya masing-masing (Staf I/Intelijen dan Pengamanan; Staf II/Operasi, Penelitian dan Pengembangan; Staf III/Kesekretariatan dan Personalia; Staf IV/Administrasi dan Logistik, dan Staf V/Territorial dan Penggalangan), bertugas merencanakan kegiatan dan mengorganisir agenda batalyon.
Di sisi lain, ada kompi yang bertugas mengorganisir anggota dan menjadi pelaksana dari rencana-rencana kegiatan yang di buat oleh staf. Dalam tiap kompi, terdapat pembinaan dan pembagian tugas kepada anggota-anggotanya, sehingga pada tiap kegiatan yang di buat dan di rencanakan oleh staf, di pegang oleh anggota yang sesuai dan berkompeten pada bidangnya.
Terdapat dua kompi di Batalyon I / ITB, yakni Kompi A dan Kompi B. Masing-masing kompi terdiri atas peleton-peleton yang memiliki spesifikasi dan tugas tersendiri yaitu:
1. PELETON RAJAWALI
Spesifikasi peleton ini adalah pada keahlian - keahlian atau wawasan tentang militer, seperti HTF (How To Fight), PJD (Pertempuran Jarak Dekat), latihan menembak, latihan operasi-operasi darat, Korps Musik, Majalah Satria Ganesha, dan kegiatan-kegiatan menarik lainnya, Peleton Rajawali memfasilitasi Anda yang tertarik dengan Army Style serta ingin belajar banyak tentang dunia militer.
2. PELETON HIU
Berafiliasi kepada keahlian-keahlian maupun wawasan kegiatan dan operasi dalam Air, seperti Menyelam, Renang, Navigasi laut, LCR (Landing Craft Ruber) & PKP (Pendaratan pantai), operasi-operasi perairan, serta beraneka petualangan lainnya, yang pasti menyegarkan namun tetap memiliki sensasi tantangan tersendiri.
3. PELETON SEMERU
Namanya semeru, sudah bisa di tebak kalau pleton ini kegiatannya mengenai mountaineering, seperti snappling, rappelling, ascending, flying fox dll. Kegiatan pendakian gunung juga menjadi salah satu kegiatan tahunan refreshing Yon I yang di wadahi pleton semeru. Gunung—gunung yang pernah di jelahahi Tim Ekspedisi Yon I/ITB antara lain ialah Gunung Rinjani, Kerinci, Gede, Semeru, dan gunung tinggi lainnya.
4. PELETON GANESHA YUDHA
Untuk menyiapkan pasukan yang siap di terjunkan ke daerah-daerah yang tertimpa bencana. Anggota peleton dilatih kemampuannya dengan materi pendukung SAR (survival, penyusuran rawa, Navigasi Darat, dll) dan TAGANA (Tanggap Bencana). Pengetahuan materi tagana di harapkan anggota bisa di terjunkan sebagai tim advance untuk melakukan assessment dampak bencana. Di lapangan juga diberi tanggung jawab untuk tagana dasar seperti dapur umum dan koordinator bantuan logistik.
Di lapangan kita juga diberi tanggung jawab untuk tagana dasar seperti dapur umum dan koordinator logistik bantuan.
Lambang Mahawarman yang berintikan gambar burung elang diciptakan oleh Alm. Doli Panggabean, mahasiswa Arsitektur ITB angk. 1961, yang telah wafat pada tahun 1999 yang lalu karena sakit (gagal ginjal). Beliau jugalah yang mempopulerkan kata “ekek” itu, suatu kata bahasa Sunda untuk “burung elang”.
Istilah ekek diambil dari lambang mahawarman berupa burung ekek. Istilah Ekek untuk digunakan sebagai ungkapan untuk menunjukkan identitas kita. Ekek berarti Menwa. Sebelum terintegrasi dalam Menwa Mahawarman, di ITB terdapat Yon Inti, yang berlambangkan Ganesha, yang di-design ulang untuk dapat menjadi lambang batalyon (untuk ditempatkan di duaja, baret, badge, dsb.) juga di ciptakan Alm. Doli Panggabean, begitu juga Warna baret Yon Inti ITB waktu itu biru, juga pilihan , yang belakangan diadopsi sebagai warna baret Menwa Mahawarman untuk seluruh Jawa Barat.
Saat ini warna baret Menwa seluruh Indonesia berwarna ungu. Pada awal terbentuknya Menwa Indonesia di tiap propinsi, nama dan warna baretnya berbeda-beda, seperti di Jakarta nama Menwanya “Mahajaya” dan warna baretnya kuning. Yang hebat adalah Menwa “Mahasamrat” di Sulawesi Utara yang tidak tanggung-tanggung memakai warna merah, 100% sama dengan baret Kopassus.
Warna baret ungu sebenarnya milik Satdik Walawa. Di tahun 70-an awal, pemerintah mewajibkan semua mahasiswa tingkat pertama mengikuti latihan kemiliteran yang disebut program Walawa, dan memperlengkapi mereka dengan seragam lengkap dari ujung kepala sampai ujung kaki. Tentu ini mahal sekali, dan karenanya yang sempat di latih hanya mahasiswa beberapa perguruan tinggi negeri yang utama saja di ibukota propinsi, dan disebut sebagai “pilot project”. Itu pun masih terlalu mahal, sehingga hanya berjalan beberapa tahun, proyek ini pun bangkrut. Sehingga warna ungu di pilih untuk baret karena dianggap warna “tak bertuan” (waktu itu semua warna lain sudah menjadi warna baret berbagai kesatuan ABRI).
Dan karena saat itu sedang puncak-puncaknya semangat integrasi Menwa, maka atas kesepakatan Menwa semua propinsi, buru-buru warna ungu di dopsi menjadi warna baret Menwa untuk seluruh Indonesia. Begitu juga lambang Ekek, dan lambang-lambang lainnya milik Menwa propinsi lain, yang berbeda-beda dirubah menjadi lambang Hankam/TNI yang sekarang dipakai Menwa secara seragam di seluruh Indonesia.
Oleh Tjipto Soekardono (Dan Yon I ITB ke - 2)
Landasan yang perlu di tanamkan agar Menwa Yon I hidup sepanjang masa adalah Panca Dharma Satya, karena itu merupakan Kejiwaan dari Menwa, tanpa Panca Dharma Satya Menwa bagaikan robot, karena itu doktrin kejiwaan dari Menwa yang harus ditanamkan. Panca Dharma Satya Itu di rumuskan agar tahu mau kemana Menwa itu. Maka saat kader Batalyon I pembaretan ada yang membaca Panca Dharma Satya. Alumni yang betul-betul menghayati Panca Dharma Satya sangat sedikit sekali saat ini.
Menwa harus punya jiwa Panca Dharma Satya agar bisa tetap terjaga dan langgeng sepanjang masa dan terus di perhitungkan dalam peran bela Negara. Saya pernah di pangil Pak Nas buat konsep untuk Menwa . Dirumuskan konsep Menwa punya tradisi acuan. Ada 3 konsep, yaitu:
1. Historis Menwa adalah penerus tentara pelajar tahun 1945. Ketika tahun 1945 tentara pelajar bermacam-macam di jadikan satu bernama brigade korps mahasiswa.
2. Landasan IdiologI adalah Pancasila dan Panca Dharma Satya sebagai landasan ideologi Menwa tingkat nasional.
3. Landasan hukum adalah membangun pertahanan dan keamanan Negara.
Menwa ada jam latihannya yaitu 60 jam latihan, setara dengan skop pendidikan Bintara. Secara tidak sadar latihan-latihan ini membentuk kepemimpinan. Bela Negara menanamkan semangat patriotisme. Menwa saat itu di arahkan menjadi ROTC seperti di Amerika, namun mengalami hambatan, karena di kaitkan dengan ABRI oleh PKI. Setelah penumpasan pun terus isu itu terus di hembuskan yang di maksudkan untuk menghambat berkembangnya Resimen Mahasiswa.
Kemampuan Yon I sangat diperhitungkan. Pernah di lakukan perlombaan dalam kehalian milter, Yon I saat itu bisa lebih unggul dengan Tentara dan Brimob, hanya renang yang kalah, karena Menwa jarang berenang. Bahkan Yon I banyak mendapatkan wing menembak.
Zaman sekarang Menwa tidak berkembang karena tidak punya konsep. Setelah UUD 45 di amandemen sampai 4 kali, Menwa di biarkan mati sendiri. Pemerintah lupa mengelola rakyat terlatih, salah satu rakyat terlatih adalah Resimen Mahasiswa. Posisi Batalyon I/ITB saat ini tidak lagi mengalami manghadapi ancaman dalam bentuk fisik dan kekuatan senjata. Pada masa ini pemerintah juga sepertinya tidak ingin lagi melibatkan Menwa dalam konflik besenjata. Menwa sebagai rakyat terlatih yang secara tidak langsung menjaga stabilitas dimanapun berada dalam kondisi sekarang tanpa melalui kekuatan senjata, melainkan dengan perilaku, kecerdasan dan tindakan. Sebabnya, ekarang justru yang banyak terjadi adalah konflik horizontal antar kelompok masyarakat yang berbau SARA.
Visi yang dianut oleh Batalyon I/ITB harus berfungsi sebagai “Resimen Tempur” namun dalam kondisi damai (stabil) Batalyon I/ITB harus berfungsi sebagi “Resiman Pendidikan.”, visi ini yang sekarang ini menjadi pegangan bagi pembinaan di Batalyon I/ITB. Istilah resimen pendidikan berarti Resiemn Mahasiswa sebagai wadah dalam belajar tentang bela Negara, nilai-nilai keprajuritan, dimana latihan sebagai sarana menempa kepemimpinan, dan tempat pengembangan organisasi bagi tiap anggotanya. Batalyon I/ITB juga berperan sebagai “Pengawal Almamater” yaitu berfungsi untuk membantu kelancaran terselenggaranya program perguruan tinggi sesuai denganTri Dharma Perguruan Tinggi, dan membantu acara-acara yang dilakukan oleh Kampus ITB, seperti Penerimaan Mahasiswa Baru, Pameran, Pasar Seni ITB, Wisuda, dan Dies Natalis.
Batalyon I/ITB juga mengadakan seminar-seminar dengan topic-topik yang sedang hangat di kalangan mahasiswa ITB, seperti Seminar dan Pameran Teknologi Hankam (SPTH), Seminar Entrepreneurship and Leadership, Peta Bakat, dan kegiatan umum lainnya. Serta Menwa juga ambil bagian dalam acara Bakti Sosial dan Bantuan Korban Bencana Alam. Saat ini jumlah anggota sudah semakin meningkat dibandingkan dengan beberapa tahun lalu, hal ini tercipata karena semakin di kenalnya Menwa di kalanagn mahasiswa serta berkurangnya antipati mahasiswa terhadap militer. Bahkan sekarang semakin banyak mahasiswa ITB yang ingin melanjutkan jadi perwira karir.
Resimen Mahasiswa yang dulunya adalah Komponen Cadangan Nasional sekarang menjadi Komponen Pendukung Pertahanan Nasional, sebagaimana termaktub dalam UU No.3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara dan dalam Buku Putih Departemen Pertahanan.Tidak semua Universitas memiliki Menwa, saat ini di ITB Menwa di pertahankan sebagai salah satu unit.
Para anggota Menwa di setiap kampus membentuk satuan, yang disebut Satuan, sebagai salah satu unit kegiatan kemahasiswaan, dalam strukturnya komandan satuan melapor langsung kepada Rektor, selaku/pimpinan perguruan tinggi.nJanji Resimen Mahasiswa harus di letakkan dalam hati serta di realisaikan dalam bentuk karya nyata di kehidupan para anggota. Janji tersebut adalah Panca Dharma Satya.
Bab 4
Oleh Tjipto Soekardono (Dan Yon I ITB ke - 2)
Pada sekitar awal tahun 1960, Bung Karno melakukan kunjungan kerja ke Bandung untuk menyampaikan kuliah umum kepada para Mahasiswa Bandung di halaman depan Kampus ITB Jl. Ganesha. Setiba di Lapangan Udara Andir (Husein Sastranegara) Presiden/Panglima Tertinggi Soekarno disambut oleh Penguasa Perang Daerah/Panglima Kodam VI Siliwangi Kol. R.A. Kosasih.
Setelah menyalami para penyambutnya kemudian Presiden dipersilakan untuk memeriksa Pasukan Jajar Kehormatan bersenjata dengan sangkur (penghormatan senjata dengan pasang sangkur menurut ketentuan hanya diberikan kepada Sang Saka Merah Putih dan Presiden RI). Dengan didampingi oleh Pangdam Siliwangi, Presiden/Panglima Tertinggi diiringi Korps Musik memeriksa Pasukan Jajar Kehormatan yang memberikan penghormatan militer. Setelah itu, sebelum memasuki mobil yang akan mengantarnya ke Kampus ITB, Presiden bertanya kepada Panglima: “Kos, itu tadi pasukan dari mana, kok enggak pakai tanda pangkat?”. Pak Kosasih menjawab: “Itu tadi adalah pasukan Resimen Mahasiswa yang sedang dipersiapkan untuk membantu “Operasi Pagar Betis” menumpas gerombolan DI/TII Kartosuwirjo”.
Kemudian kepada Kol. R.A. Kosasih, Bung Karno berpesan agar dibina dengan baik karena mereka adalah calon-calon pemimpin. Diantara anggota Resimen Mahasiswa tersebut yang di kemudian hari menjadi tokoh nasional adalah Ir. Siswono Yudo Husodo.Ketika PKI (Partai Komunis Indonesia) gagal membentuk Angkatan V (Buruh dan Tani yang dipersenjatai) karena ditentang oleh TNI (Menpangad Jend. Ahmad Yani), D.N. Aidit mengadu ke Bung Karno sambil mengajukan protes mengapa TNI diijinkan membangun Resimen Mahasiswa, sambil menunjukkan Radiogram Menko Hankam/Kasab No. AB/3046/64 tertanggal 21 April 1964 yang ditujukan kepada semua Panglima Daerah untuk membentuk dan menyeragamkan Resimen Mahasiswa yang ada di setiap Kodam.
Karena yang menandatangani Radiogram tersebut adalah Jend. A.H. Nasution sendiri, maka Pak Nas dipanggil oleh Bung Karno untuk klarifikasi. Kepada Bung Karno, Pak Nas menjelaskan tentang maksud dan tujuan Radiogram tersebut yakni:
1. Menertibkan dan menyatukan bermacam-macam Resimen Mahasiswa yang timbul sebagai akibat adanya Instruksi Menteri PTIP Nomor 1 Tahun 1962 tanggal 15 Januari tentang Pembentukan Korps Sukarelawan di lingkungan Perguruan Tinggi dalam rangka Trikora Pembebasan Irian Barat.
2. Sebagai titik awal untuk merintis Program Pendidikan Perwira Cadangan melalui Perguruan Tinggi (ROTC: Reserve Officer Training Corps).
3. Dalam upaya melestarikan tradisi semangat bela negara dan patriotisme di kalangan intelektual muda seperti yang telah dibuktikan dalam perang kemerdekaan oleh Tentara Pelajar/Corps Mahasiswa.
Sebelum meninggalkan Istana, Pak Nas bertanya kepada Bung Karno, bagaimana kelanjutannya untuk mengikuti petunjuk Beliau. Jawaban Bung Karno amat singkat: “Teruskan!”.Sebagai akibat “instruksi” Presiden maka muncullah Resimen-Resimen Mahasiswa di setiap Kodam. Di Jawa Barat, Menteri PTIP Prof. Toyib Hadiwijaya memberi nama “Resimen Mahawarman”. Di Jakarta Pak Nas memberi nama “Resimen Mahajaya”. Di Yogyakarta Jenderal Ahmad Yani memberi nama “Resimen Mahakarta” dan seterusnya.
Di akhir tahun 1965, terdesak oleh demonstrasi-demonstrasi mahasiswa yang tergabung dalam KAMI dan terpengaruh oleh siaran Radio Australia yang menyiarkan berita bahwa TNI akan menggerakkan Resimen Mahasiswa, D.N. Aidit kembali mengadu ke Bung Karno di Istana dengan permintaan agar Bung Karno sesegera mungkin membubarkan Resimen Mahasiswa yang “ternyata” adalah tentaranya Nasution yang dibiayai oleh CIA. Ternyata setelah itu Bung Karno tidak membubarkan Resimen Mahasiswa tetapi malah membubarkan KAMI, bahkan HMI pun tidak dibubarkan.
Kisah-kisah tersebut dikisahkan sendiri oleh alm. Letjen. TNI. (Purn) R.A. Kosasih kepada Tjipto Soekardono sewaktu Tjipto Soekardono menjabat sebagai Kepala Staf Resimen Mahasiswa Mahawarman Jawa Barat pada tahun 1970. Dahulu di Jawa Barat, anggota Resimen Mahasiswa sebelum menerima penyematan baret pada acara pelantikan, harus terlebih dahulu mengucapkan atau bersumpah yang disebut “Panca Dharma Satya Resimen Mahasiswa”.
Panca Dharma Satya mengandung lima nilai kesetiaan, yakni:
1. Setia kepada Sang Saka Merah Putih.
2. Setia kepada Pancasila.
3. Setia kepada Konstitusi (UUD 1945).
4. Setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia.
5. Setia kepada cita-cita dan nilai-nilai kejuangan Bangsa Indonesia.
Menurut Pak Sutikno Lukitodisastro (mantan Sekretaris Militer Presiden), Panca Dharma Satya itulah yang membuat Bung Karno tidak mau membubarkan Resimen Mahasiswa karena menganggap Resimen Mahasiswa merupakan salah satu wujud dari Nation and Character Building.
Drs. Tjipto Sukardhono
Sesuai dengan instruksi Menteri PTIP No.1 Tahun 1962 tanggal 15 Januari 1962 tentang pembentukan Korps Sukarelawan pembebasan Irian Barat di lingkungan perguruan tinggi, maka di ITB di bentuk Batalyon Inti Resimen Mahasiswa Serba Guna (Resimen Mahawarman bekum di bentuk). Batalyon inti inilah kemudian menjadi embrio Batalyon I Resimen Mahawarman kemudian hari.
Setelah melalui saringan seleksi yang ketat, kekuatan riil Yon Inti ini praktis hanya satu kompi penuh, apalagi setelah melalui latihan cukup berat karena bagaimanapun Yon Inti ini harus benar-benar siap untuk di terjunkan di irian Barat, bila memang diperlukan. Batalyon Inti ini di resmikan pada tanggal 20 Maret 1964 oleh almarhum Prof . Sumantri Brojonegoro, yang mewakili Rektor ITB.
Penyematan cincin kehormatan “Peristiwa19 Agustus 1966” pada tunggul Menwa Batalyon I/ITB oleh Pangdam VI/Siliwangi May. Jend. TNI HR. Darsono pada tahun 1966 kepada Komandan Menwa ITB ke 2, Tjipto Sukhardono. Anggota Yon Inti ini sekarang yang di kenal masyarakat antara lain Harjanto Dhanutirto (mantan Menhub), Giri Suseno (mantan wakil Ketua BPIS) dan Slamet Susilo (mantan Dirjen POM).
Suatu pristiwa penting sebagai prolog G 30S/PKI adalah apa yang terjadi pada tanggal 17 Maret 1964 (tiga hari sebelum Yon Inti diresmikan), pada hari itu di ruang R-6 sedang di putar film perang berjudul Sands of Iwojima, dengan bintang film Jhon Wayne. Pemutaran film ini di maksudkan sebagai intruksi latihan khusus bagi anggota Yon Inti (pada saat itu ada larangan untuk memutar fil-film Amerika). Sedang nikmatnya nonton film, tiba-tiba pemutaran film di hentikan, lalu di ikuti intruksi agar seluruh kader Yon Inti segera keluar dari ruangan dan memformaskan diri dengan “stelling” di depan Aula Barat dan Perpustakaan (sekarang Aula Timur). Ternyata di depan kampus sepanjang Jalan Ganesha sudah ada demonstran massa CGMI (ormas mahasiswa PKI) yang di perkuat pelajar-pelajar sekolah RRC, yang di pimpin oleh Vin dan AM, mahasiswa ITB.
Maksud mereka demonstrasi menuntut agar pemutaran film Amerika di hentikan dan Yon Inti tidak perlu di bentuk, sebab Irian Barat sedang dalam proses kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi. Karena massa demonstran terlihat membawa batu, maka para kader Yon Inti di sibukkan mencari batu yang sulit di cari di dalam kampus. Terjadi dialog antara pimpinan massa demonstran dan pimpinan Yon Inti, antara lain Piet Nainggolan dan Ojak Siahaan untuk mencegah terjadinya perkelahian massa.
Gambar 4. 1 Ir. Budiono Kartohadiprojo (Danyon ke 3 Menwa ITB, 1967) mewakili Corps Menwa Indonesia menerima Duadja Tentara Pelajar dari Sekjen Keluarga Besar Pelajar Pejuang Kemerdekaan (PKB-PPK) Comodor (c) Andoko pada tanggal 2 Juni 2013 di Tugu Proklamasi Jakarta
Tidak tahu entah pembicaraan apa yang mereka lakukan, sebab saya sebagai Danyon bertugas menghadapi mereka di depan Aula Barat. Entah bagaimana proses pembicaraan, akhirnya mereka bubar dan pemutaran film dapat di lanjutkan. Menghadapi intrik-intrik CGMI/PKI menjelang terjadinya G 30S/PKI di Kampus ITB, diantaranya peristiwa hilangnya bendera ITB yang di kibarkan di Bukit Ciparay sewaktu ada kerja bhakti Mapram (Masa Pra Bhakti Mahasiswa, sekarang OS), serta dua hari setelah Let Kol Ir. Kuntoaji dilantik menjadi Rektor ITB, ada lagi demonstran CGMI diperkuat pelajar-pelajar RRC, bermaksud membakar Kantor dan Perpustakaan “Kentucky Contract Team/KCT” yang berada di Kampus ITB. KCT di ITB dalam rangka kerjasama antara ITB dengan University of Kentucky dalam program pemberian bantuan dosen-dosen , buku-buku , serta peralatan-peralatan pendidikan.
Selain itu tuntutan mereka juga adalah menolak diangkatnya seorang warga TNI sebagai Rektor ITB serta menuntut pembubaran Menwa ITB. Setelah mendapat laporan adanya demonstran di depan kampus, Rektor ITB Let Kol. Ir . Kuntoaji segera melakukan rapat kilat dengan pimpinan ITB lainnya di kantor ITB Jalan Tamansari. Saat berlangsungnya rapat itulah saya sebagai Wadanyon dipanggil Rektor ( Danyon Harjanto sedang berada di Dolatpur Bihbul).
Begitu saya menghadap Rektor, pertanyaan yang diajukan kepada saya adalah,
“Apakah pistolmu itu ada pelurunya?”
Saya jawab, “Ada Pak”
“Anak buahmu di kampus ada berapa? Tanya rektor lagi.
Kemudian saya jawab “ tinggal sepuluh Pak. Sebab yang lainnya sedang berada di Bihbul melatih para kader Yon”.
Selanjutnya saya melaporkan bahwa Batalyon sedang bersenjata lengkap. Kemudian Rektor memerintahakn kepada saya untuk mengawal ke kampus dan melihat sepuluh orang anggota Batalyon I sedang siaga bersenjata lengkap. Maka beliau memberi intruksi “Jangan menembak kalau tidak ada intruksi dari saya”.
Selanjutnya Rektor berbicara dengan para pimpinan demonstran dengan jawaban-jawaban yang keras dan tegas. Rektor yang berseragam TNI beserta sepuluh pengawalan anggota Batalyon I bersenjata lengkap membuat massa surut mundur teratur. Sejak peristiwa itu, isu militerisme mulai merabak di kampus ITB, bahkan menurut radio Australia, DN Aidit sendiri menuntut kepada Presiden Soekarno, agar Resimen Mahasiswa seluruh Indonesia mulai 28 September 1965 dibubarkan saja, karena Aidit juga menganggap Resimen Mahasiswa Indonesia merupakan tentaranya Nasution.
September 1965 , di Kampus ITB sedang berlangsung Mapram. Saat itu terasa sekali suasan kampus yang “panas”, pasalnya terjadinya insiden-insiden dan bentrokan antara kelompok-kelompok mahasiswa. Maka untuk menjaga ketertiban, Rektor ITB mengeluarkan instruksi kepada seluruh warga Civitas Academica ITB, bahwa bila mereka ingin keluar masuk kampus harus melalui pintu gerbang utama di Jalan Ganesha. Dan kepada Batalyon I di intruksikan untuk melakukan penjagaan dan pengamanan.
Pada tanggal 30 September 1965, ada pengumuman tentang telah di bentuknya Dewan Revolusi untuk melindungi Negara dan presiden dari “coup d’tat” Dewan Jenderal. Dewan Revolusi ini dipimpin oleh Let Kol Untung dari Resimen Cakrabirawa, di antaranya di sebut bahwa pangkat tertinggi di lingkungan ABRi adalah Letnan Kolonel.
Terkait dengan Dewan Rovolusi ini, seorang anggota Batalyon I, bernama E, yang ibunya termasuk dalam daftar anggota Dewan Revolusi, mengajak Dan yon I Harjanto dan saya sebagai Wadan yon untuk berbicara enam mata. E meminta agar Batalyon I mendukung Dewan Revolusi , tetapi Dan yon menolak ajakan itu, pasalnya situasi belum jelas, apalagi setelah melihat Pangdam Siliwangi, Mayor Jenderal Ibrahim Adjie tiba-tiba datang ke Kampus ITB melihat situasi yang tetap menggunakan pangkat Mayor Jenderal. Setelah kunjungan Panglima, kemudian Batalyon I mendapat dropping senjata dari Kodam, dan E kemudian di cegat dari Batalyon I.
Selama Mapram terjadi suatu insiden, dimana seorang anggota Mapram membawa satu rombongan calon Mahasiswa ITB masuk kampus melalui belakang, padahal sudah ada larangan. Komandan Batalyon I, Harjanto sempat marah dan menegur anggota Mapram yang bernama U, tetapi U tidak mau menerima teguran itu, malah balik memaki Dan yon. Dan yon merasa tersinggung dan marah. Akan tetapi karena pengertian salah seorang panitia Mapram, maka insiden itu dapat di selesakan.
Sejak terjadinya peristiwa G30S/PKI, praktis tidak ada kegiatan perkulihan selama hampir dua tahun. Kegiatan sehari-hari di kampus hanya di penuhi dengan kegiatan demonstran. Batalyon I yang beranggotan 300 orang memberlakukan “siaga tingkat satu” (anggota tercatat 500 orang), di bagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok siang dan kelompok malam bergantian seminggu sekali.
Tugas utama Batalyon I adalah membela dan mempertahankan Kampus ITB dari serangan G 30S /PKI dengan memperoleh dukungan logistik dari ibu-ibu dan istri dosen setiap hari. Satu Batalyon I di tugaskan ke dalam pasukan khusus Menwa Mahawarman di bawah komando Kodam, dan dipimpin oleh Letkol Lukman Madewa. Pasukan khusus ini langsung terlibat dalam operasi penumpasan G 30S/PKI di Bandung. Tiga orang anggota Batalyon I yang di tugaskan dalam pasukan khusus ini yang saya ingat Abdul Hafid, Suntana serta Ayib.
Dalam situasi yang genting ini dilakukan pergantian Dan yon dari Haryanto kepada saya dengan surat Keputusan Rektor ITB No.861/Rek/ITB/66 tertanggal 21 April 1966. Sedangkan Haryanto mendapat tugas membentuk Staf Komando Resimen Mahawarman di Jalan Surapati (gedung milik Universitas Rakyat PKI). Haryanto diangkat menjadi Kasmen dibantu oleh anggota Batalyon I Mahwarman, yaitu Bambang Warsito (Asop Kaskomen0, Djoni Saleh (Aster Kaskomen), serta Hardi Susilo (Dandenma).
Setelah saya diangkat menjadi Komandan Batalyon I, maka Prijono diangkat menjadi Wakil Batalyon, dengan para komandan kompi yang handal, yaitu Budiono, Gunardi S F, Yuhana Hidayat, Bambang Prawoto, Sudarsono, Tjarda serta So liong Swa sebagai Danki putri.
Peristiwa 19 Agustus 1966 merupakan puncak pergerakan mahasiswa yang tergabung dalam KAMI. Di Bandung hampir setiap hari terjadi demonstrasi di markas KAMI di Jalan Lembong sewaktu ada apel mahasiswa. Salah seorang pimpinan KAMI yaitu Sugeng Surjadi dari UNPAD merobek-robek gambar Presiden Soekarno. Tindakan ini tidak dapat diterima oleh masyarakat (pada saat itu pengaruh Bung Karno masih kuat sekali), maka terjadilah demonstrasi tandingan oleh massa rakyat, yang kemudian di tunggangi oleh massa PKI. Pimpinan demonstran di ambil alih oleh PKI, dimana massanya datang dari daerah Bandung Selatan (Buah Batu).
Kemudian pada tanggal 19 Agustus 1966 massa demonstran PKI sekitar 6.000 orang sudah mulai bergerak menuju Kampus ITB , namun dihadang oleh pasukan Kujang Siliwangi di depan markas Brimob Jalan Juanda, tepat pada jam 11.00 wib. Karena terhalang oleh pasukan Siliwangi, massa demonstran beralih ke Jalan Merdeka. Di depan Kampus UNPAR beberapa demonstran melakukan tembakan-tembakan ke Gedung UNPAR, seorang mahasiswa bernama Julius Usman tewas tertembak . Kondisi demonstran saat itu sempat kacau setelah mendapat tembakan balasan dari anggota Batalyon III Resimen.
Demonstrasi terus berlanjut, sore hari sekitar jam 16.30, massa PKI dengan kekuatan yang sama sudah berada di Jalan Tamansari. Pada jam 17.00 mereka sudah berada di sekitar pasar Balubur dekat Rumah Merah (asrama Mahasiswa ITB). Pergerakan demonstran terus di ikuti anggota Seksi I Batalyon I/ITB, yaitu Syafril dan Sutedjo yang menyamar sebagai penarik becak, dan dipimpin Kasi I, Parulian Sidabutar.
Jam 18.00 tepat demonstran sudah sampai di depan pintu gerbang Kampus ITB di Jalan Ganesha sambil membawa potret Soekarno. Situasi kampus pada saat itu dalam keadaan kosong, hanya ada dua kompi pasukan Batalyon I/ITB yang akan melakukan serahterima tugas. Melihat begitu banyaknya massa demonstran, dan ada beberapa yang bersenjata api (Ak-Chung), maka saya memerintahkan Gatot Purbojo dari Seksi I untuk meminta bantuan dari Danyon II Nugraha Besus di Kampus UNPAD (sesuai kesepakatan antara Yon I dan Yon II untuk saling membantu bila di perlukan). Yang datang memberi bantuan justru bukan Batalyon II, tetapi pasukan Kujang Siliwangi yang di datangkan dari sekitar kampus UNPAD, karena pasukan Batalyon II sendiri sedang menghadapi demonstran PKI yang datang dari daerah Sekeloa.
Pasukan Siliwangi yang baru datang tersebut langsung mengambil posisi antara massa demonstran dan anggota Batalyon I yang sedang stelling di belakang dinding-dinding kampus. Komandan Pasukan Siliwangi berpesan kepada saya, bahwa kalau massa demonstran mulai masuk kampus, langsung tembak saja, denga catatan jangan sampai mengenai prajurit Siliwangi. Saya sempat bingung mendapat pesan tersebut, karena situasinya amat sulit, sebab pasukan Siliwangi itu berpagar betis berpegangan tangan menahan massa demonstran yang memaksa akan masuk kampus. Setelah saya telpon untunglah Rektor ITB, Kuntoaji segera datang . setelah berdoa sejenak, Rektor ITB di damping Danyon I menemui pimpinan demonstran yang menuntut agar potret Presiden Soekarno yang mereka bawa di pasang secara terhormat di kampus, serta siaran Radio Ampera yang berada di kampus di hentikan. Akhirnya Rektor ITB menyanggupi bahwa potret Presiden Soekarno tersebut aKan di pasang besok pagi di kantornya, (waktu itu Bung Karno masih Presiden RI), dan mengatakan bahwa di Kampus ITB tidak ada yang namanya Radio Ampera).
Setelah mendapat jawaban Rektor ITB, serta tekanan pasukan Siliwangi, demonstran tersebut dapat di bubarkan. Sebagai cacatan perlu di ketahui bahwa di Kampus ITB memang ada siaran Radio Ampera, yang studionya terletak tersembunyi rahasia, sekarang Aula Timur, di kelola Ajar Irawan mahasiswa Fisika ITB.
Keesokan harinya Pangdam Siliwangi, Mayjen H.R Dharsono didamping Komandan Brigade Lintas Udara Kujang Siliwangi, Kol Himawan Sutanto datang ke Kampus ITB, dan bertanya kepada Danyon I “Bagaimana keadaannya Tjip?” Saya jawab “Telah diatasi Pak “. Saat inilah saya pertama kali berkenalan dengan Pak Himawan Sutanto, yang kemudian hari menjabat sebagai Panglima Siliwangi, yang pada tahun 1978 menghadapi Batalyon I dan Mahasiswa ITB (peristiwa tahun 1978, halaman , oleh Ir. Priyo Pribadi –Danyon I ITB ke-8).
Pada HUT Yon I tanggal 20 Maret 1968, di lapangan sepak bola Kampus ITB di lakukan upacara Parade Kebesaran dengan Inspektur Upacara Pangdam VI/Siliwangi Mayjen H.R. Dharsono, sedangkan sebagai Komandan Upacara ditunjuk KPH Probokusumo. Pada tunggul Menwa Batalyon I-ITB atas peran heroiknya dalam peristiwa 19 Agustus 1966.
Gambar 4. 2 Tunggul Menwa Batalyon I/ITB, dengan “Cincin Peristiwa 19 Agustus 1966”
Puncak acara di tandai dengan penyematan “Cincin Peristiwa 19 Agustus 1966” pada Tunggul Batalyon I. Ada dua “Cincin Peristiwa” yang disematkan pada tunggul Batalyon I, yaitu satu cincin sebagai penghargaan Kodam VI/Siliwangi, dan satu cincin sebagai penghargaan Gubernur Jawa Barat atas jasa-jasa Batalyon I dalam pengabdiannya selama ini. Pada kesempatan itu Rektor turut menyematkan “Rumbai” berwarna merah anggur sebagai tanda terimakasih Almamater.
Dalam rangka melestarikan tradisi kepejuangan dan jiwa kejuangan Gubernur Jawa Barat, Mashudi dengan surat keputusannya memutuskan menyematkan “Rumbai Kejuangan” berwarna hijau muda yang berisi nama-nama mahasiswa STT dari Kampus Ganesha yang gugur dalam perang kemerdekaan 1945.
Sulit dibayangkan pada saat ini apakah peristiwa semacam ini akan berulang dalam satu upacara begitu ‘banyak” disematkan tanda kehormatan. Menurut saya hal ini masih di mungkinkan, berpulang kepada semangat dan motivasi kejuangan para anggota Batalyon I sekarang dan masa mendatang. Para anggota Batalyon I harus tetap memiliki kesadaran yang tinggi, serta tetap berjalan di atas rel kebenaran, yaitu berjuang demi Sang Merah-Putih, dan Negara Proklamasi 17 Agustua 1945.
Jendral TNI A.H. Nasution bersalaman dengan Komandan Resimen mahasiswa ITB ke 2, Tjipto Sukhardono, dalam acara stadium general menyambut HUT Menwa ITB di Aula Barat ITB tahun 1965. Jendral TNI A.H. Nasution adalah pendiri resimen mahasiswa.
AVES didirikan lebih dulu dari organisasi induk kedirgantaraan FASI, pemrakarsanya beberapa mahasiswa ITB dan seorang wartawan, minat mereka terhadap olah raga terjun payung sangat besar sekali, dengan keyakinan bahwa olahraga dirgantara ini sangat cocok untuk pembinaan fisik dan mental generasi muda saat itu dengan prospek yang cerah. Aves di dirikan pada 28 Juli 1969 di rumah Triawan (Wangki) Saleh (# 009), Jalan Purnawarman 44 Bandung, amat sederhana tanpa tumpengan, tanpa upacara, tapi dengan semangat yang menggebu-gebu. Tanpa terlalu lama di diskusikan, mereka sepakat memakai nama “AVES” dan selanjutnya mufakat memilih Akhmad Bukhari (Djoni Saleh) sebagai Ketua Umum.
Ketika itu AVES hanya bermodalkan seorang peterjun bebas yang sudah berumur 44 tahun, lulusan Pendidikan Freefall Pusdik Passus TNI-AD / RPKAD Batujajar, Saat itu ssatu-satunya peterjun bebas pertama non-ABRI, ia bekas Sersan Mayor Keskoterr (Kesatuan Komando Tentara & Territorium) III/SLW, cikal bakal RPKAD, ia termasuk salah seorang peterjun TNI-AD pertama, lulusan Para Dasar 1950/1951 TNI-AU Lanud Husein Sastranegara (Andir), ia adalah sastrawan, wartawan, peterjun Trisnoyuwono. Sebagai kehormatan para mahasiswa ITB itu, Pak Tris (panggilan akrabnya) ditetapkan sebagai anggota AVES pertama yaitu AVES # 001, selanjutnya nomor keanggotaan diurutkan berdasarkan abjad. #002 Adnan Basiruddin Mokodompit, #003, Akhmad Bukhari Saleh, #004 Arifin Panigoro, #005 Dikdik Hasan, #006 Hardisoesilo, #007 Prabowo Trisna Edhie, #008 Syahriel Anwar dan #009 Triawan Saleh. Setelah AVES didirikan, ternyata banyak mahasiswa yang berminat menjadi anggota, para anggota berikutnya adalah, #010 Aryanto Saleh, #011 Budiono Kartohadiprodjo, #012 Priyatna Kusumah, #013 Rubianto Ramelan, #014 Sutrisno, #015 Syarif Ahmad Barmawi.
Masa perintisan berat dan penuh risiko, usaha yang tidak henti-hentinya dan sangat melelahkan untuk mendapatkan izin mengikuti pendidikan freefall di berbagai lembaga ABRI yang hasilnya nol besar dan sia-sia, dan hal tersebut kadang-kadang menimbulkan rasa putus asa, tapi mereka terus berusaha pantang mundur apapun taruhannya, pokoknya bisa freefall.
Mulailah perintisan Perkumpulan Terjun Payung AVES yang menggerogoti urat syaraf, setelah dua tahun berdiri, mereka yang anggota Mahawarman hanya bisa mengikuti Pendidikan Para Dasar TNI-AD, para pendiri dan pendukung AVES tidak juga patah semangat, mereka berusaha terus, meskipun sebagian sudah berkesimpulan mustahil. Meskipun sudah jelas-jelas mustahil, kecuali jika mengikuti pendidikan freefall di luar negeri, setelah kasak-kusuk dan tidak terlepas dari kebingungan, maka akhirnya mereka berketetapan untuk membentuk Tim AVES menjelang Kejurnas Terjun Payung I/1972, melalui proses yang rumit karena banyaknya mahasiswa yang bersedia secara sukarela masuk Tim (karena keinginan yang sangat besar untuk freefall), supaya adil dipilih 2 orang mahasiswa ITB dan 2 orang mahasiswa UNPAD dan kemudian terbentuk-lah team AVES yang terdiri dari lima peterjun. Risikonya sangat besar, tapi atas tanggung jawab sendiri, mereka bersedia terjun tanpa latihan!
Tidak ada yang membayangkan mati konyol dalam penerjunan sinting yang direncana-kan, tapi tidak bisa ditawar apapun lagi, pokoknya terjun bebas! Walaupun tanggung jawab masing-masing, bila terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, maka yang tertualah biang keladinya yang paling bertanggung jawab.
Pak Tris tidak mau mengecewakan mereka yang sudah bertekad bulat, rela meng-korbankan apa saja, dalam perintisan selalu penuh risiko. Tim pertama dalam sejarah terjun payung AVES dan non-ABRI di Indonesia adalah : Trisnoyuwono #001, Arifin Panigoro #004, Prabowo Trisna Edhie #007, Priyatna Kusumah #012, Syarif Ahmad Barmawi #015. Cerita berikutnya, dibentuknya Tim tersebut sebenarnya erat hubungannya dengan pendidikan dan latihan terjun bebas Kopasgat/Paskhas TNI-AU yang sedang di selenggarakan dalam menghadapi Kejurnas Terjun Payung I/1972 itu juga, bagaimanapun caranya mereka akan berusaha ikut terjun dalam latihan tersebut dan kemudian tampil dalam Kejurnas.
Untuk mendapatkan izin terjun, setidaknya harus menghadap Danjen Kopasgat waktu itu, Kolonel Soetoro, dan harus pula memohon pinjaman parasut (IRVIN 7-TU), karena AVES memang belum punya apa-apa. Bagaimana caranya supaya mendapatkan izin terjun dan pinjaman parasut ?. Mereka terus kasak-kusuk, Sementara itu, walaupun belum ada kepastian sedikitpun, Pak Tris bertindak sebagai instruktur darurat, memberikan kursus kilat, bagaimana melipat dan menggunakan parasut dan peralatannya, bagaimana exit dari pesawat Dakota C-47, melayang, mencabut handle, mengatasi kesulitan, mengemudikan parasut setelah mengembang, mendarat dan berusaha menginjak dead center dengan literatur dari majalah terjun.
Setelah terus menerus berencana, maka diputuskanlah Tim AVES akan menghadap Danjen Kopasgat, mungkin akan berhasil tapi harus nekad, macam-macam rencananya tapi bila berterus terang, tidak akan mungkin berhasil, jadi harus bagaimana ???
Bohong tak tangung-tanggung. Segalanya sudah diputuskan, kalau memang harus ada korban, semuanya sudah punya ketetapan hati, bulat tekad dan nekad!
Pada awal April 1972, Pak Tris dengan sepeda reyotnya menuju Mabes Kopasgat TNI-AU di Lanud Husein Sastranegara, ia bersahabat dengan Kolonel Soetoro oleh karena itu segera bisa menghadap, bagaikan seorang (pembohong) profesional ia menjelaskan segala sesuatunya dan Pak Toro langsung memberikan izin dan pinjaman parasut, gilee …
Setelah pamit, Pak Tris pergi sambil berjingkrak-jingkrak, namun hatinya masih tetap terganggu, sebab sudah berbohong dan terbayang kemungkinan kecelakaan 50% ……Perintisan memang berat!
Ia berbohong kepada Danjen Kopasgat, bahwa para anggota Tim AVES sudah pernah latihan freefall di Thailand dan Amerika Serikat, meskipun risiko tanggungan masing-masing, Pak Tris lah pencetus gagasan itu dan sekaligus pelakunya, tapi apapun akibat nya, tekadnya sudah bulat.
Pagi-pagi sudah nongkrong di Lanud Husein Sastranegara menemui pelatih utama Kopasgat, Serma Jusman Effendi, mendengarkan kebohongan Pak Tris, Pak Jusman antusias, Silahkan terjun duluan.
4.5 Peristiwa Pendudukan Kampus ITB 1978
Ir. Priyo Pribadi Sumarno (Ketua Korps Menwa ITB 2 2012-2015, Dan Yon I-ITB ke 8, Angkatan ke 8, 1972)
Gejolak kehidupan di Kampus ITB (Kampus Ganesha) dikenal sangat dipengaruhi dan berpengaruh oleh kehidupan politik bangsa. Peristiwa pada tahun 1978 adalah salah satu kisah nyata yang perlu dikemukakan, agar dapat menjadi sejarah bagi yang turut merasakannya dan pelajaran khususnya anggota Yon I yang masih aktif. Batalyon I sebagai bagian dari tubuh ITB yang punya fungsi khusus, dalam rangka mengemban misinya di Kampus ITB dituntut untuk berperan aktif sebagai dinamisator dan stabilisator kampus. Hal khusus ini lah yang bisa membentuk watak dan sifat kejuangan yang diperlukan oleh bangsa dan Negara.
Peristiwa 1978 tidak berdiri sendiri, tetapi dari rangkain-rangkaian kegiatan mahasiswa sejak tahun 1977., Dan menjadi suatu ledakan karena gejolak mahasiswa yang semakin memanas erat kaitannya dengan situasi politik menjelang SU-MPR 1978. Situasi menjadi sangat genting yang akhirnya kampus ITB ditutup oleh militer. Hal itu terjadi sampai dua kali, dimana pada pendudukan kedua telah jatuh korban.
Indikasi situasi politik di Indonesia meningkat di tahun 1978, dimana peran mahasiswa ITB tinggi. Saat itu politik di pimpin /gaet kampus karena suara kampus murni. Kampus bersuara maka politik goyang, sehingga kemudian penguasa ketika itu mengambil langkah politik membungkam kampus, salah satunya ada upaya membungkam kampus-kampus di Indonesia yang menonjol saat itu ITB.
Pada waktu pergantian Dan Yon di bulan Desember tahun 1977, situasi politik sudah terasa menghangat, dan walaupun saya waku itu saya sudah digantikan oleh Agus Daryat sebagai Dan Yon ke IX, tetapi Rek tor Prof. Dr. Ing. Iskandar Alisyahbana pesan jangan kamu tinggalin ITB, karena situasi meningkat untuk bantu Agus. Saya juga buat laporan tentang perkembangan situasi kepada Rektor.
Dan puncaknya sewaktu keluarnya Buku putih Dewan Mahasiswa ITB (DMITB ) yang ditulis tokoh mahasiswa ITB yang memiliki perhatian politik cukup tinggi. Buku itu membuka keburukan pemerintah dalam hal ini Soeharto, berisi tentang dugaan korupsi dan sebagainya. Kesimpulannya mahasiswa ITB tidak percaya lagi dengan Soeharta dan tidak mau pilih lagi Soeharto, padahal pada waktu itu belum masanya ada pemilu. Gara-gara buku itu mahasiswa seluruh Indonesia merasa ada suatu dorongan yang kuat untuk bersatu, sentralnya ITB. Waktu itu banyak kegiatan dan peringatan nasional yang dilakukan di ITB sehingga banyak mengundang mahasiswa masuk ke ITB, seperti sumpah pemuda, peringatan tewasnya Rene Louis Conrad yang terbunuh tahun 70 an karena kles antara mahasiswa ITB dengan AMN, bukan karena Rene telah berjasa, tetapi peringatan itu dilakukan untuk mengobarkan perjuangan dan menjadi alasan untuk berkumpul. Ada lagi poster selebaran seolah olah dari kampus, tuduhannya begitu . Kegiatan-kegiatan tersebut dianggap menoreh permusuhan pada TNI dan Polri.
Menyebabkan sering ada patroli tentara yang mengitari kampus sebanyak satuan SSK, ada 4 jeep vietnam yang terbuka, berputar, berhenti mengambil poster dan intel-intel yang masuk.
Bulan Januari 1978 situasi terus meruncing. Ketika itu Menwa ITB berperan menjaga agar tidak terjadinya agresi pemerintah atau emosi mahasiswa yang pasti terjadi. Siapapun mahasiswa ITB yang berada di kampus pada waktu kejadian itu, mereka telah melihat dan menjadi saksi bagaimana anggota Menwa Yon I berada teguh di barisan paling depan berusaha menahan masuknya pasukan militer dan mencegah terjadinya insiden pertumpahan darah. Saat itu kita menyatakan, Siliwangi kok tak bersahabat dengan ITB. Kemudian ada rumor kita tidak suka Siliwangi, sehingga Ada isu balasan Angkatan Muda Siliwangi (AMS) ketika itu punya kekuatan power full, akan masuk kampus ITB.
Mendapat kabar tersebut Dewan Mahasiswa dan Ketua Himpunan ITB merasa terancam, mereka membentuk pertahanan kampus. Jadi terjadi pertahanan kampus di masing-masing himpunan, disitu anggota bataliyon banyak masuk Himpunan Mahasiswa dan Dewan Mahasiswa ikut membantu mempertahankan kampus, karena untuk menjaga keamanan kampus tidak mungkin dilakukan batalyon sepenuhnya Tiap malam tidak boleh ada yang masuk, kampus dipagari. Yang memberi informasi pada saat itu radio 8-EH ITB. Walau libur tetap membantu menyiarkan. Sistem penjagaan malam dibikin sistem pertahanan seperti k system benteng Jerman, ada alarm, ada lampu sorot, sehingga bila ada gerakan, langsung berbunyi dan lampu langsung nyala. Manwa hanya memberitahu bila terjadi hal yang berlebihan. Kami hanya sebagai bumper.
Pada suatu pagi alarm berbunyi dan lampu menyala, maka semua kelihatan pasukan tempur datang yang dikirim LAKSUSDA (Kujang Yon 330 - Brigief 17), mulai menyusup dari jalan Tamansari dekat Kebon binatang pada jam 4.00 wib pagi, tapi resimen bataliyon sudah jaga di depan pagar pintu utama, kita tak bersenjata, kita hanya menahan pasukan militer untuk tidak masuk agar tidak terjadi pertumpahan darah. Komandan militer datang kita bicara, dan kita sepakat sampai rektor datang.
Setelah di telpon akhirnya rektor datang ke kampus jam 6.00, dan mengizinkan pasukan masuk kampus, karena tidak ada yang menghalangi tentara masuk kampus, karena mereka juga membawa surat perintah. Rektor menelpon panglima, panglima katakan untuk menjaga agar tidak terjadi hal yang tidak diinginkan, karena isu AMS akan masuk kampus. Sehingga kalau ada tentara bisa melindungi kampus.
Jam 6.30 mahasiswa yang akan masuk kampus tidak boleh masuk, tetapi yang di dalam boleh keluar. Mereka lihat temennya ada yang di dalam dan tidak tahu apa yang terjadi sempat terjadi kles di depan Mesjis Salman pada jam 08.00, disebabkan sebagian mahasiswa yang ingin menerobos pagar betis berbenturan dengan tentara. Maka Dan Ton 330 Kujang bersama Yon I (Priyo Pribadi, G Permana, Nugraha dan Alex Yudi) mencoba mengatasi masalah tersebut naik di atas land lover dengan microphone menjelaskan bahwa temen-temen tentara dibolehkan untuk jaga kampus, dan menjelaskan apa yang terjadi. Kebetulan diantara mahasiswa yang di luar ada beberapa anggota Yon I, maka yang bersangkutan kemudian diminta untuk memimpin para mahasiswa guna mencegah unsur pihak ketiga yang berusaha menyulut bentrokan dengan tentara.
Agar kondusif , mahasiswa tidak dibolehkan masuk kampus, tetapi kalau di dalam boleh keluar, dan tidak boleh masuk lagi. Akhirnya disepakati tidak masuk, dibolehkan bikin pos di pinggir kampus. Ternyata bergerak cepat mereka buat posko dalm tempo singkat sudah banyak menampung sumbangan dari masyarakat Bandung. Dan pada siang hari dalam suasana yang mulai kondusif tiba-tiba dikejutkan kiriman 2 truk pick up nasi bungkus dan rambutan yang dikirim ibu-ibu Dharma Wanita ITB.
Akan tetapi rencana militer untuk menduduki kampus dan menangkapi mahasiswa yang demo dianggap gagal, karena TNI ternyata terjalin persahabatan yang selama dua (2) hari, bahkan mahasiswa diajari bongkar pasang senjata. maka pasukan ditarik kembali. Disamping itu sudah ada jaminan dari pimpinan ITB kepada Pangdam Siliwangi bahwa ITB dapat dikendalikan. Penarikan pasukan ternyata justru semakin memanaskan situasi ITB, karena adanya anggapan dan asutan seolah-olah gerakan mahasiswa menang, dan pasukan militer gagal, maka ditarik kembali.
Maka mahasiswa teriak-teriak nyanyikan Indonesia raya di depan pintu masuk ITB, selebaran-selebaran kembali menyebar, radio 8-EH juga makin gencar menyiarkan gerakan mahasiswa. Ibarat “Mabok” kemenangan membuat mahasiswa lengah, tidak menyadari kampus akan diserbu tentara lagi. Tidak sampai sepuluh hari kemudian, di siang hari bolong (sekitar jam 2 siang), bertruk-truk pasukan militer di turunkan di depan Taman Ganesha (dekat barak C), yang dapat dilihat dengan mudah dari posko. Semua mahasiswa yang saat itu berada di depan juga dapat menyaksikan dengan jelas pasukan militer siap tempur membentuk barisan pagar betis . Semua kita merasa seperti dahulu, kita jaga depan, tapi mahsiswa lain gentar karena melihat pasukan siap tempur masuk kampus lewat pintu depan dengan cepat, paling depan Kopasus pake kamuplase, mobil jeep dan truk CPM ikut bergerak masuk.
Yang membuat ragu anak Yon I bila pasukan militer bermaksud mengepung ITB pada waktu itu adalah karena di barisan depan gelar pasukan tersebut pasukan Baret Merah yang sudah kita kenal baik, bahkan diantaranya memang para pelatih kita.
Karena pasukan semakin mendekat, maka salah satu anggota Yon I (Aden S Ottoloewa) memerintahkan para mahasiswa mundur ke lapangan basket. Sementara itu kita (anggota Yon I /ITB) berusaha telpon ke DANMEN Kol. TNI Djoni Abdurachman untuk mendapat pengarahan, namun tidak berhasil. Pasukan militer terus merangsak masuk mendorong kita semua sampai ke lapangan basket, sedangkan kelompok mahasiswa tercerai berai di dalam kampus ITB. Tak ada satupun komandan dari pasukan militer yang dapat dimintai keterangan, dan prajurit-prajurit itu terus bergerak membubarkan.
Sementara itu dalam situasi yang kacau dan panik tidak ada mahasiswa yang diam, mereka berteriak dan protes serta mencoba melawan dengan histeris. Anak-anak Yon I yang berada di lapangan basket membentuk lingkaran dengan berpegangan tangan melindungi mahasiswa lainnya berada di belakang, untuk mencegah bentrokan fisik. Tetapi usaha anak-anak Yon I ditanggapi oleh pasukan dengan menarik satu persatu dan mendorong masuk ke dalam truk tertutup yang sudah di siapkan di dekat lapangan bola yang di jaga CPM.
Jerit tangis dan histeria mahasiswa juga ditanggapi dingin dan tanpa dialog, prajurit militer tetap menangkapi terus, yang melawan terkena popor senjata atau bayonet. Sebagian mahasiswa yang lain sudah berhamburan keluar kampus.
Kami yang ditangkap (mahasiswa dan anggota Yon I) kemudian dibawa ke POMDAM di jalan Jawa, di tempatkan di ruangan aula yang dijaga pasukan bersenjata lengkap. Tanpa dialog, komunikasi atau diskusi, bahkan tidak diperiksa sampai akhirnya dilepas begitu saja pada jam 22.00 wib malam. Malam itu juga kita lapor DANMEN , dan protes atas kejadian dan sikap militer yang tidak menyenangkan tersebut.
Keesokan harinya kami semua baru tahu , bahwa Kampus ITB telah dikosongkan dengan paksa dan siapapun tidak siperkenankan masuk oleh Komandan Militer yang bertugas di sana. Sewaktu saya hendak mengambil motor yang di parkir di kampus , sempat melihat Posko Batalyon I sempat digeledah oleh POMDAM.
Batalyon tidak bisa masuk kampus , karena kampus dan posko dikuasi tentara. Agus Daryat selaku Danyon, kemudian memindahkan Posko ke ruang darurat di Kantor Rektorat ITB di Jl. Tamansari. Koordinasi dengan biro rumah tangga ITB minta dukungan logistic karena ruangan kosong, kita dikasih meja dan dapat makan, 3 x sehari. Kita ikut memantau keadaan kampus. Pada hari yang sama, perintah dari Presiden semua media di beredel tidak boleh terbit. Perintah Pangkopkamtib, mahasiswa di tangkapi, kampus di duduki dan semua kegiatan kampus dibekukan.
Beberapa hari kemudian, ketika ada acara di Aula Barat, saya bertemu dengan Komandan Brigade yang memimpin pasukan pendudukan kampus, yaitu Kol TNI Oyiek Soeroto, disampaikan protes kami kepadanya, yang telah kami kenal sebagai tokoh pendiri Yon Inti. Beliau hanya tertawa dan dengan penuh ke bapakan memeluk serta mengajak memasuki Aula Barat. Kini, kita dapat memahami arti semua peristiwa itu.
Rumah Rektor Diberondong Waktu itu Rek tor Prof. Dr. Ing. Iskandar Alisyahbana di undang rapat Dirjen Pendidikan Tinggi di Jakarta, bersama pembantu Rektor II Harsono. Pagi-pagi berangkat . tetapi Rektor tidak boleh masuk, walapun sudah menunjukkan undangannya. Pernyataan yang muncul saat itu Rektor ITB bukan lagi Prof. Dr. Ing. Iskandar Alisyahbana, namun belum ditunjuk siapa penggantinta. Harsono boleh masuk rapat karena belum diberhentikan.
Saat Rektor sudah pulang, malam hari kita lihat ada jeep kanvas dan motor keliling. Tak lama kemudian penumpang jeep dan motor turun sambil melepaskan rentetan tembakan . Kita dengar, bahkan lari mau mendekat, tapi Iwan Z G larang takut jadi sasaran tembak. Saat mereka pergi batalyon datangi lokasi kumpulkan selongsongan peluru. Rektor tidak terluka, karena yang diberondong ruangan praktek dokter Ibu Iskandar. Rektor lapor ke Pangdam, batalyon lapor ke Pomdam dengan Mayor Arifin . Kita lapor , siapa pak yang punya peluru ini, Jawabnya aparat, namun tidak ada komentar selanjutnya. . Besok kita tahu di laporkan ke Panglima. Akhirnya kejadian itu tidak diteruskan.
Selama kampus di duduki oleh militer tidak ada satupun civitas academica yang berada di kampus. Hal ini juga disadari oleh pimpinan militer, sebab dapat mengganggu jalannya kehidupan ITB yang mempunyai tanggung-jawab terhadap riset-riset dan kegiatan ilmiah untuk kepentingan dunia ilmu pengetahuan. Baberapa karyawan akhirnya diperbolehkan masuk , terutama yang berkaitan dengan labolatorium. Kemudian beberapa pimpinan labolatorium, dekan dan tata usaha jurusan. Mahasiswa tetap belum boleh ,masuk . Mereka bergerombol, dan kadang-kadang naik sepeda motor rombongan meneriakkan yel-yel perjuangan sambil melewati jalan Ganesha. Anggota Yon I yang berada di ruangan Rektorat ITB telah berhasil mengkonsolodasikan diri walaupun dengan anggota pasukan sangat kecil, tetapi kita merasa punya semangat juang seperti pasukan satu resimen.
Suatu ketika, beberapa anggota Yon I diundang oleh Pak Wiranto (selaku anggota Rektorium ITB) untuk makan malam di rumahnya. Pada waktu makan malam kita diajak berdialog tentang situasi kampus ITB, dan mendiskusikan langkah-langkah yang diperlukan, karena sebentar lagi akan kedatangan mahasiswa baru.
Dalam pengarahannya, Pak Wiranto meminta kepada kita untuk menjadi “jembatan” yang bisa mengambil alih “secara halus” tanggung jawab pengamanan kampus dari militer. Transisi peralihan tersebut tidak boleh menimbulkan gejolak yang dapat merugikan ITB, dan kehidupan kampus ITB harus berjalan normal lagi, tanpa ada yang merasa kalah dan menang. Dia juga memberi pesan “ Kalau kamu sukses kamu tidak di ingat lagi, tetapi jika kamu tidak berhasil kamu yang disalahkan.
Untuk tugas yang berat tersebut ITB hanya mempercayakan kepada Yon I dan ditekankan pula agar menjalaninya dengan penuh pengabdian, tidak mengenal menyerah dan harus berhasil.
Pak Wiranto bersama DANMEN kemudian menunjuk 16 orang anggota Yon I untuk tugas tersebut, yang kemudian dikenal dengan G-16. Berdasarkan Surat Perintah Rektor ITB No.006/Rek/78 tertanggal 25 Fenruari 78, saya ditetapkan sebagai Dan Team. Selama bertugas ternyata hanya 15 orang yang aktif hadir, karena waktu itu Al Johnet tidak berada di Bandung. Karena itu pada dinding yang ada kolom namanya tidak terdapat baret biru, tetapi tercantel gergaji kayu mencerminkan sikap kita yang siap bekerja , bergandengan tangan seperti gigi gergaji yang tajam, walaupun gergaji tegirsebut tidak lengkap giginya tetap ampuh untuk memotong siapa saja yang berusaha menghalangi tercapainya tujuan ITB.
Tugas pertama berupa penerimaan sarana, fasilitas di dalam kampus ITB satu persatu dari POMDAM kepada ITB, dimulai dari gedung-gedung sampai kamar-kamar unit kegiatan di Student Centre. Radio 8-EH diserahkan kembali tetapi radio transsmitternya sudah tidak ada, padahal waktu itu 8-EH adalah termasuk radio FM yang kuat daya pancarnya.
Sewaktu semua fasilitas sudah diserah terimakan , angota G-16 masih harus menahan diri, karena Posko belum diserahkan. Posko masih dipakai pasukan keamanan yang waktu itu dipimpin Letkol TNI Suryadi Sudirdja. Sehingga Posko G-16 menempati ruangan Telkom dekat Aula Barat.
Tugas kedua adalah membimbing mahasiswa baru di dalam memasuki kehidupan kampus. Mungkin mahasiswa angkatan 1978 pada waktu itu sudah mendengar tentang situasi kampus ITB, tetapi mereka heran sewaktu masuk kampus hanya ada 15 anggota Yon I yang melatih PBB, dan membimbing tentang tata cara mengikuti upacara Sidang Senat Terbuka Penerimaan Mahasiswa Baru.
Bisa dibayangkan bagaimana suasana saat itu, dimana mahasiswa senior yang berada di luar kampus berusaha untuk menggagalkan dan mengganggu acara tersebut. maka atas permintaan kami, pimpinan ITB menyetujui tambahan Yon I yang bertugas dengan nama R-17, dengan komandan yang ditunjuk Iwan ZG. Karena semua mahasiswa senior sudah kenal siapa Iwan ZG, maka mereka tidakmau cari “penyakit” dengan mengganggu mahasiswa baru. Dan akhirnya rangkaian acara Senat Terbuka tersebut dapat berlangsung dengan hidmat dan tertib.
Selama menunggu situasi dan kondisi terbaik untuk serah terima kampus ITB dari pasukkan militer, maka dilakukan konsolidasi G-16 dan R-17, dimana kita memutuskan untuk membuat program Rescue, yaitu mencoba mencari dan menyadarkan kembali anggota Yon I yang selama ini terbawa arus dan memusuhi induk pasukannya. Usaha ini tidak bisa mengembalikan seluruh anggota Yon I kepada keadaan semula, tetapi walaupun kekuatan personil tidak utuh lagi, ternyata semangat juang dan kebanggaan Corps terasa lebih kuat. Kampus ITB dikembalikan pada tanggal 19 April 1978, dan akhirnya G-16 dan R-17 dibubarkan oada 16 April 1978. Kehidupan Batalyon I kembali seperti semula dibawah pimpinan Agus Daryat selaku Dan Yon I ke-9.
Usaha-usaha yang ingin merusak nama Corps dan Mahawarman. Contohnya dalam peristiwa 1978, ada kejadian yang membahayakan kedudukan Yon I. Kejadian pertama pada waktu prolog pendudukan kampus, dimana timbul isu-isu tentang adanya gerakan sebuah organisasi ma ssa yang mau menyerang Kampus ITB. Sedemikian meyakinkannya isu tersebut, sehingga di ITB di berlakukan “jam malam” oleh mahasiswa ITB, dan penjagaan kampus oleh himpunan-himpunan mahasiswa.
Banyak di antara anggota Yon I yang di tempatkan sebagai pimpinan-pimpinan di himpunan tersebut, membuat pertahanan di tempat masing-masing. Kemudian beberapa mahasiswa datang ke Posko menemui saya, dan menawarkan senjata untuk pertahanan kampus. Dengan hati-hati dan penuh kewaspadaan tawaran tersebut kita tolak, dengan alasan bahwa Yon I sudah cukup terlatih menghadapi situasi tersebut, dan disamping itu kita sudah punya senjata organik di Posko.
Belakangan, setelah kejadian pendudukan kampus, kita semua baru menyadari bahwa ternyata tindakan penjagaan kampus dan jam malam telah membuat ITB menjadi eksklusif dan tertutup, sehingga militer punya alasan kuat untuk dapat menduduki kampus dan menertibkan, serta menormalkan kehidupan kampus.
Yang lebih konyol lagi, keesokan harinya muncul berita di televise, dan media masa lain bahwa di Kampus ITB di temukan senjata-senjata yang di asumsikan anak-anak ITB mencoba membentuk gerombolan liar yang di persenjatai.
Untung lah, yang di temukan oleh Pomdam, pada waktu itu adalah alat intruksi di Posko, berupa senjata genggam, senjata panjang, mortir, beserta peluru-peluru hampa, sehingga dengan cepat hal ini dapat di tangkis oleh kita, bahkan di bela mati-matian oleh Mayjen (Purn) Mashudi yang menyatakan bahwa tuduhan ITB di persenjatai adalah tidak benar !.
Sewaktu itulah kita baru sadar, bahwa tawaran senjata tersebut betul-betul memang pancingan yang di buat oleh sekelompok tertentu yang ingin mengdiskreditkan kita semua sebagai warga ITB dan Yon I ITB. Cepat-cepat kita mencari orang-orang yang dulu menawari senjata tersebut, tapi mereka semua sudah lenyap, tidak terlihat lagi batang hidungnya.
Adalagi suatu peristiwa yang bertujuan merusak citra Corps Yon I, yaitu saat pendudukan kedua, dimana tidak satupun mahasiswa yang berada di Kampus ITB. Pada waktu itu karena ada tugas yang di emban dari pimpinan ITB, beberapa anggota Yon I diperintahkan untuk menjaga Kampus ITB. Hal ini menimbulkan prasangka , seolah-olah Yon I anteknya ABRI yang menduduki kampus. Karena memang terlihat berada di kampus bersama ABRI, sedangkan mahasiswa lainnya tidak boleh masuk, maka beberapa tokoh mahasiswa kemudian membuat suatu acara di depan tiang bendera, dekat Posko untuk membacakan suatu pernyataan yang di antaranya mempertanyakan status Batalyon I Mahawarman. Dari Staff I batalyon kita mengetahui bahwa para pemimpin mahasiswa tersebut di motori oleh anak tambang yang terkenal radikal. Maka kita mulai mengatur siasat, dan Iwan ZG (mantan Dan Yon ke-7) diminta untuk memimpin regu , guna mencegah pembacaan pernyataan tersebut. Iwan ZG mengajak beberapa anggota Yon I yang berasal dari pembacaan pernyataan tersebut. Untunglah hal yang buruk tidak terjadi, dan massa mahasiswa membubarkan diri dengan perasaan bingung. Tindakan Yon I selanjutnya adalah mendatangi Posko dari kelompok mahasiswa tersebut, yang berada di salah satu rumah mahasiswa Tambang, yaitu di jalan Dipati Ukur. Ketika itu saya selaku Dan-16 di damping Abadi Purnomo (S II) dan Sonny Djantika (S III) datang melakukan dialog dengan sekelompok mahasiswa tersebut yang dipimpin W. Tambunan, yang diberi jabatan oleh temen-temennya sebagai Komandan Brigade.
Dialog yang berjalan hangat dan alot dapat kita selesaikan dengan baik, dan telah menumbuhkan saling pengertian antara ke dua belah pihak. Di antara mahasiswa yang berkelompok itu memang terdapat anggota Yon I yang belum mengerti tentang peran dan sikap yang harus dilakukan, sehingga terbawa arus dan ikut menentang kita.
Dalam setiap kejadian semacam ini memang di perlukan anggota-anggota Yon I yang tangguh dan berani mengambil resiko, meskipun dia harus mengorbankan perasaannya di depan teman-teman dekatnya sesame mahasiswa ITB.
Ada lagi satu kejadian yang aneh sewaktu kita semua berada di Posko darurat di Jalan Tamansari (Rektorat ITB). Tiba-tiba salah satu perwira Pomdam mengajak salah satu anggota Yon I untuk melihat kampus. Semula kita ingin ikut, karena sudah lama tidak melihat kampus, tetapi setelah kita tahu bahwa kita harus naik jeep terbuka (ex Vietnam), maka kita menolak ikut. Jeep Vietnam tersebut kita kenal sebagai kendaraan yang di pakai oleh Pasukan ABRI yang patrol di sekitar kampus, sehingga menimbulkan trauma bagi mahasiswa ITB yang melihatnya. Sewaktu kita mengikuti jeep tersebut menggunakan sepeda motor, ternyata kita bertemu dengan sekelompok mahasiswa yang heroic, berteriak-teriak dan menyoraki jeep tersebut. Bisa di bayangkan bila kita berada di dalam jeep tersebut, dan berjalan melewati kelompok mahasiswa tadi. Untunglah kita terhindar dari situasi yang tidak menguntungkan tersebut.
Bubarkan MENWA adalah issue yang selalu terdengar dari sejak masa-masa kelahirannya di tahun enampuluhan. Kelihatannya bukan sekedar karena tidak senang baju hijau di Kampus, atau kesal dengan sikap-sikap jagoan atau semi militer dikampus, tetapi kita harus mewaspadai sikap-sikap anti MENWA tersebut yang terus menerus dipelihara secara konsisten sampai saat ini. Sama dengan para senioren tersebut, saya dapat merasakan, bahwa semua ancaman, tantangan, gangguan dan hambatan tersebut, secara tidak langsung sebenarnya akan mendewasakan kita, asalkan kita tidak larut terbawa emosi. Mas Joni PS. mengingatkan bahwa issue bubarkan MENWA pernah di lontarkan oleh DN AIDIT pada tanggal 27 September 1965, persis tiga hari sebelum PKI berontak. Nah, sekarang, siapa saja yang selalu melontarkan issue itu???? Mari kita cermati semua aksi-aksi anti MENWA tersebut dan tariklah kesimpulan.
ikut selama 3 bulan,
Di ikutkan dalam kontingen pasukan Garuda diikutkan, dulu itu ada Puscadnas, Menwa ikut dalam pasukan PBB dengan status bintara cadangan ke Israel. Komandan pasukan panser adalah dari menwa. Panser –panser di kendalikan oleh Menwa
Operasi sosial pernah dilakukan Menwa Yon I berupa operasi bantuan bencana alam. di Ciamis. Komandan operasi di pimpin Djoni Saleh sebagai Aster Yon I, Dan Yon I, Budiono. Daerah Selatan Ciamis selalu mengalami banjir besar. Suatu kali banjir besar Yon I- ITB kirim satgas Operasi Bakti. Ada 6 kompi gabungn dari berbagai akademi, seperti akademi perawat, perhotelan . ITB yang bikin survey, yang kemudian dari situ bikin konsep bagaimana agar tidak banjir lagi. Oleh PU dilaksanakan, sehingga tidak terjadi banjir lagi.
Batalyon I juga pernah melakukan operasi-bhakti membuat pipanisasi air bersih di satu desa/kampung di wilayah Lembang, Proyek ini diresmikan oleh Gubernur Jawa Barat, Aang Kunaefi.
Juga pernah membuat kincir/roda air untuk melahirkan tenaga-listrik di desa terpencil Malasari di wilayah Kabupaten Bogor. Batalyon V pernah membuat jalan desa di wilayah Ciwidey, penduduk setempat menamakan jalan tersebut Jalan Mahawarman. Qoim (mantan DanYon IV) berhasil membangun sekolah SD untuk anak miskin di wilayah Purwakarta dengan Bantuan Bupati Purwakarta Operasi Bhakti ini adalah dalam rangka implementasi Landasan Idiil Menwa Tri Dharma Perguruan Tinggi, sekaligus menwa sebagai Laboratorium Kepemimpinan.
Oleh: Joslin Sibarani (Angkatan 26)
Joslin Sibarani adalah angkatan 26 Menwa ITB, pernah menjabat sebagai Kepala Seksi Intelejen dan Pengaman Menwa ITB. Selain penugasan di Timor-timor Joslin Sibarani juga anggota Operasi Intelejen untuk menyelediski dan mengamankan penyerangan Markas Menwa ITB dengan Bom Molotov pada bulan agustus tahun 1992.
Setelah tiga hari berada di Kota Dilli, pasukan akhirnya dibagi kedalam beberapa team. Ada yang beranggotakan lima hingga sepuluh orang, bergantung kondisi pada daerah bertugas. Saya sendiri di tunjuk untuk melaksanakan tugas di daerah Pulau Atauro,suatu daerah yang sangat mengerikan (menurut cerita orang-orang sana). Pulai ini terkenal dengan sebutan Pulau Kambing, karena di sana memang banyak kambing.
Pulau Atauro ini pernah di jadikan tempat pembuangan tahanan perang, yaitu ketika ABRI menghadapi pemberontakan Fretilin. Walaupun pulau ini dapat di lihat dari Pantai Pasir Putih Dilli, namun sangat sulit di capai. Badai dan ombak yang menghadang sangat besar. Pasukan menunggu dengan harapan kondisi cuaca akan membaik. Setelah beberapa hari menunggu ternyata kondisi cuaca tidak kunjung membaik. Apa boleh buat, rencana berangkat ke pulau tersebut terpaksa di gagalkan. Harapan saya untuk bertugas di pulau ini pupus sudah, dengan datangnya surat perintah baru yang isinya, saya di pindah tugaskan ke wilayah Metinaro, yang berada sekitar 15 km di sebelah Timur Kota Dilli.
Sebelum team Metinaro berangkat bertugas, kami sempat menyaksikan team yang sedianya berangkat ke Kovalina kembali lagi ke Dilli karena kendaraan yang mereka tumpangi mendapat kecelakaan. Kendaraan mereka tersangkut di sebuah pohon, dan hampir masuk jurang akibat bersenggolan dengan mobil militer yang datang dari arah berlawanan. Ternyata mobil militer ngebut karena diserbu Fretelin. Untunglah berkat lindungan Tuhan semua anggota team selamat.
Team Metinaro merupakan kelompok kecil, bahkan paling kecil dari seluruh team yang tersebar di Timor-Timur, angotanya hanya sebanyak lima orang saja, dan semuanya laki-laki yang berasal dari Aceh, Padang, Bandung, Jakarta dansatu putra daerah.
Dari Kota Dilli team berangkat sekitar jam 10.00 waktu setempat langsung menuju kecamatan.A nggota team memperkenalkan diri kepada Aparat Tripika dan regu team Teritorial lain yang sedang bertugas saai itu. Untuk menunjang operasi, pasukan membuat base camp di sebuah rumah kosong yang sudah lam tidak di huni. Hal itu dimaksudkan untuk mempermudah distribusi pasukan dan konsolidasi sehari-hari. Kondisi Base Camp cukup tenang karena berdekatan dengan kantor Koramil kecamatan Metinaro dan RTT Batalyon 632, sehingga cukup satu orang piket pada malam hari secara bergantian.
Rencana kerja pun segera di susun untuk mempermudah operasi. Pertama kita memikirkan segala sesuatu yang perlu di benahi. Daerah bisa dikatakan aman karena saat itu keadaan memang betul –betul di kuasai. Sasaran kita hanyalah penduduk setempat yang masih harus di rangkul, agar bisa diajak kerjasama.
Pasukan pun menyebar ke segala penjuru perkampungan untuk mengadakan pendekatan, mulai dari mengajak minum tuak, membakar ikan, hingga gotong royong. Pendudukan sangat sulit untuk di kendalikan dan di kerahkan. Mereka tidak senang dengan kehadiran orang-orang berpakaian hijau dan baret warna ungu, yang memang mirip dengan pasukan khsusus.
Dengan bersusah payah kita terus berusaha membuka komunikasi dengan para penduduk. Ada yang melalui ibu-ibu PKK, anak-anak sekolah dan karang taruna. Untuk anak sekolah kita membuka lesson khusus, walaupun sulit untuk mengajak mereka. Di Kecamatan Metinaro baru ada SD dan SMP, yang menurut mereka setara dengan sarjana di daerah lain di Indonesia. Kita menghadapi berbagai tantangan dalam mendekati masyarakat, dari masyarakat biasa sampai unsur pemerintah tidak ada bedanya, terutama masalah buta hurup. Satu-satunya wilayah Indonesia yang mengangkat pegawai negeri orang yang masih buta hurup adalah Timor-Timur.
Akhirnya tantangan yang ada bisa di lalui. Penduduk mulai mau menerima anggota team, dan bahkan telah berbaur sebagai anggota keluarga. Sasaran berikutnya adalah menjelajahi penduduk yang berada di daerah pegunungan. Dengan semangat perjuangan yang tinggi pasukan melintasi hutan dan mendaki gunung. Kita berjalan terus sekalipun dengan perasaan was-was. Perbekalan sudah pasti seadanya, yaitu makanan penduduk setempat, seperti jagung rebus dan bakar.
Satu demi satu gunung terlalui dan penduduk dapat di temui. Dengan bantuan TBO (Tenaga Bantuan Operasi) kita berkenalan dengan para penduduk, dan mengingatkan pada mereka agar tidak memberontak.
Kurang lebih sebulan bertugas di lapangan, tiba-tiba seluruh pasukan di gemparkan oleh sebuah berita duka cita. Dua orang anggota tema dari Los Palos bersama beberapa orang anggota Batalyon 512 dari Malang, gugur sebagai Kesuma Bangs. Ketika itu mereka sedang menjalankan tugas, masing-masing dari Kodam IV Dipenogoro, dan dari Kodam Jaya. Memang adalah resiko, kalau medan perang itu ganas, dan butuh pengorbanan nyawa. Hal itu dapat di maklumi, namun tak urung air mata tetap bercucuran.
Kejadian tersebut tidak mengurangi semangat juang para anggota, bahkan makin memotivasi untuk terus berjuang, terlihat dari hasil karya anggota team yang semakin baik di seluruh wilayah Timor-Timur.
Semakin lama bertugas, suasan semakin berbeda. Seolah-olah ada ikatan bathin antara penduduk setempat dengan anggota team. Mereka pun semakin terbuka, semakin ingin berkesempatan untuk melihat seluruh wilayah Indonesia. Kalau sebelumnya masyarakat memanggil sebutan “ Tentara Jawa”, perlahan mulai berubah dengan sebutan “Tentara Indonesia”. Suasana terjalin semakin akrab.
Waktu pun berlalu, surat perintah penarikan pasukan datang dari Dilli. Dengan berat hati pasukan mengucapkan selamat berpisah kepada seluruh masyarakat di Kecamatan Metinaro. Dengan upacara sederhana, namun meriah, dan dengan tetesan air mata penduduk melepaskan kepergian kami ke Kota Dilli.
Setelah menyelesaikan laporan purna tugas, dengan resmi tugas selesai. Dengan upacara yang sangat hikmat, tugas “Operasi Teritorial XI” di nyatakan selesai. Banyak pengalaman dan kebanggaan yang saya dapatkan mengikuti “Operasi Teritorial XI” ini, disamping “Setya Lencana Seroja”, saya berharap di kemudian hari , masih banyak mahasiswa yang memiliki jiwa kebangsaan yang mau memberikan baktinya bagi kemajuan negeri kita ini.
Pada waktu awal pembentukan PALAPES di Malaysia, Menwa Indonesia dijadikan inspirasi awal dan studi banding mereka, baik secara konsep maupun implementasinya. Namun, kini PALAPES telah berkembang pesat meninggalkan saudaranya di Indonesia
Pada tanggal 19 – 23 Juni 2008, delegasi Resimen Mahasiswa Mahawarman Batalyon I / ITB (Menwa Yon-I/ITB) melawat ke Malaysia dalam rangka kunjungan balasan ke Pasukan Latih Pegawai Simpanan Universiti Malaya (PALAPES UM). PALAPES adalah organisasi perwira cadangan yang ekivalen dengan Menwa di Indonesia. Pada Desember 2007 lalu, delegasi PALAPES UM telah terlebih dahulu melakukan kunjungan ke Menwa Yon-I/ITB.
Delegasi Menwa Yon-I/ITB terdiri dari 3 anggota aktif Menwa Yon-I/ITB, yaitu Enrico Aryyaguna (T. Penerbangan 2004), Kenny Enrich (T. Informatika 2006), dan Reni Novyianti (T. Metalurgi 2006). Mereka di dampingi oleh Dr. rer. nat. Wahyudi W. Parnadi dari KK Ilmu dan Teknik Geofisika selaku Pembina Menwa Yon-I/ITB, serta Dr. Ir. Iftikar Z. Sutalaksana dari KK Lab. Perancangan Sistem Kerja dan Ergonomi Teknik Industri mewakili Corps Menwa ITB , yaitu wadah alumni dan anggota aktif Menwa Yon-I/ITB yang menjadi support system kegiatan Menwa Yon-I/ITB.
Agenda utama kunjungan adalah menghadiri “Istiadat Pentauliahan Di Raja Pegawai Kadet” (Upacara Pelantikan Diraja Perwira Kadet), yang melantik sekitar 1500 orang perwira kadet PALAPES dari seluruh Perguruan Tinggi Negeri se-Malaysia, yang dilaksanakan pada hari Sabtu, 21 Juni 2008. Secara tradisi, pelantikan dilakukan oleh Yang Dipertuan Agung, namun tahun ini di wakili oleh Yang Dipertuan Besar Negeri Sembilan Darul Khusus (Sultan/pemimpin dari Negeri Sembilan). Para kadet di lantik setelah menjalani pendidikan dan pelatihan selama 3 tahun.
Berbeda dengan pembinaan Menwa di Indonesia yang semenjak tahun 2000 hanya dibina oleh PERTI (perguruan tinggi) masing-masing, PALAPES di Malaysia di bina oleh PERTI tempat satuan PALAPES bernaung dan juga Departemen Pertahanan sebagai penyedia perlengkapan, peralatan, dan pelatihan kemiliteran. Dalam struktur komando setiap unit PALAPES, Naib Canselor (Rektor) bertindak selaku Komandan PALAPES (jabatan seremonial), sementara Wakil Komandan selaku pengatur kegiatan harian di jabat oleh dosen dari PERTI tersebut, dimana dosen tersebut juga merupakan lulusan PALAPES. PALAPES juga merupakan suatu Pusat Tanggung Jawab sendiri dan tidak berada di bawah HEPA (WRMA).
Sebagai bagian dari universitas tertua di Malaysia (berdiri 1905), PALAPES Universiti Malaya memperoleh dana pembinaan tahunan dari pemerintah sebesar 7,5 milyar rupiah, dengan sekitar 1,7 milyar rupiah dari Universitas itu sendiri. Angka tersebut sangat fantastis di bandingkan dengan anggaran tahunan Menwa Yon-I/ITB sebesar 90 juta rupiah yang nyaris semuanya di peroleh dari Corps Menwa ITB (Alumni).
Program padat 5 hari hasil rancangan panitia dari PALAPES Universiti Malaya memberikan banyak manfaat bagi keberadaan dan pengembangan Menwa Yon-I/ITB sebagai Unit Kegiatan Mahasiswa bidang Kepemimpinan/Pendidikan, dan sebagai wadah Bela negara. Beberapa manfaat tersebut antara lain.
pengetahuan mengenai perancangan dan implementasi program PALAPES sebagai wadah pelatihan dan pembinaan kepemimpinan berwawasan kebangsaan, pengintegrasian sipil dan militer sebagai sistem efektif (Total Defence) dalam program Bela Negara, serta realisasi Universiti Malaya dalam membentuk warganegara yang sempurna, berdisiplin, serta terlatih dalam pertahanan dan ketahanan nasional.
Oleh: Hendry Akbar Putra Nasution (MENWA YON I/ITB ekek 33)
Pada tanggal 26 Desember 2004, Indonesia dikejutkan oleh dahsyatnya gempa 9.3 scala Richter yang disusul dengan gelombang tsunami di sepanjang pantai barat provinsi Nangroe Aceh Darussalam dan Pulau Nias (Sumatera Utara). Suasana di Mako Yon I saat itu sedang ramai dengan Anggota aktif Yon I, mulai dari yang paling senior Ekek ’32 sampai termuda Ekek ’38 yang baru selesai melaksanakan rangkaian operasi Pembinaan Kompi Remaja (Binkija) dan Operasi Rajawali. Bersama beberapa orang alumni muda Yon I yang segera merapat ke Mako, kami mengumpulkan informasi dari berbagai media dan kemudian berdiskusi tentang kemungkinan berangkat ke NAD sebagai bagian dari tindakan nyata terhadap Dharma ke-3 Tri Dharma PerguruanTinggi yaitu Pengabdian Masyarakat.
Pada tanggal 28 Desember 2004 Rektorat ITB mengumumkan akan mengirimkan tim relawan yang akan diberangkatkan ke NAD dan kepada Mahasiswa yang berkeinginan menjadi relawan harus melaporkan diri ke tim yang dibentuk oleh Rektorat dan KM ITB. Hal ini mengingat tingginya resiko tugas tersebut akibat bencana yang ditimbulkan, keterbatasan informasi dan ditambah masih rawanya konflik bersenjata dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di provinsi NAD. Yon I langsung merespon pengumuman tersebut dengan menugaskan 5 anggotanya dan mendapat kepercayaan dari Rektor ITB untuk memimpin tim pionir tersebut. Tim Yon I terdiri dari Ezra Adimenggala (Ekek ’31, Dantim), Hendry Nasution (Ekek ’33, Wadantim), Nano Sukarno (Ekek ’29), Laury Sanjaya (Ekek ’31) dan Suhatril ‘Ucok’ (Ekek ’38). Selain anggota Yon I, ada lagi 5 orang Mahasiswa dari Keluarga Mahasiswa Pecinta Alam Ganesha (KMPA-G) ITB dan Perkumpulam Studi Ilmu Kemasyarakatan (PSIK) ITB yang sebelumnya sudah pernah terlibat menjadi sukarelawan bencana yaitu Ical (Astronomi), Alamsyah (Astronomi), Agni (Biologi), Fajar (Seni Rupa) dan Andi (Geofisika & Meteorologi).
Persiapan singkat segara dilakukan dengan membeli perlengkapan ransel T-60, sepatu PDL dan peralatan survival perorangan. Yon I didukung oleh Pak Iftikar Z Sutalaksana (Dosen Teknik Industri, mantan Ketua Corps Menwa ITB), Pak Tutuka Ariadji (Dosen Teknik Perminyakan, mantan Ketua Corps & Pembina Menwa ITB) dan Pak Khrisna S Pribadi (Anggota Corps Menwa ITB, Dosen Teknik Sipil ITB yang saat itu juga menjadi tim rektorat ITB untuk penanggulangan bencana tsunami) melakukan Koordinasi dengan rektorat ITB, KM ITB dan Pangkalan TNI-AL Bandung. Rencana awalnya adalah berangkat dari Kampus ITB membawa bantuan kemanusiaan yang terkumpul I ITB dan bergabung dengan tim Kodam III/Siliwangi untuk mengoperasikan unit truck penjernih air (water treatment). Rutenya perjalanan darat dari Bandung menuju dermaga Kolinlamil Tanjung Priok, dan akan diteruskan lewat perjalanan laut dengan kapal perang TNI-AL menuju Banda Aceh.
Dengan upacara singkat di kampus ITB, Tim yang berjumlah 10 orang diberangkatkan tanggal 30 Desember 2004 pagi menuju Tanjung Priok. Tim berangkat naik bus ITB dan barang-barang bantuan diangkut dengan truk milik TNI-AL. Sampai di Tanjung Priok sekitar jam 3 sore, langsung meghadap pejabat di Kolinlamil untuk melakukan koordinasi dengan TNI-AL berbekal surat pengantar dari Komandan Pangkalan TNI-AL Bandung Ibu Kolonel (K/W) Chrisna Paat. Jadwal keberangkatan dengan kapal TNI-AL belum dapat dipastikan pada hari itu karena butuh persiapan termasuk menunggu truk unit penjernih air dari Kodam III/Siliwangi. Setelah adanya konfirmasi bahwa tim tidak akan diberangkatkan hari itu, Tim kemudian berkoordinasi dengan Korps Menwa ITB (Pak Priyo P, Pak Hendro S dan Pak Susilo S) untuk mencari alternative transportasi lainnya dan kemudian tim bergerak ke mess Perwira TNI-AU di Halim Perdana Kusuma untuk istirahat dan melakukan persiapan berikutnya.
Keesokan harinya mulai dari tanggal 31 Desember 2004, mulai dilakukan rapat koordinasi dengan Corps Menwa ITB. Beberapa anggota Corps Menwa ITB lainnya yang berperan sangat aktif diantaranya adalah Pak Ahmad Bukhari Saleh, Pak Indra Dalel, Pak Koni Ekantono, Pak Iwan Munajat, Pak Dani Sudrajat, dll. Dalam rangkaian rapat tersebut disepakati bahwa tim relawan ITB akan bergabung bersama dengan tim dari Grup Medco Energi & Apexindo (Transportasi dan Pemboran sumur air), Mer-C (tim Medis dan posko kesehatan) dan Andrawina Praja Sarana (dapur umum) dengan tujuan Meulaboh. Gabungan tersebut diberi nama Satgas Rajawali dan dipimpin oleh Pak Priyo Pribadi. Rute yang direncanakan adalah naik pesawat udara ke Batam, kemudian dari Batam naik kapal menuju Pelabuhan Belawan Medan untuk selanjutnya melalui jalan darat dari Medan menuju Sidikalang – Subulussalam – Tapak Tuan dan tujuan akhir kota Meulaboh sebagai salah satu daerah menerima dampak terparah dari bencana tsunami tersebut. Sambil menunggu waktu keberangkatan, tim mendapatkan tambahan 5 anggota relawan Mahasiswa ITB [Benny Yusron (Teknik Sipil), Fajar (Teknik Industri), Okky Wahono (Teknik Elektro), Aad UKJ (Teknik Industri) dan Wildan Setiabudi (Teknik Lingkungan)] yang baru dilatih dalam instalasi dan pengoperasian unit penjernih air portable buatan LAPI ITB, tambahan sumbangan logistic titipan dari masyarakat Jakarta, titipan dari KSAD dan peralatan ala ‘Mc Gyver’, telepon satelit, dll. Mobil Mabes TNI yang dioperasikan oleh Yon I sudah dibawa ke Jakarta oleh Pak Nomo Ruswanto (Ekek ’30), Pak Riou Andreas (Ekek ’31) dan Pak Eddy Samsoleh (Danyon, Ekek ’35) namun akhirnya tidak jadi disertakan bersama tim.
Proses packaging dan loading logistic bantuan dilakukan sampai menjelang dini hari tanggal 05 Januari 2005. Kemudian pagi harinya tim berangkat dengan pesawat komersial menuju Batam dan logistic diangkut menggunakan pesawat cargo. Tiba di Batam, tim diistirahatkan sejenak di fasilitas milik perusahaan Purna Bina Nusa (PBN) disupport sepenuhnya oleh Pak Maryanto Ramli dari PBN. Setelah itu, menjemput cargo dan kembali merapikan packaging menggunakan pallet dan plastic, lalu membuat cargo manifest. Di Batam, ada lagi tambahan logistic sumbangan masyarakat Batam, genset, chain saw, beberapa drum solar, toran penampung air ukuran besar, dll. Total ada sekitar 50-an pallet yang dimuat di kapal MV. Wong yang dikomandani oleh Kapten kapal seorang Bapak dari Suku Menado. Berangkat malam itu juga dari pelabuhan Batu Ampar menuju Pelabuhan Belawan-Medan.
Perjalanan laut ditempuh dalam waktu 4 hari. Selama di atas permukaan laut, tim melakukan berbagai kegiatan untuk mengisi waktu antara lain saling berbagi cerita pengalaman, bermain kartu dan membantu penyaluran kreatiftas Fajar (Seni Rupa) dalam membuat spanduk. Saling berbagi cerita membuat kekompakan tim semakin solid. Suatu hal yang cukup unik dan menarik sebenarnya karena secara historis antara Yon I dengan unit PSIK sering terlibat dalam perdebatan sengit tentang isu-isu nasional dan kemahasiswaan di Kampus ITB. Setelah saling bertukar fikiran dan mengenal dekat satu sama lain, akhirnya bisa akrab. Bahkan saat itu ada komitmen bahwa jika kemudian hari ada ‘gesekan’ lagi antara 2 organisasi ini, maka cukup diselesaikan oleh tim Rajawali ini. Setiap malam dilakukan pembagian tugas piket untuk memastikan keamanan kapal dan muatannya karena adanya informasi dari Kapten Kapal bahwa perairan selat Malaka masih rawan pembajakan. Caranya dengan membagi giliran tugas piket 2 orang berada di bawah sinar lampu dekat haluan dan 2 orang lagi di buritan dengan sepatu dan celana PDL, kaos hijau lengan panjang dan pisau sangkur di pinggang. Jika waktu itu ada perompak, mungkin akan mengira kapal ini dikawal oleh aparat dan akan berfikir untuk melakukan kejahatan. Alhamdulillah aman dan perjalanan lancar sampai tiba di Belawan pada pagi hari tanggal 08 Januari 2005.
Setibanya di Pelabuhan Belawan, tim Rajawali mengawasi proses unloading muatan sampai semuanya diturunkan dari kapal dan dimuat di atas truck yang sudah dipersiapkan sebelumnya. Pak Priyo Pribadi dan Pak Hendro ikut bergabung dalam tim dan malamnya berangkat dari pelabuhan Belawan dengan menggunakan mini bus. Perjalanan darat dari Belawan diwarnai dengan adanya insiden pelemparan batu oleh preman setempat yang merusak kaca depan salah satu truk rombongan karena tidak memberikan uang pungutan liar (pungli), adanya salah satu truk pengangkut unit penjernih air portable yang terbalik di jembatan sungai dekat kota Sidikalang dan 1 truk tidak bisa melanjutkan perjalanan di daerah Subulussalam karena rusak mesin sehingga harus diganti dengan truk lainnya milik WIKA.
Tanggal 09 Januari 2005, dari Subulussalam iring-iringan truk bergabung dengan rombongan bala bantuan lainnya diantaranya WIKA, Adhi Karya dan organisasi off-road Indonesia melanjutkan perjalanan sampai dihentikan oleh aparat TNI di malam hari saat memasuki bukit sebelum daerah Bakongan yang masih rawan GAM. Setelah berkoordinasi dengan aparat TNI, rombongan Tim Rajawali diijinkan melanjutkan perjalanan sampai ke Bakongan. Namun ada 2 orang anggota tim Rajawali yang mengawal di truk WIKA terpisah di pos TNI Karena posisinya berada di urutan paling belakang. Saya yang termasuk salah satu diantaranya tidak dapat memejamkan mata sepanjang malam itu karena waspada dengan keadaan sekitar. Daripada bergabung dengan rombongan lain yang tidur di tenda-tenda peleton TNI, Saya memilih agak menjauh di dalam sebuah langgar kecil karena berfikir bahwa itu adalah tempat teraman yang kecil kemungkinan akan diserang. Saya mengamati hanya ada 4 prajurit TNI bersenjata lengkap yang berjaga memeriksa setiap kendaraan yang melintas di jalan pada malam itu. Rasanya malam itu teramat panjang berlalunya sampai masyarakat setempat mulai berdatangan menjelang azan subuh.
Pukul 6 pagi tanggal 10 Januari 2005, rombongan yang terpisah bergerak kembali dan bergabung dengan tim Rajawali di daerah Bakongan. Perjalanan darat lalu dilanjutkan sampai daerah Labuhan Haji terhenti menunggu jembatan rusak yang sedang diperbaiki oleh unit pasukan zeni bersenjata lengkap dari Kodam I/Bukit Barisan. Setelah jembatan selesai diperbaiki, perjalanan dilanjutkan dan menjelang Maghrib memasuki pinggiran kota Meulaboh yang gelap gulita seperti kota mati. Bermalam di sebuah lapangan dan tim Rajawali melakukan kontak dengan Satkorlak yang berada di Meulaboh.
Keesokan harinya, tim Rajawali bergerak ke poskotis di Jalan Swadaya kota Meulaboh. Poskotis tersebut merupakan rumah yang belum selesai dibangun milik mantan Bupati Kabupaten Nagan Raya, bersebelahan dengan markas tim gabungan intelijen TNI (SGI) termasuk di dalamnya dari Kopasus. Logistik yang jumlahnya banyak semuanya di data ulang lalu diturunkan satu persatu tanpa bantuan peralatan forklift yang memang tidak tersedia di tempat itu dan diatur di dalam poskotis tersebut, set up genset mini & peralatan radio komunikasi dan langsung melakukan orientasi lapangan mengelilingi kota Meulaboh yang porak poranda dilanda gempa dan tsunami.
Selama di Meulaboh, setiap pagi sampai sore tim Rajawali bergerak melakukan tugasnya yaitu pendistribusian bantuan logistic ke daerah yang membutuhkan dengan menggunakan truk dan malamnya selalu mengikuti rapat koordinasi dengan Satkorlak yang saat itu dikomandani oleh Danrem Kolonel Gerhan Lantara. Pembagian anggota tim Rajawali dilakukan dengan baik, ada yang bertugas mendistribusikan logistic ke daerah-daerah, ada yang bertugas set up genset dan dapur umum di lapangan Meulaboh, ada yang bersama tim pengeboran sumur air (water well) Apexindo dan TNI-AD, ada yang bersama Mer-C mendirikan posko kesehatan dan ambulance keliling dan tentunya ada yang standby di poskotis untuk memantau komunikasi dan menjaga poskotis.
Hari-hari berlalu tanpa terasa. Tugas dapat dilaksanakan walau dengan adanya tantangan disana-sini termasuk saat bersitegang dengan beberapa oknum mengaku dari salah satu LSM lingkungan memaksa agar bahan bakar dan sebagian logistik tim Rajawali diserahkan ke mereka (yang pastinya ditolak keras oleh tim Rajawali), gangguan dari LSM lainnya yang pada dasarnya ingin mencari keuntungan sendiri, adanya oknum yang me-mark up jumlah actual pengungsi di daerahnya dan utusan dari pemilik rumah yang menginginkan kita pindah dari poskotis tersebut secepatnya padahal logistic yang hendak didistribusikan masih cukup banyak, dll. Cukup mengherankan karena saat bencana, sikap dan keberfihakan beberapa orang tidak dijalankan sebagaimana layaknya. Banyaknya persoalan yang datang silih berganti cukup menguras fikiran, perasaan dan tenaga. Untunglah anggota Yon I sudah cukup terlatih menghadapi kondisi demikian untuk tetap setia dan focus dalam melakukan tugas.
Sekitar 5 hari berada di poskotis jalan Swadaya, semua logistic bantuan telah berhasil didistribusikan. Beban Tim Rajawali terasa jauh lebih ringan dan poskostis dipindahkan dengan mendirikan tenda peleton di sebuah lapangan di dalam kota Meulaboh. Dengan menggunakan chain saw, batang-batang pohon kelapa di ubah menjadi bangku dan pondasi fasilitas MCK darurat. Dalam suatu kesempatan melakukan operasi territorial dengan bersilaturahmi dengan tokoh agama yang dihormati masyarakat setempat – yang berujung pada dipinjamkannya 1 unit mobil carry untuk operasional tim. Tim Rajawali juga menyempatkan diri untuk mengadakan acara seperti 17 Agustusan bersama dengan korban di lokasi pengungsian, terutama anak-anak seperti acara tusuk balon air, makan kerupuk, melukis dengan cat air dan menyanyi bersama.
Poskotis kemudian dipersiapkan untuk tim relawan kedua mahasiswa ITB yang bertugas untuk meneruskan yang telah dirintis oleh tim Rajawali, dan tugas tambahan seperti melakukan pemetaan daerah terdampak bencana, mendirikan sarana sekolah darurat dan memulihkan kondisi psikologis korban dari trauma, dll. Tanggal 19 Januari 2005, Tim relawan kedua mahasiswa ITB yang berjumlah sekitar 30 orang tiba di Meulaboh dan langsung disambut oleh tim Rajawali di poskotis. Setelah berbagi pengalaman, serah terima tugas dan tanggung jawab dilakukan pada malam itu juga. Selesai serah terima, tim Rajawali berkumpul dan menyalakan api kecil lalu saling mengungkapkan isi hati selama menjalankan tugas sejak hari pertama sampai malam terakhir.
Tanggal 20 Januari 2005 pagi hari, tim Rajawali bergerak menuju posko Satkorlak penanggulangan bencana di lapangan sebuah kompi TNI-AD untuk bersiap-siap menuju kota Medan. Sesuai koordinasi hari sebelumnya, rencananya semua anggota tim Rajawali akan naik Helikopter yang dibagi menjadi 3 gelombang masing-masing 5-6 orang. Namun pada pelaksanaannya hanya tim pertama yang berjumlah 6 orang yang berangkat naik helicopter Chinook milik angkatan udara Singapura menuju bandara Polonia Medan. Anggota tim Rajawali lainnya tidak jadi naik helikopter karena tempatnya dialihkan buat Mentri Sosial beserta rombongan dari Jakarta, akhirnya memutuskan untuk melakukan perjalanan lewat darat.
Tim Rajawali yang naik helicopter tiba di Polonia Medan sore hari dan menuju rumah Pak Rinaldi (Ekek ’28) di kota Medan. Saya berkesempatan pulang ke rumah orang tua dan keluarga di Pematang Siantar yang berjarak sekitar 100 Km. Menginap semalam di rumah dan pagi hari langsung kembali ke Medan karena dijadwalkan akan kembali ke Bandung sore itu juga dengan penerbangan dari Polonia menuju Cengkareng.
Tim Rajawali yang melakukan perjalanan darat akhirnya tiba di Polonia sekitar jam 15:00 tanggal 21 Januari 2005. Perjalanan panjang tersebut rupanya menjadi perjalanan yang penuh ketegangan karena rombongan sempat berada dalam area kontak senjata antara TNI dan GAM. Alhamdulillah tidak ada personel yang terluka dalam peristiwa tersebut. Pesawat ternyata sempat mengalami delay yang cukup lama dan baru berangkat sekitar jam 21:00 dari Polonia Medan dan tiba dengan selamat di Cengkareng pada pukul 23:00 malam. Di terminal kedatangan Bandara diadakan upacara kecil serah terima kembali tim Rajawali ke ITB. Tim Rajawali meneruskan perjalanan ke kampus ITB malam itu juga. Sesampai di Mako Yon I, langsung sujud syukur atas selesainya penugasan tersebut dan kembali ke kampus Ganesha dalam keadaan selamat.
Setelah melihat kembali operasi tim Rajawali tersbut, ada beberapa hal yang menjadi catatan untuk kita jadikan pembelajaran. Yang sudah berjalan dengan baik wajib kita pertahankan dan kembangkan, sedangkan yang tidak berjalan dengan baik wajip pula kita koreksi dan ubah menjadi lebih baik. Lesson learned yang bisa kita petik diantaranya adalah :
1. Menjaga kepercayaan pimpinan ITB terhadap kehandalan Yon I.
Sewaktu pendaftaran relawan dibuka ITB, ada sekitar 100-an mahasiswa yang mendaftar. Namun pimpinan ITB waktu itu betul-betul menyeleksi lalu hanya mengijinkan 10 orang yang boleh berangkat dan mempercaya Yon I untuk memimpin tim tersebut. Pilihan kepada Yon I tentunya merupakan suatu bentuk pengakuan akan kehandalan kita. Untuk itu, perlu diteruskan kepada generasi anggota aktif Yon I agar tetap memelihara kehandalannya dan menjaga terus komunikasi yang baik dengan unsur pimpinan di ITB sebagai induk tempat bernaungnya Yon I.
2. Peran strategis Corps Menwa ITB.
Corps Menwa ITB yang memiliki sumber daya luar biasa di banyak bidang keprofesian juga telah terbukti menunjukkannya kemampuan. Organisasi sudah terbentuk, tinggal bagaimana caranya agar bisa tersinergikan dengan lebih baik semua potensi tersebut.
3. Gerak cepat dalam merespon bencana alam dan koordinasi pendistribusian bantuan
Dalam hal merespon bencana, bangsa kita perlu terus menerus untuk belajar dan mengembangkan diri. Minimnya jumlah alat angkut yang disesuaikan dengan kondisi daerah bencana agar bisa dengan cepat menjangkau daerah bencana untuk evakuasi dan drop bantuan makanan, air bersih dan obat-obatan terutama Helikopter, perahu karet cepat, kendaraan offroad, pasukan berkuda, operasi lintas udara, dsbg.
Contoh yang bagus telah dipraktekkan oleh tentara Negara tetangga, yaitu pergerakan pasukan dengan kapal perang jenis LST yang berlabuh di tengah laut tidak begitu jauh dari garis pantai. Pagi hari, kapal LST melakukan beaching lalu pasukan darat dengan kendaraan sejenis humvee bergerak naik ke darat untuk melakukan tugas. Hal yang sama dilakukan oleh angkatan udaranya dengan memakai helicopter. Selesai tugas, sore hari semua kendaraan darat dan helicopter kembali ke kapal dan kapal lalu bergerak kembali berlabuh di laut. Sangat efektif dan efisien.
Dalam menyalurkan bantuan, pun kita harus belajar. Barang bantuan yang terkumpul bukannya sedikit, malah banyak didapati bantuan tersebut menumpuk di posko penampungan. Alasannya menumpuk karena tidak ada yang mengangkut. Yang punya alat angkut beralasan tidak ada bahan bakar. Yang punya bahan bakar tidak mau memberikan bahan bakar dengan gratis, sementara dana yang telah terkumpul di rekening bencana malah ditahan-tahan karena tidak tahu mau dipergunakan untuk apa.
oleh: M. Saleh Kasim E-4
Dalam rangka Peringatan 50 tahun Resimen Mahasiswa Indonesia, akan diterbitkan buku “Ksatria Ganesha” oleh Yon-1 ITB, mulai dari Wajib Militer (Wamil) 1959, Mahawarman tahun 1960/1961 – sekarang (Ekek-1 s/d Ekek-49). Seluruh anggota Yon-1 ITB di harapkan memberikan kontribusi pengalamannya, baik sebagai anggota maupun sebagai pelaku dan peran Menwa dalam berbagai peristiwa sejarah. Setelah membaca berbagai tulisan dari kawan-kawan anggota Mahawarman Yon-1, maka terlintaslah dalam pikiran untuk menulis secara khusus mengisahkan kembali berdasarkan pengalaman sebagai pelaku dalam beberapa peristiwa dan pengabdian terhadap almamater, sejak tahun 1965/1966. Dalam tulisan ini, saya tergugah untuk mengenang kembali peristiwa besar dalam sejarah kebangsaan, lahirnya Angkatan ’66. Adapun peristiwa yang akan dikemukakan disini adalah momen-momen dan atau peristiwa yang unik dan menyentuh bagi mereka yang mengalaminya secara langsung. Namun dalam penyajiannya (mengingat kembali peristiwa yang sudah setengah abad yang lalu), kemungkinan ada yang keliru atau lupa; oleh karena itu saya harapkan dari teman-teman yang masih ingat waktu dan peristiwanya, sebagai pelaku dan atau sebagai pengamat, dimohon koreksi dan penambahan materi demi keakuratan cerita/peristiwa yang akan dibukukan kelak oleh Tim Editor Yon-1.
Semangat dan jiwa Proklamasi ’45, merupakan roh yang tertanam di dada sanubari anak bangsa Resimen Mahawarman, sebagai generasi penerus negeri ini dengan tujuan yang telah dituangkan dalam Pembukaan UUD’45. Semangat ini harus ditanamkan pada generasi muda melalui pendidikan ilmu pengetahuan dan teknologi serta pembinaan karakter, nation character building, dengan palsafah Pancasila dan jiwa UUD’45 sehingga terbentuklah generasi penerus yang diharapkan oleh para pendiri negeri ini. Melalui Pendidikan Mahawarman, khususnya Yon-1 ITB, merupakan salah satu wadah pendidikan karakter yang dapat menciptakan generasi penerus dengan jiwa dan semangat patriot. Mereka merupakan kader-kader pengisi kemerdekaan melalui penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan semangat cinta tanah air hasil pembinaan karakter yang dimaksud. Peristiwa Pemberontakan Komunis PKI tahun 1948 di Madiun dan terulang lagi pada 30 September 1965 di Jakarta adalah peristiwa sejarah bangsa Indonesia yang telah melahirkan generasi Angkatan ’66 sebagai penerus generasi Angkatan ’45.
Tulisan ini dimaksudkan untuk memberikan pencerahan dan semangat pada anggota muda Yon-1 ITB sebagai kader-kader harapan bangsa dengan tujuan terciptanya pemuda yang berjiwa satria, jujur, bersih dari jeratan hukum, disiplin, amanah, menjaga nama baik almamater dan bertaqwa pada Tuhan Yang Maha Esa dalam mengisi kemerdekaan dan pembangunan nasional kedepan.
Mari kita merenung dan menengok sejenak kebelakang sejarah bangsa, khususnya mengenang 2 (dua) peristiwa menarik yang dialami Penulis yaitu peristiwa G-30-S PKI tahun 1965, sebelum Penulis menjadi anggota Yon-1 dan peristiwa Renee Counrad tahun 1968, setelah bergabung dalam Ekek-4 tahun 1966. Dua peristiwa inilah yang akan penulis coba ungkap sebagai pengalaman guna mengisi buku “Ksatria Ganesha” yang akan diterbitkan.
5.1.5.1 Periode Agustus 1965 - 1966
Proses seleksi penerimaan mahasiswa baru ITB mulai dari bulan Agustus – September 1965. Saat itu situasi politik nasional tidak terpikir dan tidak punya perhatian kesitu, maklumlah belum mengenal berpolitik, hanya sibuk belajar. Registrasi calon mahasiswa pada akhir September, dilanjutkan dengan kegiatan Mapram (masa orientasi mahasiswa baru, termasuk penjelasan kurikulum masing-masing jurusan). Pada malam tanggal 30 September 1965, saya dan calaon mahasiswa lainnya umumnya tidak mengerti apa yang terjadi di negeri ini. Ke-esokan harinya, tanggal 1 Oktober ’65, Dewan Mahasiswa memberikan sedikit keterangan yang pada intinya, ada peristiwa politik di negeri ini , dimana para mahasiswa baru (peserta Mapram), setelah pulang kerumah masing-masing semua atribut kemahasiswaan yang dipakai harus dilepas dan jangan kemana-mana, diam saja dirumah, itu yang saya ingat. (saat itu saya tidak mengenal politik) Demikian pula kalau datang ke kampus tanpa atribut dan setelah tiba di kampus barulah atribut boleh di pasang kembali. Setelah tanggal 3 Oktober ’65 Dewan mahasiswa menjelaskan situasi politik dengat sangat hati-hati dan bijaksana, sehingga barulah kami mengerti bahwa ada suatu peristiwa besar yang terjadi di negeri tercinta ini. Masa orientasi mahasiswa tahun itu sangat singkat, tapi kami di haruskan datang ke kampus setiap hari sampai kami diresmikan sebagai mahasiswa baru ITB Angkatan 13.
Sejak itu mahasiswa sudah masuk ke jurusan masing-masing. Namun setiap hari Dewan Mahasiswa menginstruksikan seluruh mahasiswa ITB (tidak terkecuali kami para mahasiswa baru) wajib apel Mahasiswa di kampus untuk mendengar arahan dan “indoktrinasi” tentang kesadaran akan cinta tanah air dan peduli dengan situasi politik bagi pemuda-pemuda Indonesia pilihan ini.
Di jurusan, kami mengenal mata kuliah Kewiraan, setiap jurusan mata kuliah wajib ini ada pada Semester 1 dan Semester 2. Berbulan-bulan datang ke kampus tapi tidak ada kuliah, kegiatan hanya apel dan demonstrasi. Disela-sela kesibukan itu, Resimen Mahasiswa Batalyon-1 ITB membuka kesempatan bagi mahasiswa baru untuk dididik dan dilatih Dasar Kemiliteran bersama Pelatih Yon-1 ITB dan dari Kodam VI Siliwangi (saat itu). Bagi mereka yang Lulus Pendidikan akan dilantik menjadi Anggota muda Mahawarman Batalyon-1, dan dibebaskan dari mata kuliah Kewiraan-1 dan Kewiraan-2 (dinyatakan sudah lulus kedua mata kuliah tersebut). Hal ini menjadi motipasi saya dan membuat lebih semangat. Dengan seragam seperti Militer bersama badge dan lambang-lambang Batalyon-1 ITB, merupakan suatu kebanggaan tersendiri. Latihan-latihan kemiliteran sering dilakukan sebagai refreshing, seperti latihan menembak,laras panjang (senapan), laras pendek (pistol), terjun payung/para, semua itu mendapat sertifikat kualifikasi. Selain itu, ada juga anggota Yon-1 yang berminat mengikuti Pendidikan Brigcad (Brigade Cadangan) yang ditawarkan oleh Kodam Siliwangi, juga ada sertifikatnya. Pada bulan-bulan berikutnya dibuka kesempatan bagi anggota Yon-1 untuk mengikuti Pendidikan lanjutan, seperti Kursus Persiapan Guru Militer (Kupangumil) dan Guru Militer (Gumil), yang kelak berguna dan resmi di angkat sebagai Pelatih Walawa (Wajib Latih Mahasiswa), melalui SK Rektor ITB sebagai Assisten Mata Kuliah Kewiraan (dan mendapat Honor setiap bulan).
Pada akhir tahun 1966 (lupa bulannya, mohon koreksi bila ada rekan yang masih ingat), Gerakan anti Soekarno (Presiden, yang akhirnya dikenal sebagai pemimpin Orde Lama, di anggap sebagai pemimpin Komunis), rakyat tidak suka dan ingin di gulingkan oleh Rakyat yang anti Komunis dibawah pimpinan Kol.Soeharto. Sejarah keberadaan Partai Komunis di Indonesia adalah sangat panjang; namun saya tidak membahas hal ini. Yang akan saya tekankan disini adalah bahwa Partai Politik Komunis dan ormas-ormasnya di Indonesia saat itu masih sangat kuat, sehingga untuk menggulingkan Soekarno tidak mudah.
Melalui perjuangan dan pergerakan militer, khususnya di Jawa Barat, dibawah Kodam VI Siliwangi, Resimen Mahawarman, sebagai anak kandung, termasuk Batalyon-1 ITB bersama-sama dengan Pemuda Pelajar, Mahasiswa, masyarakat dan ormas-ormas Islam lainnya sangat aktif sebagai patriot dalam Bela Negara mempertahankan keutuhan NKRI. Pada suatu pagi (tgl/bulannya lupa) ada peristiwa gerakan Pemuda Rakyat PKI diketahui menyerbu Kampus ITB, tetapi gagal karena dihalau oleh anggota Yon-1 yang sedang piket dan dibantu oleh Pasukan Kujang Kodam VI Siliwangi. Hari itu saya belum ke kampus dan masih berada di Asrama Mahasiswa Sumsel. Di asrama banyak anggota Mahawarman dari Batalyon-IV, Yon-2 dan Yon-1, diantara kami dibekali senjata pistol dan standgun. Saya bawa standgun plus satu magasen isi peluru tajam penuh dan yang lain ada yang bawa pistol FN-45. Dalam penggunaan senjata apabila terpaksa kami boleh menembak musuh setelah dilakukan penembakan peringatan. Tidak berapa lama kemudian muncul rombongan Pemuda Rakyat PKI turun kearah selatan melalui jalan Purnawarman dimana Asrama Mahasiswa Sumsel berada. Rombongan pertama berhenti di depan asrama (ternyata mereka dari ITB lalu melanjutkan ke selatan).
Teman-teman di asrama yang bukan Mahawarman semua sembunyi dalam kamar terkunci dari dalam. Sedang saya dan teman-teman Mahawarman lainnya sudah siap-siap dengan senjata siap di kokang. Saat itu terlintas dalam pikiran saya bahwa saya akan membunuh orang. Pemuda Rakyat PKI dengan ikat kepala kain merah dan bersenjata golok, tombak, pentungan jelas terlihat dari dalam asrama, juga terpikir, apabila terjadi penembakan, selain banyak yang meninggal, rumah Kolonel Darmawan dari Kodam VI Siliwangi pasti kaca rumahnya kena tembak juga; berkali-kali terlintas dalam pikiran saya: “saya bakal bunuh banyak orang”, karena saya pegang standgun degan isi magasen penuh. Lalu teman saya Yon-IV berbisik ke saya:“apa kita tembak mereka?”, saya bilang: “tunggu, sampai mereka menyerang duluan, lalu kita kasih tembakan peringatan dengan pistol-mu, kalo masih menyerang, aku muntahkan peluru ini ”,demikian dialog singkat kami. Didepan asrama rombongan Pemuda Rakyat meneriakkan yel-yel: “mahasiswa keluaaaar, keluaaar, pengecuuut”. Mendengar itu darah makin panas, tapi rasa “takut” bunuh orang tetap ada. Lebih kurang 15 menit kemudian datang rombongan lain berseragam hitam-hitam dengan ikat kepala kain merah bergabung dengan yang ada di depan asrama. “Masya’allah, jadi juga membunuh banyak orang”, demikian pikiran saya, tapi Alhamdulillah rombongan kedua mengatakan: “sudahlah, gak ada mahasiswanya disitu, tinggalkan !, kita terus kebawah”, maksudnya terus ke selatan. Berangsur-angsur rombongan itu meninggalkan asrama. Selamatlah kami ! Setelah kami nyatakan aman seluruh penghuni asrama yang ada di kamar lalu keluar. Rupanya mereka dikamar gemetar, ha,haaa…memang ternyata berbeda antara mahasiswa biasa dengan mahasiswa yang Mahawarman, walaupun ada rasa takut bunuh orang. Sore harinya terdengar berita Pemuda Rakyat mengamuk di selatan. Besok paginya saya dapat berita dari teman Yon-IV bahwa di Lembong (kampus Yon-IV) pemuda Lukman Hakim, anggota Yon-IV, tewas terbunuh oleh Pemuda Rakyat (ma’af saya lupa tanggalnya, saya kira ada juga yang menulis/menyinggung peristiwa ini.
5.1.5.2 Periode 1966 – 1967
Peristiwa demi peristiwa telah terjadi di seluruh Indonesia dengan tuntutan bubarkan PKI, didaerah Sumatera Selatan banyak terjadi pembunuhan, dituding sebagai anggota atau partisan PKI. Pada Agustus/September 1966, semestinya ada penerimaan mahasiswa baru, tapi pada tahun itu di ITB tidak ada kuliah dan tidak ada penerimaan mahasiswa baru. Setelah peristiwa Lembong, penjagaan kampus terus di tingkatkan, anggota Yon-1 mengadakan pengamanan siang-malam dengan bersenjata lengkap secara bergiliran, banyak anggota yang rumahnya jauh dari kampus, menjadikan Posko Yon-1 sebagai rumah kedua. Pengamanan kampus tidak saja oleh Mahawarman, tapi kami juga di bantu oleh Pasukan TNI Kujang Siliwangi, baik siang maupun malam.
Pengalaman menarik saya : suatu ketika (lupa tanggalnya, masih dalam periode diatas), saya dan teman-teman (sampai Ekek-4), bergantian jaga kampus pada malam hari, terhitung sore sampai pagi hari besoknya. Kami menjaga dan ronda/patrolling keliling kampus, titik-titik rawan yaitu di belakang jurusan Mesin, di belakang jurusan Farmasi dan di belakang jurusan Tambang, karena dilokasi itu tidak ada pintu yang bisa di tutup. dengan ilmu militer yang di dapat, kami mulai tiarap dengan bawa senjata laras panjang dan bergerak pelan-pelan. Setelah dekat kurang lebih 4 meter di dalam kegelapan, mulai mendengar pembicaraan sangat jelas, haaa,haaaa…., ternyata ada orang pacaran, sehingga kami mengambil langkah dengan teriakan:”jangan bergerak, angkat tangan !”, mereka terkejut dan ketakutan, lalu digiring dan diserahkan ke Posko. Selanjutnya diperingatkan dan diberi nasehat. Menurut informasi, sebelumnya dilokasi tsb. sering terjadi hal yang demikian, bahkan lebih dari itu.
Selanjutnya, masih dalam Periode diatas, pada waktu jaga kampus malam hari bersama satu regu Panser Kujang Siliwangi, terpampang dengan gagahnya di depan kampus. Dua orang didalam Panser dan yang lainnya bersama kami konsinyering keliling kampus. Pada dini hari, lagi ngantuk-ngantuknya, rupanya ada teman kita dekat Posko didepan sedikit iseng, melihat anggota Panser tertidur, topi/helmnya diambil dan disimpan. Berhubung kerjasama dan tingkat persaudaraan dengan anggota Siliwangi sebagai prajurit TNI, beliau tertawa setelah kita ceritakan kejadiannya, lalu topinya dikembalikan.
5.1.5.3 Periode 1967 - 1972
Pada periode ini, bulan Agustus/September 1967 telah dimulai lagi penerimaan mahasiswa baru tahun ajaran 1967/1968 dan bagi anggota Yon-1 yang memenuhi kualifikasi Pelatih diberi kesempatan untuk melatih mahasiswa baru pada mata-kuliah Kewiraan I dan Kewiraan II yang diangkat secara resmi melalui Surat Keputusan Rektor ITB, sebagai Assisten Mata Kuliah Kewiraan.
Namun situasi politik dalam negeri pada saat itu masih belum kondusif, masih sering seluruh mahasiswa ITB (tidak terkecuali anggota Yon-1) diharuskan hadir mengikuti apel di depan kampus dibawah koordinasi Dewan Mahasiswa untuk mendapatkan pengarahan. Selanjutnya seluruh peserta apel bergerak menuju alun-alun Bandung, di depan Gedung Merdeka bergabung bersama mahasiswa dari berbagai Universitas dan Perguruan Tinggi lainnya yang ada di Bandung dan kadang-kadang ditambah dengan Perwakilan Dewan Mahasiswa dari perguruan yang ada di Jawa Barat. Anggota Mahawarman Yon-1 ITB dengan gagahnya mengenakan uniform lengkap, ditugaskan mengawal mahasiswa ITB mengadakan aksi/demonstrasi dan bertanggung-jawab terhadap keamanan/ketertiban selama Aksi Mahasiswa berlangsung.
Dalam Periode ini, pada tahun 1968 ada suatu peristiwa besar yang menggemparkan, terjadi perselisihan dan perkelahian antara mahasiswa Akabri dan mahasiswa ITB dalam pertandingan persehabatan olah-raga bola-kaki, dimana sore harinya (besoknya?) datang pasukan Brigmob menyerang kampus ITB sehingga menyebabkan tewasnya Renne Counrad, mahasiswa ITB. Mendengar dan melihat peristiwa ini, Dewan Mahasiswa ITB menjadi geram dan menuntut pihak Kepolisian, lebih khusus pihak Akabri, bahwa ITB tidak dapat menerima tindakan brutal dari pihak Brigmob/Kepolisian tersebut, sehingga timbul ketegangan antara kedua pihak. Mahasiswa ITB menuntut secara hukum dan pertanggung-jawaban pada pelaku penembakan. Selanjutnya berbulan-bulan mahasiswa ITB mengadakan aksi/demonstrasi ke pihak Akabri/Kepolisian untuk menyelesaikan masalah penembakan masiswa ITB tersebut. Kegiatan aksi selalu dijaga dan di kawal oleh anggota Yon-1 untuk menjaga keamanan dan ketertiban aksi demonstrasi dalam menyampaikan protesnya. Pihak ITB diwakili oleh Dewan Mahasiswa dan wakil-wakil Jurusan plus anggota Yon-1 ITB. baik protes yang di Jakarta bahkan sampai ke kampus Akabri di Magelang. Seperti halnya kita ketahui bahwa Presiden Soeharto adalah sebagai “kakak” mahasiswa ITB, sehingga kami selalu koordinasi dengan beliau. Pada suatu hari (lupa tgl/bln) kami sebahagian mahasiswa ITB dan anggota Yon-1 diperkenankan datang kerumah kediaman pribadi beliau di Jl.Cendana, Jakarta Pusat untuk melapor dan curhat tentang masalah di atas.
Perjuangan mahasiswa ITB dibawah koordinasi Dewan Mahasiswa akhirnya tidak sia-sia, pelakunya dihukum walaupun dengan melalui perjuangan panjang. Perjuangan yang cukup melelahkan dan pengorbanan terganggunya kuliah, terutama anggota Yon-1 Mahawarman, mulai rentetan peristiwa Gerakan G-30-S PKI ’65/’67 sehingga mulai kuliah yang cukup tenang adalah setelah peristiwa Renne Counrad tahun 1968/1969. Memang seperti kata pendiri negeri ini: “hidup itu adalah berjuang, setiap perjuangan perlu pengorbanan, setiap pengorbanan tidak pernah sia-sia”. Jiwa dan semangat ini tertanam dalam dada pemuda Mahawarman, mahasiswa pilihan!
5.1.6.1 Periode 1967/68 – 1974
Meskipun dalam 1967/68 – 1968/69 cukup banyak waktu kuliah yang terganggu bagi anggota Yon-1 Mahawarman, namun disinilah semangat berjuang/pengorbanan dalam bela Negara dan cinta tanah air tertanam dalam dada pemuda anak bangsa pilihan, seperti contoh-contoh dalan peristiwa di atas. Seperti telah dikatakan di atas bahwa: “setiap pengorbanan tidak pernah sia-sia”, dan ini terbukti saya dan teman-teman lainnya yang ber-kualifikasi Pelatih diterima menjadi Asisten Mata kuliah Kewiraan dari tahun 1967/68 – 1972/73. Masa kerja sebagai Asisten di Perguruan Tinggi Negeri dapat diakui sebagai pengalaman kerja jika masuk pegawai negeri (di hitung setengah dari masa kerja Asisten). Selain itu, dengan pengorbanan tadi, fisik dan mental/karakter yang terbentuk mencerminkan sikap berani dan percaya diri.
Proses menimba ilmu pengetahuan dan teknologi di ITB pada periode ini cukup menarik dalam kehidupan, semangat tidak kenal menyerah menghadapi tantangan hidup masih tetap menyala, namun aktivitas mahawarman terpaksa dikurangani bahkan tidak aktif karena harus ke Jakarta untuk bekerja mencari Lapangan tugas akhir.
5.1.6.2 Periode 1974 – 1976
Akhir tahun 1974 saya diterima magang di PT.Arco, (sebagai Kontraktor Pertamina), Perusahaan minyak Amerika di Jakarta, dan saya ditugaskan ikut eksplorasi minyak dan gas bumi di daerah Waropen Atas, Irian Barat (saya lebih suka menyebut Irian Barat dari pada Papua). Medan Irian terkenal ganas dan berat, masyarakat Irian sangat unik, tanpa fisik dan karakter/mental kuat, sangat sulit beradaptasi dengan cepat. Untunglah pelajaran Ilmu medan, ilmu Pembinaan Wilayah dan pendekatan social yang di dapat di Mahawarman membuat kita mudah diterima masyarakat dan lingkungannya. Pertengahan tahun 1975 saya kembali ke kampus untuk registrasi semester. Setelah konsultasi dengan Dosen, ternyata kerja lapangan dan data-data lapangan (Eksplorasi Geofisika) saya dapat diterima sebagai bahan Tugas akhir/Skripsi. Sampai dengan awal tahun 1976 Skripsi selesai dan siap sidang sarjana. Sekitar bulan Maret/April sidang sarjana Lulus dan bulan Juni di Wisuda, selesailah sudah menimba ilmu tahap awal di ITB.
5.1.7 Pengabdian
5.1.7.1 Periode 1976 – 2004
Selesai di Wisuda saya kembali ke Jakarta, lapor ke Pertamina dan Arco. Dengan berat hati saya menyampaikan ma’af bahwa saya tidak bias lanjut di Arco, karena sudah di pinang Batan dan bulan Juli 1976, SK PNS diterima, langsung bekerja. Inilah masa menimba ilmu tahap berikutnya dan pengabdian sampai tahun 2004. Terus terang pada periode ini saya tidak aktif di Mahawarman, tetapi saya sempat mengajar mata kuliah Kewiraan/Kewarganegaraan di Trisakti. Aktif sebagai pengajar di Universitas Trisakti jurusan Geologi dan Pertambangan sejak tahun 1982/83 sampai tahun 2012 dalam mata kuliah Geologi, Kewiraan/Kewarganegaraan dan Pertambangan. Disini saya merasakan ilmu Diksar dan Latihan Kemiliteran di Mahawarman sangat terasa manfa’atnya terutama dalam kegiatan profesi di lapangan dan dalam kehidupan pribadi sehari-hari.
5.1.7.2 Periode Pensiun dari PNS 2004 – Sekarang
Setelah masa Pensiun dari PNS, Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan), masih aktif kerja di Swasta bidang Geologi dan Pertambangan dan sempat juga keliling jalan-jalan ke daerah-daerah Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, NTT, NTB, Maluku, sebagai advisor bidang Geologi dan Pertambangan. Pada periode ini, aktivitas ke-Mahawarman-an boleh dikatakan tidak aktif, kecuali sekali-sekali ikut acara Hanata.
Pada Periode ini juga telah terbentuk suatu wadah organisasi yang dinamakan Resimen Teknologi, pada tanggal 23 Maret 2014, telah diresmikan oleh Menteri Pertahanan, Prof.Dr.Ir. Purnomo Yusgiantoro MSc, merupakan tempat pengabdian lanjutan bagi Anggota Yon-1, baik bagi para senior aktif, maupun senior yang sudah Purna Bakti/Pensiunan dari berbagai disiplin ilmu yang telah teruji selama mereka aktif baik di Pemerintahan maupun di Lembaga Swasta.
5.1.8 Kesimpulan
Manfaat Pendidikan Dasar Kemiliteran dan Latihan yang ditempa dan dibina oleh kader-kader senior Mahawarman Yon-1 ITB dan Kodam Siliwangi, sangat dirasakan, baik dalam pembentukan karakter/mental dan fisik, maupun dirasakan setelah terjun dimasyarakat. Berdasarkan uraian dan pengalaman di atas dapatlah disimpulkan sebagai berikut:
1. Sikap mental/karakter yang tertanam membentuk pribadi yang: percaya diri, berani dalam kebenaran, tegas, disiplin, jujur, jiwa besar, patriot/cinta tanah air, solidaritas tinggi, cara berjalan tidak ragu/tegap, cepat bertindak/ambil keputusan, mudah beradabtasi dengan lingkungan, berjiwa satria dan berketuhanan yang Maha Esa.
2. Mahasiswa, pemuda pilihan sebagai calon intelektual yang terbentuk melalui pendidikan dan latihan dasar kemiliteran, sebagai generasi penerus negeri ini dan kelak akan menjadi abdi Negara dan atau abdi masyarakat tentulah dibutuhkan pemuda- pemudi yang bermental/karakter terpuji seperti di atas. Sehingga diharapkan mereka akan menjadi pribadi-pribadi sebagai kader-kader pembangunan hingga terwujudnya suatu masyarakat yang makmur-sejahtera dan berkeadilan.
Jakarta, 18 Januari 2015
( M.Saleh Kasim, E-4)
5.2 Prajurit Wala'59 menjadi "The Oil Man" (John Karamoy)
Oleh: Poernamawati (Ekek '11) dan Hillary Salsabil
Lahir pada tahun 1936,John Karamoy telah menjadi saksi dari berlalunya tiga generasi. Ia telah melihat apa saja yang bisa ditawarkan oleh hidup, dan ia memastikan untuk tidak menyiakan kesempatan yang telah disediakan oleh hidup ini kepadanya. Dikenal sebagai “The Oil Man” Indonesia identik dengan kepemimpinan kuat yang menekankan pentingnya kejujuran dan intelektualitas, seseorang sosok yang tak mudah dilupakan. Dibalik figurnya yang karismatik, terpapar sejarah yang telah membantu membentuk dirinya saat ini. Siapa yang menyangka, keterlibatannya yang pertama dengan latihan militer dimulai ditahun 1954 pada saat John terpilih untuk menjadi anggota kelompok pengibar bendara merah putih ( Paskibraka) dalam rangka peringatan hari proklamasi 17 Agustus di istana Negara. Pada tahun 1959 saat menjadi mahasiswa jurusan Tekhnik Kimia , di saat para mahasiswa-mahasiswi ITB sibuk dengan tumpukan buku dan tanggung jawab John Karamoy beserta 130 siswa lainnya terpilih untuk mengikut pilot project yang dibentuk oleh Divisi Siliwangi.
Diakhir dekade 50-an, Indonesia sedang hangat-hangatnya terbuai oleh harapan dan ide-ide baru yang menjadi sensasi kepada para muda-mudi yang haus akan ilmu. Situasi politik global yang ditandai dengan “perang dingin” antara blok Amerika dan blok Uni Soviet. Paham komunisme menyusup dengan perlahan ke dalam pikirian para pemuda terbaik bangsa, menganggu nasionalisme mereka yang tulus. Pimpinan Angkatan Bersenjata Indonesia yang sadar akan potensi penyusupan ajaran komunisme, menugaskan Divisi Siliwangi membuat pilot project untuk menuntun para pemuda-pemudi Indonesia mempertahankan cintanya terhadap Pancasila. Terinspirasi oleh program ROTC (Reserve Officers' Training Corps) yang mewajibkan pendidikan dasar militer bagi mahasiswa di Amerika Serikat yang merupakan cikal bakal dari national guard, Indonesia juga ingin agar generasi mudanya siap untuk membela Negara , bangga dan cinta pada bangsa, maka dibentuklah “Wajib Latih Militer” (WALA) untuk mahasiswa .
Projek WALA yang merupakan pilot project ABRI yang bertujuan untuk melatih para mahasiswa tentang pendidikan dasar ke-tentera-an dan menumbuhkan tanggung jawab bela negara dijalankan di Bandung. Mengumpulkan para mahasiswa dari ITB, UNPAD, dan UNPAR. Rasa akan perlunya penerapan manajemen dan disiplin dari sistem militer, telah mendorong proyek ini untuk melatih para partisipannya setiap akhir pekan selama setahun penuh.
Disanalah Karamoy muda berdiri, sebagai salah satu siswa yang terpilih untuk mengikuti proyek istimewa ini. Bertahun-tahun kemudianlah baru ia mengerti, bahwa milter adalah akar dari manajemen, dimana terdapat batasan untuk kapan perlunya menerapkan otoritas dan kapan perlu bersikap demokratis.
WALA yang merupakan cikal bakal dari Resimen Mahasiswa. Dilatih khusus oleh Batalyon 328, Kujang-2, yang saat itu ada di bawah pimpinan Kapten Suroso, para mahasiswa ini menerima pelatihan dasar militer yang hampir serupa dengan AMN, hanya dalam kurun waktu yang lebih singkat. Memiliki keluarga yang sudah tak asing dengan konsep membela Negara, seolah merupakan insting John untuk ikut serta dalam program ini. Ia telah menyaksikan Perang Dunia kedua pada umur enam, kemudian kedua orang tuanya berani memberontak terhadap penjajah (1945 – 1949) dan dianugerahi Bintang Gerilya sebagai tanda jasa mereka. Seolah takdir mengalir dalam darahnya, dengan cepat ia diangkat menjadi Komandan Regu lalu Komandan Peleton, dan kemudian menjadi Komandan Resimen yang pada saat itu juga bertanggung jawab memberikan keterangan lulus kepada mahasiswa ITB. Meskipun pada saat itu WALA juga diajari oleh AMN dalam hal baris berbaris kolone dengan senjata, namun mereka juga bersaing dengan para anggota AMN dalam olah raga dan menarik perhatian dari para mahasiswi. Para mahasiswa anggota WALA kerap merasakan rasa bangga yang sama dibalik seragam hijau itu. Seragam yang menjadi lambang kebanggaan dan nasionalisme yang lantang, kebanggaan untuk dibawa pulang kerumah.
Setelah WALA, Divisi Siliwangi melakukan pemberian latihan tambahan kepada ex WALA yang terpilih dan sukarela untuk disiapkan membantu misi pembangunan atas wilayah yang dibebaskan oleh TNI dalam rangka pembebasan Irian Barat dari pendudukan Belanda . Pasukan ex WALA yang direkrut oleh Divisi Siliwangi ini diberi nama Resimen Mahasiswa ( MENWA). Untungnya, konflik tersebut tidak berlangsung lama, sehingga mereka yang ikut dalam Resimen Mahasiswa tidak perlu bertugas di Irian Barat. Resimen Mahasiswa ex WALA ITB ini kemudian ditunjuk oleh Pimpinan ITB untuk memberi latihan dasar militer kepada mahasiswa mahasiswi ITB dalam rangka program pemerintah yang dikenal sebagai Pertahanan Sipil (HANSIP).
Di masanya ikut serta dalam Resimen Mahasiswa, terutama sebagai Komandan Latihan John mengalami peristiwa-peristiwa yang tidak hanya mengubah hidupnya namun juga hidup orang-orang lainnya. Saat ada kerusuhan berlatar belakang rasial di bulan Mei tahun 1962 di Bandung, John selaku Komandan Latihan Resimen Mahasiswa ITB diminta oleh Pimpinan ITB untuk ikut menjaga kampus ITB dan memberikan rasa aman kepada staff-staff pengajar ITB bangsa Indonesia keturunan Tionghoa dengan berpatroli mendatangi rumah tinggal mereka. Tugas ini berlangsung sekitar 10 hari setelah peristiwa “pengrusakan Braga” di bulan Mei 1962 itu.
Sebagai pribadi yang gemar berkawan, pada saat itu John berkawan baik dengan Prof Kho Kian Ho dan istrinya Ir Lian Pian. Setelah berpuluh-puluh tahun berlalu dan di satu hari, tahun 2013 yang lalu, John melayat ke rumah duka tempat jenasah Prof Kho disemayamkan ., barulah sang istri mengingatkan John akan peristiwa kerusuhan yang terjadi pada masa muda mereka dahulu. Saat peristiwa berlangsung John memerintahkan semua kenderaan mobil milik ITB ditempelkan tanda “Milik Negara”. Tetapi untuk mobil pribadi, ceritera Ir Lian, John mengusulkan pakai tanda “Milik ITB”. Tindakan kecil dan spontan ini, merupakan keputusan dadakan yang dibuat oleh John, dan Lian menceritakan hal ini kembali yang John tetap tidak ingat. Rupanya tindakan yang luput dari ingatan John dan seolah hanyalah sebatas keputusan spontan ini menyelamatkan Prof dan istrinya dari gangguan kerusuhan. Hal-hal seperti ini lah yang membuat John merasa bahwa MENWA telah berperan besar dalam menajamkan instuisinya dan rasa kepemimpimannya. Selain dari itu, solidaritas di antara teman-teman seperjuangan yang telah dipupuk di medan pelatihan dan rasa persaudaraan yang tumbuh itu tidak akan dapat digantikan oleh apa pun juga.
Tanpa disadari, pelatihan yang diterimanya dari WALA dan MENWA telah menguak sosok pemimpin yang ada dalam dirinya. Langkah-langkah terbesar dalam karirnya di STANVAC dan di HUFFCO Indonesia tak lepas dari pengaruh pelatihan tersebut. Pada awal masa karirnya, pimpinan perusahaan asing tersebut melihat bahwa Karamoy adalah hasil dari pelatihan militer jangka pendek yang efektif. Hal ini ditunjukkan lewat disiplinnya, integritasnya, dan rasa hormatnya terhadap sesama; hal-hal tersebutlah yang membentuk karakter dan kepemimpinannya, maka pada saat itu pun ia dipercayakan untuk memegang tanggung jawab yang lebih besar dibandingkan rekan-rekan kerjanya. Di kemudian hari di masa-masa pentingnya dalam berkarir di MEDCO ENERGI dan perusahaannya sendiri ia juga menyadari bahwa persahabatan yang telah ia jalin dengan teman-teman sesama WALA dan MENWA juga telah membantunya untuk melebarkan koneksi bersama teman-temannya yang juga merupakan pemain penting di sejumlah sektor pemerintahan dan swasta. Military has valued him well, itu lah yang beliau rasakan. Hal ini juga terbukti saat ia diharuskan membentuk pertahanan sipil di perusahaan STANVAC (1964 – 1966) untuk menjaga keamanan di wilayah tambang migas Sumatera Selatan, dari rongrongan kelompok kiri dan pertahanan sipilnya menjadi satu-satunya pertahanan sipil yang didukung dan dipersenjatai oleh Divisi Sriwijaya.
Bagi seorang John Karamoy, hal yang paling membekas dan mendalam dari WALA dapat diwakilkan cukup oleh satu kata : “INDONESIA”. Hal ini lah yang berulang-ulang merasuk di dalam jiwa-jiwa muda para peserta Resimen Mahasiswa, a sense of nasionalism. Bukan hanya nasionalisme yang sebatas diumbar di bibir, namun juga dijunjung dengan bangga di hati. Menurut John, Resimen Mahasiswa dan edukasi militer terhadap generasi muda perlu dihidupkan kembali. Begitu banyak nilai-nilai essensial yang telah diturunkan lewat resimen mahasiswa.
Saat ditanya nilai mendasar apa yang seolah lupa untuk disisipkan pada generasi kini, beliau menjawab:
“Saya suka memakai kata ‘responsibility’. WALA telah mendidik kita untuk menjadi pribadi yang bertanggung jawab - responsible, namun bagaimana penerapannya tentunya tergantung masing-masing individu. You have to be responsible for yourself, you have to be responsible for the community, and you have to be responsible for the whole nation. Responsibility starts with you, disitulah integritas dilahirkan. Tanggung jawab lah yang membentuk integritas, yang pada akhirnya membentuk. pribadi seseorang”
Hal ini juga merupakan bagian dari visi Divisi Siliwangi saat membentuk WALA yang merupakan cikal bakal MENWA, yaitu untuk menanamkan nilai-nilai bermanfaat kepada generasi muda Indonesia dan dilanjutkan dengan visi mereka untuk masa depan Indonesia.
Nilai-nilai kebersamaan, gotong royong yang telah mendarah daging dan berderu kencang di setiap penduduk Indonesia, memungkinkan kita untuk melanjutkan visi ini demi kemajuan bangsa kita.
Di hari-hari yang akan datang, akankah mahasiswa tergerak seperti dahulu? Mahasiswa yang dahulu dielu-elukan semangat dan nasionalismenya. Sudah cukup lama nasionalisme para jiwa-jiwa muda ini tidur dalam pasif, John berharap bahwa kelak mahasiswa dapat menghidupkan kembali semangat yang tidur itu. Tidak hanya semangat, namun juga jiwa untuk mengabdi terhadap Sang Saka, jiwa yang haus untuk melayani dan bukan hanya berharap untuk dilayani. John berharap bahwa resimen mahasiswa dapat menguatkan tekad nasionalisme ini, untuk “MENGABDI TANPA PAMRIH”.
Angkatan 26 (1993) menjalankan pendidikan latihan dasar pada bulan Juli-Agustus 1993 di Cikole, dan dilanjutkan dengan Latihan Pemantapan dari Tangkuban Perahu ke Tampak wajah dan kebugaran tubuhnya, jahu lebih muda dari usianya. Harjanto Dhanutirto dipercaya menjadi Komandan Pleton, Komandan Kompi, kemudian Komandan Batalyon I –ITB. Sampai jabatan tertinggi Kepala Staf Resimen Mahasiswa Mahawarman. Kala itu dirinya jua aktf di Himpuan Mahasiswa Farmasi Ars Praparandi.
Di lubuk hatinya ada semacam gugatan, jangan lukai rasa kebangsaan saya. Maka sebagai pemuda yang prihatin melihat bangsanya saat itu, ia tak mau berpangku tangan. “PKI sudah keterlaluan. Orang-orang komunis tidak boleh diberi hati” . Persatuan Indonesia telah di kotak-kotak menjadi Nasakom, Pancasila di kenalkan dengan Marxisme yang anti agama. Jadi ia masuk Resimen Mahasiswa (Menwa) bukan sekedar gagah-gagahan, melainkan suatu proses sejarah di sebabkan luapan jIwa patriotismenya, itu penilaian dar irekan-reka seangkatannya.
Memang daya tahan phisiknya di dapatnya dari kegemarannya oleh raga sejak remaja. Tetapi kekuatan mental dan disiplinnya tertempa melalui latihan militer semasa aktif di Menwa ITB. Dengan resimennya ia bersama ABRI membasmi G 30S/PKI. Pemicunya bukan saja karena rasa kemanusiaan yang tersakiti, tetapi juga keiamanannya yang tersentuh. Betapa para pemberontak komunis itu dengan semena-mena menghancurkan nilai-nilai moral keagamaan yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Baginya ada sebuah kenangan yang tak terlupakan, tatkala terbetik kabar Barisan Soekano akan menyerang markas Mahawarman di Jalan Surapati. Padahal di situ tersimpan banyak E dan Garrant cukup untuk satu batalyon. Haryono bersama rekan- rekannya dengan cekatan seraya menyandang bren, memindahkan senjata itu ke truk. Untung akhirnya sebelum sampai ke markas, pasukan Baret Hijau berhasilnya membelokkan Barisan Soekarno itu. Jika tidak, kemungkinan dirinya dan empat rekannya harus bertempur dengan kekuatan yang tidak seimbang, sehingga mustahil akan selamat.
Atas jasanya ikut berperan membasmi G 30S/PKI, ia menerima penghargaan Satya Lencana Penegak dari pemerintah. Menurutnya Leadership adalah hikmah yang di perolehnya dari aktifitas selama di Resimen Mahasiswa. Dan itu ikut mewarnai perjalanan hidupnya.
Haryanto yang lulus Sarjana Farmasi tahun 1966, lantas menjadi dosen di Almamaternya. Tetapi karena gaji sebagai dosen tidak mencukupi, ia bukannya menambah penghasilan dengan ber bisnis dalam bidang obat-obatan sesuai pendidikannya, malahan menjadi petani. Dibelinya tanah di Lembang seluas 200 tumbak. Sepulang mengajar pukul 14.00 wib, ia mengendarai motor kesayangannya menuju Lembang untuk menanam kol, kentang, tomat dan pekcai. TerKadang pukul 02.00 pagi dirinya harus ke Lembang untuk mengontrol tanamannya.
Berkat ketekunan dan keuletannya dalam bertani, maka hasil tanamannya bagus dan sangat memuaskan, sehingga tekadnya untuk bertani semakin besar, ia pun memperluas lahan pertaniannya, dan makin berkembang hingga 20 hektar. Para pedagang datang sendiri ke kebunnya. Harjanto kemudian mengembangkan sayap usaha ke peternakan, dengan memelihara 40 ternak sapi perah. Setiap sapi bisa menghasilkan 28 liter susu per hari, yang ia perah sendiri. Bahkan Harjanto bisa menarik anak sapinya ketika induknya akan melahirkan.
Pada suatu hari ketika Harjanto sedang memberi kuliah. Pangdam Siliwangi, Witono memanggilnya. “you masuk ke DPR !”.RI. Akhirnya pada tahun 1971, ketika itu usianya 32, Harjanto dilantik menjadi anggota DPR .
“Masa itu buat saya yang penting bekerja, mendalami apa problema yang di hadapi. Jujur kepada pimpinan DPR, bahwa kita harus menyuarakan isi hati rakyat, meski tersandung-sandung, tapi jalan terus,” ungkap Harjanto.
Dari sikapnya itu, ia yang mewakili daerah pemilihan Jawa Barat, khususnya Kabupaten Sukabumi, dengan cermat menyerap problema yang dihadapi masyarakat untuk dibawa ke Jakarta, hingga ke tingkat Nasional. Implikasinya ia menjadi penghubung antara FKP DPR RI dengan daerah Jawa Barat. Bersama Ir. Ajat Sudrajat aktif mendatangai Bappeda Tingkat I dan II untuk menanyakan apa saja yang harus di perjuangkan. Salah satu hasil konkret perjuangan Harjanto dan rekannya adalah di setujuinya pemindahan rumah nelayan menjadi pelabuhan modern di Pantai Pelabuhan Ratu, Sukabumi. Banyak lagi karyanya. Yang pasti pola pembangunan di Jawa Barat kala itu, sebagai usulan mereka lewat FKP.
Selanjutnya ketika sedang aktif di DPR RI, tahun 1978 ketua LIPI, Prof Dodi Tisna Amijaya menawarinya melanjutkan sekolah ke Francis. Namun sesuai peraturan ia harus mengundurkan diri dari kursi DPR, dan melanjutkan pendidikan di Universitas Montpellier, sampai merahi gelar Dokter Kimia Medisinal tahun 1981.
“ Saya bangga dan terharu, karena kita tak kalah dengan orang luar. Meski dengan bahasa sulit saya lulus cum laude”.
Harjanto juga ikut aktif memenangkan Golkar sejak Pemilu 1971 hingga 1987, masih sempat juga bekerja sebagai apoteker di Apotik Gambir. Harjanto yang lahir 14 AGustus 1939, selama puluhan tahun berkecmpung dalam dunia kefarmasian dan kesehatan, banyak karya tulis dan makalah untuk seminar di luar dan dalam negeri, juga karya ilmiah.
Pria yang lahir di Purwokerto ini, direkrut Menteri Ristek B.J Habibie untuk menduduki jabatan di BPPT. Juga dipercaya menjadi Banas 2 Asmen II, Menteri Negera Riset dan Teknologi. Di DPP Golkar ketika itu Harjanto sebagai Ketua Departemen Litbang LHESA. Salah satu anggota Panitia Nasional Pengembangan Bio Teknologi.
Melekatnya semangat kemandirian dan sikapnya yang low profile, di dapatnya dari didikan kedua orang tuanya, dipadu dengan watak kepemimpinan yang diperoleh dari Menwa, serta sifat kewiraswastaan dari mertuanya, Harjanto Dhanutirto pernah menjabat sebagai Menteri Perhubungan tahun 1993-1998 senantiasa siap melaksanakan tugas bagi bangsa dan Negara, sebagai pengabdian kepada Ibu Pertiwi.
Oleh: Ir. Budiono Kartohadiprojo ( Dan Yon I ITB ke -3)
Resimen Mahasiswa (Menwa) itu adalah pendidik yang terpangil karena kecintaan kepada bangsa Indonesia, karena menyadari bahwa kemerdekaan kita dulu diperoleh dengan perjuangan dan pengorbanan para pahlawan. Setelah kemerdekaan kita berkewajiban dan harsus membelanya.
Hampir semua operasi di Indonesia Timur, sampai dengan misi perdamaian di Timur Tengah Menwa ikut serta. Juga dalam misi kemanusiaan beberapa bencana di tanah air.
Secara subtansial mengapa Menwa harus di pertahankan oleh Negara? karena keamanan dan kedaulatan bangsa terancam.
Kita harus melihat bahwa penjajahan kedepan bukan dengan persoalan penguasaan daerah, tetapi melalui teknologi dan ilmu pengetahuan. Kita lihat salahsatunya caranya menguasai aliran suatu Negara. Aliran suata negera adalah bank sebagai cas flow suatu negera yang juga aliran jasa perekonomian. Hal ini bisa kita lihat di Indonesia sebagai besar Bank swasta dikuasi Investor asing. Kalau sudah mengusai bank untuk merebut kedaulatan sebuatu Negara, maka mereka telah menguasai komunikasi suatu Negara. Mengapa? Karena Bank hakikinya adalah komunikasi Negara.
Dari situ kemudian akan mengusai energy. Faktanya sekarang ini lapangan minyak Indonesia telah di kuasai asing, Pertamina hanya menguasai 17 % lapangan minyak di tanah airnya sendiri. Kita tidak memiliki produksi minyak, karena perusahaan asing menjualnya keluar. Kalau sudah begitu penguasaan oleh asing berlanjut dengan penguasaan harga sembilan bahan pokok (sembako). Banyak supermarket asing berdiri di Indonesia, seperti Giant, Carefour, Hypermart, dsb.
Tak hanya disitu, kemudian penguasaan pendidikan, baik melalu kurikulim system belajar mengajar, maupun materi pelajaran yang di masuki budaya luar. Indikasinya sekarang tidak ada lagi pelajaran Pancasila, sejarah dan ideology yang sangat perlu bagi generasi penerus bangsa mempelajarinya agar rasa kecintaan dan bela negera tertanam kuat sejak dini.
Ini semua karena semua penjajahan berlandasan pengetahuan dan teknologi. Maka Seyogyanya yang mempertahankan negara agar terlatih dan berpengetahuan, tentunya Menwa yang berpendidikan dari sekolah tinggi juga mendapat latihan bela negara yang seharusnya di berdayakan dengan baik, karena Menwa adalah insan yang mencitai tanah airnya, sebab dimana ia berada tidak lepas korps Menwa membela Negara, karena lahirnya udah terbawa untuk mempertahanakan dan membela Negara tanpa dipanggil dan dikoordinir.
Menwa banyak berperan dalam kehidupan kampus membantu pengaman kampus, jangan sampai kampus menjadi tidak aman . Juga membantu berbagai aktifitas kampus agar terlaksana dengan baik, seperti saaat penerimaan mahasiawa baru, pengamanan acara wisudawan.
Sangat disayangkan, sekarang ini landasan kita untuk bela negera tidak ada, kalau dulu kita punya landasan. Kalau punya landasan yang jelas kita tidak bisa dimatikan, sehingga tetap bersatu bergabung, berkumpul agar tetap eksis. Kepemimpinan orang-orang yang telah mendapat didikan Menwa setelah keluar sangat diperhitungkan. Mengapa? Menwa telah ditempa di manapun dia berada melekat kecintaan pada profesinya. Memiliki kelebihan dalam kedisplinan, percaya diri, perduli terhadap situasi lingkungan sekeliling, peka terhadap apa yang terjadi disekitarnya yang mempengarahui kedaulatan rakyat , dan peka terhadap kebencanaan. Karena keterpanggilannya tidak dapat di hentikan. Potensi bela Negara di matikan, maka negera akan lemah, karena potensi mempertahankan Negara di hentikan, sehingga menurunkan ketahanan bangsa.
Wacana pembubaran Menwa sejak lama, di antisipasi dengan rasa bersatu yang kuat. Bersatu saling menghormati dan saling menyadari. Wacana pembubaran Menwa bersifat politis, yang di maksudkan menurunkan kemampuan ketahanan bangsa, Indonesia berada diantara dua benua, jadi kalau Indonesia kuat ekonomi politik dan pertahanan, maka bangsa kita menjadi kuat, maka kita selalu di rongrong agar tidak kuat, dengan merongrong secara ekonomi, politik salah satunya melemahkan dunia kampus.apakah itu aturan - aturan menyangkut pendidikan, seperti halnya pelajaran sejarah, pancasila dan lainnya yang menyangkut kecintaan dan bela negara di hilangkan. Begitu juga yang biasanya setiap sekolah dilakukan upacara bendera di banyak sekolah sudah tidak di lakukan lagi, agar generasi penerus luntur cinta tanah airnya.
Potensi alam dan sumber alam kita juga sudah di kuasai investor asing. Bumi Indonesia, semua pulau telah tergadai oleh asing untuk lahan perkebunan dan pertambangan, bahkan sampai merusak kawasan hutan kita.
Kita di bodohkan kita Negara kaya tapi menjadi miskin. Kita hanya jadi penonton. Tidak hanya itu pengerusakan mental anak bangsa telah di lakukan.
Mengapa Indonesia menjadi sasaran untuk melemahkan potensi anak bangsa yang menyangkut belah negara? itu karena Indonesia di takuti karena persatuannya. Dengan senjata apapun persatuan akan sulit di kalahkan. Amerika, Siangpura mengetahui persatuan adalah kekuatan yang tidak terkalahkan, mereka mengalaminya saat berperang di Vietnam, Afganistan, Iran dan lainnya.
Untuk itu ada upaya gimana caranya filosopi, dasar Negara, Undag-undang diganti menjadi paham liberal, maka peraturan sudah menjadi liberal. Contoh Indonesia saat ini paling banyak melaksanakan Pilkada. Padahal Pilkada potensi terjadinya kerusuhan dan permusuhan juga potensi korupsi. Bagaimana tidak korupsi, saat akan maju mejadi anggota DPRD atau kepala daerah harus banyak keluar uang, sehingga setelah di lantik banyak korupsi, hanya berfikir bagaimana dana yang telah di keluarkan bisa kembali, atau bahkan bisa lebih. Akibatnya tanggung jawab tugas sebagai pelayan masyarakatnya menjadi tidak focus.
Menjadi mental korupsi karena filosofi bangsa di rubah. Liberal berpendapat bahwa manusia mempunyai hak dan kebebasan bersama semua menusia. Hal ini melahirkan suatu kekuasaan ,masing-masing tujuan kekuasaan. Pancasila tidak, hak dalam Pancasila bukan orang maupun keluarga, tetapi akan tumbuh yang namanya tenggang rasa. Ujung tujuan akhirnya jika dalam keluarga kerukukan. Kerukunan ini akan melahirkan pesatuan yang amat kuat.
Kerukunan ini kuat maka kesatuan Indonesia menjadi amat kuat buat kepentingan mereka. Kita tahu pasir laut di daerah Batam dibeli Singapura untuk memperluas pantai mereka, sementara pantai kita menjadi rusak, sementara itu batas wilayah kita dengan mereka belum di seujui.
Kalau kita miskin, kita akan mudah disuap. Kemiskinan membuat kita mudah di manfaatkan. Seperti kasus batas wilayah kita denga Malaysia. Mereka bisa masuk kewilayah kita membabat batas wilayah kita sampai ke ujung. Bagaimana mereka bisa masuk, karena kemiskinan masyarakat kita yang di manfaatkan dengan diberi uang untuk memindahkan patok perbatasan. Dengan demikian saat terjadi complain kita tidak bisa melakukan tindakan, mereka juga tidak mengakui memindah batas wilayah, karena meraka yang bukan melalukan, tetapi masyarakat kita yang telah di manfaatkan karena kemiskinan, agar Indonesia bisa dibeli. Orang asing sangat suka kita miskin agar dengan mudah dibeli.
Tujuan akhir liberal adalah mengusai, akan menjual konflik. Sekarang saja sudah terlihat dengan kuasa masing masing menunjukkan kekuatannya. Kesukuan akan muncul kembali. Tetapi dengan pancasila semua suku akan rukun, antar suku harus rukun.
BPUPPKI saat memasukkan piagam Jakarta ,unsur Islam tidak dimasukan, karena demi persatuan, arahnya semua persatuan. Pemuda jaman dulu telah memikirkannya. Tapi saat ini coba di hilangkan secara sistematis melalui filosofi, perang moderan memang begini.
Yang sulit itu sekarang pemerintah tidak berniat membuat landasan Menwa. Landasan hukum sudah habis, gimana jadinya, akan liar sehingga tidak jelas dan gamang. Upaya melemahkan bangsa ini bisa di lawan dengan warga negera yang mencintai bangsanya, dan kerukunan harus di tegakkan.
Rubah system kepartaian sebagai salah satu kumpulan orang atas dasar komponen-komponen untuk pencapaian kebahagiaan. Menurut Pancasila harus ada unsur partai yang bertanggung jawab pada masing-masing bidang, seperti bidang pangan, sandang, papan, rohani, keamanan, sehingga kalau terjadi apa-apa tidak berhasil pada salah satu partai bisa bertanggung-jawab, tapi sekarang pada lepas tangan, karena tidak ada partai yang mengurusi dan memikirkan penuh dan focus pada satu bidang.
Pada waktu di Yon I /ITB, dalam pendanaan batalyon dilakukan masing-masing dengan memperdayakan sumber dana yang ada. Misalnya jurusan mesin, menghubungi ada yang bisa balapan Gokar, agar saat kampus tutup dilakukan balapan, nantinya keuntungan dibagi dua. Ada juga yang saat itu bisa menyanyi melakukan pertunjukan nyanyi. Maka saat melakukan latihan seragam Menwa masing-masing berbeda.
Saya ikut operasi Banjar, daerah tempat basis PKI sehingga tidak diurus dibuat banjir. Maka saat banjir Batalyon turun membuat perencanaan.
Organisasi Menwa adalah Organisasi memberi, bukan meminta Organisasi yang mengabdikan diri. Menyempurnakan tugas dengan ilmu pengetahuan dan ilmu keprajuritan.
Pengabdian pada Negara bukan berdasarkan pada golongan, oleh karena itu pengurus Menwa tidak boleh anggota partai. Karena Menwa memiliki kekuatan sebagai kekuatan negara bukan politik atau golongan, Menwa orientasi kepada Negara.
Politik-politik yang membuat Menwa di sudutkan, karena dengan kekuatan dan potensi Menwa dianggap menjadi persaingannya. Menurut mereka menjadi lawan saya. yang di embuskan para politisi. Saat ini selama pemerintah belum membuat dasar yang kuat bagi Menwa, karena belum ada undang undang dikatakan berkumpul tanpa landasan bisa disebut gerombolan. Bukan komponen penyokong anggaran yang diperlukan, tetapi landasan hukum yang diperlukan. Departemen Hankam membuat Negara punya pusat komponen pusat cadangan nasional.
Banyak pengusaha mengatakan tempat bekerja mereka serupa dengan medan perang. Mereka merasa sebagai mesin-meisn perang yang sewaktu-waktu siap di acungkan dan di gerakkan ke medan operasi tempur. Peranan intelijen menjadi sangat besar untuk persaingan di lapangan bisnis. Bagaimana informasi di dapatkan, di olah dan di gunakan, kemudian di operasikan. Tak ayal seperti panser-panser yang bergerak tenang tapi pasti. Betul-betul menggambarkan sketsa perang sesungguhnya.
Berbicara tentang perang adalah berbicara tentang militer. Berbicara tentang seni adalah berbicara tentang manajemen militer. Military For Business merupakan kajian yang cukup banyak menyita waktu hampir semua top eksekutif, pengusaha dan manager di dunia. Dan sekarang ini yang diminati Sun Tzu.
Apa yang saya dapat di Mahawarman selama menjadi anggota Resimen Mahasiswa, dan selama menjadi Komandan Latihan, Komandan Batalyon itu sudah menjadi modal yang besar. Tidak usah jahu-jahu seperti dalam pendidikan ke staf-an (Dinas Staff), kita mengenal pengorganisasian yang paling mendasar, apa yang dinamakan SITUPAK. Itu manajemen praktis, situasi , tugas pelaksanaan, administrasi dan koordinasi Situasi menyangkut bagaimana keadaan kita, keadaan lawan, bagaimana pasukan kawan, bagaimana pasukan lawan, persenjataan dan bagaimana medan.
Dalam bisnis juga sama bagaimana kekuatan kita, kekuatan lawan, misalnya investasi, peluang, dan lainnya. Kemudian apa tugas, apa tujuan, dll. Lalu pelaksanaannya dan administrasi meliputi logistic, personil staf, dan lainnya. Koordinasi, bagaimana mengkoordinasikannya, pihak-pihak mana. Sederhana sekali dan praktis, tinggal bagaimana cara kita menganologikannya dengan manajemen bisnis.
Jadi seorang Mahawarman sangatlah beruntung, karena sebetulnya system manajemen yang paling baik, rapi, efektif dan efisien adalah system manajemen militer. Kunci keberhasilan seseorang itu ada dua yaitu, manajemen capability ( kemampuan manajemen) dan leadership capability (kemampuan kepemimpinan). Kedua kemampuan tersebut di Mahawarman di ajarkan. Untuk yang namanya manajemen bisnis adalah sama dengan manajemen Mahawarman, tapi kadang-kadang orang tidak dapat menterjemahkannya.. Mana teori dan mana yang di lapangan (praktek). Satu contoh kesamaan manajemen militer (manajemen Mahawarman) dengan menajemen bisnis berdasarkan fungsinya. Komandan bisa kita misalkan direktur atau manajer. Staf intelijen dan pengamanan analog dengan marketing oriented. Kemudian Staf II operasi adalah penjual, sales, pemasar.
Kemudian staf IV logistic analoginya dengan keuangan dan pembekalan. Selanjutnya staf V teritorial sama halnya dengan public relation. Nah, kelebihan seorang Mahawarman udah mengenal ebih dahulu bagaimana tata tertib organisasi itu dilaksanakan. Ini baru bisa di dapat seseorang bekerja di perusahaan asing yang sudah bonafid dan matang.
Kedua adalah leadership, di Mahawaman leadership tidak hanya di dapat secara teori, tapi yang lebih penting di praktekkan, misalnya menjadi pelatih, komandan pleton atau komandan kompi. Bagaimana memimpin di lapangan merupakan suatu seni tersendiri . pemimpin teruji telah di lapangan.
Ketiga, seorang Mahawarman tahu persis apa dan bagaimana membentuk jiwa karsa (espirit de corps). Di dalam bisnis ini di kenal sebagai company image. Di dalam bisnis di kenal dengan company image. Cermin dari hal ini adalah bagaimana seorang bangga terhadap kapabilitas perusahaannya. Tentunya ini di tumbuhkan dengan prestasi.
Latihan fisik di lapangan dan di alam dengan berbagai resiko, jelas sangat penting untuk memupuk jiwa keprajuritan seperti disiplin, jujur, tangkas, tak kenal menyerah, dan sebagainya. Selain itu juga memupuk loyalitas.
Berbicara mengenai Intelijen Bisnis atau Business Intelligence pada prinsipnya ada rasa ingin tahu terhadap apa yang dilakukan oleh pesaing bisnis, namun juga ada perasaan was-was kalau sampai apa yang menjadi strategi perusahaan kita diketahui. Jadi ada yang dinamakan pengamanan informasi yang bernilai strategis dan berperan besar dalam pengembilan keputusan. Setiap top eksekutif harus melengkapi kemampuannya dengan business intelligence. Selain untuk mengetahui dan mempertahankan perusahaan, juga dituntut untuk mampu melihat ke depan, juga harus bisa memprediksikan perubahan-perubahan yang akan terjadi secara langsung maupun tidak tehadap pengaruh laju perusahaan.
Informasi intelijen telah membantu perusahaan-perusahaan untuk melihat gambaran dunia pada 10 atau 20 tahun mendatang. Contoh di Amerika, institusi keuangan Amerika merupakan contoh eksterm dari perusahaan-perusahaan yang mempunyai intelijen tidak efektif, akibatnya sejumlah lembaga keuangan seperti Citibank, Firs Boston Dillon Real, dan lainnya tak luput mengalami kegagalan. Akan tetapi masih ada anggapan sebagian top eksekutif bahwa upaya intelijen merupakan suatu kemewahan, padahal sebenarnya justru merupakan kebutuhan mendesak.
Oleh Yunus Situmorang (Ekek ke-4, Mantan Danyon I/ITB)
Sejak Sekolah Rakyat di Kabupaten Asahan Sumatera Utara, Yunus Situmorang bercita cita akan menempuh Ilmu di Institut Teknologi Bandung di Bandung. Anak kelahiran Pulau Samosir Sumatera Utara, memasuki ITB 1967 pada program Studi Jurusan Matematika ITB. Saat yang sama, sebenarnya dia mendaftar dan diterima di Fakultas Teknik Sipil Universitas Katolik Parahyangan Bandung. Di ITB, pilihannya memang hanya Jurusan matematika.
Wajib Latih Mahasiswa (Walawa) salah satu program mata kuliah Kewiraan, untuk semester 1, 2, 3 dan 4. Walaupun mata kuliah Kewiraan hanya 2 sks per semester, namun latihan setiap hari Sabtu, wajib diikuti seluruh mahasiswa ITB sejak 1967 dan terakhir 1972, selama 4 semester.
Latihan Walawa semester 1 dan 2, memikat Yunus situmorang mengikuti Latihan Kader Batalyon I Mahawarmaan ITB tahun 1968. NBP A.680026. Karena sudah mengikuti latihan kader Batalyon I ITB 1968, tidak perlu lagi mengikuti kuliah kewiraan semester 3 dan 4. Nilai kewiraan diberikan oleh Kolat Walawa. Dan 1969 Yunus Situmorang mengikuti Kursus Guru Militer yang diadakan ITB bekerjasama dengn Kodam III Siliwangi, untuk memenuhi kebutuhan Asisten Kewiraan ITB saat itu. Lulus Kursus Guru Militer, aktif menjadi Asisten Kewiran dan aktif sebagai anggota Mahawarman Batalyon I ITB.
Mendukung kegiatan latihan Walawa ITB , 1970, Yunus Situmorang ditunjuk oleh Komando Latihan Walawa, menjadi Komandan Peleton. Selama 1 tahun, atau 2 semester. Jabatan Danton Pasukan ini, mulai membentuk jiwa kepemimpinan. Ternyata merapihkan pasukan satu Peleton dengan anggota 39 orang, setiap pagi dengan apel pagi dan siang pada apel siang, setiap hari Sabtu, adalah melatih kita melaksanakan teori kepemimpinan.
Sukses menjadi DanTon, 1971, Yunus Situmorang diangkat oleh Komando Latihan (Kolat) menadi Komandan Kompi A. Kompi A selalu menjadi patokan formasi pasukan dalam barisan saat apel pagi dan apel siang. Aba aba, Komando selalu dilakukan oleh Komandan Kompi A (Dan Kie A). Suara yang lantang dan keras disenangi KoLat, dan seluruh pasukan sekitar 1000 orang di lapangan Sepakbola ditengah Kampus ITB adalah saksi bisu, semaraknya Walawa ITB, seluruh pasukan mendengar aba-aba.
Setelah ada evaluasi mata kuliah Kewiraan 1971, Yunus Situmorang tidak mengetahui persis, apa alasannya, sehingga mata kuliah Kewiraan untuk penerimaan mahasiswa baru 1972 ditiadakan. Tetapi mahasiswa 1967 sampai 1971, yang belum lulus mata kuliah kewiraan, tetap diadakan latihan Walawa tahun 1972. Dan ternyata ada sekitar 800 orang mahasiswa ITB angkatan 1967-1971 yang belum lulus mata kuliah kewiraan, sehingga, masih diberikan kesempatan mengikuti latihan Walawa 1972, selama 2 semester.
1971, ada pergantian Dan Yon I ITB dari Budiono Karto Hadiprojo kepada Robert M Sinaulan. Oleh Dan Yon I ITB yang baru, Yunus Situmorang ditunjuk menjadi Kepala Seksi V (Kasie V) Humas Batalyon I ITB. Pada masa waktu yang sama,Yunus Situmorang sudah aktif di Himpunan Matematika ITB, terpilih menjadi Ketua Himpunan Matematika ITB. Dan menjadi Senator dari Himpunan Mahasiswa Matematika ITB dalam badan Majelis Permusyawaratan Mahasiswa (MPM) ITB. Karena belum diatur dengan baik, tahun 1971-1972, dalam forum Badan Pertimbangan Mahasiswa ITB (BPM), Yunus Situmorang dipilih menjadi Ketua BPM. Anggota BPM saat itu terdiri dari Batalyon I ITB, Liga Film ITB, Radio 8 EH ITB. Badan ini memberikan pertimbangan dalam kegiatan Dewan Mahasiswa (DM ITB) sebagai eksekutif, MPM ITB sebagai legislatif Mahasiswa ITB. BPM posisinya hampir mirip Yudikatif, tetapi belum diatur lengkap dalam AD ART DM dan MPM ITB.
Tahun 1971-1974 adalah tahun tahun yang sangat sibuk bagi Yunus Situmorang. Tahun 1971, sudah lulus dan menerima Ijazah Sarjana Muda Matematika ITB. Program mata kuliah 6 semester diselesaikan dalam 4 tahun. Tetapi karena kurikulum saat itu 10 semester, maka masih harus menempuh atau menyelesaikan sampai tugas akhir dalam 4 semester lagi. Beberapa mata kuliah sudah lulus. Namun kegiatan yang menjadi tumpang tindih, Himpunan, Batalyon I ITB, BPM dan MPM ITB, benar benar menghabiskan waktu. Sempat lupa kondisi ekonomi yang kurang memadai.
Puncak kegiatan kesibukan Walawa adalah 1972. Latihan tahun ini adalah menyelesaikan mata kuliah Kewiraan yang belum lulus bagi mahasiswa ITB 1967-1971. Yunus Situmorang ditunjuk menjadi Komandan Batalyon Latihan Walawa ITB. Mengorganisir kegiatan latihan, sesuai program yang sudah disusun oleh Komando latihan, DanLatnya Onang Mertoyono, menjadi bagian terpenting dalam hidupnya. Ada sekitar 800 orang pesertanya. Sebenarnya latihan Walawa ini sangat berguna. Namun ekses, peristiwa pada penutupan Walawa 1971 di Cikole menjadikan ada evaluasi terhadap kegiatan Walawa.
Peristiwanya bermula saat pemberangkatan pulang dari tempat latihan di Dodik Cikole. Latihan akhir di Cikole selama 2 minggu. Setelah ditutup, hadir Rektor ITB, Kamatrik ITB, Perwakilan Kodam III Siliwangi dan Perwakilan Departemen Pertahanan RI dari Jakarta, sebagai pemilik dan pemberi dana program latihan Walawa. Pengumuman dari Kolat, tidak seperti biasanya, naik truk mestinya dimulai dari Kompie A. Ini kesalahan Kolat. Entah pertimbangan apa, Kompie A mau dibelakangkan. Sehingga anggota peserta Kompie A gelisah, bersungut sungut, dan anehnya tiba2 kompak jalan kaki dalam berbaris dari Cikole sampai ke Lembang. Ada yang bangga dapat baret ungu, tetapi ada juga yang kecewa karena kompie A mau diberikan berangkat bukan yang pertama. Saat barisan berjalan masih dalam formasi berbaris, melewati Undangan yang hadir, tiba2 ada peserta yang melempar baret keatas. Dan rame2 satu kompie itu melempar baret keatas. Yunus Situmorang tidak bisa mencegah mereka, peserta yang dipimpin oleh Dankie Siswa. Karena sudah capek, mungkin ada sedikit stress.
Sukses menjadi Komandan Pasukan Walawa 1972, dan Kasie V Yon I ITB, akan ada pergantian Komandan Batalyon I ITB tahun 1973.Yunus Situmorang, beberapa kali diajak berbicara oleh senior. Di Markas Batalyon ruang sayap kiri pintu Ganesa 10, dan di ruang Kolat Walawa. Yang paling serius, Yunus Situmorang diajak ngobrol oleh Mahdi Kartasasmita. Sambil berdiri dekat tihang bendera pintu masuk halaman depan kampus ITB, berbicara sangat serius. Yunus Situmorang, berpikir sangat berat. Berat karena ekonomi yang tidak memadai, untuk menghidupi dirinya dengan adik dan keponakannya yang tinggal bersama di Bandung, sama sama kuliah, harus memberikan privat les dan menjadi guru honorer di salah satu SMA swasta. Jam kuliahpun sering terganggu. Konsentrasi belajar mata kuliah juga terganggu. Akhirnya Yunus Situmorang menerima Jabatan Komandan Batalyon I ITB, dengan syarat hanya bisa selama 1 tahun. Kalau periode komandan Batalyon sebelumnya 2 tahun, masa kepemimpinan Dan Yon I ITB, Yunus Situmorang hanya 1 tahun. Serah terima diadakan di ruang Rektorat ITB jalan Tamansari, di hadapan Rektor ITB Prof Doddy Tisna Amijaya. Dari Robert M Sinaulan kepada Yunus Situmorang. Kebetulan sama sama mahasiswa Jurusan Matematika ITB.
Ternyata, menjadi anggota Mahawarman, menjadi anggota Senator di MPM, menjadi titik awal minat Yunus Situmorang ke bidang politik. 1972 Senator Himpunan Matematika Yunus Situmorang terpilih menjadi salah satu Wakil Ketua Majelis Permusyawaran Mahasiswa (MPM) ITB. Ketua Umum Wirakusuma, Wakil Ketua Berlin Simarmata, dan Yunus Situmorang, Sekjen Sahala Rajagukguk.
Pada masa ini, MPM mengirim surat kepada Ketua DPRD Jawa Barat, agar kalau ada kegiatan rapat2 di DPRD, MPM ITB diundang. Benar, DPRD Propinsi Jawa Barat, sering mengundang MPM ITB, menghadiri rapat2 DPRD. Pada masa ini juga, difasilitasi oleh kerabat Pangdam III Siliwangi, Yunus Situmorang berkesempatan berbincang bincang dengan Panglima Siliwangi Mayor Jenderal Witono di kediaman rumah Dinas Jalan Wastukencana. Berbagai issue politik dibicarakan saat itu, sekitar 2 jam, termasuk beliau sarankan menjadi anggota DPRD Jawa Barat. Kalau ada PAW. Tetapi karena kuliah belum selesai, ingin menyelesaikan dahulu. Pembicaraan saat itu juga dibicarakan wacana akan ada segera penyederhanaan Partai menjadi 3 partai dari 10 partai yang ada. Pada Fusi Januari 1973, Yunus Situmorang diangkat menjadi Wakil Bendahara DPD Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Mungkin pilihan ini, kurang pas saat itu, kepada Panglima, karena ABRI berada dalam Golkar sebagai jalur A. Kalau Jalur A, Panglima penentu, dan dominan di Golkar. Karena kuliah, benar2 terganggu, sehingga 1976 Yunus Situmorang mengundurkan diri dari Partai politik. Mendapat pengalaman, terlalu keras intrik2 dalam partai politik, temasuk memacu pikiran Yunus situmorang untuk mundur dari Parpol. Yunus Situmorang, berpikir dalam Parpol itu bisa berjalan jujur, nyatanya tidak, tetapi bagaimana kepentingan.
Masa kepemimpinan sebagai Komandan Batalyon I ITB, ada beberapa kegiatan atau peristiwa yang sangat penting. Pertama kejadian terbakarnya gedung Jurusan Kimia. Menjelang puasa, 1973, seorang karyawan laboratorium Kimia, membuat adonan bahan petasan di lantai 2. Entah kesalahan apa, malam malam terjadilah ledakan keras, sehingga membuat lobang besar di lantai 2, dan terbakarlah gediung Kimia.
Peristiwa kedua, adalah Rapat Dewan Mahasiswa ITB yang dihadiri DM kampus lain dan seluruh Unit Kegiatan di ITB, Ketua2 Himpunan. Rapat diadakan di aula Barat Student Centre . Rapat dipimpin oleh Komarudin, Wakil Ketua DM ITB Desember 1973. Komarudin mengajak mahasiswa Bandung, agar bersama sama mendukung Gerakan Demo di Jakarta yang akan dilaksanakan Januari 1974. Komaruddin mengajak agar rombongan di kawal oleh Batalyon I Mahawarman. Mahawarman punya senjata, jadi aman, kata komarudin. Yunus Situmorang sebagai DanYon dan saat rapat juga berpakaian dinas, langsung menjawab menolak ajakan Komarudin. Akhirnya karena Batalyon I Mahawarman menolak, dan peserta yang lain juga setuju dengan sikap Mahawarman Yon I ITB, mahasiswa Bandung mengambil keputusan, tidak usah ikut demo di Jakarta.
Rupanya itulah nasib baik untuk mahasiswa Bandung. Demo Januari 1974 terkenal dengan sebutan Malari, tidak melibatkan mahasiswa Bandung. Demo anti Jepang itu dipimpin oleh Hariman Siregar Ketua Umum Dewan Mahasiswa UI, akhirnya rusuh. Banyak gedung rusak, dibakar, terutama yang berhubungan dengan Jepang. Salah satu yang rusak berat adalah gedung kantor Astra.
Panglima Kodam III Siliwangi, Jenderal Aang Kunaefi, mengundang Skomen dan Danyon2 di kediman Panglima Jalan Wastukencana Bandung. Panglima memuji mahasiswa Bandung tidak ikut demo di Jakarta yang membuat Jakarta rusuh. Dan berterima kasih kepada Mahawarman Jawa Barat atas partisipasi menjaga keamanan. Kasmen saat itu adalah Pontas Hutagalung.
Dengan tekad yang bulat, ingin menyelesaikan kuliah di ITB, 1975, Yunus Situmorang, mengadakan instrospeksi diri. Sehingga, untuk lulus dari Jurusan Matematika ITB, sebenarnya tinggal beberapa matakuliah, tingkat akhir, semester 9 dn 10. Eeh, konddisi Timor Timur, Pemerintah cq Departemen Pertahanan RI, memanggil Sarjana seluruh Perguruan Tinggi Utama, ITB, Unpad, UI, IKIP, UGM dll menjadi Perwira Cadangan. Perang Timtim, banyak korban meninggal para komandan regu, Komandan Peleton atau Kompie. Fretilin tahu, memilih sasaran tembak yaitu mereka yang memakai kort merah. Sehingga TNI banyak kehilangan komandan. Kalau menunggu lulusan Akabri, lama, maka direkrutlah dari Sarjana Perguruan Tinggi. Diadakan seleksi di Bandung, Jakarta. Hasilnya, 49 Sajana dilatih Infantri di PPI Bandung selama 6 bulan 1976. Hasil evaluasi Kodiklat PPI, Yunus Situmorang terpilih menjadi lulusan siswa terbaik, dan mendapat Piagam Penghargaan dari Menteri Pertahanan RI Lulusan Terbaik, dan dilantik menjadi Perwira Cadangan TNI AD, setara Letda sarjana Muda, Lettu Sarjana lengkap.
Perwira Cadangan yang 49 orang ini, selama perang Timtim, masih menunggu panggilan bertugas. Rupanya situasi Timtim makin membaik. TNI bisa menguasai perang, sehingga Perwira Cadangan ini, tidak jadi diterjunkan ke Timtim. Rupanya, para Perwira Cadangan ini, banyak yang bersemangat menjadi anggota TNI dan Polri. Sehingga sebagian anggota perwira cadangan mengikuti panggilan Menhan, menjadi anggota TNI dn Polri aktif.
Yunus Situmorang dipilih oleh anggota menjadi Koordinator. Pada Parade HUT ABRI 1978, peleton Perwira Cadangan, menghadiri pawai barisan pasukan ABRI. Yunus Situmorang memimpin pasukannya yang hanya satu peleton berbaris dengan rapih dihadapan Presiden Soeharto dan Menhankam saat itu. Karena kegiatan kegiatan yang berhubungan dengan TNI ABRI, Yunus Situmorang menjadi dekat dengan Mabes TNI, khususnya Puscadnas. Mayjen Gatot Suwagio, sebagai Kapuscadnas saat itu, sangat banyak memberikan perhatian kepada anggota Pacad ini. Pemerintah juga memberikan tunjangan bagi Pacad.
Gerakan Mahasiswa 1977-1978, memberikan kontribusi dalam mengoreksi Pemerintahan Soeharto. Resimen Mahasiswa dalam kondisi dilematis. Bela negara adalah Visi Misi Resimen Mahasiswa. Sebagai anggota komunitas Mahasiswa, Resimen Mahasiswa semakin tidak disenangi kelompok tertentu mahasiswa anti Soeharto. Puncaknya adalah, dibubarkannya Kep 3 Menteri, Menhankam, Mendikbud dan Mendagri. Idealisme Resimen Mahasiswa tertinggal oleh gerakan Demokratisasi dalam Pemerintahan. Namun 10 tahun kemudian, mundurnya Soeharto, membuat KepMen 3 Menteri itu bubar. Organisasi Resimen Mahasiswa, tidak terorganisir lagi sampai tahun 2000an. Batalyon2 di Kampus2 jalan sendiri, menghadapi pesimisme sebagian mahasiswa terhadap gerakan Bela Negara. Padahal, semua Negara di dunia, masing2 mempunyai cara untuk membela Negaranya. Mahasiswa harus menjadi garda terdepan Bela negara karena komunitas mahasiswa ini adalah bagian dari kelompok cendekiawan, calon pemimpin Bangsa.
1978 Yunus Situmorang resmi menjadi Pegawai Negeri Sipil, sebagai asisten di lingkungan Jurusan Matematikan ITB.Otomatis sebagai PNS di lingkungan ITB, harus taat pada aturaan sebagai PNS. Korpri sebagai wadah PNS memberikan peran penting, dalam penataran P4, otomatis Yunus Situmorang terlibat dalam tatar menatar. Yunus Situmorang sudah mengikuti penataran berbagai tingkat, Daerah dan Pusat. BP7 sebagai wadah para Manggala. Sehingga kegiatan seperti ini, membuat terlena, soal studi menjadi terlambat. Tinggal tugas akhir, tdk terselesaikan tepat waktu. Untuk menambah jumlah kredit SKS, dan menambah ilmu diluar Matematika, Yunus Situmorang mengambil 5 mata kuliah di Jurusan Teknik Industri ITB. Dan saat itu diperbolehkan dalam kurikulum Jurusan Matematika. Tugas akhir membahas teori Poisson, yang digunakan dalam Ilmu statistika. Yunus Situmorang mengambil sampel dari antrian kendaraan jalan Toll Jagorawi. Waktu itu baru dibangun dari Jakarta ke Cibubur. Untuk mendapat data2 dari Jasa Marga, atas dukungan Menpera Cosmas Batubara, jadilah tugas akhir syarat kelulusan dari Jurusan Matematika.
1978, Golkar membentuk organisasi Pemuda dan Mahasiswa. Deklarasi Pandaan, dibentuklah Angkatan Muda Pembaharuan Indonesia. Dimulai dari DPP, DPD Propinsi, DPD Kabupaten dan Kota.
Yunus Situmoraang dipanggil oleh Waaster Kodam III Siliwangi, Letkol Ateng Wahyudi di Jalan Sumatera Bandung. Beliau berbicara mengenai AMPI. Beliau minta , Yunus Situmorang, agar bersedia dimasukkan sebagai Pengurus DPD Propinsi Jabar, sebagai Wakil Sekretaris. Jabatan ini ditekuni hampir selama 17 tahun. 2 tahun pertama, sampai 3 kali Musda AMPI, bersama Sekretaris DPD AMPI Jawa Barat Dada Rosada. Aktif sebagai Wakil Sekretaris AMPI Jawa Barat, sebagai Penatar P4, aktif di DPD Golkar Jawa Barat, sekaligus sebagai PNS di ITB, pada masa Raja Inal Siregar sebagai Pangdam III Siliwangi, Pemilu 1987, Yunus Situmorang dicalonkan Golkar menjadi calon anggota DPRD Jawa Barat pada urutan 57. Para Pejabat pengumpul suara sebanyak 16 orang, praktis nomor urut 57 masuk menjadi anggota dari Golkar, dari 63 anggota sampai 1992.
Pada masa Kol Yoshu Sukardi sebagai Kakan Sospol Pemda Jawa Barat, Yunus Situmorang dimasukkan sebagi Penasehat DPD KNPI Propinsi Jawa Barat, hasil Musda di Lembang Bandung. Pendirian KNPI di kota Bandung 1973, Yunus Situmorang sebagai generasi Muda dari Kampus ITB, diundang menandatangani Deklarasi pendirian KNPI Kota Bandung, bertempat di Gedung Kesehatan Jl.Supratman-Diponegoro Bandung.
Setelah selesai bertugas di DPRD Jawa Barat, Rektor Universitas Katolik Parahyangan DR.Pande Raja Silalahi, meminta Yunus Situmorang, bergabung dalam sebuah tim, merencanakan membangun 2 Fakultas baru di Unpar Bandung. Yunus Situmorang bersama 4 orang lainnya, dapat menyusun kurikulum 2 fakultas, yaitu Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, program studi Matematika dan Fisika dan Fakultas Teknik Industri dengan program studi Teknik Industri dan Teknik Kimia. 1993, 2 fakultas ini, menerima mahasiswa baru, Yunus Situmorang ditunjuk menjadi Pembantu Dekan III Kemahasiswaan di 2 fakultas itu. PD III Kemahasiswaan FMIPA dan PDIII FTI sekaligus 1993-1996.
1978, sebagai staf khusus di Direktorat Kemahasiswaan Direktorat Pendidikan Tinggi Jakarta, menambah kegiatan yang luar biasa. Hampir selama 5 tahun, sebagai staff khusus, harus bolak balik Bandung Jakarta. Naik Bus atau naik Kereta Api. Penugasan dan perjalanan dinas ke berbagai kota di Indonesia, benar2 menyita waktu. Direktur Kemahasiswaan Kol Pol. Sulaeman, memberikan tugas yang sangat banyak. Termasuk memonitor kegiatan Bakti Sosial Menwa Indonesia di Timor Timur.
Kerjasama Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Puscadnas Hankam, dan Depdagri, mengirim banyak Menwa ke Timtim. Berbagai kegiatan sosial dilaksanakan disana , mulai Pendidikan, Kesehatan, Pertanian dll. Dengan hubungan baik, antara Pemerintah Propinsi Timor Timur dengan berbagai Departemen, Gubernur Mario Viegas Carascalao, menawarkan kepada Yunus Situmorang, bisa membantu di Pemda TimTim. Saat itu Sekda Timtim dijabat oleh Kol. J Sinaga dari Bandung. Karena kegiatan di Bandung tidak bisa ditinggalkan, Yunus situmorang tidak jadi bertugas di Pemda Timtim.
Sebagai Sekretaris Komisi D DPRD Jawa Barat, Yunus Situmorng, memberikan perhatian yang besar masalah transportasi di Jawa Barat. Dinas Perhubungan Jawa Barat sebagai mitra kerja Komisi D memberikan apresiasi atas perhatian itu. Komisi D mendorong pembangunan jembatan2 penghubung antara Sukabumi Selatn dari Pelabuhan Ratu , Cianjur Selatan, Kabupaten Bandung Selatan sampai ke Garut Selatan. Pantai yang indah dan asri, perlu dibuka, agar ekonomi rakyat Jabar Selatan ini, berkembang mengikuti ekonomi Jabar Utara. Sehingga loan Luar Negeri untuk membangun Jembatan dibutuhkan banyak. APBD Jabar disediakan 10% sebagai partisipasi dana pendamping penerima loan, khususnya pengadaan rangka baja jembatan.
DPD Organda Jawa Barat meminta Yunus Situmorang aktif menjadi Kepala Biro Pendidikan Organda Jawa barat. Pada Musda berikut, menjadi Wakil Ketua DPD Organda Jawa Barat. Karena Ketua DPD Organda Jawa Barat Kol CPM W Suprapto meninggal Dunia, Yunus Situmorang menggantikan posisi Ketua DPD Organda Jawa Barat 2002-2003. Tahun 2003-2008 menjadi Ketua Dewan Penasehat DPD Organda Jawa Barat.
Gempa Tsunami Aceh Desember 2004 dan Gempa Nias Maret 2005, memanggil Yunus Situmorang aktif menjadi manager Tugas2 khusus dan pengurusan Penyelesaian Pengungsi, ditempatkan di Gunung Sitoli Nias 2005- 2007. Yunus Situmorang mendapat pengalaman sangat berharga, menangani pengungsi di Nias, Sumatera Utara. Pengalaman berharga itu, sebagai penyesalan, tidak bisa mewujudkan harapan seluruh masyarakat Nias yang membutuhkan bantuan sesuai rencna. Kendala utama adalah, mencari lahan untuk dibangunnya rumah sementara dan rumah permanen bagi korban Gempa 7,9 SR. Pulau Nias miring, nias Utara naik 2 meter dari permukaan laut, sedangkan Nias Timur Tenggara di Idano Gawo, turun 2 meter, sehingga sebagian terendam air. Karena sistem kekerabatan , kepemilikan dan penguasaan tanah adalah keluarga, maka kesulitan mencari tanah lokasi membangun rumah sementara dan rumah permanen, terhambat. Tidak bisa tepat waktu. Penyelesaian Pengungsi seadanya, baru selesai setelah 4 tahun BRR di Nias. Belum lagi, bahan frame baja ringan dari Muangthai dan kayu papan pinus didatangkan dari New Zealnd. Knoked down.
Yunus Situmorang sudah melakukan negosiasi kepada IFRC, International Federation Red Cross, sudah bersedia menambah bantuan penyediaan Rumah sementara, bagi pengungsi dan keluarga miskin Nias. Hanya gara2 tidak ada dana survey penerima bantuan, sebesar 100 juta bagi BPS melakukan survey, rencana bantuan itu tidak bisa direalisasikan. Masyarakat Nias dan Nias Selatan adalah Kabupaten nomor 2 termiskin di Sumatera Utara hasil survey BPS tahun 2004. Setelah BRR selesai melaksanakan tugas sesuai Keputusan Pemerintah Pusat, BRR meninggalkan banyak perbaikn di Nias dan Nias Selatan. Sejajar dengan Kabupaten lain di Sumatera Utara. Saat ini Nias sudah terdiri dari 4 kabupaten dan 1 Kota. Jumlah penduduknya , jauh lebih banyak dari Propinsi Gorontalo. Namun Nias tertinggal dari Gorontalo, pembentukan Propinsi. Nias bercita cita menjadi satu propinsi, pemekaran dari Sumatera Utara.
Oleh: Ir. Susilo Siswoutomo (E – 7)
Masa tahun 2000 -2005 an, kondisi Yon I sangat menyedihkan dan memprihatinkan. Bagaimana tidak, jumlah anggota aktif Yon I dan mahasiswa ITB yang berminat menjadi mengikuti Diklatsar tiap angkatannya bisa dihitung dengan jari tangan.
Bandingkan dengan jumlah anggota yang aktif dan berminat pada awal awal berdirinya Yon-I Menwa ITB, yang rata-rata diatas satu peleton per angkatan. Kondisi ini jelas merupakan SOS, tanda bahaya dan awal dari lonceng “kematian” Yon-I kalau tidak dilakukan penyelamatan.Bila ini terjadi, jelas merupakan pukulan telak bagi Yon I-ITB yang berpredikat sebagai menwa tertua dan pelopor bagi berdirinya menwa di negara ini. Apalagi, dalam sejarah pendiriannya sampai masa2 tahun delapan puluhan, peran Yon I-ITB tergolong sangat signifikan dan membanggakan. Tengoklah peran nya pada masa G30S/PKI, betapa keberadaan menwa, khususnya Yon I-ITB sangat efektif untuk membantu Pemerintah menghadapi dan melumpuhkan pengikut2 mereka di kampus.
Satu peristiwa yang selalu dikenang oleh seluruh anggota Yon I-ITB adalah peristiwa 19 Agustus 1966, yaitu ketika dua kompi Yon I-ITB dengan senjata lengkap, menghadapi dan mempertahankan kampus ITB dari amukan massa yang menamakan Barisan Soekarno, dan secara terang-terangan ingin memberangus kampus ITB. Dalam peristiwa ini jatuh korban seorang anggota Menwa Yon I-ITB gugur.
Tak hanya itu, tahun 1978, saat terjadi pendudukan kampus dalam peristiwa NKK-BKK, yang waktu itu Rektor ITB dijabat oleh pak Wiranto Arismunandar, Yon-I ITB diperintah oleh Rektor melalui surat perintah Rektor ITB No. 006/Rek/78 membantu ITB untuk: 1). mengambil alih kampus secara halus dari tangan militer; 2). melaksanakan normalisasi kehidupan kampus; 3). melakukan pengamanan terhadap seluruh fasilitas kampus; serta 4). membimbing mahasiswa baru memasuki kehidupan kampus. Dan kita semua tahu tugas tersebut dilaksanakan dengan sempurna, elegan dan baik oleh Yon-I.
Prestasi dan kebanggaan tersebut akan hialng dan terancam, dengan kondisi yang terjadai pada awal 2000 an ini. Jujur harus kita akui bahwa pada era 2000-2005 tersebut, banyak faktor yang menyebabkanadik adik kita malas dan enggan untuk menjadi calon anggota Yon-I menwa. Perubahan dari Unit Kegiatan Mahasiswa khusus Menwa menjadi UKM; waktu kuliah semester yang pendek (bertepatan dengan waktu pendidikan latihan dasar menwa); beban kuliah yang berat serta ancaman “DO”; ketakutan mendapat IP (Indeks Prestasi) akademik yang rendah sehingga sulit bersaing dalam mencari kerja; latihan menwa yang keras di lapangan, takut tidak mampu mengikuti, ketiadaan dana untuk pelaksanaan Diklatsar karena terhentinya dana pembinaan dari ITB; beratnya latihan, issue militerisme kampus dan lain lain merupakan factor factor penyebab dari merosotnya animo masuk menwa. Semboyan Widya Castrena Dharma Sidha belum cukup ampuh untuk membujuk dan menarik minat sebagian besar mahasiswa ITB ikut kegiatan Yon-I.
Untungnya masih tetap saja ada sebagan kecil mahasiswa ITB yang masuk dan mau ikut diklatsar, menghidupkan dan melanjutkan serta memastikan bahwa Yon-I tetap eksis dengan tenaga anggota aktif yang bisa dihitung dengan lima jari saja. Semangat Widya Castrena Dharma Sidha lah yang mendorong mereka untuk tetap berusaha semaksimal mungkin.
Tetapi masalah yang dihadapi oleh Yon-I terlalu berat dan rumit untuk bisa dihadapi seorang DanYon yang notabene masih mahasiswa, yang masih belum cukup dan lama memakan asam garam dan pengalaman yang singkat baik dalam leadership, managerial untuk membuat keputusan yang diperlukan untuk penyelematan Yon-I. Belum lagi mereka juga harus melakukan kegiatan kuliah seperti mahasiswa mahasiswa lainnya, karena tujuan mereka kuliah di ITB ya cepat lulus, bukan hanya untuk mengabdi dan beraktivitas di Yon-I.
Jadi amat tidak realistis Alumni Menwa ITB mengharapkan terlalu banyak dari adik2 yang dari segi jumlah dan pengalaman belum cukup, untuk menyelesaiakn masalah SOS yang dihadapi oleh Yon-I.
Menyikapi kondisi ini, para alumni dan senior Yon I-ITB sangat aktif dan intens membahas, menyampaikan sumbang saran baik melalui diskusi lewat milis, pertemuan dan rapat2 di Bandung, Jakarta – yang inti dan fokusnya adalah bagaimana menyelamatkan Yon-I dari “kematian”. Semua sepakat bahwa Yon-I harus tetap eksis dan berkembang. Dinamika diskusi yang hiruk pikuk dan sangat ramai, selalu terbentur pada siapa yang harus melaksanakan, kapan, detilnya bagaimana dan lain sebagainya.
Namun, ya seperti biasa, saking banyaknya masukan/usul yang berbeda dari masing2 pihak, kebanyakan hasilnya ya sebatas diskusi. Ya jelas langkah langkah konkret dengan program-program perbaikan yang applicable praktis tak kunjung jelas untuk dilaksanakan. Kondisi itulah yang saya amati dan lihat. Semua sepakat “we need to do something”. Peran dan masukan dari senior2 kita seperti mas Djoni Saleh (Lo suhu); mas Budiono, mas Edi Bowo, mas Tjipto Soekardono, mas Indradjaja dan para senior yang lain “is more than enough” untuk modal kedepan.
Itulah yang mendorong saya, menjelang akhir tahun 2003, untuk menyusun dan mengusulkan Program “Rebuilding” Batalyon I-ITB. Program tersebut pada intinya merangkum saran atau pun masukan dari para alumni menwa ITB agar nasib dan keberlangsungan Resimen Mahasiswa Mahawarman Batalyon I-ITB bisa diselamatkan dengan aksi-aksi yang nyata di lapangan. Program “Rebuilding” Batalyon I-ITB tersebut, tidak asal dibuat, tapi benar-benar dirancang sedemikian rupa – dengan melihat kendala/tantangan yang dihadapi dan pilihan strategi yang akan dilaksanakan dalam mencapai target yang dikehendaki – agar bisa dijalankan.
Program “Rebuilding” terbagi menjadi dua tahapan: Program Singkat Jangka Pendek dengan target waktu satu (1) tahun dan Program Jangka Panjang.
Program Singkat terdiri atas crash program dengan fokus membantu Yon I untuk tetap eksis dan bangkit kembali dengan menarik minat mahasiswa ITB untuk menjadi anggota Yon-I serta redesign Yon I. Termasuk disini wacana program ROTC (Reserve Officer Training Corps). Dalam menarik mahasiswa ikut diklatsar ini para senior dengan pengalaman masing2 terjun membantu Yon-I kampanye melalui seminar2, talkshow baik tingkat pusat ITB maupun jurusan2 melibatkan mas Budiono disamping saya sendiri. Training EQ oleh mas Hermanto Kosasih; Talent mapping oleh Abah Rama. Yon-I juga saya libatkan untuk pelaksanaan EQ training untuk pimpinan mahasiswa; dosen/staff pengajar termasuk Rektor yang disponsori oleh Alumni ITB70 dan semua kita kerahkan untuk untuk menarik mahasiswa.
Program Jangka Panjang terinci atas: Pemberdayaan/acara alumni (pendataan alumni, temu akbar alumni/Hanata, program outbound/refreshing, program pengabdian masyarakat); pendidikan dan latihan; wacana pilot project ROTC di ITB, serta usaha membantu ITB menjalin kerjasama dengan Mabes TNI/BPPT; penggalangan dan pengelolaan dana; serta restrukturisasi organisasi Corps, dan reposisi Yayasan.
Dalam melakukan redesign Yon I hal-hal yang disiapkan antara lain: mengkaji format Yon I yang akan dituju (termasuk mengkaji ulang semua kondisi yang ada seperti visi, misi dan lainnya); menyiapkan dan mengusulkan strategi dan format implementasi; serta menyiapkan proses dan tahapan yang harus dilalui sejak dari kurikulum, promosi, rekrutmen, pelatihan/pendidikan dasar, pembinaan anggota, serta penjenjangan karier dan lainnya.
Juga disiapkan hal-hal yang terkait dengan restrukturisasi Corps, misalnya legalisasi Corps sebagai wadah tunggal; penyiapan dan penyempurnaan AD/ART serta pengurus; sistem pemilihan pengurus; perubahan kurikulum dan pembinaan anggota; serta reposisi tugas dan tanggung jawab Yon I, alumni, Corps, ITB dan lainnya. Sementara reposisi Yayasan dikerjakan dengan menyempurnakan AD/ART dan legalisasi Yayasan; pendefinisian lingkup tanggung jawab dan peran Yayasan terhadap Corps; serta pemilihan pengurus dan lainnya.
Pada tahun 2006, setelah dilakukan evaluasi terhadap pelaksanaan Program “Rebuilding” Batalyon I-ITB diperoleh hasil yang cukup menggembirakan. Program Diklatsar mulai diminati oleh mahaiswa dan dapat dilaksanakan setiap tahun; Program bantuan beasiswa bagi anggota menwa aktif maupun calon anggota mulai terwujud; acara bersama dengan UKM ITB lainnya; penambahan fasilitas Posko Yon I; pengadaan computer; menyelenggarakan acara menembak bersama dan meninjau fasilitas peralatan tempur di Pindad dll.
Demikian halnya program pemberdayaan alumni juga diperoleh hasil yang cukup mengesankan. Acara temu akbar alumni Hanata Ciater Bandung; Sela Bintana Sukabumi; Anyer dll; program outbound alumni yang dikemas melalui acara menembak dengan melibatkan anggotaaktif; pertemuan reguler antara Corps dan alumni; program pengabdian masyarakat dan alumni berhasil dijalankan antara lain berpartisipasi pada kegiatan Aceh Recovery tahun 2005; pengumpulan data alumni berhasil dilakukan dengan membagikan data awal direktori pada acara temu akbar Hanata 2005. Dan yang sangat penting juga penggalangan dana2 yang diperlukan untuk kegiatan2 tersebut semua berasal dari partisipasi alumni Yon-I.
Proses pembelajaran sekaligus pengalaman berharga yang bisa dipetik dari pelaksanaan Program “Rebuilding” Batalyon I-ITB tersebut adalah, menyikapi suatu masalah tidak cukup bila hanya sekadar dibahas semata, tanpa ada action atau tindak lanjut konkretnya. Sebab, hal itu justru tidak akan menyelesaikan masalah tersebut secara tuntas. Oleh karena itu, segala masukan, sumbang saran pemikiran yang sifatnya konstruktif perlu diformulasikan secara jelas melalui penyusunan program perbaikan dalam jangka pendek maupun panjang yang dapat diaplikasikan di lapangan secara apik. Dan untuk itu, kita memang dituntut untuk fokus dan memiliki tekad dan determinasi yang tinggi untuk menyelesaikan masalah tadi.
Satu hal yang barangkali tidak disadari oleh para alumni menwa bahwa kapasitas, kapabilitas dan ekspektasi mereka terhadap peran Batalyon I terlalu tinggi. Padahal, para anggota dan komandan di Batalyon I tersebut statusnya masih mahasiswa, yang tingkat pengalamannya belum matang, sementara mereka dituntut untuk bisa menyelesaikan masalah-masalah yang cukup kompleks. Misalnya, mereka harus mencari dana, yang dulu dananya disediakan dari kampus; kemudian mereka juga harus bisa meyakinkan pihak rektorat terkait dengan aktivitasnya; serta mereka harus melakukan rekrutmen calon anggota dan lainnya. Dengan kompleksitasnya masalah tersebut, adalah hal yang musykil bila hanya dibebankan pada Komandan Batalyon, Staf maupun Anggota yang notabene seorang mahasiswa yang juga sudah sarat dengan tugas kuliah di kampusnya.
Oleh karena itu campur tangan dari alumni merupakan suatu keniscayaan. Pemisahan dan pembentukan Corps alumni yang terpisah dari menwa, yang tugasnya antara lain memberikan arahan, mengupayakan pemberdayaan, memberikan motivasi atau semangat dan upaya lainnya agar berbagai program yang dilaksanakan Yon I bisa berjalan dengan baik dan sesuai dengan target yang hendak dicapai. Alhamdulillah dan Insya Allah Yon-I akan tetap eksis dengan peran dan dukungan total dari alumni dan Corps.
Sebagai alumni Teknik Mesin ITB tahun 1974 dan Ekek -7, awal tahun 2002 saya lagi-lagi dikejutkan oleh informasi yang sangat memprihatinkan bahwa “Lulusan ITB Tahun Payah”. Informasi ini sifat feedback, nampaknya untuk menggelitik ITB dan alumninya; disampaikan oleh salah satu pengguna lulusan ITB, yang merasa kecewa dengan kualitas lulusan ITB tahun 2001 yang ia seleksi. Mereka memiliki terlalu banyak kelemahan, di antaranya: aplikasi teori sangat kurang; tidak memiliki driving force yang besar; tidak memiliki kemampuan bertindak sebagai inisiator; fighting spirit lemah; antusiasme lemah; dan goal setting lemah.
Wahhh gawat juga nich kalau memang betul. Dan diskusi heboh dan sangat sengitpun saya dengar terjadi di milis alumni ITB. Yang jelas nggak mungkin ada asap kalau tidak api. Berangkat dari isu ini, sayapun merasa terpanggil untuk sharing pemikiran dan pengalaman kepada para mahasiswa ITB. Melalui talkshow; diskusi dan kunjungan ke ITB dalam kapasitas saya sebagai Ketua Alumni ITB 70 yang mensponsori EQ Training untuk lebih dari 600 orang dosen dan pimpinan mahasiswa ITB dan juga sebagai alumni Yon-I. Hal hal yang saya share terkait bekal apa saja yang harus mereka siapkan, atau minimal perlu diketahui oleh calon lulusan ITB sebelum masuk dunia kerja, khususnya di perusahaan multinasional. Judul yang biasa saya pakai pun sama dengan yang biasa disampaikan dan disiapkan oleh mas Indradjaja yaitu “Menjadi Sarjana Komplet”.
Secara umum tuntutan dunia kerja terhadap lulusan ITB sangat tinggi dari beberapa aspek, seperti intelektualitas dan pengetahuan yang bagus; memiliki bakat dan pikiran terbuka; mempunyai keberanian berpendapat, lebih kreatif dan mandiri; partisiapatif dan mampu bekerja dalam tim; memiliki keterampilan interpersonal; kemampuan berkomunikasi yang baik dan mengikuti perkembangan teknologi terbaru.
Tak hanya itu, di antara pengguna tenaga sarjana tersebut juga menetapkan kriteria tertentu dari kualitas lulusan ITB yang mereka harapkan. Kriteria tersebut di antaranya, mempunyai indeks prestasi (IP) yang bagus; mempunyai mental dan fisik terlatih dan baik; siap terjun dan berfungsi di (semua) kegiatan dan lapangan kerja yang dicita-citakan; cukup bekal untuk “sukses” dalam kehidupan; punya motivasi yang kuat dan kepercayaan diri yang tinggi; rasa kebangsaan yang tinggi dan kalau mungkin juga terlatih untuk bela negara; berkesadaran tinggi sebagai warga negara Indonesia, patuh hukum dan mengikuti norma/etika yang baku. Ini wajar-wajar saja meskipun juga tidak semua realistis. Ya pengguna mengharapkan hal tersebut karena nama besar ITB, ya sudah harus kita terima.
Menjadi sarjana komplet bukan hanya memerlukan kecerdasan otak (IQ) yang bagus, tetapi memrlukan kecerdasan emosi (EQ) yang baik pula. Disinilah letak dan peran Menwa ITB untuk meningkatkan EQ dari para lulusannya. Patut dipahami bahwa saat sudah diterima kerja, tingkat EQ justru yang paling besar peranannya dalam mengantarkan seorang sarjana meraih sukses menapaki jenjang kariernya. Sebab, berdasarkan hasil sebuah penelitian, faktor penunjang “sukses” dalam bekerja, 70% ditentukan oleh EQ dan hanya 30% yang ditentukan oleh IQ. IQ ini berkaitan dengan wawasan/pengetahuan yang dimiliki, serta IP dari kampus. Sedangkan EQ bertautan dengan faktor pengaturan diri, kesadaran diri, empati, keahlian dalam bersosialisasi.
Daniel Golemen, seorang pskilog pencetus EQ mengungkapkan sejumlah kunci terkait dengan EQ yang dicetuskannya tersebut. Beberapa di antaranya adalah kecerdasan emosi sangat menentukan kebahagiaan dan penederitaan manusia; yang menentukan sukses dalam kehidupan bukan kecerdasan intelektual, tapi kecerdasan emosi; emosi sangat mempengaruhi kehidupan manusia ketika ia mengambil keputusan; tidak ada satu pun keputusan yang diambil oleh manusia yang murni dari pemikiran rasionya saja, karena semua keputusan manusia memiliki warna emosi di dalamnya.
Selain itu, kecerdasan emosi diukur dari kemampuan manusia untuk mengendalikan emosi dan menahan diri. Orang yang memiliki tingkat kecerdasan emosi yang tinggi, menurut Golemen, biasanya memiliki sikap sebagai berikut: Sabar dan tabah dalam menghadapi tantangan dan kesulitan; tekun, rajin dan fokus dalam berusaha atau melakukan sesuatu; tahan uji, tidak gampang menyerah atau putus asa dalam mengejar tujuannya; serta tepat janji dan dapat dipercaya.
Bagi mahasiswa, untuk membekali EQ yang tinggi tersebut bisa diperoleh dari menjadi anggota menwa atau UKM lainnya, aktif di himpunan mahasiswa, serta berpartisipasi aktif dalam kegiatan sosial. Di lingkungan Menwa Yon I-ITB sendiri ragam pelatihannya bercirikan antara lain belajar sembari praktek; kegiatan yang menantang; kepemimpinan; kerjasama tim, manajemen; persaudaraan; serta pembentukan karakter. Melalui kurikulum latihan menwa diharapkan akan mampu ditumbuhkan karakter pribadi yang plus. Dan karakter plus ini punya andil besar dalam mengantarkan seorang sarjana memilki EQ tinggi. Dengan EQ tinggi ditambah IP bagus maka sarjana yang pernah menjadi anggota menwa diharapkan menjadi sarjana komplet yang siap bekerja di lapangan kerja sektor manapun.
Hal hal tersebut diataslah yang kita jual; share dan sampaikan kepada mahasiswa ITB bahwa dengan menjadi anggota Menwa Yon-I, mereka akan bersiap bisa menjadi Sarjana Komplet dan bisa dijadikan sarana untuk mendidik calon pemimpin masa depan.
Sebagai alumni Menwa Yon-I, saya merasa beruntung karena dapat memperoleh pelajaran berdisiplin dan siap untuk menjadi pemimpin. Menurut saya, pemimpin masa depan adalah pemimpin yang tidak korup, pemimpin yang menempatkan negara nomor satu; bebas dari kepentingan pribadi, bertanggung jawab, disiplin, rela berkorban, ikhlas, solution oriented dan mau bekerjasama dengan orang lain. Pemimpin yang baik dituntut menjadi leader sekaligus bisa menjadi anak buah yang baik. Selain itu, ia juga nggak terlalu berhitung dimanapun mereka mengabdi. Karena pengabdian terhadap negara tidak tergantung tempat, waktu dan atau di mana ia bekerja. Apakah dia sebagai pegawai swasta, PNS, ABRI/TNI atau pun sebagai pejabat biasa.
Pemimpin masa depan juga tidak akan memisahkan-misahkan ini lulusan dari mana,dari suku mana dan lain sebagainya, tapi betul-betul ia mampu mengedepankan amanat dari Bhinneka Tunggal Ika. Dan tolok ukur seorang pemimpin apakah dia disenangi atau tidak, apakah keberadaannya bisa menciptakan kedamaian, terhadap yang dipimpin maupun atasan yang memimpin (bosnya), itulah tuntutan bangsa terhadap figur pemimpin masa depan. Dan nilai-nilai kepemimpinan yang saya gambarkan itu, ingin sekali saya tanamkan dan tularkan kepada adik-adik dan generasi muda yang menjadi calon maupun anggota menwa, sekaligus calon pemimpin masa depan bangsa.
Kenapa saya punya keinginan seperti itu? Karena, di dalam pengalaman pribadi saya, khususnya dalam bekerja di manapun saya ditempatkan, saya selalu menjalankan sifat “temen” yakni tidak mau menipu, tidak mau korupsi, berbuat untuk sesama, menolong orang dan sebagainya. Dan itu merupakan dasar yang saya peroleh dari saya ikut dalam keanggotaan menwa. Dengan kata lain menwa telah ikut mendidik membentuk prinsip hidup dan karakter yang saya ingin lanjutkan. Hal itu tidak didapat secara serta merta, tapi merupakan suatu usaha, suatu pembelajaran, mengalami dinamika pasang surut, tidak datang dengan sendirinya, dan merupakan suatu tempaan, baik dalam pekerjaaan, dalam kehidupan maupun dalam berinteraksi dengan sesama.
Satu hal lagi yang bisa dijadikan bekal berharga dalam menjalani kehidupan adalah, pentingnya membangun jaringan pertemanan yang solid, karena hal itu akan menjadi fondasi dari sebuah keberhasilan. Sekali teman tetap teman, jaringan kerja (networking) yang baik dan kuat dengan teman. Dan esensi pengalaman menjadi anggota Menwa Yon-I waktu mahasiswa merupakan modal untuk pengabdian kepada bangsa dan Negara dimanapun kita berada.
5.7 FGD - Cerita Dari Qatar
Oleh Harry Kusna (E-10) - 2013
Tahun ini adalah tahun ke-enam saya di Qatar bekerja di sektor perminyakan, dan selama ini banyak yang saya dengar dan saya lihat tentang pengelolaan dan pelaksanaan industry migasnya. Tidak hanya berhenti sampai disitu, saya juga mencoba membandingkannya dng bagaimana hal tsb dilakukan di negeri kita di Indonesia. Dalam rangka menanggapi ajakan ketua Korps, Pak Priyo, untuk memberi masukkan ke group diskusi (FGD) kita, tulisan ini merupakan rangkuman dari sedikit apa yang saya ketahui yang mudah2an bisa memberikan inspirasi bagi pengembangan industri migas kita.
Sama dengan di Indonesia, Qatar-pun mempunyai Qatar Petroleum (QP), yang merupakan State Oil Company-nya yang mengurusi para kontraktornya, seperti dulu Pertamina atau sekarang SKK-MIGAS di Negara kita. Para kontraktornya juga beberapa ada yang beroperasi di Indonesia, seperti ExxonMobil, Total, Conoco Phillips, Shell dsb. Tetapi ada beberapa hal yang berbeda yang mungkin bisa kita “adopt” jika hal itu lebih baik dari apa yang selama ini kita kerjakan.
Peraturan kepegawaian di Qatar Petroleum yang saya ambil sebagai contoh, sangat berpihak kepada pegawai local, baik dalam hal yang berkaitan dengan pembinaannya, maupun dalam hal yang berkaitan dengan remunerasinya. Dampak positif dari hal ini adalah, posisi pegawai local menjadi sangat kuat, dan dengan posisi/dukungan yang kuat tsb, tidak ada pegawai expat berani berbuat sesuatu yg cenderung merugikan kepentingan Negara. Sebodo-bodonya orang local, jika mereka mengetahui bahwa keputusan atau saran yang dibuat oleh expat adalah merugikan negaranya, maka tiada ampun lagi bagi si expat tsb, apapun kebangsaannya.
Untuk beberapa hal atau tujuan, mungkin ada baiknya jika pengiriman pegawai kita ke LN oleh kontraktor MIGAS kita yang biasanya dilakukan untuk developmental assignment misalnya, ke depan lebih banyak ditujukan ke Negara lain tempat perusahaan kontraktor tsb beroperasi, daripada ke Negara asal dimana induk perusahaannya berada. Dengan dikirim ke Negara lain, maka pegawai kita bisa mempelajari system di Negara tsb sehingga mempunyai pembanding, sedangkan jika dikirim ke induk perusahaan, maka pegawai kita hanya akan menjadi lebih familiar dengan system perusahaan tsb.
Walaupun Qatar kaya dan terlihat boros, tetapi dalam beberapa hal, mereka juga mengelola bisnisnya dengan efisien, seperti terlihat misalnya dalam pengerjaan project QatarGas 1,2,3,4 -nya yang dilakukan secara bertahap. QatarGas adalah perusahaan LNG terbesar di dunia yang berada di Qatar. Secara garis besar, Qatar Gas 1, 2, 3 dan 4 sahamnya dipunyai oleh beberapa perusahaan yg berbeda, seperti misalnya:
1. QatarGas 1, sahamnya dipunyai oleh Qatar Petroleum, ExxonMobil, Total, Marubeni, Mitsui dengan masing2 persentasenya.
2. QatarGas 2, sahamnya dipunyai oleh Qatar Petroleum dan ExxonMobil.
3. QatarGas 3, dipunyai oleh Qatar Petroleum, Conoco Phillips dan Mitsui.
4. QatarGas 4 dipunyai oleh Qatar Petroleum dan Royal Dutch Shell.
Untuk pengerjaan pekerjaan2 tsb, Qatar belajar dari pengalaman2 sebelumnya ketika mereka membangun QatarGas1, 2 dst, sehingga pada akhirnya mereka membentuk Joint Asset Development Team. Mungkin kalau di kita, mirip dng JMG - Joint Mngmt Group di Gedung Patra dulu, yg menangani pemasaran gas dari Mobil, Total, Vico secara bersama2. Bedanya, Joint Asset Team ini nampaknya lebih besar dan cakupan kerjanya lebih luas krn menyangkut pembangunan train keseluruhan, jadi ada planning, productionnya, engineering, finance dsb.
Ceritanya, cukup menarik, karena disana terjadi tarik ulur untuk merealisasikannya. Setelah QatarGas 1 selesai dikerjakan, pada saat project berikutnya akan dimulai, seperti biasa, untuk project tsb, para pemegang saham telah siap dng proposalnya untuk membentuk team tersendiri, dengan organisasi2nya, dan rate mereka. Tetapi dengan keras Qatar menolak, dan meminta agar organisasi QatarGas 1 yg lama digunakan untuk juga menangani pekerjaan project baru tsb. Jadi organisasi kerja yang lama ditarik ke QatarGas (semacam Holding Company-nya), sehingga bebas tidak terikat ke salah satu pemodal. Manajemen Qatarpun membandingkan rate yang diajukan oleh para pemodal dng rate yg mereka sudah miliki berdasarkan pengalaman sebelumnya, dan hasilnya, harga2 yg lebih mahal dari itu ditolak.
Bandingkan dengan di kita dimana misalnya pekerjaan yang sama yang dilakukan oleh KKKS yang ber-beda2, harganya bisa berbeda juga karena standard yg mereka pakai, rate yang mereka gunakan, ber-beda2 pula. Tentu saja tantangan untuk Qatar pada awalnya, karena para pemegang saham menentangnya. Mereka khawatir hal itu akan menyebabkan pekerjaan tidak berjalan lancar. Tetapi dng sikap Qatar yg percaya diri karena didukung oleh pemerintahnya, maka akhirnya hal tsb berhasil diputuskan dan dilaksanakan.
Akibatnya, dari segi biaya, terjadi penghematan yang cukup besar, karena penggunaan system asset bersama tsb. Para pemegang saham/pemodal hanya menyetorkan dananya, sedangkan pekerjaan dilakukan oleh satu organisasi independent yang tidak punya interest lain. Dampaknya ke Cost Recovery juga cukup besar. Para pemegang saham yg tidak mau kehilangan uangnya beramai-ramai mengawasi pekerjaan yang dilakukan group independent tadi, sehingga pengawasan menjadi cukup ketat, dan pekerjaan dapat dilakukan secara hemat.
Hal ini berbeda dengan di Negara kita, dimana contohnya suatu KKKS yang selain menjadi pemodal, juga menjadi pelaksana pekerjaan, sehingga mereka bisa bermain-main di dalam Cost Recoverynya. Memang bertambah banyak pemegang sahamnya (dng persentase yg ber-beda2 pula), maka akan bertambah pusing pembukuannya. Tetapi dengan teknologi, hal ini bisa diatasi.
Mungkin apa yg diceritakan di Hilir - Down Stream, tidak terlalu pas jika dibandingkan dng aktifitas di Hulu - Up Stream, tetapi idea-nya saya rasa bisa ditangkap dan diadopsi di kita.
Kita tahu bahwa salah satu hal yang membuat investor tertarik adalah kemudahan dan keamanan berinvestasi. Dalam rating dari Wood Mackenzie, Qatar termasuk di dalam daftar Negara2 yang favourable untuk berinvestasi. Selama 6 tahun saya di Qatar, tidak pernah sekalipun terjadi demo, riot, atau kegaduhan yang mengakibatkan lumpuhnya kegiatan. Pernah terjadi dua kali pemogokan buruh kontrak (pekerja kasar) dikarenakan terlambatnya penggajian oleh kontraktornya. Tetapi persoalan tsb segera diambil alih oleh pemerintah, dan dalam waktu beberapa jam saja, pekerjaan kembali berjalan seperti sedia kala.
Pengalaman saya berurusan dengan birokrasi Qatar adalah lurus dan mudah. Kalau peraturannya demikian, maka hal itulah yang didapat. Untuk Investor, Qatar menyediakan sumber energy yang berlimpah, infrastruktur yg nyaman, pengurusan birokrasi yang mudah, dan investasi yang aman. Dengan keadaan seperti ini, pengembalian investasi menjadi lebih pasti, banyak investor menjadi tertarik, dan Qatar mempunyai posisi tawar yang tinggi terhadap investor2nya. Selain Industri Migas yang ada di Qatar, Industri turunannyapun banyak dibangun juga, seperti misalnya Pupuk (QAFCO – Qatar Fertilizer Company), Petrokimia /plastic(QCHEM – Qatar Chemical), Aluminium (QATALUM – Qatar Aluminum), Baja (Qatar Steel), dsb.
Mungkin ini saja dulu yang dapat saya sampaikan. Jika memang ada hal2 yang bisa menginspirasi perbaikan di negeri kita, saya kira banyak diantara kami di Qatar yang bisa diajak berdiskusi untuk memberikan gambaran dan solusi yang lebih jelas. Karena kami, para pegawai Indonesia bekerja di berbagai bidang dan di berbagai perusahaan/instansi di Qatar, maka sedikit banyak, kami mengetahui arah pembangunan Qatar ke depan, bagaimana kebutuhan Qatar untuk itu, dan kalau kita ingin turut mendapatkan kue pembangunannya, mungkin kita juga bisa berdiskusi tentang apa saja yang harus kita siapkan. Sampai sekarang Qatar kesulitan mendapatkan tenaga berpengalaman di dalam mengoperasikan train2 gasnya, dan mungkin fasilitas gas kita di Arun dapat menjadi balai latihan kerja untuk tenaga2 muda kita agar dapat bersaing di dunia International. Semoga ke depan kita bisa lebih banyak meng-export tenaga2 kerja terdidik daripada tenaga kerja tidak terdidik. Semoga kita juga bisa mengurangi jumlah tenaga kerja wanita tidak terdidik yang terpaksa mencari kehidupan di negeri orang dengan segala resikonya. Amin.
Oleh: Andi Eka Sakya – Ekek 13
Lapangan ITB, 1979
“Siswa! Perhatikan, kalian akan menyururi jalan panjang menuju tujuan. Perhatikan CUMEMU!
Ingat betul CUMEMU! Cuaca, Medan dan Musuh!”,
Instruksi pelatih disampaikan sesaat sebelum siswa diklatsar menjalani latihan survival dan memulai long-march tahun 1981 dari Burangrang hingga Eretan. Long march ini mengawali detik-detik akhir Diklatsar Angkatan 13. Acara pembaretan di Eretan selesai. Baret ungu di kepala. Rasa bangga membara di dada. Lelah dan capek hilang sirna. Perjalanan truk dari Eretan kembali ke kampus Ganesha tidak terasa.
Jatiluhur, 1979
Diklat SAR YON I Pertama menjelang selesai. Pelatih Kopasgat dari TNI – AU sudah mulai menyiapkan dua perahu karet. Skenario evakuasi terjadinya kecelakaan pesawat di laut telah selesai digambarkan. Senja mulai meredup.
“Siswa, perhatikan! Perhatikan semua perlengkapanmu! Lokasi jatuhnya pesawat telah diidentifikasi, yaitu di tengah pulau. Dari laporan komunikasi terakhir, diduga masih ada korban yang selamat! Kita harus cepat dan mendarat di Pulau tersebut sedini mungkin. Arus sangat deras, gelombang tinggi pada jam-jam tertentu. Perhatikan cuaca dan medan! Fokus pada evakuasi penyelamatan korban yang masih hidup! Perhatikan cuaca dan medan!”.
Helikopter yang akan menurunkan saya dan Ongku (mantan Bupati Tapanuli Selatan) menderu. Kami berdua harus turun dari heli dan mendarat di atas pohon setinggi 50 m. Perhatian tertuju pada waktu hovering, kekuatan repelling dan kecepatan angin. Akhirnya, kami berdua turun dengan selamat dan memberi hormat kepada Marsma Anumerta Hj Sukarseno, Komandan Jenderal Kopasgat saat itu. Akhir pelatihan itu, kami bertujuh-belas dilantik menjadi Satuan SAR YON I pertama.
Jakarta, Januari 2006
“Mulai minggu depan, kamu pindah dan akan dilantik menjadi Sekretaris Utama BMG”, kata Menteri Riset dan Teknologi, sambil menyuguhkan kopi hangat di lantai 24 Gedung BPPT II, pada hari Selasa pagi tanggal 10 Januari 2006 jam 0715. Pemberitahuan tersebut bagai petir di siang bolong. BMG, Badan Meteorologi dan Geofisika, yang pada tahun 2009 berubah menjadi BMKG (Badan Meteorlogi Klimatologi dan Geofisika), tidak begitu saya kenal. Rasanya, kecuali Kepala BMKG saat itu, hanya satu – dua orang yang pernah terlintas bertemu saat Diklat Manajemen di tahun 1997. Pasca tsunami Aceh, BMKG menjadi LPNK (Lembaga Pemerintah Non Kementerian) yang saat itu sedang banyak dibicarakan.
Sejak lulus kuliah, saya bekerja sebagai peneliti bidang komputasional dinamika fluida di Laboratorium Aero-Gasdinamika dan Getara (LAGG), BPPT. Praktis dalam perjalanan karier sebagai peneliti, betapa pun angin merupakan salah faktor penting uji pesawat terbang, tetapi tidak secara langsung bersentuhan dengan aspek cuaca dan iklim apalagi gempa bumi.
Saat pelantikan tidak satu pun yang saya kenal, kecuali Kepala BMG saat itu, yang pagi itu pun tidak kelihatan (karena persiapan upacara pelantikan). Bersama saya, dilantik lebih dari 50 orang pejabat BMKG dari seluruh Indonesia!. Datang sendirian karena isteri sedang dioperasi. Saya berdiri saja di pojok ruangan Gedung Serba Guna BMKG. Menjelang upacara dimulai, para calon pejabat berbaris di ruangan, hingga akhirnya seorang Ibu protokol mendekat dan membawa saya ke barisan depan, setelah mengetahui bahwa memang sayalah satu-satunya orang dari luar BMKG yang dilantik saat itu.
Pasca pelantikan, hari itu juga, Kepala BMG menugaskan saya untuk pergi ke Jayapura. Minggu tanggal 29 Januari 2006 saya berangkat ke Jayapura didampingi Kepala Biro Perencanaan dan Kepala Biro Umum untuk melakukan Serah Terima Jabatan semua pejabat di Papua dan mengejar agar proses administrasi pelaksanaan kegiatan berjalan dengan cepat. Perjalanan ke Jayapura merupakan perjalanan saya yang pertama, sementara di kepala dan hati saya masih belum “ngeh” apa yang harus saya lakukan di BMKG. Sebagai Sekretaris Utama, saya bertanggung jawab semua pekerjaan, kecuali masalah teknis yang dipegang oleh para Deputi. Sangat berbeda dengan jalur dan kiprah di bidang penelitian yang selama ini saya geluti. Saat dipindahkan ke BMKG, "seluruh" pegawai yang ada di Lab saya hanya 67 orang, sementara di BMKG ternyata ada lebih dari 3500 orang, di 179 kantor di seluruh Indonesia.
Pesawat dari Jakarta transit di Makasar, masih saja mata ini tidak bisa terpenjam. Pikiran masih belum berpadu dengan tugas yang akan dilakukan, rencana ke depan, dan bagaimana pendekatan dengan orang-orang di sekitar yang baru. Tiba di Sentani pagi hari, kami turun dan dijemput oleh pejabat BMKG di Papua. Kejutan pertama saya terima saat teman-teman menjemput langsung di bandara. Suasana yang tidak pernah saya terima saat menjadi peneliti yang kesana-sini sendirian.
Menuju ke Jayapura dari Sentani, persis di depan lapangan terdapat pertigaan kami belok ke kanan. Tidak lebih dari 200 meter dari pertigaan itu, mata saya terkesiap dengan sebuah papan kecil tertulis: "Museum Douglas Mc Arthur".
Seketika itu juga, ingatan saya kembali pada bulan Januari – Februari tahun 1979, saat perjalanan long march di rel kereta menuju Eretan, ditempeleng pelatih saat long march karena tertidur di truk, bangun pagi untuk menyemir sepatu menjelang subuh dan membrasso sabuk, menyiapkan lilin untuk survival, mengingat dengan cepat pada pelajaran intelijen di Rg 9013, repelling turun dari helikopter bersama Ongku di Jatiluhur saat latihan SAR. Semua snapshot itu berlalu di kepala. Seketika itu pula, isi kepala saya berubah. Dari kekosongan dan pertanyaan tanpa jawab, menjadi menyala.
Douglas Mc Arthur tidak saja mengingatkan saya pada puisi "Do’a Ayah untuk Anaknya", tetapi juga Leap Frogging dari Australia ke Jepang yang membutuhkan kesabaran, informasi dan penguasaan medan, serta - terlebih lagi - informasi cuaca dan gelombang tinggi. Hal itu juga mengingatkan saya, Alm Eddy Christiono (penerjun nasional YON I) saat menonton film Wild Geese berkali-kali di Liga Film Mahasiswa dan gedung-gedung boskop di Bandung. Video snapshot itu membawa saya pada cerita the Hell of Normandy (D-Day pada Perang Dunia II) yang memanfaatkan informasi cuaca, pasang naik, posisi bulan dan gelombang tinggi sebagai panduan pasukan Amerika melakukan penyeberangan dan penyerangan ke daratan Eropa dalam waktu yang sangat pendek, selain strategi dan pilihan medan. Cumemu:”Cuaca, Medan dan Musuh”!
Snapshot itu sebentar saja, entah karena lelah atau memang sedang bermimpi, saat terbangun memasuki Jayapura, saya merasa siap untuk memberi sambutan pelantikan tanpa perlu membaca draft yang sudah dibuat. Para pejabat di Papua juga kaget, bahwa seseorang yang baru 3 hari di BMKG berbicara tentang perlunya membangun BMKG menjadi pegangan bagi mobilisasi pasukan dan ketahanan pangan tanpa teks!
Cumemu, pelajaran yang kendati sudah terlewat 28 Tahun mengantar pada declaration of excellence tentang apa yang harus saya lakukan di BMKG. Sejak saat itu saya bermimpi BMKG berkembang menjadi organisasi yang bisa memberikan masukan dan advis, seperti saat Eisenhover menetapkan waktu menyeberang di Normandia 1).
Tanggal 14 Februari 2014 malam G Kelud meletus. Pada saat itu, hampir seluruh Indonesia sedang memasuki puncak musim hujan. Sidang Kabinet Terbatas tanggal 15 Februari 2014 mengundang Kepala BMKG. Pembicara utama adalah senior saya dari Fisika ITB, Dr. Surono, sekarang Kepala Badan Geologi. Tetapi, hasil simulasi numerik cuaca menunjukkan potensi curah hujan yang sangat lebat di wilayah Kelud pada tanggal 18 Februari 2014. Sidang terbatas hari Jum'at itu tidak lama, tetapi 2 menit presentasi hasil prakiraan BMKG telah berhasil meyakinkan bahwa evakuasi harus dilakukan dalam waktu secepat-cepatnya dan masif untuk menghindari banjir lahar akibat hujan lebat. Presiden saat itu juga memerintahkan Kepala Staf semua Angkatan dan Kapolri untuk mobilisasi pasukan membantu BNPB melakukan evakuasi, termasuk mengerahkan Kopasus dari Kandang menjangan. Tanggal 18 Februari 2014, hujan lebat terjadi seperti yang diperkirakan, demikian juga banjir lahar dingin. Satu hal yang sangat melegakan, tidak satu korban pun jatuh.
Tanggal 28 Desember 2014, Air Asia jatuh diperkirakan akibat CB yang masif di sepanjang selat Karimata. Setelah lokasi mulai teridentifikasi, base camp evakuasi dipusatkan di Pangkalan Bun. Proses evakuasi terkendala oleh konvergensi yang terjadi dalam 3 - 5 hari di sepanjang Kalimatan Selatan hingga Sulawesi Selatan. Radar cuaca dan petugas BMKG di Pangkalan Bun telah membuktikan bahwa informasi cuaca telah menjadi bagian penting dalam mendukung usaha pencarian korban. Tampaknya telah terjadi pergeseran dari CUMEMU (Cuaca, Medan dan Musuh) menjadi CUMEO (Cuaca, Medan dan Obyek)!
Epilog
Kemahawarmanan (untuk tidak menyebut Pendidikan dan Latihan Dasar Kemiliteran) disadari membangun watak, karakter dan kedisiplinan. Tetapi lebih dari itu, pelatihan itu membantu tumbuhnya kematangan kepemimpinan melalui declaration of excellence dan vision.
Dunia tidak lagi terancam perang dingin. Tetapi dunia menghadapi ancaman pemanasan global, perubahan iklim dan meningkatnya kerentanan yang berujung pada tumbuhnya potensi bencana. Ancaman bergeser menjadi asimetris, dan salah satunya adalah perubahan iklim. Indonesia, secara geografis dan geologis, merupakan negara berpotensi rawan berbagai bentuk bencana. Mahawarman dengan modal diklatsarmil-nya tentu mampu menggeser orientasinya pada kesiapan bela negara dalam konteks membangun ketahanan masyarakat menghadapi kerawanan bencana baik dari sisi hulu (teknokratis) maupun di sisi hilir (masyarakat). Semoga.
1). Tentang peristiwa tersebut, wikipedia tertulis: "Eisenhower had tentatively selected 5 June as the date for the assault. However, on 4 June, conditions were clearly unsuitable for a landing; high winds and heavy seas made it impossible to launch landing craft, and low clouds would prevent aircraft from finding their targets. Group Captain James Stagg of the RAF met with Eisenhower on the evening of 4 June. He and his meteorological team predicted that the weather would improve sufficiently so that the invasion could go ahead on 6 June. After much discussion with the other senior commanders, Eisenhower decided that the invasion should go ahead on the 6th. Had Eisenhower postponed the invasion, the next available date with the correct combination of tides (but without the desirable full moon) was two weeks later, from 18 to 20 June".
Oleh : Krishna S Pribadi*)
Resimen Mahasiswa merupakan suatu wadah pendidikan untuk menyiapkan mahasiswa Indonesia sebagai bagian dari komponen pertahanan nasional dalam erangka melaksanakan hak dan kewajiban bela Negara. Untuk menjadi Anggota Resimen Mahasiswa (Menwa), para mahasiswa dibekali dengan kemampuan dan ketrampilan serta ketrengginasan dalam ilmu keprajuritan. Melalui pola pendidikan berjenjang dilengkapi dengan peningkatan ilmu dan pengalaman melalui berbagai penugasan, para anggota Menwa mempunya kemampuan organisasi dan lapangan yang sangat baik, termasuk kemampuan kepemimpinan dan pengambilan keputusan di lapangan. Selain itu para anggota Menwa juga mempunyai kesempatan untuk memiliki berbagai kemampuan atau kualifikasi tambahan, antara lain kualifikasi SAR dan sebagainya.
Resimen Mahasiswa sebagai unsur masyarakat terlatih memiliki peran pendukung pertahanan, khususnya di masa perang, sedangkan di masa damai Resimen Mahasiswa memiliki peran sebagai bagian dari sistim pertahanan sipil dan perlindungan masyarakat (civil defense & civil protection) yang salah satu tugasnya adalah memberikan perlindungan kepada masyarakat terhadap berbagai kejadian bencana alam, melalui upaya-upaya penanggulangan bencana.
Penanggulangan bencana adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk menghadapi bencana, melalui kegiatan-kegiatan sebelum (pra-) , pada saat terjadi dan setelah terjadinya (-pasca) bencana, meliputi upaya-upaya pencegahan dan mitigasi bencana, membangun kesiap-siagaan menghadapi bencana, menangani keadaan darurat bencana meliputi upaya perlindungan, pertolongan dan evakuasi serta penanganan para korban dan penyintas (survivor) bencana, kemudian upaya-upaya pemulihan kehidupan kembali berupa upaya perbaikan, rehabilitasi dan membangun kembali (rekonstruksi) prasarana dan sarana yang rusak serta kegiatan sosial dan ekonomi masyarakat yang terkena bencana, dengan cara yang lebih baik agar bencana serupa tidak terulang di masa depan.
Anggota Menwa sebagai mahasiswa yang terlatih dan menjadi bagian dari system perlindungan masyarakat dapat berperan penting dalam upaya-upaya penanggulangan bencana tersebut, baik pada masa pra-, saat terjadi maupun pasca bencana.
Pada masa pra-bencana, para anggota Menwa sebagai mahasiswa yang memiliki kemampuan khusus untuk berkomunikasi dengan masyarakat (pembinaan territorial dan masyarakat) yang didapat dari pendidikannya sebagai anggota Menwa, dapat menerapkan berbagai pengetahuan yang dimilikinya yang berkaitan dengan ilmu penanggulangan bencana, untuk turut serta membangun kesadaran masyarakat terhadap berbagai ancaman bencana serta berbagai upaya untuk mengurangi risiko bencana. Dengan sedikit pelatihan, para anggota Menwa juga dapat memberikan bimbingan kepada masyarakat, bagaimana membangun rumah yang tahan gempa, dapat memberikan pelatihan kedaruratan, memberikan P3K, mengelola dapur lapangan dan sebagainya.
Pada saat kejadian bencana, para anggota Menwa yang sudah terlatih dapat membantu dalam penyampaian peringatan dini, koordinasi perlindungan dan evakuasi darurat, melakukan kegiatan SAR, memberikan pertolongan darurat dan P3K, merintis jalur-jalur akses yang terisolasi, mengamankan harta beda masyarakat dan sebagainya, melakukan assessment dan rekonaisans mengenai dampak bencana.
Pada tahapan pasca bencana, para anggota Menwa dapat membantu dalam kegiatan pemulihan, baik pemulihan darurat maupun pemulihan permanen, misalnya membantu dalam tugas-tugas mendata kebutuhan bantuan, koordinasi lapangan untuk distribusi bantuan, penyediaan prasarana darurat seperti tenda dan tempat tinggal sementara (shelter), air bersih dan sanitasi, perawatan dan pengobatan di lapangan, membantu perbaikan rumah-rumah yang rusak, menyalurkan distribusi bantuan, pemulihan trauma pasca bencana, pembinaan masyarakat agar menjadi masyarakat tangguh bencana.
Agar satuan-satuan Menwa dan para anggotanya dapat menjalankan perannya dengan baik dalam penanggulangan bencana, sebagai bagian dari peran perlindungan masyarakat (LINMAS), maka para anggota Menwa harus mendapat pelatihan memadai sehingga mereka memiliki kompetensi yang baik, apalagi bila sesuai dengan bidang keilmuan yang dituntutnya di perguruan tinggi. Satuan-satuan Menwa juga harus dilatih dalam bentuk kelompok dan melakukan dril-dril yang dibutuhkan, termasuk simulasi posko/di atas meja (table top exercise). Para anggota Menwa perlu mempelajari konsep Incident Command System (ICS) dan sewaktu-waktu dapat berperan sebagai incident commander pada skala yang tidak terlalu besar.
Resimen Mahasiswa Mahawarman Batalyon I sejak berdirinya telah terlibat dalam berbagai operasi penanggulangan bencana, khususnya kegiatan pasca bencana, seperti kegiatan SAR dan bantuan pasca bencana(misal operasi Sadagori pada banjir di Sagalaherang, SAR bencana longsor Manglayang, bantuan pasca bencana gempa Cibadak di Sukabumi, gempa dan tsunami Aceh, gempa Yogyakarta, gempa Jawa Barat dsb.).
Keterlibatan anggota Menwa Mahawarman Yon I dalam kegiatan pennggulangan bencana sangat bermanfaat, bukan saja membantu meringankan beban para korban dan penyintas bencana, tetapi juga bagi para anggota kegiatan tersebut memberikan kesempatan dan pengalaman hidup yang sangat berharga, baik pengalaman yang meningkatkan skill dan kemampuan teknis anggota, maupun pengalaman berkoordinasi berinteraksi dengan berbagai pihak yang terlibat dalam penanggulangan bencana, serta khususnya pengalaman berinteraksi dengan para korban dan penyintas bencana yang akan membangun rasa sosial dan empati yang penting bagi masa depan para anggota yang nantinya akan terjun di masyarakat sebagai alumni perguruan tinggi yang akan mendarmabaktikan karya-karyanya bagi kemajuan bangsa dan negara kita.
Pelatihan skill dan keterampilan penanggulangan bencana dalam berbagai tahapannya merupakan suatu bekal pengetahuan penting bagi para anggota Menwa, sehingga dapat berperan dengan baik ketika terlibat dalam upaya penanggulangan bencana sambil terus belajar menimba pengalaman yang sangat berharga bagi masa depan mereka.
Pengalaman penulis selama menjadi anggota Menwa Yon I ITB telah memberikan kemampuan koordinasi dan interaksi dengan masyarakat dan berbagai organisasi serta satuan militer yang sangat bermanfaat sebagai bekal yang sangat baik untuk terlibat dalam berbagai kegiatan penanggulangan bencana di Indonesia (Gempa Bengkulu 2000, Lampung 2002, Aceh 2004, Sumatera Barat 2007 dan 2009 dan sebagainya) dan di luar negeri (Gujarat, India 2001), khususnya dalam kegiatan rekonaisans dan pemulihan pasca bencana.
(Kiri) Banda Aceh 2005 (Lokasi Penjernihan Air LAPI ITB di Lambaro, Banda Aceh)
(Kanan) Meulaboh 2015 (Mengunjungi Lokasi Operasi Rajawali Menwa Yon 1 ITB di Meulaboh)
Penulis adalah Alumni Resimen Mahasiswa Mahawarman Batalyon I ITB Angkatan 8 (1972)
Jabatan di Batalyon I : Kasie V (1974), Kasie IV (1975) Wadanyon I (1976-1977)
Menyelesaikan pendidikan S1 Teknik Sipil ITB 1977, S2 (INSA Lyon, Perancis) 1982 dan S3 (INSA LYON Perancis) 1985
Jabatan : Guru Besar Teknik Sipil ITB Bidang Mitigasi Bencana
Lain-lain :
Peneliti Kebencanaan di Pusat Penelitian Mitigasi Bencana ITB
Anggota Dewan Pengurus LPJKN 2011-2015
Ketua Platform Nasional Pengurangan Risiko Bencana (2009-2011)
Ketua Forum Perguruan Tinggi untuk Pengurangan Risiko Bencana (2008-2015)
Ketua Forum Studi Konstruksi Perguruan Tinggi dan Industri (2015- )
Oleh: Uus Drajat Kuswara (FT-82 / E18)
Aku bukanlah mahasiswa yang pintar secara akademik. IQ-ku rata-rata saja. Masih banyak teman di kelas yang cepat menangkap pelajaran, sementara aku perlu mengerenyitkan dahi terlebih dulu atau membaca bukunya berulang-ulang sebelum benar-benar mengerti maksud dari pelajaran yang sedang dibahas tersebut. Setidaknya, begitu menurutku.
Namun kemampuan yang pas-pasan itu tidak menghalangiku untuk aktif di unit kemahasiswaan. Di himpunan aku bertugas sebagai ketua seksi olah raga, sedangkan di YON I yang menjadi rumah keduaku (atau bahkan mungkin jadi yang pertama) aku habiskan hampir seluruh sisa waktuku. Rasanya hampir seluruh kegiatan yang ada di YON I aku ikuti. Beberapa yang masih teringat adalah : Karya Bhakti di daerah Bogor selama 5 hari, Kemah Kerja Mahasiswa dan Bhakti ABRI-1986 di Kuningan selama 5 hari, Napak Tilas Panglima Besar Jendral Soedirman, Operasi Rajawali, Ganesha Yudha, PAM Sipenmaru, PAM Wisuda, dan menjadi asisten mata kuliah Kewiraan. Setelah mengikuti pendidikan Dinas Staf dan Suspelat, kemudian menjadi pelatih pada Diklatsar E19. Selain beberapa kali bertugas sebagai Danteam / Wadanteam dalam pembinaan, Wadanlat Suspelat, juga sebagai KaSie I, dan sebagai DanKi A.
Kegiatan yang padat, menuntut waktu dan konsentrasi tersebut tidak menjadi penghambat dalam kuliah. Aku menyelesaikan kuliah tepat lima tahun yaitu dari 1982 dan wisuda pada 1987, cukup cepat untuk sistem perkuliahan saat itu. Bahkan dari seluruh teman seangkatan di jurusanku, hanya ada lima orang yang bisa lulus secepat itu. Apalagi tugas akhirku saat itu merupakan materi yang semestinya dikerjakan oleh dua orang mahasiswa. Namun karena teman satu timku mengundurkan diri dengan alasan merasa kesulitan, akhirnya tugas akhir tersebut aku selesaikan sendirian.
Kunci dari keberhasilanku menyelesaikan kuliah tepat waktu ditengah aktifitas YON I yang sangat padat adalah komitmen, kerja keras dan disiplin. Bagiku posko, aula barat dan perpustakaan merupakan tempat belajar favorit sekaligus tempat tidur yang nyaman. Untuk mendukung tugas akhir yang memerlukan penggunaan komputer yang intensif, aku melamar menjadi petugas laboratorium komputer. Sebagai petugas lab. yang memegang kunci, aku bisa menggunakan PC secara gratis selama 24 jam (saat itu PC masih sangat jarang dan sewanya cukup mahal). Saking sibuknya kuliah dan kegiatan batalyon, saat itu aku di cap sebagai salah satu anggota HIMACAS YON I atau Himpunan Mahasiswa Cacat Asmara alias mahasiswa yang jomblo abadi :D. Ketuanya Wien Sukriandi dan diteruskan oleh Cahya Patria.
Komitmen, kerja keras, disiplin sekaligus aktifitas yang padat itu terbukti membawa manfaat kemudian. Setahun sebelum lulus aku mendapatkan bea siswa dan bekerja magang di Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN), dan saat lulus aku langsung bekerja secara full time dan ditempatkan di Lab. Wind Tunnel, Direktorat Teknologi. Aku pun diberi kepercayaan dan kebebasan untuk membuat rencana kerja. Aku mengusulkan untuk membuat alat otomatisasi pengambilan data dari dalam wind tunnel kemudian langsung memvisualisasikan hasilnya yaitu distribusi pressure dari prototype yang sedang diuji secara real time di monitor. Sebagai karya anak yang baru lulus, dan teknologi yang tersedia pada saat itu, keberhasilan pembuatan alat tersebut mendapatkan apresiasi dari rekan dan atasan. Namun demikian, hanya sembilan bulan aku bekerja di IPTN. Meski saat itu IPTN sedang jaya-jayanya, aku memilih untuk mencari tantangan baru.
Aku kemudian bekerja sebagai customer service engineer dari sebuah perusahaan komputer main frame buatan Amerika yang melayani sebuah bank BUMN. Aku hanya diberi waktu tiga bulan untuk mempelajari seluruh hardware dan sistem operasi dari komputer tersebut dan sudah harus mampu ditugaskan dan ditempatkan di pelanggan. Tugas dan tanggung jawabku adalah memberi pelatihan kepada operator dan menangani segala kemungkinan masalah yang terjadi pada komputer tersebut. Pada akhir tahun 1980an merupakan era komputerisasi di perbankan. Aku bekerja di perusahaan tersebut selama dua tahun, dalam kurun waktu tersebut aku ditempatkan di Medan, Yogyakarta, Bandung dan Jakarta. Karena tugasku hanyalah menangani masalah hardware yang ternyata tidak banyak menyita waktu, maka aku menggunakan sisa waktuku untuk membantu kawan-kawan programmer dan system analist pada software perbankan. Walaupun latar belakang pendidikanku adalah teknik, namun tidak menjadi hambatan untuk mempelajari sistem perbankan, general ledger, arus kas, dan seluruh transaksinya. Dalam kurun waktu tersebut aku bahkan sudah bisa membuat dan menjual sistem akunting buatan sendiri untuk perusahaan kecil dan menengah.
Penambahan wawasan dari hardware ke software dan kemudian menjadi system analyst tidak direncanakan dengan sengaja, semuanya diawali dari keinginan membantu rekan-rekan yang kesulitan dalam pembuatan program. Di kantor tempatku bekerja, aku sempat diperbincangkan karena dianggap memberikan service kepada klien melebihi apa yang seharusnya, sebagian mungkin mencurigai aku menjual service secara pribadi. Namun tuduhan tersebut tidak terbukti. Kejadian yang tak terduga datang pada suatu hari, aku mendapat undangan untuk bekerja pada sebuah institusi yang aku tidak kenali. Lembaga tersebut ternyata adalah lembaga kajian ekonomi milik Departemen Keuangan di jalan Medan Merdeka Selatan Jakarta. Petinggi dan pendiri lembaga tersebut adalah ekonom-ekonom senior seperti Prof. Widjoyo Nitisastro, Prof. Ali Wardhana, dll. Lembaga tersebut bertugas melakukan penelitian sosial ekonomi dan membuat rekomendasi terhadap kebijakan apa yang perlu dirumuskan oleh pemerintah. Setelah diinterview, aku ditugaskan untuk mewujudkan sistem komputerisasi dan Lokal Area Network di lembaga tersebut.
Tugasku sebenarnya hanyalah penanganan komputer secara hardware dari sekitar lima puluh orang peneliti dan networkingnya. Namun demikian aku sering memperhatikan para peneliti tersebut mengolah data hasil penelitiannya menggunakan software-software statistik, kadang berbincang-bincang mengenai survey dan penelitian. Tantangan untuk bekerja sebagai peneliti datang pada suatu hari dari DR. Rizal Ramli yang saat itu belum lama menyelesaikan Ph.D (doktor) ekonominya dari Boston University. Aku diberi sebuah data base mentah, berupa data hasil survey Badan Pusat Statistik mengenai Industri Besar dan Menengah secara lengkap. Tugasmu adalah Kehormatanmu… itulah yang sering didengungkan selama di YON I. Karena data base tersebut bukan hasil survey internal dan di BPS sendiri bukan data yang dipublikasikan untuk umum secara mentah, perlu kegigihan yang tinggi untuk membongkar data base yang didapatkan tanpa introduksi tersebut, apalagi aku tidak mempunyai latar belakang pendidikan ekonomi. Kita harus mempelajari arti tiap variabel, skala, cara pengambilan sample, metodologi survey dll. Dengan mengetahui hal-hal tersebut kita bisa mengetahui sejauh mana relevansi antara angka yang ditampilkan dengan realita dan seberapa besar deviasinya.
Tak kenal siang atau malam aku mempelajari software statistik, membaca literatur, dan dasar-dasar ekonomi. Bagaikan seorang ekonom aku mencoba membongkar dan mengolah data base tersebut dan mempresentasikannya dalam berbagai grafik. Hasilnya luar biasa, karena data tersebut mencakup seluruh industri besar dan menengah di Indonesia. Sehingga jika ingin mengetahui apapun mengenai industri di Indonesia, kita bisa membuka data base tersebut. Beberapa mega skandal dalam perbankan pada awal tahun 1990 an bahkan sudah dapat aku indikasikan dan aku laporkan ketika menganalisa data base tersebut. Betul saja beberapa tahun kemudian terjadi kehebohan luar biasa dalam industri dan perbankan Indonesia karena adanya mega skandal.
Dua tahun bekerja di lembaga tersebut, aku, DR. Rizal Ramli, dan seorang ekonom lainnya memutuskan untuk keluar dan mendirikan lembaga kajian ekonomi bernama ECONIT (economic, industry and international trade). Di lembaga baru ini aku dituntut lebih banyak lagi untuk belajar ekonomi dan aplikasinya dalam kebijakan publik. Berbagai terminologi ekonomi pembangunan aku pelajari dan datanya aku konsolidasikan dalam berbagai data base. Mempersiapkan berbagai survey, menganalisa dan merumuskan rekomendasinya.
Jika dibandingkan dengan teman lainnya yang bahkan telah mendapatkan pendidikan doktoral dalam bidang ekonomi, sewajarnya jika hasil kerjaku tidak ada artinya. Namun untuk mengejar kekurangan, aku bekerja dua kali atau bahkan tiga kali lipat lebih berat dari yang lain. Kadang aku tidak keluar kantor sama sekali untuk dua atau tiga hari – siang dan malam. Bahkan kadang sampai seminggu aku tidak meninggalkan kantor sama sekali. Puncak dari perjalanan tersebut, aku yang ditunjuk sebagai direktur di ECONIT ditugaskan untuk memimpin kajian terhadap arsitektur perbankan nasional atas permintaan Bank Indonesia dan menghimpun ahli-ahli perbankan nasional (arsitektur disini tentu saja bukan arsitektur dari sisi bangunannya). Kepercayaan tersebut tentunya tidak datang begitu saja. Aku memang tidak pernah mengerjakan sesuatu secara asal-asalan.
Ditengah sepinya malam, kadang terpikirkan…. Rasanya suatu anekdot jika aku yang tidak mempunyai latar belakang pendidikan ekonomi sama sekali, tetapi harus memimpin suatu pekerjaan yang membawahi ekonom-ekonom, banker, bahkan seringkali harus mengedit karya-karya para ahli yang mempunyai latar pendidikan doktoral maupun yang bergelar profesor.
Ditengah lingkungan ekonom-ekonom atau dalam suatu team yang dibentuk untuk suatu reset dalam bidang ekonomi, seringkali aku ditanya latar belakang pendidikannya kuliah dari mana. Teman bicara seringkali memperlihatkan wajah kebingungannya tatkala aku sampaikan bahwa aku kuliah dari Teknik Fisika ITB. Sesungguhnya mereka tidak perlu bingung jika tau bahwa aku dulu ditempa di Menwa Batalyon I ITB. Karena disana kita disiapkan untuk menghadapi berbagai kondisi dan situasi yang bisa diperkirakan maupun tidak terduga. Kita dipersiapkan untuk merumuskan CB1 dan CB2. Mental kita dipersiapkan untuk bekerja keras tanpa kenal lelah, dan menjunjung tinggi tugas sebagai suatu kehormatan. Dengan modal tersebut kita bisa mempelajari bidang keilmuan apa saja yang kita inginkan dan dalam kondisi apa saja. Karena rasanya tidak ada yang lebih sulit dari Diklatsar dan berbagai kegiatan di Batalyon I ITB.
Dulu ketika kedua anakku masih kecil, untuk ketemu bapaknya seringkali mereka harus ikut menginap di kantorku. Kini anak yang paling besar sekolah di SMA Taruna Nusantara - Magelang, sedangkan yang kecil sekolah di SMP yang juga bersistem boarding. Lucunya ketika liburan Desember 2014 kemarin, atas permintaan kedua anakku, kami tidur di kantor lagi, rupanya mereka teringat nostalgia saat masih kecil. Kini aku menyimpulkan bahwa keputusan untuk mengikuti Diklatsar Menwa Bataliyon I ITB, merupakan salah satu keputusan terbaik dalam hidupku. Demikian juga saat-saat kita bekerja keras siang dan malam, justru menjadi kenangan yang indah bagi anak-anak.
5.11 Prayitno, Pemuda Teladan dari Desa
Gambar 5. 1 Prayitno, pengusaha jamur
PRAYITNO, pemuda asal Purworejo ini memiliki tekad dan semangat dari desa yang luar biasa. Lulusan Institut Teknologi Bandung (ITB) jurusan Kimia ini mengawali bisnisnya dari desa dengan kemampuannya sendiri.
Semasa kuliah, pengalamannya ditempa di dua organisasi kampus yaitu Koperasi Mahasiwa (Kopma) dan Resimen Mahasiswa (Menwa). Pendidikan yang dilaluinya di dua organisasi tersebut, Prayitno Muda memberanikan diri untuk membuat perusahaan sejak kuliah.
Berbekal dari hasil riset beliau menemukan cairan untuk cuci darah yang berhasil diproduksi secara masal oleh salah satu perusahaan farmasi. Prayitno memutuskan untuk tidak bekerja dan memulai usahanya dengan berjualan daun pisang. Sedikit demi sedikit usahanya terus berkembang akhirnya beliau menawarkan produk lainnya seperti jambal, teri, dan bumbu dapur lainnya untuk kebutuhan rumah makan khas sunda.
Berbekal koneksi dan jaringan semasa kuliah, Prayitno memulai berinvestasi ke bisnis jamur dengan ikut mendirikan pabrik pembuatan baglog di daerah Bunihayu, Subang kemudian gagal. Tidak putus asa, ia kembali mendirikan pabrik lagi di daerah Kasomalang, Subang sampai saat ini perkembangan pabrik yang kedua ini cukup menggembirakan dan bahkan ingin memperluas area pabriknya.
Pada saat ini, ia sudah mendirikan dua perusahaan lagi di bawah bendera Mitra Pangan Sejahtera Group yakni konstruksi dan konsultan. Tidak puas dengan itu, ia juga akan menambah lini bisnisnya di agribisnis khususnya buah-buahan. Project bisnis sudah direncanakan antara lain adalah menanam pohon pepaya california dan peternakan sapi di daerah Kalijati, Subang.
Pesan yang sering didengarnya yakni rumput sendiri harus lebih hijau dibanding rumput tetangga itulah yang menjadi faktor pendorong untuk memunculkan bisnis-bisnis baru lagi. Selain itu ia juga berpesan bahwa apapun usaha yang digeluti, untuk pertama kali, jangan pernah menggantungkan usaha tersebut pada orang lain.
Lakukan sedikit demi sedikit, rasakan kelelahan dan kemenangan kecil terlebih dahulu. Tidak kalah pentingnya, integritas dan kepercayaan orang lain kepada kita harus terus dijaga, karena bekal ini yang akan menjadikan diri kita besar dengan sendirinya.
Saat ini ia sudah tinggal berbahagia dengan keluarganya di daerah Cicaheum, Bandung memiliki satu istri dan dikaruniai tiga orang anak. Ketika masuk di rumahnya, sudah terlihat semangat keluarga ini untuk terus belajar, perpustakaan umum sudah menyambut di ruang tamu keluarga. Sukses terus Pak Prayitno, Semoga keberkahan usahanya terus terjaga.
Oleh: Nur Samsu
Saya ikut Pendidikan dasar pada tahun 1970 yaitu angkatan ke 7 atau E-7 sebanyak 20 orang. Pada kesempatan ini pelatih2 senior yang turun kelapangan. Malah waktu latihan dilapangan alumni dari E-0 saat itu Dirjen dari Depdikbud) yang turut mendampingi kita.
Pada waktu itu saya satu-satunya anggota Putri dan pelatih putri yang selalu mendampingi saya adalah dari (E – 1) yang sangat disiplin dan “galak”. Bisa dibayangkan tegangnya pada waktu siswa putri dipisahkan dari siswa putra. Malah pernah jam 1 pagi saya kebangun dan langsung menyikat sepatu dan siap akan apel. Tapi kejadian ini membuat saya bisa mandiri dan sangat berguna bagi kehidupan saya sampai saat ini. Sangat bahagia bila digabung dengan putra, dimana terjalin persatuan dan kebersamaan.
Setelah lulus diksar banyak kegiatan yang ada di Yon 1 seperti:
a. Melatih Wajib Latih Mahasiswa (Walawa) yang diikuti oleh semua mahasiswa tingkat satu ITB. Kegiatan ini berlaku dari tahun 1967 – 1972
b. Menjadi anggota keamanan ITB untuk Ujian Saringan Masuk ITB Go Kart yang diadakan jurusan Mesin ITB
c. Mengikuti latihan2 menembak, naik gunung dan Nurse Training (kerja sama dengan Kowad)
Kegiatan-kegiatan ini membuat kita sibuk dan terkadang melupakan kuliah. Angkatan 6 (E-6) mendapat latihan gabungan dengan batalyon lain dan putrinya juga seorang. Jadi kami selalu bersama sedang angkatan 5 (E-5) banyak anggota putri hanya kurang aktif dalam kegiatan2 batalyon. Jadi yang aktif angkatan sebelumnya yang banyak putrinya, yang berkesan melatih Walawa angkatan 1972 dimana siswa selama satu bulan di asrama. Pada waktu itu putri satu kompi yaitu kompi E yang terdiri dari 4 pleton, saya menjadi Dan Ton dimana anggotanya adalah Fenti Efendi penyanyi tenar saat itu. Dapat dibayangkan artis harus tiarap dan berguling ditanah, tidur di barak, bawa senjata dan ransel, longmarch. Mula-mula kaget dan nangis, untung dalam waktu tidak lama dapat menyesuaikan dengan kondisi di atas. Malah waktu penutupan berterima kasih telah mendapat latihan Walawa.
Kegiatan positif yang unik adalah mendapat latihan Nurse yaitu belajar menjadi perawat. Kegiatan ini bekerja sama dengan Kowad (Komando Wanita Angkatan Darat). Disini kita belajar tugas2 perawat seperti mulai dari membersihkan tempat tidur, kamar, sampai menolong orang sakit. Ya kegiatan ini sangat berguna buat putri. Nus
Oleh: Ninies
Pengalaman unik dan menarik saat saya masih menjadi anggauta Yon I adalah pada waktu masih ada Wajib Latih Mahasiswa ( Walawa) . Diakhir latihan yang 4 semester selalu ditutup dengan latihan keluar kampus biasanya ke Dodik Cikole Lembang untuk beberapa hari .Pada tahun 1970 ( kalau nggak salah) untuk pertama kalinya saya diberi tugas sebagai Dan Pur ,eeit jangan salah bukan Komandan Tempur tapi Kumendan Dapur; saya bertanggung jawab menyiapkan makan sehari 3x untuk 1000 orang (baca seeribu orang)selama 3 hari .Bingung sudah pasti karena masak untuk sendiri saja masih tertatih-tatih.Tapi sebagai anggota Menwa yang baik hanya ada satu jawaban Siaaap Laksanakan.
Walau dengan budget pas2an tapi harus menyajikan hidangan yang sesuai standar , betul lho ada tim dokter militer yang memeriksa daftar menu, melihat cara masak,system penyimpanan makanan matang dsbnya. Masak untuk satu batalyon yang sedang latihan perlu manajemen waktu karena harus siap hidang tepat waktu nggak boleh terlambat, harus fit karena masuk dapur mulai dari jam 12 malam untuk masak sarapan pagi, lanjut preparasi untuk makan siang dan makan malam ( menu makan pagi,siang dan malam berbeda), juga pandai berhitung he he he karena pembagian untuk setiap kompi harus sesuai jumlah nggak boleh kurang sebuah pisang atau sepotong tahu pun, bisa berabe; beruntung saya dibantu 1 regu dapur dari Dodik Cikole (trimakasih bapak2 semua) dan juga “ngebon” 3 orang juru masak dari Cimahi(1 bapak bertanggung jawab masak nasi dan air minum,dan 2 ibu untuk lauk pauk). Ada juga “special request “karena alergi atau pantang makan makanan tertentu daan itu harus dilayani supaya semuanya tetap fit waktu menjalani aktifitas yang cukup berat.
Dari pengalaman tersebut banyak hikmah yang dapat saya petik. Terimakasih Yon I karena saya dapat kesempatan yang tidak semua anggota mengalaminya. Laporan selesai Hormaaaat grak.
Ingat senangnya waktu jual karcis, ikut jaga saat ada kegiatan balap gocart di kampus, juga saat melatih walawa, susah senang bersama sama, sehingga timbul rasa solidaritas yang tinggi ('esprit d'corps).
Sewaktu latihan, sebagai siswa tidur tetap memakai seragam tanpa sepatu. Sepatu di taruh rapih di ujung tempat tidur arah kaki. Sebelum tidur harus apel dan anggota berdiri di samping kanan tempat tidur, komandan regu laporan ke komandan pleton, siap untuk tidur. Komandan kompie keliling untuk memeriksa kompinya, didampingi PKD (Polisi Keamanan Dalam), baru pasukan siap tidur. Apabila bangun untuk apel pagi tempat tidur harus sudah dirapih kan lagi. Bila ada bunyi tembakan atau alarm, harus segera memakai sepatu dalam hitungaan tiga dan mencari tempat untuk steling. Wah repot memakai sepatu tentara ter gopoh-gopoh. Lalu ada apel dan kelihatan semua pada lucu-lucu, ada yang belum merapikan baju, atau sepatu belum terikat talinya. Wah semua senyum-senyum karena tak boleh bersuara.
Oleh: (Eko Winar Irianto/ekek 20)
Pagi yang cerah di Rinif Dam III/Siliwangi dilangsungkan penutupan Diklatsar bagi calon ekek 23 Batalyon I/ITB. Upacara penutupan dihadiri oleh Wadan Rinifdam III/Siliwangi berlangsung lancar dan dihadiri oleh seluruh Kolat dari Rinif dan Kolatsar Yon I/ITB. Seluruh siswa sangat bergembira dengan menyanyikan lagu perjuangan sepanjang perjalanan dari Rinif Dam sampai mendekati Kampus ITB. Mereka merasa bahwa tugas diklat telah dilaksanakan. Namun apa daya, dengan perasaan kecewa dan galau para siswa berhenti menyanyikan lagunya, karena kreo pengangkut mereka tidak berhenti di kampus ITB, namun berjalan terus ke arah utara. Mereka tidak mengetahui, bahwa Kolat Latap Yon I/ITB yang dipimpin DanLatap Bagus Setiawan (MS85/e21) dibawah bimbingan PaWasMil Kapten (inf) Ino Sukarno telah mulai bekerja sesuai skenario operasi yang telah ditetapkan.
Operasi Lattap dimulai di SusJur Cikole sebagai basis operasi. Sebagai WadanYon yang pernah menjadi Danton diklat ekek 21, WaDanki C, Dankilat ekek 22, Kasi Opslat 23 dan Dandik Suspelat untuk ekek 23, maka menjadi kewajiban saya untuk mendampingi Kolat Lattap mulai dari persiapan, hingga pelaksanaan termasuk kesiapan logistik dan kesiapan tim pelatih, yang sebagian besar dari ekek 22 dibantu para senior saat itu, antara lain: Yudo DPA, Wayan Yosen dll.
Selesai pertemuan dengan seluruh Tim Kolat di Base Ops Cikole, maka DanYon saat itu (Dadang SJN/21) menginstruksikan untuk berbagi tugas, yaitu DanYon bertugas mengelola Batalyon di Bandung dan WadanYon (penulis) mensupervisi pelaksanaan operasi Latap. Semua operasi dan skenario latihan di sekitar Tangkuban Perahu Area berlangsung aman dan lancar. Sampai pada saat untuk memindahkan Base Ops kolat ke Pantai Pondok Bali dengan sebagian personil kolat bertugas di Posko Aju Pegaden-Kedokan Gabus untuk persiapan operasi LongMarch Jalan Raya dan Kereta Api. Hasil diskusi antara Danyon dan Tim Kolat memerintahkan saya untuk kembali Posko Yon I/ITB untuk mengkoordinasikan persiapan upacara penutupan.
Singkat cerita, koordinasi operasi dan logistik persiapan upacara penutupan berlangsung dengan lancar dibantu para senior yang saat itu bertugas di Posko, al: Alex (Si84/e19) dan lain-lainnya. Termasuk dalam hal ini adalah menghadap dan memastikan kesiapan Dan Menwa Mahawarman, Kolonel Inf. Kuntoro (Aster Kasdam III/Slw) dan Kasmenwa saat itu IGW Samsi Gunarta (TL84/e19) untuk menjadi Irup dan cadangan Irup, serta para orang tua siwa untuk menghadiri penutupan Lattap ekek 24. Lancarnya persiapan tersebut, menimbulkan rasa tenang dan percaya diri bahwa pelaksanaan penutupan termasuk skenario operasi pendaratan LCR akan berjalan lancar. Semoga...
Manusia berencana, namun Tuhan Yang Maha Kuasa lah penentu segalanya. Jam 23.00 waktu posko H-6 dari hari pembaretan, tiba-tiba datanglah mobil pickup BRT ITB yang selalu dipakai oleh Yon I untuk diklat. Masuklah ke ruangan komandan yaitu DanYon, Danlat dan senior Yudo DPA (TK/e18) beserta 2 pelatih dengan wajah tegang dan saya pun bertanya ada apa?. Senior Yudo DPA berkata "Wadan, anda saat kejadian diluar lokasi dan saat ini anda paling fit, maka koordinasikan dan kendalikan situasi musibah yang menimpa Yon I/ITB". Dengan perasaan heran saya menjawab "Ada apa?". Dilanjutkan oleh Yudo DPA "Siswi Sri Hartati gugur dalam operasi Long March Kereta Api (LMKA), maka saudara Wadan harus ambil tindakan" berkata sambil beliau dan yang hadir di ruang komandan mencucurkan air mata.
Bagai disambar petir, "Innalillahi wa inna ilaihi rojiun, Ya Allah berikanlah kami kekuatan menghadapi musibah yang tak terduga ini". Pada saat kondisi hening tidak tahu apa yang harus dikerjakan, saya mohon izin untuk ber tahajud memohon petunjuk dan kekuatan kepada Yang Maha Memberi Petunjuk. Selesai bertahajud dan berdzikir sejenak, timbul kekuatan untuk mengatakan "Izin Komandan, situasi akan saya ambil alih dan kendalikan, mohon dukungan!!"
Saat itu juga kami sepakat siaga satu dan berbagi tugas, para pelatih dan senior yang ada di Batalyon harus berada di Posko sambil menunggu instruksi. Pelatih pendamping membuat kronologis peristiwa selengkap-lengkapnya. Kelak laporan ini menjadi dokumen penting di ITB maupun Skomenwa saat itu, terutama saat menghadapi cemohan dari berbagai pihak. Kami berempat, DanYon, penulis, Danlat dan senior Yudo berangkat untuk menghadap Pembantu Rektor III (Dr.Ir. Indrajati Siddhi). Dari pertemuan tersebut PR III menginstruksikan bahwa:(1) Latihan pemantapan Menwa Yon I/ITB berjalan terus sesuai waktu yang telah ditetapkan; (2) Segera menyampaikan berita duka ke orang tua almarhumah; (3) Prosesi jenazah dilaksanakan sepenuhnya oleh Yon I/ITB dibantu oleh PR III ITB. Dengan segala keprihatinan dan penuh tanggung jawab PR III ITB menyampaikan berita duka kepada orang tua almarhumah yang merupakan purnawirawan bintara TNI AU. Saat itu kami bersepakat bahwa senior Yudo DPA mendampingi keluarga almarhumah sampai persiapan pemakaman dipastikan lancar.
Selanjutnya, saya mempersilahkan istirahat kepada rekan2 tersebut untuk beristihat dan saya menghadap Kasmenwa agar didampingi saat menghadap dan melaporkan situasi sebenarnya kepada DanMenwa (Kol.Inf. Kuntoro/Aster Dam III Slw) serta mohon petunjuk selanjutnya. Instruksi DanMenwa selaras dengan instruksi dari PR III, yaitu: (1) Lattap selesaikan sesuai rencana; (2) siapkan pemakaman penghormatan untuk almarhumah; (3) DanMenwa tetap menjadi Irup penutupan dan akan mengumumkan kondisi tersebut selesai penutupan secara resmi Latap.
Dalam rangka persiapan pemakaman penghormatan tersebut, saya menghadap Rektor ITB (Prof. Ir. Wiranto Arismunandar, MEng) beliau menginstruksikan kepada Dr. M. Anshar (Dekan FMIPA) untuk menjadi Irup pemakaman penghormatan mengacu pada Tata Upacara Militer (TUM) pemakaman secara militer.
Dengan diiringi hujan yang cukup deras, saya menjadi Komandan Upacara pemakaman secara militer yang dilaksanakan di TPU Sirnaraga dengan Irup Dr M. Ansyar meskipun Rektor ITB tetap menghadiri pemakaman tersebut. Selain dari ITB, juga dihadiri utusan-utusan Wa Aster Dam III/Slw, Skomenwa Mahawarman Batalyon Menwa di Bandung (Yon II, III, IV, VI dan XI). Dengan selubung Merah-Putih dan penghormatan militer, almarhumah diturunkan secara perlahan pada peristirahatan terakhirnya untuk menghadap sang khalik. Upacara pemakaman selesai dengan lancar dan penuh khidmat dan dilanjutkan dengan mengadakan tahlilan selama 3 hari di rumah duka.
Selama masa duka dan tahlilan di rumah duka, pengendalian operasi (DalOps) dengan tim pelatih Lattap tetap dilaksanakan dan secara bertahap Danlat beserta staf kolat sudah terkonsolidasi kembali di Base Ops akhir (Pantai Pondok Bali). Dan pada akhirnya Danlat melaporkan bahwa semua skenario opslat berlangsung lancar dan penutupan siap dilaksanakan. Pada saat tersebut, para senior diberikan peran operasi teritorial di kampus ITB untuk menjelaskan situasi sebenarnya penyebab meninggalnya almarhumah dan memastikan bahwa latihan dilakukan secara terukur, termasuk didalam tim Kolat telah menyiapkan tim pelatih yang secara khusus dilatih P3K di PMI Cabang Bandung.
Akhirnya, ...pelaksanaan penyerbuan pantai dan upacara penutupan yang dipimpin oleh Irup DanMenwa Kol.Inf. Kuntoro berlangsung dengan lancar dan pembaretan selesai dilaksanakan. Meskipun para siswa dan orang tua siswa dalam situasi gembira, namun dalam hati mereka juga bertanya dimana rekan putriku satu-satunya dalam diklat/lattap ekek 24. Pada akhirnya DanMenwa dengan nada keprihatinan yang mendalam menyatakan bahwa rekan Sri Hartati telah gugur dalam latihan dan telah dimakamkan dengan penuh penghormatan mengikuti Tata Upacara Militer pemakaman.
Semoga segala amal ibadah almarhumah diterima dan diberikan tempat yang terbaik di sisi Allah SWT, Tuhan Yang Maha Kuasa. Semoga pula silaturahmi antara Yon I/ITB dengan keluarga almarhumah tetap terjaga sebaik-baiknya. Kepada semua anggota kolat dan tim pelatih serta senior yang telah melaksanakan tugas dalam diklat/lattap tersebut tentu pantas untuk diapresiasi. Semoga Allah SWT memberikan barokah dan inayahnya pada kita semua. Dan.. Batalyon I/ITB tetap jaya dan mengambil hikmah dari pengorbanan almarhumah. Aamiin YRA.
Oleh: Aslam Muhtar (Ekek 21) & Julia Burgijati Nasution (Ekek 22)
Saya terus terang agak bingung unruk menyampaikan ide cerita apa yang layak ditulis dalam rangka ikut berpartisipasi mengisi kolom cerita atau kisah nilai tambah pribadi sebagai ekek dalam “Buku Emas Batalion I ITB”. Hitung-hitung belajar mengarang dengan gaya tulisan jalanan, saya mencoba memaksakan diri, mamatutkan diri berbagi cerita pribadi. He..he..he! Nanti judulnya dirubah yang lebih pas!
Suatu hal yang menorehkan kesan agak dalam pada diri kami berdua pada momentum peluncuran buku emas ini adalah adanya sebuah hubungan ‘kebetulan’ bahwa “usia emas” Yon I ITB merupakan “usia perak” pernikahan kami sesama ekek. Sepertinya hal ini tidak dimiliki rekan-rekan yang lain, sehingga juga menjadi kado ‘istimewa’ buat kami. Ha..ha..ha! Bagi rekan-rekan mahasiswa ITB angkatan 86, kami bisa dikatakan termasuk ‘pelopor’ untuk menikah dimasa masih kuliah saat itu.
Kami memang pasangan yang dipertemukan dan dipersatukan karena Batalion I ITB dengan proses yang cukup singkat bila diukur dengan standar umum saat itu. Saya saat itu tercatat sebagai mahasiswa Teknik Mesin angkatan 86 dan bergabung dengan Yon I ITB melalui Diklatsar Angkatan XXI tahun 1987. Sedangkan isteri saya (Julia Burgijati Nasution) merupakan mahasiswi Matematika angkatan 86 dan bergabung ke Batalion I ITB melalui Diklatsar Angkatan XXII tahun 1988, seangkatan dengan pak Doedoeng, pak Budi Antono, pak Yudi Yusuf ketika saya menjadi Danton mereka bersama pak Dadang Johor Ning yang kelak dikemudian hari juga menjabat sebagai Danyon. Memang kenyataannya Danton mendapatkan siswa. Ha..ha! Tentu cerita detilnya tidak boleh disebarkan. Rahasia! He..he..he! Cukup cerita singkat-singkat saja, khususnya manfaat pendidikan dan keaktifan dalam ke-Mahawarman-an bagi diri pribadi saya.
Pada kesempatan ini saya hanya ingin menunjukkan bahwa internalisasi dalam diri pribadi atas nilai-nilai yang dikobarkan sepanjang Pendidikan Dasar, Dinas Staf dan Suspelat serta aktifitas-aktifitas dalam pembinaan kompi serta interaksi sesama anggota aktif dan senior memberikan pengaruh yang besar dalam pembentukan karakter diri saya pribadi dan kami berdua didalam mengarungi perjalanan kehidupan. Saya tidak mengambil perbandingan dengan rekan-rekan atau pribadi yang lain, namun dalam hal ini komparasinya adalah dengan kondisi diri sendiri sebelumnya. Contoh bahwa meski keaktifan saya di Batalion I ITB saat itu hanya 2 (dua) tahun namun efek peningkatan keberanian, percaya diri (mungkin over saat itu), tanggung jawab, pantang menyerah pada masa-masa kuliah dapat saya ilustrasikan pada ceritanya di paragraf berikut.
Melewati tahun ke-3 masa perkuliahan, kemampuan berpikir saya rasanya seolah-olah ‘hang’ sehingga prestasi akademik saat itu terus terang ‘jeblok’ hingga beberapa mata kuliah ketinggalan dari rekan-rekan seangkatan. Pada situasi seperti itu terlintas dalam benak saya bahwa solusinya adalah menikah. Hah! Menikah? Ngaco bin nekat kalee yach!
Setelah lolos TPB dan ikut Diklatsar, saya memang sudah tidak bergantung pada orang-tua. Saat itu, jelang akhir tahun 1987, ada dermawan dari Solo yang memperkenankan saya mengambil barang dagangan aneka batik untuk saya pasarkan di Bandung. Saat itu pangsa pasar saya adalah kelompok-kelompok ibu-ibu, baik itu kelompok pengajian atau bukan serta koperasi. Dari hasil usaha itu saya bisa membiayai diri sendiri. Bila kadang-kadang orangtua atau saudara memberi/mengirim uang maka itu sebagai bonus saja, tambahan ‘kencleng’. Selain berdagang batik, sebagai mahasiswa pada umumnya adalah mengajar privat/bimbel anak SD, SMP dan SMA.
Berbekal merasa sudah bisa membiayai diri sendiri, tidak bergantung kepada orangtua, dan kenekatan serta pede habis hasil interaksi keaktifan di Yon I ITB, saya seorang diri memberanikan diri menghadap pasangan Perwira TNI-AU untuk melamar putri sulungnya. Tentunya setelah saya yakin calon isteri saya menerima lamaran saya. Langsung diterima? He..he..he..ditolak dulu (kata-katanya off the record karena terlalu sangar ha..ha..ha). Lha iya kedua orangtuanya perwira senior di Mabes TNI-AU. Apa kata dunia ha..ha..ha..mau kasih makan dengan batu?
Tetap semangat, never crack under pressure, tetap berperilaku santun. Dalam waktu 6 (enam) bulan semenjak penolakan pertama akhirnya ijin, restu diberikan dan semuanya disuruh diurus sendiri. Ho..ho..dari ditolak menjadi semuanya diserahkan termasuk penentuan tanggal dan semua teknis pelaksanaannya. Mestakung! Saat itu calon bapak mertua sedang sibuk-sibuknya di Lemhanas dan BP7, demikian pula calon ibu mertua sedang sibuk mengetes para calon-calon perwira, perwira dan isteri perwira. Saya baru mengajak orangtua (yang dari awalnya juga tidak bisa menghambat tekad saya) untuk komunikasi antar orangtua setelah lamaran saya secara sendirian diterima calon mertua. Benar-benar diperlukan mental petarung! Dalam pelaksanaan pernikahan, kedua orangtua dan mertua pokoknya duduk manis saja, tahu beres saja, tidak terbebani urusan ini itu dalam finansialnya. Hal ini menjadi kenangan dan kebanggaan tersendiri bagi kami berdua yang bisa diceritakan ke anak-anak kami.
Kuliah, berkeluarga dan bekerja. Menjawab tantangan lebih lanjut, sebagai perwujudan rasa bertanggungjawab diamanahi anak gadis perwira, saya selain tetap menjalankan aktifitas-aktifitas usaha/ihtiar sebelumnya juga kemudian menjadi Pengawas Lapangan (Supervisor ME) di Jaya Construction Management untuk proyek-proyek yang mereka kerjakan di PT. Pindad dan PT. IPTN saat itu. Bagaimana mengatur waktunya untuk penyelesaian kuliah? Kalau merenung, melihat ke belakang, saya sendiri heran kok bisa yach?
Saat itu, keputusan untuk kemudian tidak aktif di kegiatan Batalion memang yang pertama saya ambil. Sebelum proses pernikahan, saya memang sudah mulai menarik diri dari kegiatan Batalion dengan tidak bisa membantu, menjadi wakil pak Eko Winar Irianto. Fokus saya saat itu adalah memang menikah, mandiri dan bereskan kuliah. Ada tekad ada jalan. Singkat cerita, meski harus berganti pembimbing tugas akhir sampai 3 (tiga) kali, meski sempat tertinggal, tercecer dari rekan-rekan seangkatan namun akhirnya saya bisa wisuda bersama mayoritas temen-temen seangkatan. Hal itu saya sadari karena mentalitas, disiplin yang terbentuk dari pendidikan ke-Mahawarman-an yang saat itu memang ada ‘greget’nya.
Sedikit tambahan, saya menjadi The Best Performer dari sekitar 40 orang peserta ABTP-48 (Astra Management Development Institute) bukan karena IPK saya yang tinggi (IPK saya hanya 2,x saja). Rekan-rekan saat itu para sarjana yang mayoritas cumlaude dan master dari ITB, UGM, UI, IPB, Tri Sakti, Unair, ITS. Jujur saya katakan ilmu Menwa yang mewarnainya karena saya bisa mengkoordinasikan mereka. Ketika pertama kali terjun di dunia pertambangan, di Kaltim medio 95/96 juga ilmu Menwa yang berperan untuk mendidik dan memimpin pasukan mekanik. Posko mandiri kemanusiaan lintas agama dalam membantu korban Gempa Yogya/Bantul juga ilmu dan spirit Menwa berperan. Memang setelah puluhan tahun tentu ada ilmu-ilmu yang lain.
Demikian sekelumit kecil hikmah dan manfaat penjiwaan ke-Mahawarman-an dalam menghantarkan saya bisa lulus dari ITB dengan sudah menikah, punya anak ketika di wisuda dan memaknai kehidupan. Saya bangga menjadi anggota Korps Yon I ITB! Masih banyak cerita hikmah yang lain dalam menghadapi pasang-surut kehidupan.
Oleh: Edi Junaedi AC, NPA: 00.22.6600115 (Ekek 21)
Tujadi, tua-tua keladi semakin tua semakin menjadi. Peribahasa itu rupanya sangat tepat bagi para alumni ITB yang pernah mengenyam pendidikan tambahan di Resimen Mahawarman Batalyon I ITB. Betapa tidak, berbagai fakta di lapangan menunjukkan hal itu. Banyak alumni dari berbagai angkatan dan disiplin ilmu, seolah tak mau kalah ingin menunjukkan eksistensi dan jatidirinya. Bukan untuk menunjukkan seberapa berhasil karirnya dalam bidang pekerjaan atau lainnya, tetapi lebih disebabkan ingin terus memberikan kontribusi membangun terhadap sistem atau institusi.
Bagi Alumni ITB Yon I, resimen mahasiswa atau menwa terbukti telah mampu mengembangkan sifat dasar kejuangan yang tidak saja bermanfaat dalam pengembangan karir pekerjaan mereka tetapi juga telah mampu menumbuhkan sikap untuk senantiasa menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepetingan golongan, suatu sikap yang sangat langka dan sulit dimiliki saat ini. Sifat dasar kejuangan ini terus tumbuh dan berkembang bahkan seolah tanpa akhir. Semakin bertambah usia justru semakin bertumbuh bahkan dalam bentuknya yang semakin beragam, tergantung di mana alumni tersebut berkarya. Sifat dasar dan nilai-nilai kejuangan tersebut selalu mewarnai berbagai ragam darma baktinya.
Nilai-nilai dasar dan sifat kejuangan yang ditempakan pada setiap alumni ITB Yon I, memang bukan suatu yang kebetulan. Melalui proses pendidilkan yang sistematis, metodologis dan berkelanjutan telah terbukti memberikan hasil yang berbeda. Mulai dari tahap persiapan yang biasanya dilakukan sekitar kampus, proses pendidikan siswa baru dimulai dengan berbagai pengenalan pengetahuan dasar kemiliteran dan penyiapan kemampuan fisik yang terus ditingkatkan. Durasi tahap persiapan ini tergantung kepada situasi dan kondisinya. Misalnya pada angkatan XXI (1987), tahap persiapan di kampus berlangsung sekitar seminggu dan disambung dengan berbagai pendidikan lapangan melalui berbagai macam medan, mulai dari hutan, gunung, hingga di pantai dengan lama pendidikan sekitar 2-3 minggu untuk anggota baru. Proses pendidikan dasar ini juga merupakan media atau wahana bagi angkatan sebelumnya untuk menerapkan dasar-dasar kepelatihan yang mereka terima dalam pendidikan kepelatihan (Suspelat) sebagai pelatih magang. Sedangkan bagi mereka yang telah melalui magang sebagai pelatih di kegiatan diklatsar dan lulus sebagai pelatih menempati posisi sebagai Komando Latihan (Kolat). Demikian proses pendidikan dan pelatihan berjenjang ini dilakukan secara bersamaan (concurrent) dan terus-menerus sehingga membentuk tradisi.
Jika diamati dan disimpulkan, pendidikan dan latihan dasar di Batalyon I ITB merupakan wahana yang terintegrasi bagi proses pendidikan seluruh anggota Yon I ITB, mulai dari anggota junior (masa aktif 1 tahun) hingga senior (masa aktif 3 tahun atau lebih), termasuk calon anggota baru tentunya. Kegiatan setahun sekali ini, merupakan kegiatan rutin yang memberikan peningkatan kualifikasi bagi masing-masing anggota sesuai dengan tingkatannya. Selain dihasilkannya anggota baru, anggota-anggota yang lebih dulupun tentu saja memperoleh peningkatan kualifikasi, kemampuan dan pengalaman sesuai dengan jenjangnya.
Traidisi pendidikan dan pelatihan yang diselenggarakan oleh Batalyon I ITB, tidak hanya pada momen pendidikan tahunan saja (diklatsar), melainkan melalui pendidikan mingguan yang biasanya diselenggarakan setiap hari Minggu. Kegiatan pendidikan mingguan ini, dilakukan tidak saja di dalam kampus tetapi juga di sekitar kampus, tergantung kepada materi dan kemampuan yang akan diberikan. Selain bentuk-bentuk pendidikan yang bersifat kemampuan lapangan, seluruh anggota juga diberikan kesempatan untuk mengikuti pendidikan dinas staf yang lebih menitikberakan pada pembekalan kemampuan manajemen organisasi kemiliteran. Seperti halnya diklatsar, bagi anggota yang telah mengikuti dan lulus pendidikan dinas staf juga diberikan kesempatan untuk magang sebagai biro pada masing-masing staf. Tujuannya tentu untuk memperoleh pendidikan lanjutan sebelum dipilih sebagai staf atau komandan di Batalyon I ITB.
Semua jenis dan jenjang pendidikan yang disebutkan di atas merupakan tradisi pendidikan yang minimal diberikan bagi anggota Yon I ITB. Tentu masih ada jenis pendidikan atau kegiatan lainnya yang sifatnya tentatif dan atau temporer, tergantung pada situasi dan kesempatannya. Bagaimanapun, semua kegiatan tersebut tidak saja mampu menumbuhkan sifat dasar kejuangan yang positif, tetapi telah juga menumbuhkan jiwa korsa ( esprit de corp) bagi setiap anggota yang pernah mendapatkannya. Dua sifat dasar ini terus tumbuh dan berkembang bahkan ketika seorang (alumni) anggota menwa telah memasuki purna tugas di masing-masing tempatnya berkarya. Bahkan bagi seorang anggota Yon I ITB lebih tepat dikatakan tidak ada istilah pensiun dalam mengabdikan seluruh pengetahuannya bagi kemajuan bangsa dan negara. Ini tentunya sangat bersesuaian dengan motto Widya Castrena Dharma Sidda – Old Ekek Never Die.
Oleh: Yudi Yusuf (Ekek 22, mantan Komandan Batalyon I ITB)
Pembinaan Yon I/ITB adalah pembinaan untuk menghasilkan calon pemimpin di masa depan. Sebabnya, secara teori itu benar, sumber daya manusia dengan intelektual yang tinggi disertai dengan ilmu keprajuritan merupakan perpaduan yang hebat, karena dapat membekali seseorang untuk jadi pemimpin yang tangguh.
Namun begitu perlu diketahui seseorang untuk menjadi pemimpin memutuhkan dedikasi kerja yang yang hebat atau pun memiliki etos kerja yang tinggi disertai oleh loyaltas yang besar. Dedikasi dan etos kerja yang dimaksud antara lain kerja keras dan pantang menyerah. Ini adalah kekuatan awal untuk membangun profesionalisme dalam bekerja. Nah dengan keprajuritan itu kita dibentuk (bukan dibina) untuk memiliki pribadi yang memiliki loyalitas tingi, etos kerja dan dedikasi.
Di Mahawarman kita dituntut untuk disiplin mengerti etika berorganisasi, sehingga dalam setiap tugas tidak gagal dengan semangat kerja “combat” (cepat dan selalu siap) akan menghasilkan tugas sesempurna mungkin. Jadi bekerjalah seperti seorang komando (mampu kerja mandiri dan berani mengambil resiko keputusan sendiri). Akan tetapi perlu disadari juga, bahwa biarpun modal pendidikan keprajuritan telah dimiliki, tetapi tidak di olah tidak akan berarti apa-apa. Bagaimana cara mengolahnya? Ya, dengan memberikan tantangan yang akan membuat seseorang menjadi dewasa dalam berfikir, cakap dalam bertindak, dan santu dalam berkata-kata, yang pada akhirnya menjadi terampil dan teruji.
Yang paling penting dalam pembinaan di Batalyon I/ITB khususnya adalah bagaimana pimpinan menyediakan tantangan yang berlimpah kepada anggota menurut kadar kemampuan dann jabatannya masing-masing.
Latihan fisik dan lapangan seperti menembak, terjun pasung, scuba diving mountaineering atau operasi-operasi tempur salah satu bagian kegiatan-kegiatan keras, selain sebagai nilai refresingnya yang tinggi juga akan membentuk seseorang unt uk tidak takut mati. Kegiatan berisko ini bisa dianalogikan sedang menjalankan proyek raksasa dengan investasi besar, ditutuntut untuk berani mengambil keputusan di saat kritis. Pembinaan lapangan merupakan salah saatu kegiatan yang penting, namun yang penting sekali adalah pembinaan manajemen keorganisasian agar belajar rapi dan disiplin dalam berorganisasi.
Dengan masuk Menwa kita bisa belajar dan tahu apa itu organisasi militer, dan mampu bagaimana mengimplementasikan dalam lingkungan non militer, misalnya di perusahaan. Apalagi sekarang ini trend dengn Sun Tsu, yaitu strategi perang bisnis yang dilakukan banyak perusahaan besar. Banyak mahasiswa masuk Menwa bermula dari rasa ingin tahu seperti apa manajemen militer itu, dan bagaimana revelansinya dengan organisasi sipil. Keuntungan lain di Menwa bahwa kita tidak di ikat oleh sistem militer yang kaku, kita bisa bebas untuk melakukan mengembangkan kreasi.
Bagaimana Seharusnya Pola Pembinaan Yon I?
Pola pembinaan dan pendidikan yang dilakukan Yon I secara betahap dan berjenjang serta berlanjut. Pendidikan pertama yang harus dilewati oleh setiap calon calon anggota Bataliyon I/ITB adalah Pendidikan dan Latihan Dasar Kemeliteran selama satu bulan 2 minggu di barak militer, dan 2 minggu di lapangan atau di medan operasi (MO). Daerah operasi yang dipilih biasanya berdasarkan filosofi yaitu bermula dari gunung , dan selesai di pantai. Daerah operasi meliputi arah pantai utara sepanjang Bandung – Subang – Indramayu – dan berakhir di pantai Eretan.
Sedangkan ke Selatan arahnya Bandung – Banjar – Pangandaran. Pendidikan Diklatsar ini merupakan pendidikan yang terarah, terencana dan terprogram , selain ditangani oleh Komando Latihan, berbeda dengan Orientasi Studi (OS) yang kadang tidak terkontrol penanganannya, bahkan terkadang juga ngawur.
Yang jelas orang-orang yang berhak turun melatih pasukan Menwa haruslah yang memiliki kualifikasi pelatih , baik itu pelatih pendamping, komandan peleton sampai Komandan Kompi. Artinya pelatih-pelatih diambil dari siswa yang lulus dari Kursus Pelatih (SUSPELAT) atau Kursus Guru Militer (SUSGUMIL) selama beberapa minggu di LEMDIK (lembaga Pendidikan) seperti Pusdikpasus Batujajar. Dengan demikian produk yang dihasilkan dari Diklatsar ini benar-benar terjamin.
Setelah dinyatakan lulus dari Diklatsar meliputi Latihan dasar-dasar keorganisasian dan pemahaman doktrin , anggota muda ini dimasukkan dalam Kompi Latihan (KILAT) selama dua bulan dengan latihan rutin setiap minggu. Pembekalan selama dua bulan ini meliputi latihan lapangan seperti mountaineering scuba diving, IMPK (Ilmu Medan Peta dan Kompas), lempar pisau , kaveleri berkuda, pemadam kebakaran, dan lainnya. Kesemua latihan lapangan ditujukan untuk persiapan “Operasi Rajawali” yang merupakan penutupan BINKILAT, dengan skenario operasi merebut markas Yon I . Pasukan dibagi dalam regu-regu, di drop sekitar daerah Tangkuban Perahu. Dalam dua hari dua malam mereka harus bisa merebut markas. Bukti keberhasilan Operasi Rajawali di tandai dengan pelantikan sebagai anggota Yon I ITB.
Beberapa minggu kemudian peleburan kompi dilakukan dari BINKILAT melebur ke Kompi C atau Kompi Muda . Untuk Kompi Muda, mereka dibawah Komandan Kompi (Danki) masing-masing. Mereka dapat memilih unit-unit yang diminati dalam jajaran Yon I ITB, seperti unit terjun payung, scuba diving, lempar pisau, mahir menembak , dan lainnya. Setelah tiga bulan di Kompi Muda mereka di haruskand mengikuti pendidikan Pra Dinas Staf (PDS) kurang lebih selam 4 hari. Hasil pendidikan ini akan di job kan di biro-biro, dari anggota sampai kepala biro. Kepala Biro adalah lulusan terbaik saat Pra Dinas Staf. Penempatan di biro di sesuaikan dengan bakat dan kemampuan serta pengamatan selama aktif di Batalyon.
Selama di biro di bina bertujuan pengkaderan adik-adik Menwa. Selain keaktifan Kompi Muda di biro, tugas staf juga menilai/memberi kredit poin dan kondite dan loyalitas. Dari sini nantinya (enam bulan kemudian) dapat dipilih siapa saja yang bisa di promosikan untuk memangku jabatan staf dengan cara proses selection by prestation. Sesudah dua bulan menjabat di biro-biro, Kompi Muda ini di libatkan dalam operasi Ganesha Yudha, yaitu latihan yang diskenariokan perpaduan operasi tempur merebut markas dengan pengabdian masyarakat. Ganesha Yudha saat itu latihan bersama Bataliyon 303 Kostrad di Cikajang Garut, sebagai persiapan ke Timor Timur. Waktu yang di jadwalkan operasi sampai 4 hari, namun persiapan dan perencanaan dari Kolatnya bisa berminggu-minggu. Setelah operasi dilanjutkan dengan bakti masyarakat. Sebulan kemudian di job-kan untuk tugas pengamanan diantaranya penerimaan mahasiswa baru.
Sebagai organisasi yang kental dengan kemiliteran, Menwa itu memiliki espirit de corp nya tinggi, pada tiap unit sebagai ajang olah pikir dan olah keprajuritannya, kehadirannya tetap dibutuhkan dan natural. Mau bukti ? Para eksekutif puncak saja sekarang berduyun-duyun belajar Outward Bounding (pelatihan di alam bebas) untuk menajamkan sense of decision making serta team work. Mereka berani bayar mahal.
Ada juga yang mengatakan Menwa bukan unit, tetapi kalau lebih tepat kalau disebut super unit, karena Menwa itu dibagi lagi menjadi unit-unit kecil berupa unit-unit keahlian kecabangan yang diberi otonomi penuh untuk mengembangkan dirinya, namun tetap di bawah kendali Komandan Bataliyon , yang setiap saat jika dipandang sudah waktunya berdiri sendiri dan mampu mandiri, jadilah unit baru di ITB. Dan beberapa unit di ITB kelahirannya dibidani anggota-anggota Yon I ITB.
Apabila Menwa dikatakan bukan unit itu apa ukurannya?. Jika ukurannya Legalitas, historis, didirikan di atas kemauan mahasiswa?. Menwa Yon I memenuhi tiga kreteria tersebut. Secara historis didirikan di ITB atas kemauan Dewan Mahasiswa. Tidak percaya? Lihat buku terbitan Keluarga Mahasiswa ITB “ITB Dari Masa Ke Masa”. Bahkan Dewan Mahasiswa pun yang mendirikan adalah anggoya Yon I, dulunya disebut WALA 59 dan Bataliyon Inti. Legalitas? Jelas punya pengesahan melalui Rektor.
Menwa di kampus disebut juga adalah resimen pendidikan. Itu artinya di Menwa yang ada adalah pembinaan dan pembentukan watak pemimpin atau leadership. Wadah resimen adalah wadah yang tepat bagi orang yang ingin belajar berorganisasi yang rapid an professional. Selama ini Menwa dalam kelangsungannya mengandalkan alumni, maka kedepan puny aide untuk membuat badan usaha. Dengan memberdayakan seperti unit kajian sosial politik dan kemasyarakatan, unit kajian ekonomi (Tsun zu) merupakan ruang besar yang bisa digarap. Juga perlunya potensi alumni diberdayakan agar lebih berdayaguna.
Oleh: Oetomo Tri Winarno/Ekek 24
Never crack under pressure merupakan rangkaian kata yang menyemangati Yon I untuk terus berjuang mencapai tujuan yang diharapkan atau pun bertahan di masa-masa sulit. Kata-kata ini terpatri di dada setiap personil yang pernah mengabdikan diri di Yon I, serta jatuh bangun di Yon I. Semangat ini akan menemani setiap generasi untuk menghadapi tantangannya masing-masing.
Semangat ini pula yang menemani penulis, yang pada tahun 1992 – 1993 mengemban tugas sebagai Wakil Komandan Batalyon I ITB di tengah krisis personil, yaitu sedikitnya anggota yang aktif, khususnya karena kelelahan psikologis pasca penyelenggaraan Simposium dan Pameran Teknologi Militer tahun 1991. Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk mencari kesalahan yang menyebabkan terjadinya krisis, tetapi mencoba memahami mengapa krisis terjadi dan bagaimana Yon I ITB akhirnya keluar dari situasi tersebut. Sehingga hal ini dapat menjadi pelajaran bagi generasi penerus Yon I ITB.
Tahun 1991 adalah salah satu puncak kejayaan Yon I ITB, yang ditandai dengan pelaksanaan Simposium dan Pameran Teknologi Militer (PSTM) tanggal 23 – 27 September 1991. PSTM merupakan rangkaian acara symposium selama 3 hari, sarasehan selama 2 hari, dan pameran selama 5 hari, yang dibuka dengan demo rapling heli dan terjun payung. Acara yang berskala nasional ini merupakan acara yang dapat dikatakan terbesar di ITB pada saat itu, baik dalam jumlah peserta symposium dan sarasehan, jumlah peserta dan pengunjung pameran, serta jumlah hari kegiatan.
Penyelenggaraan PSTM merupakan bukti kekuatan Yon I ITB saat itu, baik dari sisi jumlah maupun kualitas personil pendukungnya. Dari sisi jumlah personil, kekuatan utama pendukung PSTM adalah Ekek 20 – 25, dengan jumlah sekitar 100 orang. Di mana Ekek 25 pada saat itu adalah angkatan terbaru (Diksar Juli-Agustus 1991) sebagai pasukan demo. Ekek 24 pada saat itu sebagai Kompi Muda (Kompi C) dan Ekek 23 sebagai Staf Batalyon dan Kompi Madya. Komandan Batalyon pada saat itu adalah Purbaningrat, Ekek 20. Di samping itu, Kompi Pratama yang merupakan anggota senior yang terdiri atas Ekek 22 – 18 jumlahnya cukup besar.
PSTM dapat dikatakan merupakan kegiatan yang dilakukan dari inisiatif anggota sendiri dan dengan kekuatan anggota sendiri, meskipun tidak dapat dipungkiri adanya kepentingan ITB dan kepentingan ABRI terhadap penyelenggaraan acara tersebut. Alumni Menwa ITB (saat ini disebut Korps Menwa ITB) pada saat itu belum terhimpun, yang keterlibatannya masih secara pribadi dan atas permintaan Yon I. PSTM merupakan eskalasi dari kegiatan tahunan yang dilaksanakan Yon I ITB pada saat itu, di mana setiap tahun dilaksanakan rangkaian acara dalam rangka HUT Yon I ITB.
Seperti halnya gelombang laut yang naik turun, intensitas kegiatan Yon I menurun setelah mencapai puncaknya. Ekek 23 yang pada tahun 1990/1991 menjabat sebagai Staf Batalyon merupakan staf yang lengkap dan solid. Jumlah seluruh angkatan 23 adalah 35 orang dan sebagian besar aktif. Ekek 24 yang mengisi kestafan tahun 1991/1992 jumlahnya lebih sedikit dibanding kestafan sebelumnya, karena di samping jumlah Ekek 24 yang hanya 22 orang, 7 orang di antaranya berasal dari D3 yang batas studinya lebih pendek. Grafik terendah dicapai oleh Ekek 25, yang mengisi kestafan batalyon tahun 1992/1993.
Ekek 25 adalah angkatan yang paling sedikit jumlahnya dan paling rendah keaktifannya selama tahun 1990-an awal. Rendahnya jumlah dan keaktifan Ekek 25 ini disebabkan beberapa faktor, antara lain yaitu:
1. Ekek 25 dilahirkan pada saat persiapan pelaksanaan PSTM, sehingga konsentrasi Staf Batalyon (Ekek 23) terpecah. Diksar Ekek 25 dilaksanakan bulan Juli 1991, sedangkan PSTM dilaksanakan September 1991. Perekrutan calon siswa pada tahun 1991 tidak maksimal karena pada saat bersamaan dilaksanakan persiapan PSTM dan Suspelat Ekek 24.
2. Lebih dari setengah personil Ekek 25 mempunyai persoalan yang menghambat keaktifannya di Batalyon. Total personil Ekek 25 sebanyak 19 orang, 4 orang dari angkatan 88 (telat 1 tahun masuk Menwa), 2 orang merangkap kuliah di universitas lain, 2 orang tidak aktif karena masalah pribadi (menikah), 2 orang mundur tanpa alasan, dan 1 orang dari D3.
Kegiatan PSTM yang berskala besar ternyata cukup menyedot waktu dan perhatian personil yang terlibat di dalamnya. Sehingga banyak anggota yang telah banyak terlibat aktif dalam persiapan dan pelaksanaan PSTM “meminta cuti” dari kegiatan Yon I. Hal ini cukup berdampak terhadap pembinaan Ekek 25. Khususnya pada saat Dinas Staf dan Suspelat untuk Ekek 25, personil yang terlibat dalam Komando Latihan (Kolat) sangat sedikit. Bahkan Kolat Suspelat yang aktif hanya 3 orang.
Di samping hal-hal di atas, terdapat satu faktor yang sering “dituduhkan” kepada Ekek 25, yaitu kurangnya komitmen terhadap Batalyon. Tentunya ini penilaian umum kepada Ekek 25, meskipun ada juga beberapa yang mempunyai komitmen yang tinggi.
Ekek 25 hanya aktif pada tahun pertama, yaitu pada saat menjadi Kompi Remaja dan Kompi Muda. Program Pembinaan Kompi Remaja (Binkija) Ekek 25 adalah program yang cukup mewah, karena mereka disiapkan menjadi pasukan demo rapling heli untuk pembukaan PSTM, yang dilatih di Ciwidey dan Pusdikpassus Batujajar. Selanjutnya, hampir semua Ekek 25 mengikuti Dinas Staf dan Suspelat. Permasalahan keaktifan Ekek 25 terjadi setelah Suspelat. Pada saat penugasannya sebagai pelatih di Diksar Ekek 26, sangat sedikit Ekek 25 yang melatih dengan berbagai alasan. Hal ini berlanjut pada saat Pembinaan Kompi Remaja dan pada saat tongkat estafet kestafan batalyon berada di tangan Ekek 25. Kestafan batalyon tahun 1992/1993 tidak dapat berjalan secara semestinya. Tidak semua posisi staf terisi dengan baik.
Krisis personil yang terjadi terasa semakin berat karena Komandan Batalyon Prajudi (Ekek 23/Teknik Sipil 87) lulus pada bulan Oktober 1992, seiring dengan pelantikan Ekek 25 sebagai Staf Batalyon. Pada saat itu tidak dilakukan pergantian Komandan Batalyon, karena komitmen Danyon Prajudi untuk menyelesaikan tugasnya sebagai komandan dan mempertimbangkan krisis personil yang terjadi. Namun demikian, secara de facto, Wakil Komandan Batalyon menjadi penanggung jawab terhadap kegiatan Yon I ITB.
Krisis personil pada tahun 1992/1993 ini ditandai dengan peristiwa bentrokan antara siswa Suspelat Ekek 25 dengan peserta OS Geodesi pada bulan Juni 1992 dan pelemparan bom molotov ke Mako Yon I pada bulan Juni 1993. Situasi kemahasiswaan tahun 1990-an awal sedang hangat, dengan menguatnya kegiatan aktifis kampus yang kritis terhadap pemerintah, pasca peristiwa penolakan Mendagri Rubini tahun 1989. Tiga orang siswa Suspelat dihadang dan dikejar oleh sepasukan peserta OS Geodesi yang dikendalikan oleh seniornya. Permasalahan ini dibawa ke komisi disiplin ITB, yang cukup menyita waktu Yon I. Situasi panas antara Yon I dan Himpunan Geodesi terus berlangsung sepanjang tahun 1992/1993.
Setahun pasca bentrokan tersebut di atas, terjadi peristiwa pelemparan bom molotov ke Mako Yon I. Peristiwa ini terjadi pada bulan Juni 1993, di tengah malam setelah pelaksanaan ujian masuk perguruan tinggi (UMPTN). Dua bom molotov dilempar oleh seseorang yang mengendarai motor dari arah Aula Timur dan langsung melarikan diri keluar gerbang ITB. Satu bom molotov memecahkan kaca jendela ruang komandan bagian depan kanan dan membakar gorden. Satu bom molotov lainnya memecahkan kaca pintu depan Mako. Inventaris Mako yang terbakar antara lain adalah TV. Api berhasil dipadamkan oleh beberapa anggota Yon I yang sedang berada di Mako, sehingga tidak menimbulkan kerugian yang lebih parah. Namun demikian, pelempar bom molotov tidak dapat diidentifikasi.
Selain itu, terjadi musibah yang cukup menyedot perhatian serta dana Yon I pada saat Binkija Ekek 26 bulan Oktober 1992, yaitu jatuhnya Muhammad Zein saat latihan jump truck. Kepala bagian belakang Zein terbentur aspal di depan perpustakaan ITB. Zein langsung dilarikan ke RS Borromeus, sempat koma selama beberapa hari dan dirawat di rumah sakit tersebut. Biaya perawatan Zein di rumah sakit ditanggung oleh ITB dari dana kegiatan Yon I. Ekek 26 melakukan piket menjaga Zein selama dirawat. Zein kemudian cuti kuliah sampai akhir semester, dan aktif kembali di Yon I. Dengan adanya kejadian ini, latihan jump truck tidak lagi dilakukan di Yon I ITB.
Ekek 26 adalah angkatan pertama pasca PSTM 1991, dengan jumlah anggota sebanyak 18 orang. Di tengah krisis personil yang terjadi, Ekek 24 mau tidak mau harus turun kembali untuk membina Ekek 26, mendampingi Ekek 25 yang hanya sedikit yang aktif. Beruntung Ekek 26 mempunyai semangat yang tinggi untuk mengikuti kegiatan Menwa, sehingga suasana Mako Yon I menjadi lebih semarak.
Karena keterbatasan personil untuk komando latihan dan keterbatasan dana, Pendidikan Dinas Staf untuk Ekek 26 pelaksanaannya digabung dengan Kursus Pelatih di bulan Juni 1993, biasanya Dinas Staf diselenggarakan bulan Januari. Sebagai gantinya, pada bulan Januari – Februari 1993 dilaksanakan Latihan Khusus (Latsus).
Latsus adalah suatu rangkaian kegiatan yang terdiri atas: pemadaman kebakaran di kampus ITB, lempar pisau di Pusdikjas Cimahi, menembak mahir dan mountaineering di Yon 330 Kostrad Cicalengka, dan scuba diving Pusdikpassus Batujajar. Latsus adalah bentuk latihan baru, yang dimaksudkan untuk meningkatkan semangat dan keaktifan anggota, di samping untuk sarana publikasi dan territorial ke kampus. Latsus ini adalah latihan bersama, semua anggota adalah peserta, tidak ada komando latihan.
Foto Latsus di Yon 330 Kostrad Cicalengka, Januari 1993
Latsus barangkali adalah kegiatan pertama yang didanai dari saweran (sumbangan) alumni, karena dana ITB hanya cukup untuk kegiatan rutin: Diksar, Dinas Staf dan Suspelat. Pada periode ini mulai dirintis pembentukan ikatan alumni Yon I, yang pada waktu itu direncanakan dilakukan pada HUT Yon I ke 29. Pada kenyataannya, pembentukan ikatan alumni Yon I baru terlaksana pada HUT Yon I ke 30 (April 1994).
Karikatur Karya Pak Daryanto/19 (pada Ekek Post Edisi I/ Januari 1993).
Dampak dari Latsus cukup besar, baik untuk internal antar anggota maupun eksternal antara anggota dengan civitas ITB serta dengan instansi militer. Dengan ketrampilan yang dimiliki dari Latsus, kepercayaan diri anggota meningkat dan semakin solid antar anggota. Dengan adanya Latsus yang berjangka waktu panjang, publikasi ke kampus tentang kegiatan Yon I dilakukan dengan gencar dan terus menerus selama periode Latsus, bahkan sampai HUT Yon I bulan Maret 1993. Hal ini menjadi sarana promosi yang bagus untuk Diksar Ekek 27, sehingga anggota baru meningkat menjadi 24 orang pada Diksar tahun 1993.
Sebagai sarana komunikasi dan publikasi kegiatan Yon I ke alumni dan ke rektorat, diterbitkan Ekek Post setiap bulan, mulai Januari 1993. Selain itu, Ekek Post juga menjadi sarana untuk menghimpun dana. Ekek Post berupa lembaran-lembaran 8-10 halaman, berbeda dengan Ksatria Ganesha yang berupa buku, yang diterbitkan setahun sekali. Ekek Post masih terus diterbitkan beberapa tahun setelahnya, paling tidak sampai tahun 1998.
Situasi krisis akan dapat menghasilkan personil yang tangguh, serta menumbuhkan sikap kejuangan. Kejayaan Yon I di masa lalu menjadi semangat untuk dapat berkarya lebih baik. Setiap generasi akan mempunyai tantangannya masing-masing. Never Crack Under Pressure !!
Oleh: Rifki Muhida (Ekek 26)
“Agar tetap berada dalam cita-cita proklamasi, berdaulat dan selalu memiliki ketahanan nasional, buatlah rakyat Indonesia terus-menerus berada dalam jajar-juang (battle order)”.
Jendral (TNI) A.H. Nasution (pada perayaan HUT 30 tahun Menwa ITB tahun 1994).
Sejak didirikan pada tanggal tanggal 20 Maret 1964, Resimen Mahasiswa Batalyon I – ITB beserta alumninya yang terhimpun dalam wadah Korps Menwa ITB selain telah berperan aktif membantu Negara dalam mempertahankan integritas bangsa di era pergolakan (1959 – 1966) juga sebagai training center dalam menghasilkan kader-kader bangsa yang potensial di era pembangunan.
Alumninya yang saat ini berjumlah lebih dari 2000 orang, telah merasakan manfaat dari pendidikan militer yang telah mereka ikutiselama mahasiswa yaitu dengan keberhasilan mereka menduduki posisi-posisi strategis di pemerintahan dan swasta, dari menjabat menteri,akademisi hingga pimpinan perusahaan multinasional. Eksisnyaorganisasi ini hingga mencapai usia 50 tahun telah menjadi aset bangsayang sangat berharga, baik dari segi branding, bagian dari perguruantinggi terbaik (ITB), sejarah, dokrin dan tradisi. Memasuki era reformasi dimana euphoria demokrasi yang menuntut kebebasan sebesarbesarnya memunculkan krisisis kebangsaan ditandai dengan hilangnya identitas kebangsaan dengan semakin pudarnya rasa nasionalisme di masyarakat tidak saja para politikus yang memegang jabatan strategis di eksekutif maupun legislatif tetapi juga generasi muda sekarang. Selain itu otonomi daerah menimbulkan masalah baru dengan dijualnya aset-aset penting Negara untuk kepentingan bisnis dan kekuasaan semata.
Penguasaan sebagian besar aset strategis bangsa oleh asing meliputi: udara (telekomunikasi), darat (perkebunan, energi, pertambangan) dan laut (perikanan, pasir) juga dunia perbankan. Korupsi yang semakin merajalela bahkan mereka yang seharusnya berperan penting dalam menumpas korupsi menjadi pelaku utama korupsi yang sekaligus menghancurkan supremasi hukum di negara ini,
Hancurnya industri-industri strategis Nasional apalagi yang terkait dengan pengadaan dan pengembangan alusista hankan seperti IPTN, PT DI, PT PAL, PT LEN dan lain-lain sebagai akibat tekanan dari pihak luar yang berusaha menjauhkan industri dengan akademisnya agar bangsa ini tidak bisa mandiri, telah menyadarkan Corps Menwa ITB bahwa ketahanan nasional bangsa sudah goyah.
Sebagai pewaris Tentara Pelajar Indonesia (1945 -1948) sebagai mana pesan Jendral AH Nasution pada HUT Menwa ITB Ke 30 tahun 1995, Menwa ITB ingin selalu menjadi jajar-juang (battle order) dalam merealisasikan cita-cita proklamasi, mendahulukan kepentingan bangsa di atas kepentingan pribadi ataupun golongan, serta menjadi agen pembangunan yang mengedepankan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk kemaslahatan bangsa.
Menwa ITB, sejak berdiri tahun 1964 sesuai dengan kompetensinya pada "teknologi" telah berupaya untuk membangun kemandirian pemenuhan kebutuhan alat peralatan pertahanan dan ke-amanan negara diantaranya melalui penyelenggaraan Simposium dan Pameran Nasional Teknologi Militer (SPTM) tahun 1991, dan Simposium dan Pameran Nasional Teknologi Hankam (SPTH) 1995 Dalam kegiatan yang dibuka oleh Panglima ABRI dan menghadirkan 5 menteri tersebut para mahasiswa dan alumni yang tergabung dalam Corps Menwa ITB, berhasil mempertemukan pihak-pihak yang berperan penting dalam pengembangan Teknologi Hankam, yaitu:
1. AKADEMISI, yang berperan dalam mencipta dan meneliti,
2. INDUSTRI yang berperan dalam pembuat dan
3. ABRI/TNI yang berperan sebagai pengguna.
Beberapa hasil strategis dari kegiatan tersebut diantaranya: Berdirinya Program Pasca Sarjana Magister Studi Pertahanan ITB tahun 2001, berdirinya Universitas Pertahanan Nasional dan disahkannya UU No 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan. Meskipun telah tercapai beberapa pencapaian strategis, Corps Menwa ITB melihat begitu minimnya SDM Indonesia yang mau terlibat dalam bidang pengembangan teknologi pertahanan. Perlu sosilisasi atau kampanye menyeluruh dari TNI ataupun pemerintah melibatkan masyarakat luas. Corps Menwa ITB, dengan latar belakang dunia teknologi, terpanggil untuk terlibat dalam pengembangan teknologi hankam
secara sukarela (volunteer) dalam upaya mewujudkan kemandirian hankamneg khususnya pengadaan alat dan peralatan pertahanan. Beberapa produk yang telah dihasilkan diantaranya: Pameran dan Simposium Nasional teknoogi Militer 1991, Pameran dan Simposium Nasional Teknologi Hankam (1995),Proseding SPTH (1995), UAV (1999), Stabilized Rocket launcher (2005), Airborne Surveillance System (2007), Vessel Monitoring System (2007) Ground Surveillance System (2010), Buoy System (2010), Cyber Army (2013) dan lain-lain.
Menginjak usia 50 tahun Corps Resimen Mahasiswa ITB diharapkan dapat berperan lebih aktif lagi, memberikan sumbangsihnya untuk bangsa dan negara sejalan dengan kompentensinya untuk ikut serta dalam pengembangan teknologi pertahanan serta sebagai wadah untuk mencetak kader bangsa yang bisa membawa bangsa memasuki era global.
Peserta awal lebih dari 100, sekitar 100 yang ikut MO dan lulus 72 orang. Angkatan 19 terbagi menjadi 3 peleton dengan DanKie: Epsi, Ahya dan Djoko Kuntono. E19 termasuk angkatan dengan siswi paling banyak: 6 orang, hebatnya semua lulus. DanKielat adalah Sugiharto. DanYon saat itu Kenedy Simanjuntak. Binjas yang jadi momok adalah Sodik yang hobinya ngajak lari siswa jam 12 siang naik ke Dago Pakar dan kemudian turun lagi.
Lokasi MO mulai dari Cikole (materi di barak), menuju Situ Lembang (IMPK, Tidur Kalong, Survival, Renang Ponco) dan kemudian ke Bihbul (menembak, Tikru dll) terus lanjut ke Pangandaran (LM, Rawa laut, LCR). Siswa banyak berguguran terutama di etape Pangandaran ini (LM Jalan Raya dan LM Rel KA). Operasi pengambilan tanda lokasi dilakukan dengan simulasi raid ke kampus ganesha. Suspelat di Bihbul dan Dinas Staf di Rinifdam.
Kompi Remaja:
Pendidikan Lanjutan:
Menjabat Staff:
Menjadi Alumni:
Ada satu orang yang kemudian berkarir di TNI-AL dan menjadi petinggi di Dishidros AL Ancol: Kolonel Trismadi.Sementara yang lain berkarir di banyak bidang dan tempat termasuk ada yang cukup jauh: di Qatar, Kolombia, Thailand dan Jepang. Yang di Jepang ini ditengarai menjadi salah satu ahli lensa kelas dunia dan memegang banyak paten tentang lensa. Jenjang kemiliteran tertinggi dipegang oleh I Wayan Marie Yose yang saat ini secara de-facto diberikan pangkat: Jendral.
Diklatsar:
Danlatsar : Indra S Djauhari
Dankilat : Joko Kuntono
Kasiops : Yudo DPA
Dantonlat : Noor Syarifuddin/Made Meganjaya (alm)
Kompi Remaja:
Pendidikan Lanjutan:
Menjabat Staff:
Menjadi Alumni:
Oleh: Utomo Tri W (Angkatan 24, Mantan Wadan Yon I)
Angkatan 24 Yon I/ITB seluruhnya berjumlah 22 orang, termasuk 1 orang meninggal dunia dan satu orang mengundurkan diri. Diklatsar Angkatan 24 dilaksanakan pada bulan Juli tahun 1990, satu bulan setelah Ujian Akhir Semester. Diklatsar diawali dengan Pradik (pra pendidikan) selama seminggu di kampus ITB, Diklatsar Skomen di Susjur Cikole selama tiga minggu, dan Lattap (latihan pemantapan) Yon I selama dua minggu, sehingga total waktu pendidikan selama satu setengah bulan.
Diklatsar:
Diklatsar Angkatan 24 merupakan diklatsar gabungan pertama yang dilaksanakan oleh Yon I. Baik siswa maupun kolat (komando latihan) merupakan gabungan dari berbagai perguruan tinggi peserta diklatsar. Total peserta Diklatsar Gabungan di Susjur Cikole berjumlah 49 orang, terdiri atas 40 siswa dan 9 siswi, yang berasal dari Yon I/ITB (22 orang, termasuk 1 siswi), Yon III/Unpar (13 orang), Yon VII/IPB (6 orang), Yon VII/SKEM (2 orang), Ki BS IAIN (3 orang), Yon VII UNLA (1 orang), dan Yon VI/STIEB (2 orang). Kolat gabungan didominasi Yon I/ITB, khususnya pada level pimpinan latihan dan pada level pelaksana lapangan. Sebagai Danlat adalah Bagus Setiawan/Ekek 22, Dan Ki Doedoeng ZA/Ekek 22, Kasiop Darso/Ekek 22, Danton Rudy Thermonadi/Ekek 23 dan Heri Suhendri/Ekek 23. Kolat Diklatsar (dari Yon I) ini berlanjut sampai Lattap. Daftar siswa Angkatan 24 terlampir.
Lattap Angkatan 24 menempuh jalur Cikole – Parongpong – Tangkuban Parahu – Panaruban - Subang – Cipunagara – Sukamandi – Muara Dua – Pondok Bali. Lattap diikuti oleh 21 orang dari Yon I ditambah 3 orang siswa titipan dari Ki BS IAIN. Pada saat menjalani operasi Long March Rel Kereta, siswi Yon I, Sri Hartati, mengalami kecelakaan dan gugur dalam latihan. Yon I sangat berduka. Upacara pembaretan menjadi penuh haru, karena berita duka tersebut baru disampaikan pada saat itu.
Kompi Remaja dan Pendidikan Lanjutan:
Angkatan 24 mempunyai catatan yang cukup baik dalam hal keaktifan di batalyon. Hampir semua personil Angkatan 24 mengikuti Dinas Staf dan Suspelat, serta menjalankan berbagai kegiatan di batalyon. Dinas Staf diadakan di SESKOAD dan Suspelat di SECATA Pengalengan. Dalam kegiatan kestafan, banyak personil angkatan 24 yang menjabat lebih dari satu periode. Hal ini dikarenakan kurang begitu aktifnya angkatan 25.
Menjabat Staff:
Dua orang personil Angkatan 24 sempat menjadi Wadanyon, yaitu Oetomo Tri Winarno (1992/1993) dan Hendi Haerudin (1993/1994). Satu orang personil Angkatan 24 terpilih menjadi Danyon selama dua periode, yaitu M. Imam Arba’i (1994/1995 dan 1995/1996). Khairun Nasuha adalah angkatan 24 yang sempat menjadi atlet terjun nasional. Beberapa operasi dan kegiatan besar yang diikuti Angkatan 24 adalah Ganesha Yudha (Januari 1991), Simposium dan Pameran Teknologi Militer (September 1991), dan Latihan Khusus (Desember 1992 – Januari 1993). Sebagian angkatan 24 pun menjadi bagian dari team inti pelaksanaan Pameran dan Simposium Nasional Teknologi Hankam di bulan November 1995.
Menjadi Alumni:
Oleh: Utomo Tri W (Ekek 24 dan mantan Wadan)
Diklatsar:
Diklatsar Angkatan 25 dilaksanakan bulan Juli 1991, dimulai dari kegiatan Pra-Diksar di Kampus selama seminggu kemudian di Dodik Secata Pangalengan selama tiga minggu. Diklatsar ini merupakan diksar gabungan kedua kalinya, setelah diklatsar gabungan Angkatan 24 di Cikole. Siswa-siswa diklatsar berasal dari: ITB, Unpar, IPB, IAIN, serta beberapa satuan lainnya. Jumlah siswa diklatsar keseluruhan sebanyak 2 pleton penuh (sekitar 60 orang), sementara jumlah siswa diklatsar dari ITB sebanyak 22 orang. Susunan Kolat dan Pelatih juga merupakan gabungan dari beberapa satuan. Posisi Wadanlat (posisi Danlat dipegang militer) dipegang oleh IAIN, karena jumlah siswanya paling banyak.
Setelah Diklatsar, kader Angkatan 25 langsung dievakuasi dari Pangalengan menuju Cikole untuk menjalani Lattap. Lattap berlangsung 12 hari. Danlat Lattap adalah Bayu Susila (22), Kasiop Hafzal Hanief (23), Danki Heri Suhendri (23), Danton Imam Arba’i (24) dan Oetomo Tri Winarno (24). Jalur operasi Lattap Angkatan 25 adalah sebagai berikut:
IMPK siang : Parongpong - Cisarua
Jurit malam : Pintu Komando(cisarua) – Situ Lembang
Survival, Tidur Kalong : Situ Lembang
LM Hutan-Gunung : Situ Lembang – Sagala Herang
LM Jalan Raya : Jl. Cagak – Cipunagara
LM Rel KA : Cipunagara – Kedogan Gabus
Evakuasi ke desa Muara Dua
Rawa laut : Muara Dua – Pondok Bali
LCR & RAID : Pondok Bali
Berikut adalah nama-nama Angkatan 25. Adi Martono (no.2) dan Agung Satya Wiguna (no. 16) mengundurkan diri saat Lattap akan dimulai, sementara Supriadi (no. 14) melarikan diri pada saat akhir longmarch rawa laut.
Kompi Remaja dan Pendidikan Lanjutan:
Menjadi Staff:
Menjadi Alumni:
Kelahiran Angkatan 25 di Yon I berada ditengah persiapan Yon I menyelenggarakan Pameran dan Simposium Teknologi Militer (PSTM) yang pertama. Sehingga kegiatan Binkija Angkatan 25 dikaitkan dengan persiapan demo rapling heli untuk pembukaan PSTM. Angkatan 25 sebagai pasukan demo dilatih di Ciwidey dan di Kopassus Batujajar. Kegiatan besar lain yang diikuti Angkatan 25 adalah Latihan Khusus (Desember 1992 – Januari 1993), yang terdiri atas Pemadam Kebakaran, Lempar Pisau, Menembak Mahir, dan Scuba Diving. Beberapa anggota Angkatan 25 mendapatkan brevet Menembak dan Scuba Diving.
Diklatsar:
Angkatan 26 (1992) menjalankan pendidikan latihan dasar pada bulan Juni-Juli 1992 di Cikole bersama satuan lainnya: ITB, IPB, IAIN dll, Selama dua minggu di barak Cikole, termasuk latihan berganda di sekitar Cikole. Latihan Pemantapan di minggu ke 3 dimulai dengan operasi Hutan Gunung dari Tangkuban Perahu, operasi tidur kalong dan survival di Panaruban, Kompas di calan Cagak, LM Jalan Raya, LM Rel Kereta, Susur Pantai hingga penutupan di Pondok Bali. Sementara Pendidikan Dinas Staf dan Suspelat tahun 1993 diadakan di Pusdikpasus Batujajar.
Kompi Remaja dan Pendidikan Lanjutan
Angkatan 26 sempat mengalami kondisi traumatik saat-saat awal menjadi anggota ketika Mako di bom molotov pada bulan Agustus 1992. Ankatan 26 sempat kehilangan induknya karena ditinggal Dantonnya sampai pada akhirnya diambil alih oleh Danton Doddy S (25).
Binkija dilakukan selama 3 bulan, meliputi mountaineering, jump truck, Scuba Diving, lempar pisau, latihan Menembak di Yonif 330/Linud Kostrad, operasi Rajawali dan malam penutupan Binkija dan ramah-tamah di Aula Timur.
Menjadi Staff:
Angkatan 26 menjadi ujung tombak pada kegiatan Sarasehan Kejuanagan dan Bela Negara Menwa ITB tahun 1994, pembentukan Coprs Menwa ITB dan Simposium dan Pameran Nasional Teknologi Hankam 1995. Salah seorang angkatan 26 (Joslin Sibarani) mengikuti operasi teritorial ke Timor Timur dan seorang menjadi Komandan Batalyon (Rifki Muhida).
Menjadi Alumni:
Dillatsar:
Pantai Eretan, Indramayu. Pendidikan Dinas Staf dan suspelat tahun 1994 diadakan di Kampus iTB dan Pusdikpasus Batujajar.
Kompi Remaja:
Pendidikan Lanjutan:
Menjabat Staff:
Menjadi Alumni:
Oleh : Sari Widya A.
Pendidikan Dasar,
Pendidikan dasar tahun anggaran 2012 untuk angkatan 46 dimulai pada tanggal 9 Juni 2012-29 Juni 2012 dari Dodik Bela Negara, Cikole, Lembang sampai Pantai Ciparage. Peserta Pendidikan Dasar Angkatan 46 berjumlah 20 orang dari ITB, 2 orang dari UNPAR, dan 2 orang dari Universitas Garut. Kebanyakan dari angkatan 46 mengetahui perekrutan dari poster, teman sekamar, ataupun teman satu asrama. Pendidikan dasar angkatan 46 dibuka pada tanggal 9 Juni 2012 dengan Inspektur Upacara adalah Komandan Dodik Bela Negara Cikole, Lembang. Setelah Upacara dilanjutkan jam komandan lalu dimulailah kegiatan PMO (Pengenalan Medan Operasi). Bendera merah dengan tanda-tandanya, jika bendera diputar-putar kearah bawah berarti peserta harus berguling mengikuti arah bendera ke kiri atau ke kanan, jika bendera dari atas diturunkan ke bawah berarti peserat harus siap-siap mengubah sikap dari berdiri menjadi jongkok, jika bendera dibawa rendah berarti harus merayap mengejar bendera tersebut. perjalanan dengan tuntutan fisik yang tinggi berakhir di sawah dan lumpurnya, dimana semua peserta harus masuk kubangan hingga tidak bisa dikenali. Kubangan yang sangat coklat diakhiri dengan bersih-bersih di sungai kecil yang segar. Kegiatan PMO selesai dan kembali ke ksatrian. Lama kegiatan di tahap basis selama 10 hari, Peleton I dipimpin oleh Komandan Peleton M. Ibrahim Adam E45, Komandan Peleton II adalah Andre Prabowo E45 dan Komandan Kompi adalah Diaddra Pramudito E44. Latihan berganda atau latihan Tradisi Korps dimulai dengan Longmarch Hutan Gunung menuju tempat survival di Panaruban. Survival 3 hari diakhiri makan ular dengan lahap karena kelaparan lanjut operasi IMPK sampai desa Patrol, Longmarch Jalan Raya kemudian LM Kereta Api, lalu serpas menuju daerah latihan rawa laut, dan berakhir dengan LCR PKP sebelum upacara penutupan. Acara penutupan dihadiri oleh beberapa orang tua peserta dan peserta yang orang tua tidak datang di baretkan oleh Irup penutupan.
Binkija
Pembinaan Kompi Remaja dilaksanakan selama 6 bulan, dilaksanakan 2 minggu sekali. materi yang disampaikan adalah navigasi, mountaineering, materi pengenalan staf, materi pengenalan kesehatan lapangan, dan praktik. operasi rajawali dilaksanakan di Tahura dan di Goa Jepang diikuti 10 peserta dari angkatan 46.
KDS dan SUSPELAT
KDS dan SUSPELAT tahun anggaran 2012-2013 dilaksanakan di Batujajar dilanjutkan di Situ Lembang. Kegiatan KDS dan SUSPELAT dilaksanakan selama 10 hari, kursus dinas staf diakhiri dengan Gladi Posko dan Kursus Dinas Staf berakhir di Situ Lembang yakni paparan didepa senior untuk hasil survey. Penutupan KDS dan SUSPELAT di Situ Lembang oleh Wadanjenpassus oleh Bapak Jaswandi. Penutupan KDS dan SUSPELAT dilanjutkan dengan Temu Kangen Korps Menwa ITB.
Oleh: Bram
Pendidikan Dasar
Upacara pembukaan Diklatsar Angkatan 48 Yon I-ITB berlangsung pada pagi hari Minggu 29 Desember 2013 di Pusdikpassus Situ Lembang dengan inspektur upacara Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan Prof. Dr. Kadarsah. Selepas upacara, beliau memberikan pengarahan kepada siswa dengan tema pentingnya pembinaan 3R (Raga, Rasa dan rasio) bagi mahasiswa ITB dimana Menwa adalah sebuah wadah yang baik untuk menjadi wahana mewujudkan pembinaan 3R tersebut. Setelah upacara dilanjutkan jam komandan dalam barak Kopassus dan pembagian senjata latihan M1 Garand.
Materi-materi kelas/lapangan di basis selama 3 hari diberikan dan materi-oleh Gumil Dodik Bela Negara. Pendidikan di basis selama 11 malam meliputi operasi HTF, caraka malam, tidur kalong dan survival. Seterusnya, Latihan Tradisi Korps (Latraks) diawali dengan Operasi Patroli Jalan Dusun (PJD) berakhir di Desa Pasirlangu, Cisarua. Berturut-turut menyusul Operasi IMPK ke Desa Tagogapu, LMKA dari stasiun KA Tagogapu ke stasiun KA Rajamandala - siswa berbivak di kebun tepi jalan Desa Nanggeleng. Keesokan harinya,
Operasi LMJR sepangjang l.k 30 km menempuh jalan raya dan jalan sekunder sampai ke lapangan balai desa Galumpit, Bendungan Cirata yg tak seberapa jauh lagi dari lokasi upacara penutupan yg direncanakan.
Upacara penutupan dihadiri DR Brian yg mewakili Rektor ITB, Wawan Bango- Komandan Resimen Mahawarman beserta seniors Korps Menwa Mahawarman, para orangtua Siswa dan Seniors CORPS Menwa ITB. Senior dari alumni ITB yg hadir l.k 30 orang, semarak dengan pakaian loreng PDLT yg warna kamuflasenya berbeda-beda, bergantung berapa kali telah dicuci!
Kader Yon I-ITB yang baru dilantik berjumlah 21 orang termasuk 2 siswi, ditambah seorang kader Yon 3/Unpar (Siswa Joshua) dgn total 22 orang. Pelatih militer berjumlah 8 orang terdiri dari 5 orang GuMil dari DoDik Bela Negara - Cikole dan 3 personil KesMil dari Kesdam 3 Siliwangi lengkap dengan 1 buah kendaraan ambulans. Selamat datang Angkatan 48 (Bram).
Pembinaan Staf
Alumni
Oleh Bram
Diklatsar:
Diklatsarmil Batalyon I yang ke-49 dimulai pada tgl 27 Desember 2014 dengan upacara pelepasan dari Kampus ITB oleh Ketua Korps Menwa ITB, Ir. Priyo Pribadi. Keesokan harinya dilaksanakan upacara pembukaan dgn IrUp DanYon Linud 330. Berlangsung dari 27 Desember hingga 11 Januari 2015, pendidikan diikuti oleh 20 siswa termasuk 3 orang siswi.
Liputan1: Pembukaan
Liputan2: Basis
Liputan3: Latihan Tradisi Korps
Liputan4: Penutupan
Liputan4: Best Moment Diklatsar E49 by Combat Photographic Team (Erdo D.G-E42)
Latihan Tradisi Korps Diklatsar49 berlangsung selama 5 hari di wilayah sekitar Garut. Operasi dimulai dengan SerPas dari Basis ke titik pemberangkatan LMHG di Ciheuleut/ Cijapati. LMHG berakhir di Desa Dano, Leles. Dilanjutkan dgn Caraka Malam dan Survival selama 2 hari. Patroli Jalan Dusun (PJD) dimulai dari Desa Dano, Leles menuju Dsa Karangmulya, Kadungora. Berikutnya LMKA melalui stasiun Leles-Karangsari-Leuwigoong-Cibatu. Dari Cibatu dimulai LMJR kembali ke basis di Cicalengka.
Upacara Penutupan Diklatsar49 tgl 11 Januari 2015 di YonInf330 Cicalengka dimeriahkan dgn demo OLI (Operasi Lawan Insurgensi). Pembaretan anggota muda dihadiri oleh 13 keluarga dari 20 peserta pendidikan dasar.
Kompi Remaja:
Oleh:
Perdebatan tentang Resimen Mahasiswa (Menwa) dan militerisme itu masalah klasik. Dua kubu berseberangan telah mengunci pendapat masing-masing dan sulit mendiskusikannya di satu meja.
Kubu antimiliter, yang merindukan kejayaan masyarakat madani, dan kubu yang merasa tak ada persoalan dengan militerisme. Konsekuensi dari perdebatan lama ini membuat pendapat pembaca di cdominasi anggota dan mantan Menwa. Bagi yang kontra?
Perdebatan itu sudah selesai, kami anti-militerisme dengan segala bentuknya. Mereka arogan,” begitu salah satu pendapat yang masuk. ”ABCD” alias ABRI Bukan Cepak Doang, itulah cap lama yang tetap membuat orang cekikikan mendengarnya. Ada juga yang memberi predikat paramiliter Indonesia, atau hansip kampus.
Di internet, perdebatan ini tetap jalan. Namun, tampaknya perdebatan yang ada sekadar ”reuni” dari kasus-kasus lama. Tensinya tak seperti masa reformasi dulu jadi adem-adem saja karena Menwa sekarang berbeda strukturnya.
Lepas dari penilaian terhadap ungkapan-ungkapan tuntutan pembubaran Menwa itu obyektif atau tidak harus di akui secara jujur bahwa pembinaan terhadap Menwa perlu di kaji ulang.Apalagi, dengan terbitnya Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri Tahun 2000. Kini, Menwa berada di bawah pembinaan perguruan tinggi sebagai unit kegiatan mahasiswa (UKM), tidak lagi di bawah pembinaan Kementerian Pertahanan.
Sorotan soal sifat militerisme yang di benci sebagian orang, Menwa memiliki struktur pendapat yang pasti dan tak akan berubah soal pentingnya pendidikan kedisiplinan dan bela negara.
Setelah mereka lulus dan bekerja, banyak yang mengaku sangat terbantu dengan tradisi di Menwa. Yang jelas kedisiplinannya.
Posisi Menwa kini hanya menjadi UKM, setara dengan UKM lainnya. Hanya saja, Menwa punya sedikit embel-embel, yaitu UKM khusus. Ada embel-embel ’khusus’ karena setiap anggotanya harus melalui dan lulus pendidikan dasar militer serta tercatat sebagai komponen pasukan cadangan nasional,” katanya.
Dikatakn Menwa adalah perpanjangan tangan militer masuk kampus. Sepertinya itu sudah tidak relevan lagi, kini sangat sedikit Menwa yang melakukan koordinasi dengan pihak TNI,. Kalaupun ada, hanya sebatas memenuhi rutinitas jalur komando yang telah ada sejak dulu
Kegiatan Menwa lebih banyak berinteraksi dengan sivitas akademika, seperti pengamanan tes ujian masuk, pengamanan ospek (orientasi studi dan pengenalan kampus), dan sejenisnya,” ujarnya.
Karena statusnya pendidikan, Menwa tak boleh digunakan dalam bentuk operasional. Korps Alumni Menwa-lah yang seharusnya digunakan untuk kepentingan operasional dalam ruang lingkup rakyat terlatih.
Makna dari BERHAK dan WAJIB adalah bahwa tidak seorangpun warga Negara yang sehat secara fisik dan mental yang terlepas dari kesiapan membela dan mempertahankan Negara dari setiap kegiatan yg membahayakan keamanan Negara, baik dari luar maupun dari dalam negeri sendiri.
Apakah semua warga Negara menyadari dan mamahami hak dan kewajibannya tersebut? Kemudian apa modal dasar warga Negara untuk melaksanakan hak dan kewajiban tersebut?
Tidak semua warga Negara sadar bahwa untuk melaksanakan hak dan kewajibannya tersebut, mereka belum di persiapkan secara matang baik fisik ataupun mental. Hal ini sesungguhnya sangat membahayakan bagi Negara, dimana ancaman terhadap Pertahanan Negara itu bisa terjadi tanpa diduga dan dapat saja terjadi dari luar ataupun dari dalam negeri sendiri, dalam bentuk gerakan separatisme.
Menjawab ketidak siapan warga Negara tersebut, sebagian pemuda dari Perguruan Tinggi dengan sadar dan bahkan dengan biaya sendiri, mempersiapkan diri dengan latihan2 kemiliteran sejak tahun 1959. Pada tahun 1964, mereka kemudian diresmikan oleh Jenderal Abdul Haris Nasution, selaku Menhankam Pangab waktu itu, sebagai Resimen Mahawarman,yang bermakna “Tameng yang agung”, dengan dhuaja bergambarkan Garuda bertuliskan Widya Castrena Dharma Siddha, yang bermakna “Dengan ilmu pengetahuan dan ilmu keprajuritan, berbakti kepada Negara”.
Latar belakang terbentuknya Resimen Mahasiswa ini adalah karena situasi keamanan dan politik Negara saat itu sedang dalam yang tidak menguntungkan. Ada gerakan separatis DI/TII di Jawa Barat, kemudian ada Operasi Dwikora. Dalam upaya menghentikan gerakan separatis DI/TII peran Resimen Mahasiswa dalam pagar betis sangat penting, karena dengan inteligensia dan pendekatan personal sesama warga sipil kepada penduduk, dukungan rakyat dapat di mobilisasi untuk mempersempit ruang gerak DI/TII tersebut.
Dalam Operasi Dwikora, peran Resimen Mahasiswa dalam pertahanan Negara juga sudah terbukti. Beberapa anggota Resimen Mahawarman yang ikut dalam Operasi Dwikora tersebut antara lain dokter Asep Ema (yang kemudian bergabung dgn Kopassus), dan dokter Norman Tagor Lubis (yang kemudian bergabung dgn TNI-AU). Dr Norman T Lubis, dan akhir tugasnya di Mabes ABRI dengan pangkat Marsekal Pertama, kemudian terpilih sebagai Ketua Korps Mahawarman.
Kemudian setelah di resmikan oleh Jenderal Abdul Haris Nasution, selaku Menhankam Pangab waktu itu, peran Resimen Mahsiswa dalam menghadapi Gerakan 30 September/PKI sangatlah penting. Sebagai bukti sejarah di Bandung terjadi pembubaran CGMI dan perebutan markas CGMI di jalan Surapati 33 oleh Resimen Mahasiswa.
Pada masa itu kekuatan CGMI di samping organisasi masa di bawah payung binaan Partai Komunis Indonesia sangatlah besar pengaruhnya. Namun, Resimen Mahasiswa berhasil melumpuhkan mereka termasuk Angkatan kelima bentukan dan di persenjatai oleh Partai Komunis Indonesia. Sebuah kekuatan yang oleh Partai Komunis Indonesia diharapkan bisa mengimbangi kekuatan TNI saat itu.
Keberhasilan Resimen Mahasiswa di Jawa Barat dalam melumpuhkan CGMI/PKI saat itu mendapatkan aapresiasi dari Pemerintah Daerah Jawa Barat dengan penyerahan gedung bekas markas CGMI/PKI tersebut oleh Mayjend Mashoedi, Gubernur Jawa Barat pada masa itu, untuk di manfaatkan sebagai Staf Komando Resimen Mahawarman, Jawa Barat.
Demikian pula dalam Operasi Seroja, sampai dengan saat Pepera, anggota Resimen Mahasiswa ikut andil dalam tugas militer, diantaranya dari Resimen Mahasurya, Resimen Mahawarman, Resimen Mahajaya dll. Banyak di antara anggota Resimen Mahasiswa tersebut yg memiliki satya lencana Penegak di dada mereka. Sebuah bukti bhakti Resimen Mahasiswa terhadap Pertahanan Negara.
Dengan melihat peran Resimen Mahasiswa tersebut diatas, tentu kita berfikir bahwa ternyata sangat besar peran Resimen Mahasiswa dalam Pertahanan Negara.
Kemudian kita lihat pada kondisi masa kini, dimana Negara dalam keadaan aman, apakah Resimen Mahasiswa tersebut masih di perlukan?
Kembali kepada UUD 1945 yang menyatakan bahwa setiap warga Negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pembelaan Negara, maka hendaknya kita mengartikan bahwa keberadaan Resimen Mahasiswa masih sangat diperlukan di Negara Kesatuan Republik Indonesia ini.
Apalagi bilamana kita menyadari pula bahwa RUU tentang Wajib Militer sama sekali belum tersentuh di Dewan Perwakilan Rakyat. Seakan akan kita terlena dengan dalam siatuasi aman dan kondusif, dan tanpa disadari para pemegang kebijakan dinegeri ini lebih tertarik untuk menguruskan kepentingan politik kelompoknya saja, tanpa memikirkan kepentingan Negara secara keseluruhan. Padahal ancaman terhadap pertahanan Negara tersebut bisa datang sewaktu waktu, bahkan dari gerakan separatis dalam negeri.
Maka hendaknya kita berfikir untuk memanfaatkan mereka yang memang sudah siap dan bersedia untuk melatih diri secara militer, bahkan dengan biaya mereka sendiri, yaitu Resimen Mahasiswa. Kualifikasi Resimen Mahasiswa patut di pertimbangkan, karena Pendidikan Dasar dan Latihan Kemiliteran mereka sudah setara Infanteri Gaya Baru atau Raiders, pendidikan keterampilan lanjutan sudah dimiliki mereka. Di samping itu, sesuai dengan moto mereka “Widya Castrena Dharma Siddha”, dengan ilmu pengetahuan dan ilmu keprajuritan mengabdi pada Negara, jelas bahwa intelektualitas dan inteligensia keilmuan anggota Resimen Mahasiswa sangat penting dalam Pertahanan Negara.
Sekarang bagaimana Negara melakukan pembinaan terhadap Resimen Mahasiswa tersebut, adalah merupakan hal penting yang harus ada dalam program pembinaan Kementerian Pertahanan.
Bukankah untuk melaksanakan wajib militer, Negara harus mempersiapkan anggaran pendidikan dan pembinaan? Kemudian, apakah mereka yang mengikuti pendidikan Wajib Militer tersebut dapat diandalkan loyalitasnya, mengingat karena wajib mungkin saja ada rasa keterpaksaan mengikuti pendidikan Wajib Militer tersebut.
Berbeda dengan Resimen Mahasiswa yang memang secara sukarela melaksanakan pendidikan dan latihan kemiliteran, bahkan sampai mendapatkan kualifikasi setara Raiders, Sniper, Scuba Diver, Paratrooper, dan Para Rescue, maka kesiapan fisik dan mental serta loyalitas terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia dapat di andalkan. Apalagi dengan bukti bhakti Resimen Mahasiswa dalam operasional militer seperti Dwikora dan Seroja tersebut diatas.
Karena itu adalah suatu hal yang pantas bilamana Negara kemudian memberikan perhatian yang lebih baik terhadap keberadaan Resimen Mahasiswa tersebut. Bagaimanapun dalam memenuhi Bab XII, Pasal 30 ayat 1 UUD 1945, Negara sudah mendapat jawabannya dari Resimen Mahasiswa. Semoga Negara Kesatuan Republik Indonesia dapat terus di pertahankan terhadap bahaya perpecahan bangsa dan terhadap keamanan wilayah dari pihak luar.
Pada masa awal Orde Baru, keterlibatan Menwa cukup besar dalam penumpasan sisa-sisa G 30 S/PKI, di lanjutkan dengan menjadi bagian dari Pasukan Kontingen Garuda ke Timur Tengah, operasi teritorial di Timor Timur dan sebagainya. Penyelenggaraan pendidikan dan latihan dasar kemiliteran untuk menciptakan kader dan generasi baru bagi Menwa juga terus di laksanakan.
Akan tetapi, pada akhir Masa Orde Baru, Menwa dianggap tidak sejalan dengan perjuangan pemuda dan mahasiswa pada saat itu. Menwa di anggap menjadi antek pemerintah yang hendak di gulingkan oleh para Mahasiswa.
Menwa di anggap sebagai perpanjangan militer di tubuh perguruan tinggi. Namun, sampai sekarang Menwa masih tetap eksis, terbukti dengan keikutsertaannya dalam pengiriman relawan bencana Tsunami Aceh dan Gempa Bumi Yogyakarta beberapa tahun silam.
Saat ini, dimana demokratisasi mahasiswa dan pelajar di gembor-gemborkan, Menwa yang kental dengan militerisme dianggap tidak lagi sejalan. Sehingga muncul pertanyaan, masih relevankah keberadaan Menwa di Perguruan Tinggi?
Militerisme belum tentu jelek, belum tentu anti demokrasi. Pendidikan Menwa yang militerisme dan bekerjasama langsung dengan TNI akan membentuk para anggotanya menjadi disiplin, setia pada Pancasila dan Bangsa Indonesia. Lingkungan dan pendidikan kampus akan mengimbanginya dengan ilmu pengetahuan yang mumpuni dan yang tidak ketinggalan adalah sikap demokrasi dan toleran ala mahasiswa tetap di pertahankan.
Dengan semboyannya “Widya Castrena Dharmasiddha” yang berarti Penyempurnaan Pengabdian Dengan Ilmu Pengetahuan dan Ilmu Keprajuritan, Menwa akan membentuk para akademisi dengan disiplin setingkat militer, bukan suatu hal yang buruk.
Semenjak era demokrasi pada era Reformasi ini, bangsa ini terjebak dalam euphoria yang berlebihan. Semua hal harus berbau demokrasi. Semua hal yang berbau militerisme dianggap bertentangan dengan demokrasi. Padahal dalam dunia kampus terdapat keberagaman yang tetap harus dijaga. Keberagaman inilah yang membentuk pola pikir dan cara pandang mahasiswa itu sendiri. Bagi mereka yang ingin terjun langsung dalam bela negara sebagai salah satu komponen Sishankamrata (sistem Pertahanan Rakyat Semesta) yang bersifat militerisme adalah Resimen Mahasiswa.
Menwa Indonesia Menuju ROTC Sebenarnya konsep awal Menwa tak ubahnya ROTC di Amerika pada akhir abad ke-19 sebagai milisi rakyat untuk bela negara. Namun konsep awal yang “indah” tersebut berakhir dengan adanya pembubaran Menwa melalui pencabutan SKB 3 Menteri (Depdikbud-Depdagri-Dephankam) akibat munculnya berbagai kasus negatif yang di lakukan Menwa.
Memang apabila di analisa secara objektif, justru SKB 3 Menteri membebani Menwa karena aturan maupun praktik pelaksanaannya tidak di jalankan secara konsisten oleh pihak-pihak yang terkait. Peran yang di jalankan ketiga departemen tersebut sangat marginal, sehingga Menwa tidak bisa melakukan pembinaan dan pengembangan potensi bela Negara dengan baik. Padahal Menwa sebagai salah satu sumber militer karier sekaligus sebagai wadah community/service UKM perguruan tinggi.
Menurut Bima Hermastho dan Rifki Muhida Untuk menuju Indonesian ROTC (Reserve Officers Training Corps /Korps Perwira Cadangan) di perlukan beberapa langkah “dramatis” yang harus di lewatkan dengan tenggang waktu kurang dari dua tahun.
Pertama, pematangan konsep dan kelembagaan. Sebenarnya sudah sejak tahun 1967 Menwa ITB mengajukan konsep Indonesian ROTC. Tetapi, malang pemikiran itu seperti elektron menabrak dinding potensial tak terhingga, tak ada yang mengembus, semuanya mantul. Karena dalam 32 tahun terakhir ini, hampir semua kekuatan sipil terpinggirkan termasuk Menwa di biarkan tidak berkembang.
Kedua, legal formal action. Bagaimanapun, negara dalam arti pemerintah/presiden bersama DPR harus memperkokoh konsep dan kelembagaan dan menjadikannya sebagai UU.
Ketiga, pelaksanaan proyek percontohan. Setelah piranti hukum di sahkan, selanjutnya tahap terpenting yaitu pelaksanaan operasional di lapangan. Proyek percontohan resimen. Teknologi sebagai cikal-bakal Indonesian ROTC ini, harus di kontrol dan di evaluasi dengan ketat. Bandung sebagai pusat pendidikan tentara, dapat menopang program ini. Mahasiswa yang terpilih di saring sejak mereka lulus UMPTN, dan dapat mengikuti seleksi sukarela untuk memasuki program Resimen Teknologi.
Keempat, evaluasi dan penyempurnaan. Tidak ada sesuatu yang terjadi sempurna, oleh karena itu di perlukan proses pengembangan berkelanjutan. Karena dengan evaluasi dan penyempurnaan, maka system dan kurikulum yang di laksanakan dapat menjadi lebih baik dan menjadi prototip yang sempurna.
Kelima, pencangkokan oleh perguruan tinggi terpilih. Pada tahap ini dapat di lakukan hanya bagi perguruan tinggi yang berkualitas dan berstandar sesuai yang di tentukan oleh Dephankam dan Depdiknas, karena berimplikasi pada kontrol dan tanggung jawab operasional di lapangan.
ROTC Amerika
Perguruan tinggi terbaik di Amerika, seperti di University of Georgia dan MIT (Massachusetts Institute of Technology). Komunitas ini telah melahirkan kebanggaan dan tradisi bagi mahasiswa akan bela negara dan kepemimpinan.
Kelahiran ROTC pun dalam situasi negara yang tidak menentu (perang saudara), tidak jauh berbeda dengan Indonesia yang lebih di kenal sebagai Resimen Mahasiswa (Menwa) yang juga lahir di masa Negara dalam situasi krisis, serta merupakan manifestasi (berkelanjutan) dari tradisi kejuangan Tentara Pelajar dan Corps Brigade Mahasiswa (1945-1965).
Bedanya, ROTC saat ini telah menjadi sumber kepemimpinan nasional di Amerika, karena eksistensinya sangat jelas, pola pelatihannya terpadu dan terarah untuk menghasilkan lulusan perguruan tinggi terbaik yang di bekali kepemimpinan dan keahlian di bidangnya.
Jangan heran, tidak sedikit mahasiswa Indonesia yang belajar di Amerika nyambi menjadi “kadet” sukarela melalui jalur Army ROTC, karena si mahasiswa Indonesia ingin menyalurkan hobi/bersosialisasi dan belajar berorganisasi pada manajemen militer sekaligus menyelesaikan pendidikan akademiknya.
Adanya mahasiswa berkarier di militer seperti ROTC, maka tidak menutup kemungkinan model Resimen Teknologi seperti di Amerika yang merupakan sumber perwira untuk memenuhi kebutuhan teknologi militer (perwira-perwira operasi kapal induk, teknologi informasi, nuklir, biologi dan kimia) dapat juga di aplikasikan di Indonesia.