Cahayanya Adalah Cinta
Oleh: Fiana Winata
Kumengenalnya dalam kisah yang indah saat usia belia, luhur akhlaqnya merupakan pancaran jiwa . Cinta yang tulus terpancar dari setiap perjuangannya, ya Rasulullah kisah ini akan menjadi kenangan sepanjang masa.
Saat itu putih abu-abu yang tak akan terlupa, berkejaran dengan padatnya jadwal sekolah dan rutinitas organisasi yang menyita waktu dan pikiran. Mungkin bagi teman-teman rutinitas ini terlalu berlebihan, tapi aku sangat menikmati alurnya. Subhanallah… saat penjurusan di kelas 2 MAN aku memilih jurusan IPA karena memang basik eksaktaku makin terasah dan sangat kucinta, apalagi yang menjadi tujuanku adalah dokter. Ya, dokter adalah cita-cita dan impian yang amat melekat dalam diriku.
Saat itu walau aku bersekolah di Aliyah, tak membuatku istiqomah dengan berhijab. Ya, memakai hijab hanya sebatas aksesoris untukku, hanya sekedar menutup rambut agar tak terlihat dari yang bukan mahromnya. Ahhh… hijab hanyalah formalitas saat aku di sekolah, jika di luar sekolah ya masih sering buka dan lepas. Aneh… tapi inilah yang terjadi, ikut-ikutan teman dan trend sangat familiar saat itu.
Masa muda yang penuh coba-coba, ingin mencoba segalanya. Mencari jati diri dan mengenal diri dengan berbagai hobi dan kegemaran yang dilakukan. Berteman dengan siapa saja, bertukar pendapat terkait kegemaran hingga berbincang tentang manfaatnya. Tak jarang keluar masuk ekskul karena kegiatan yang kurang menarik dan tak menantang. Ahhh… masa itu amatlah membingungkan tapi berjuta kisahnya sulit untuk dilupakan.
Hampir semua kegiatan kuikuti mulai dari drumband, bengkel sastra, pramuka, siaran radio, PMR dan Osis. Entah bagaimana diri ini tak bisa diam dan ingin mencoba semuanya. Dari banyaknya kegiatan yang diikuti yang paling aku sukai adalah Osis, kegiatan ini mengasah public speaking dan kemampuan berorganisasi. Banyak hal yang kudapatkan dari kegiatan ini salah satunya adalah cinta pertama. Cinta yang berawal dari rasa kagum pada ketua osis yang hafidz Qur’an. Tak hanya sekedar hafidz Qur’an dia juga juara umum yang tak terkalahkan.
Awalnya hijab ini hanya karena ingin menarik perhatiannya. Sampai pada akhirnya aku aktif mengikuti kegiatan rohis karena dia, kebetulan dia juga aktif dalam kegiatan tersebut. Berawal dari ikut-ikutan dan mencari perhatian akhirnya sikap dan kemampuanku mencuri perhatian pembina rohis saat itu.
Kejadian besar pun terjadi, tepatnya saat kenaikan kelas 2 aku dipilih menjadi ketua rohis forum annisa. Beban mental menyelimuti jiwaku, bagaimana mungkin orang yang tidak fasih sepertiku dipilih menjadi ketua. Berjilbab saja masih buka tutup, apalagi pemahaman agama yang masih minim saat itu. Tapi entah bagaimana aku begitu yakin dengan rutinitas baru ini. Berbekal pengalaman seadanya, percaya diri dan mendengar kajian di masjid dekat rumah membuatku semakin percaya diri untuk melangkah dan menjalani amanah ini dengan istiqomah.
Kajian demi kajian aku ikuti sampai pada saatnya, pengajian yang disampaikan oleh ustadz Hasan membuatku tertegun. Beliau menyampaikan Rasulullah pernah bersabda dan bercerita tentang keistimewaan wanita diantaranya: 1) Wanita sholehah adalah sebaik-baik perhiasan dunia, 2) Wanita yang sholihah itu lebih baik daripada bidadari surga, 3) Wanita diberi pengecualian khusus dalam beribadah, 4) Wanita dapat masuk surga dari pintu manapun, 5) Surga itu di bawah telapak kaki ibu. Masyaallah begitu banyak keistimewaan seorang wanita dan wanita sangat diliundungi dan dimuliakan oleh Allah.
Jiwa ini makin terasah, berawal karena ikutan trend teman-teman dan pada akhirnya dipercaya menjadi ketua di forum annisa membuatku semakin harus fasih dan hati-hati dalam melangkah. Saat itu peringhatan maulid nabi yang sangat indah saat aku memantapkan diri untuk berhijrah. Aku ingin menjadi muslimah yang seutuhnya, muslimah yang cerdas dan menutup aurat dengan sempurna.
Pun dengan cinta pertama, harus kukubur dalam-dalam. Mengagumi ciptaan Allah adalah suatu kewajiban tapi untuk pekara cinta hanya halal sebab untuk dipersatukan. Tak pantas rasanya bermain cinta saat halal belum menjadi jalannya, Maka saat itu aku memilih untuk istiqomah berhijab dan melepaskan semua cinta dunia. Menjauhi untuk saling menjaga, jika sudah ditakdirkan maka Allah akan segera persatukan dengan cara yang indah nantinya.
Semangat yang berapi-api mengawali langkahku dengan rasa yang baru saat itu, berjalan sesuai dengan pilihan yang harus dipertanggungjawabkan. Dengan kokoh dan penuh keyakinan untuk membumikan rasa dan melangitkan cinta. Cinta pada Allah dan Rasulnya.
Nabi pun bersabda bahwa anak perempuanlah yang akan menyelamatkan ayahnya dari jeratan api neraka dan semua itu hanya bisa dilakukan oleh seorang anak yang sholehah. Jika ingin menyelamatkan orang tua maka langkah pertama yang harus dilakukan adalah dengan menutup aurat. Bismillah… maulid itu adalah saksiku untuk berhijrah, cinta yang dalam untuk orang tua membuatku harus melangkah ke arah yang lebih baik lagi.
Allahumma sholli ala sayidina Muhammad…. Keistimewaan yang disampaikan oleh rasulullah membuatku makin bangga dengan statusku sebagai seorang wanita. Semakin rindu akan dirinya, Rasulullah saw yang begitu cinta umatnya tanpa kenal lelah. Semoga diri termasuk salah satu umatnya yang mendapat syafaat di akhirat nanti. Aamiin…
Dari Bukittinggi Untuk Indonesia
Oleh: Fiana Winata
Aku dibesarkan dalam keluarga yang sederhana, ayahku seorang pegawai kontrak swasta dan selalu berpindah tempat kerja. Aku dilahirkan di Jawa Barat, lepas kontraknya kami pulang kembali ke kampung halaman Bukittinggi tercinta. Saat di bukittinggi ternyata semua tidak baik-baik saja, ayahku harus berhenti bekerja karena penyakit yang diidapnya. Ibu harus memutar otak agar kehidupan tetap berlangsung sedangkan aku saat itu di bangku aliyah dan memiliki keinginan untuk lajut kuliah.
Benar saja tahun berikutnya adalah penentuan masa depanku, harapan untuk kuliah masih kusimpan dalam hati. Harapan bisa menjadi sarjana adalah impian yang tinggi untuk gadis sederhana sepertiku saat itu. Pengumuman kelulusan telah keluar, aku berlari kencang menuju rumah untuk menyampaikan berita bahagia ini pada orang tuaku. Setibanya di rumah, aku harus mendapati kabar bahwa ayah kembali dibawa ke rumah sakit saat itu. Sebagai anak yang paling besar dalam keluarga aku harus berpikir bijak, mungkin harus mengalah lebih dulu karena adik akan masuk SMP. Saat itu tak adalagi harapan, tetapi keyakinan ini selalu menggelora dalam dada.
Satu minggu sebelum pendaftaran kuliah selesai Allah mengirimkan orang baik yang membantu membiayai pendaftaran dan uang masuk kuliah saat itu. Berdasarkan keyakinan aku bisa menyelesaikan pendidikan, aku mengawali pendidikan dengan penuh perhitungan. Tak jarang jika aku harus berjalan kaki dari rumah menuju kampus karena tak ada ongkos dan uang jajan, lelah kuganti dengan semangat agar bisa menjadi sarjana. Pulang dan pergi berjalan kaki tidak membuatku surut untuk meraih cita-cita yang menggelora dalam dada.
Semester pertama dibangku kuliah aku bertemu dengan teman-teman yang luar biasa, jalinan ukhuwah yang memberi warna dalam getirnya perjuangan untuk menjadi sarjana. Berbekal keyakinan kutapaki langkah ini dengan pasti hinga akhirnya salah satu sahabat yang sudah bekerja sebagai guru melihat potensiku. Berkat motivasinya aku memberanikan diri untuk memasukkan lamaran di salah satu SDIT di kota Bukittinggi. Saat itu sainganku adalah sarjana tamatan UNP dengan latar belakang yang lebih layak dan aku yang hanya berbekal surat keterangan kuliah. Saat tes dimulai kujalani dengan hati dan keyakinan dan memantapkan hati untuk berbagi. Allah Maha berkehendak, setelah sholat zuhur aku mendapatkan telepon yang mengabarkan aku lulus tes dan bisa bergabung di SDIT itu menjadi seorang pendidik.
Aku harus membagi waktu antara kuliah dan bekerja, tidak mudah tapi inilah awal untuk melangkah. Hati yang kucurahkan untuk mereka generasi harapan bangsa menjadi darah daging ini. Tawa dan senyum polos mereka menambah spirit untuk menjalani hari-hari. Allah kembali hadirkan orang baik, salah satu wali murid yang anaknya juga les di rumah membiayai kuliahku sampai selesai. Tidak bisa diduga rencana Allah, dalam ketidakberdayaan ternyata Allah berikan kemudahan. Orang yang tak kukenal sebelumnya kini menjadi pahlawan dan menjadi keluarga sampai saat ini. Aku tak bisa seperti ini tanpa mereka, maka benarlah bahwa manusia hidup saling membutuhkan. Doa selalu kuhiasi untuk mereka pahlawan dalam perjuangan hidup ini.
Kini gelar itu tersemat dibelakang namaku Nofieana Gusti Winata, M.Pd tak mudah mencapai semua ini. Kisah saat S1 penuh liku sampai pada jenjang pascasarjana saat itu. Terlepas dari pedihnya masa itu semua menjadi hikmah untuk kuat melangkah hingga tahap ini. Saat diri kembali diuji kutumpahkan kisahnya dalam rangkaian diksi. Inilah kisahku dari Bukittinggi untuk Indonesia mengukir harapan untuk tetap berprestasi, wanita ini menjadi kuat dengan harapan, doa, dan ikhtiar tiada henti aku tak akan mengecewakan mereka pahlawan dalam hidupku dan kini kuabadikan diri untuk menjadi pahlawan bagi generasi harapan negeri.
Tetaplah berjuang dari keterbatasan, tetaplah berharap tanpa lelah Allah memiliki rencana indah untuk hambanya yang berbaik sangka pada-Nya. Merdeka Indonesiaku merdeka generasiku buatlah harapan dan gantungkan cita-citamu, Indonesia menunggu aksimu.
MAAFKU BUKANLAH AMPUNAN
oleh: Fiana Winata
Sofia adalah dokter disalah satu rumah sakit megah di Jakarta, sudah lima tahun ini ia menekuni profesi tersebut. Dokter adalah panggilan hatinya, dokter adalah impiannya sifatnya yang lembut dan peduli menuntunnya untuk mengabdi dan menjadi perpajangan tangan Tuhan di muka bumi. Fia nama akrabnya, ya dokter Fia adalah kesayangan pasiennya, tutur kata yang lembut mampu menyihir si sakit menjadi bahagia. Kesehariannya sangat berbeda dengan kehidupan dan suasana hening dalam hatinya, ia sangat professional dalam bekerja tapi ringkih untuk dirinya sendiri.
Pagi itu Fia dikejutkan dengan media sosialnya, ia tak lagi menemukan akun yang selama ini menjadi mentari dalam hidupnya. Berawal dari ketidakyakinan menjalani dan menyelami rasa hingga akhirnya ia meyakini sosok pria yang ia kenal dari salah satu akun media sosialnya. Banyak hujatan saat ia memulai hubungan itu, banyak asumsi yang bermunculan bahwa pria asing tak selamanya baik tapi pria asing jauh memegang prinsip dan komitmen dalam hidupnya. Quinn adalah pria asal California yang dikenalnya melalui akun instagram, pria yang memiliki usaha di Indonesia dan sangat mengenal Indonesia dengan baik. Bagi Fia komunikasi adalah segalanya tapi bagi Quinn komitmen adalah hidupnya.
“Dokter ada pasien yang kritis di ruang ICU.” Panggilan itu mengejutkan Fia. “Baik saya ke sana.” Fia pun beranjak dari kursinya. Suasana menjadi tegang saat Fia melihat pasien yang terbaring dan tak berdaya, bagaimana tidak pasien ini ternyata mantan suaminya. Orang yang pernah menghancurkan hatinya, orang yang pernah meruntuhkan dunianya. Bergetar tubuh Fia saat melihatnya, setelah tiga tahun berpisah dan ini adalah pertemuan pertamanya kembali tapi dalam kondisi yang tidak berdaya. “Dokter, nadinya lemah dia kehilangan banyak darah.” Suster menjelaskan pada Fia. Fia terdiam lalu berkata “Kita lakukan yang terbaik, hidup dan mati ditangan Allah.” Setelah 30 menit berada di dalam akhirnya detak jantung pasien tersebut kembali normal. “Suster hubungi keluarganya, setelah semuanya membaik pindahkan pasien tersebut ke ruangan yang terbaik.” Fia berkata pada salah satu suster yang ada dalam ruangan tersebut.
Sepanjang lorong Fia hanya tertegun, apa yang dilakukan mantan suaminya di Jakarta bukankah seharusnya saat ini dia berada di Aceh bersama istri barunya. Kembali berkelebat bayangan masa lalu dalam pikirannya, tiga tahun telah berlalu tapi luka itu masih ternganga dan berdarah. Kini Allah berkehendak menjadikannya sebagai perantara memberikan kehidupan baru untuk mantan suaminya. Hidup harus terus berjalan dan ini adalah tugasnya sebagai seorang dokter untuk membantu siapa saja yang membutuhkan bantuannya.
Keesokan harinya Fia mengunjungi pasien-pasiennya untuk kontrol harian, seperti biasa senyum dan candanya dinanti oleh setiap pasiennya. Sapaan yang hangat, motivasi yang mendekap selalu menjadi sapaan awal saat mengunjungi pasiennya. Tepat dikamar 314 suasana hati Fia berubah, “Dok, pasien di kamar ini baru saja keluar bersama seorang wanita.” Suster menjelaskan. “Oh, baiklah nanti kita kembali lagi.” Jawab Fia. Berkelebat dalam pikirannya, wanita itu pastilah istrinya. Tapi ada satu tanya yang belum terpecahkan saat ini apa yang dilakukan mantan suaminya di sini. “Ya sudahlah, nanti juga ada jawabannya biarkan waktu menjelaskan semua.” Fia terdiam.
Notifikasi ponselnya berbunyi, pesan itu dari ibunya.”Sayang, Quinn di rumah saat ini.” Sofia tersenyum sumringah, “Kenapa dia tidak memberi kabar terlebih dahulu. Setelah sekian lama menghilang bule ini muncul lagi.” gerutu usilnya. Fia bergegas menyelesaikan pekerjaannya dan pulang untuk menemui mentari dalam hidupnya.
Setibanya di rumah, dia melihat dua mobil parkir di halaman rumahnya. Fia heran tapi dalam pikirannya hanya ada Quinn pria yang ingin ditemuinya. Setelah membuka pintu alangkah terkejutnya Fia karena yang hadir tidak hanya Quinn, Quinn datang bersama keluarga besarnya. “Assalamualaikum.” Sapa Fia pada semua. “Waalaikumsalam.” Jawab semuanya serentak. “Mami apa kabar, lama kita tidak bicara, mami sehat ?” Tanya Fia hangat. “ya sayang mami sehat, Alhamdulillah mami bisa ke Indonesia bersama Quinn.” Jawab mami dengan senyuman. “Tapi putra mami ini tidak memberi saya kabar, lama dia menghilang.” Sofia memeluk calon ibu mertuanya dengan hangat. Tiba pada giliran Quinn, mereka saling bertatapan tanpa bicara. Semburat kesal tergambar dari wajah Fia. Quinn mendekat dan memberikan pelukan hangat, keduanya larut dalam tangis bahagia. “Maaf, saya tidak memberi kabar karena saya berniat ingin memberikanmu kejutan. “I’m sorry honey, please.” Bisik Quinn pada Fia. Sofia hanya terdiam menahan sebak.
Suasana rumah ceria, Fia dan keluarga Quinn berkelakar dan bercerita. Sudah lama Fia menanti kehangatan seperti ini, tak disadari sebentar lagi pria California ini akan menjadi imamnya. Quinn pria yang cerdas dan mandiri, walau berbeda budaya dan negara mereka siap bersatu diantara banyak perbedaan. “kriiiiiiing…” telpon rumah Fia berbunyi. Ibu Fia bergegas mengangkat telpon dan berbicara degan seseorang di sana. “siapa Bu?” Tanya Fia pada ibunya. “Fia, ada telpon dari rumah sakit untukmu.” Jawab ibu sambil memberikan telpon kepada Fia. “Dok, pasien di kamar 314 kritis.” Suster yang bertugas menyampaikan kabar kepada Fia. “Baik, saya ke sana sekarang.” Fia langsung mengambil kunci mobilnya dan bergegas pergi ke rumah sakit. Quinn yang melihat Fia panik mengikuti dari belakang.
Setibanya Fia di rumah sakit hatinya menjadi tak nyaman. “Apa yang terjadi suster, bukannya pagi tadi pasien ini sudah keluar bersama istrinya.” Tanya Fia heran pada susternya. “Ya dok, tapi setelah magrib tadi pasien kritis ternyata salah satu ginjalnya harus diangkat dan berdasarkan hasil pemeriksaan ginjal istrinya bisa dijadikan donor untuk pasien.” Suster menjelaskan. “Baik, kita lakukan sekarang.” Fia berjalan cepat menuju ruang operasi. Di pintu kamar operasi salah satu suster telah menunggu dokter Sofia. “Dok, maaf operasi tidak bisa dilakukan karena keluarga belum membayar biaya admnistrasi.” Suster menunjukkan bukti administrasi kepada dokter Fia. Tanpa berpikir lama, “Saya yang menjamin pasien ini, siapkan segala sesuatunya kita lakukan operasi malam ini.” Fia membuka pintu kamar operasi.
Terbaring dua insan yang tak berdaya tepat di depan matanya, ke dua orang ini amatlah membuat hancur dunianya. Pria ini adalah orang yang pernah ia cintai dalam hidupnya, bersamanya Fia telah memiliki dua orang anak, tapi pria ini memilih berselingkuh dengan mantan pacarnya saat SMA. Setelah berpisah, pria ini tak lagi menafkahi anaknya, ia memilih untuk meninggalkan Jakarta dan pergi ke Aceh bersama selingkuhannya dan menikah. Fia harus berjuang sendiri untuk menafkahi anak-anaknya. Fia harus menjadi ibu sekaligus ayah untuk anak-anaknya. Sedangkan wanita yang ada di sebelahnya adalah wanita yang dianggap sahabatnya, Fia mengenal wanita itu, tapi mendadak setelah keduanya kepergok berselingkuh wanita ini malah membuat mantan suaminya menjauhi anak-anaknya. Bukankah dalam agama walaupun terjadi perceraian hak dan kewajiban ayah tetap harus ditunaikan pada anak-anaknya, tapi pria ini malah menjauh dan lari dari tanggung jawabnya sebagai seorang ayah.
Fia bergetar tak berdaya, dalam hatinya ia sangat membenci kedua manusia ini. Kenapa harus dipertemukan kembali walau dalam kondisi seperti ini. Tapi Fia sadar, masalah pribadi tidak boleh dibawa dalam profesi. “Ayo kita mulai.” Sahut Fia pada suster dan dokter pendamping saat itu. Berkutat dengan masa lalunya Fia tampak bertindak secara professional. Sungguh Fia amat pandai mengendalikan emosi, dua jam di dalam ruangan tersebut operasi itupun akhirnya selesai.
“Alhamdulillah, semua baik-baik saja. kita berhasil! Terima kasih untuk kerja sama dan bantuannya.” Fia menyalami semua suster dan dokter pendampingnya. “Suster, awasi kondisi pasien ini, jika ada apa-apa hubungi saya kembali.” Pinta Fia pada salah satu suster yang ada dalam ruangan tersebut.
Fia berjalan menyusuri lorong dan menuju ruangannya, Fia terduduk lemas, ia letih tapi pikirannya bertamasya tiada henti. “tok.. tok.. tok..” suara pintu diketuk. “ya, masuk” tak lama pintu dibuka dan Fia pun kaget. Fia melihat Quinn yang membuka pintu tersebut membawakan secangkir kopi yang hangat. “What happended dear? Kamu terlihat tegang, kamu terburu-buru pergi tanpa melihatku di rumah tadi.” Quinn mendekati Fia. Fia memeluk Quinn dan menangis dipundaknya. “Ada apa, apa yang terjadi. Minum dulu kopinya agar kamu menjadi tenang.” Quinn menyodorkan kopi untuk Fia. “Sayang, kamu ingat Andi? Andi ada di sini dan pria yang ada dalam ruangan operasi itu adalah Andi, mantan suamiku.” Fia menjelaskan. “It’s, ok. Kamu sudah menjadi dokter yang baik, kamu mampu mengendalikan emosi saat bertugas. Sayang, tidak ada gunanya menyimpan dendam. Biarkan, ikhlaskan, inilah jalannya hingga Tuhan mebawaku untuk bertemu dengan mu.” Quinn menangkan. “Sekarang kita pulang dan istirahat di rumah.” Quinn mengajak Fia pulang.
Sepanjang jalan Fia menatap Quinn dalam-dalam sungguh Allah Maha pengatur segalanya. Dulu tangis Fia tiada henti karena dikhianati sahabat dan suaminya kini Allah menggantikan rasa sakit itu dengan hadirnya seorang pria yang sangat luar biasa. Alhamdulillah wa syukurillah… Fia tak henti-hentinya bersyukur dalam hatinya.
Keesokan harinya Fia menemui mantan suaminya dengan hati yang terbuka, Andi terkejut melihat dokter yang berdiri di depannya adalah mantan istrinya. “Fia…” sapa Andi bergetar. “Jangan bangat bergerak dulu mas, kamu baru operasi semalam. Alhamdulillah istrimu dalam kondisi baik-baik saja sekarang. Kamu beruntung mas, istrimu yang menyelamatkanmu dan mendonorkan ginjalnya untukmu.” Jawab Fia menjelaskan. Andi menangis, isaknya tak tertahankan. Tapi Fia tampak begitu tegar, Fia tersenyum menenangkan. “Sudah, mas istirahat semoga besok lebih baik lagi kondisinya.” Fia pergi meninggalkan Andi bersama suster yang merawatnya. Andi meraih tangan Fia dan menggenggamnya, “Maafkan aku, Fia. Aku sudah mengecewakanmu, aku sudah menyakitimu tapi kamu tetap membantuku. Kamu telah menyelamatkanku dan istriku, wanita yang kau benci.” Andi berkata terbata—bata.
“Dok, jantungnya melemah.” Teriak seorang suster yang berada di sana. Fia memberikan pertolongan dan memeriksa kondisi secara keseluruhan tapi sayang dalam diam Andi menatap Fia dalam-dalam ia tak mampu berkata, kekuatannya melemah hanya mampu meraih tangan Fia lalu terdiam. “Innalillahi wa innailaihi rojiun.” Fia menutup mata Andi dan mengabari kondisi Andi saat ini pada istrinya.
Fia hanya mampu memaafkan tugasnya sebagai manusia telah diselesaikan. Tapi maaf yang Fia berikan bukanlah ampunan, Allah yang berhak untuk mengampuni setiap kesalahan. Sudah sepantasnya kita menjaga setiap tindakan karena setiap tindakan yang kita lakukan akan dipertanggung jawabkan disisi Allah swt. Andi telah pergi membawa semua masa lalu dan amalnya dan kini Fia menghadapi masa depannya bersama pria yang Allah kirimkan dalam kehidupannya saat ini.
Subhanallah, walhamdulillah, allahu akbar.”