Kuliah pertama ini menguraikan konsep-konsep kunci seputar pengertian relasi sosio-agraria serta berbagai dimensi ketimpangan agraria yang berlangsung di dalamnya. Dari sini, dibedakan empat dimensi ketimpangan agraria, yaitu: (1) ketimpangan dalam kepastian hak atas sumber-sumber agraria; (2) ketimpangan dalam penguasaan, pemilikan dan alokasi sumber-sumber agraria; (3) ketimpangan dalam tata guna tanah dan tata ruang; dan (4) ketimpangan dalam hubungan produksi dan distribusi surplus.
Meski pengertian ketimpangan agraria mencakup empat dimensi di atas, namun uraian dalam kuliah pertama ini lebih difokuskan pada dimensi ketimpangan yang kedua, yaitu ketimpangan terkait penguasaan dan alokasi sumber-sumber agraria. Selanjutnya, khusus untuk dimensi kedua ini, lebih lanjut dibedakan dua jenis ketimpangan agraria sebagai berikut: (1) "ketimpangan distribusi" penguasaan lahan antar-kelas di sektor pertanian rakyat; dan (2) "ketimpangan alokasi" sumber-sumber agraria antar-sektor, yaitu antara alokasi yang diberikan negara kepada sektor usahatani rakyat dengan sektor usaha korporasi besar.
Pada kuliah kedua ini dibahas peran sentral faktor agraria di dalam dinamika pembentukan kekayaan pada satu pihak dan pelanggengan kemiskinan pada pihak yang berbeda. Dengan bertolak dari publikasi World Development Report 2008, kuliah ini mengajukan kritik terhadap tiga rute keluar dari kemiskinan pedesaan yang diajukan oleh Bank Dunia, yaitu (1) usahatani skala kecil yang berorientasi komersial; (2) usaha ekonomi non-pertanian; dan (3) migrasi ke luar desa. Tanpa memperhatikan struktur ketimpangan penguasaan tanah di pedesaan, maka ketiga rute itu sebenarnya lebih menggambarkan akumulasi dan ekspansi golongan petani kaya di pedesaan. Sementara bagi golongan miskin, rute itu seringkali lebih menggambarkan mobilitas horizontal ketimbang mobilitas vertikal.
Pada kuliah ketiga ini diuraikan gambaran empiris mengenai dua jenis ketimpangan agraria selama era reformasi, yaitu "ketimpangan distribusi" dan "ketimpangan alokasi". Ketimpangan pertama merujuk pada ketimpangan dalam penguasaan lahan pertanian di antara sesama petani sendiri. Sementara ketimpangan kedua merujuk pada ketimpangan dalam alokasi negara atas sumber-sumber agraria, yaitu antara yang diberikan kepada sektor usahatani rakyat dengan yang diberikan kepada sektor usaha korporasi besar. Dalam kuliah ini juga ditunjukkan bahwa selama dua dekade era reformasi saat ini, laju ketimpangan agraria justru jauh melampaui kondisi ketimpangan yang berlangsung selama tiga dekade era Orde Baru.
Dalam kuliah terakhir mengenai ketimpangan agraria ini diuraikan dua kebijakan untuk menanggulangi ketimpangan agraria, sebagaimana dimandatkan oleh UU Pokok Agraria (UUPA). Berkenaan dengan fakta ketimpangan penguasaan lahan di antara sesama petani sendiri (baca: "ketimpangan distribusi"), UUPA memandatkan pelaksanaan kebijakan land reform yang kemudian diterjemahkan ke dalam UU No. 56 PRP Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian. Pada saat yang sama, UUPA juga memandatkan kebijakan alokasi tanah yang cukup luas untuk diprioritaskan kepada usaha bersama milik rakyat dalam bentuk koperasi maupun bentuk gotong royong lainnya. Kebijakan ini dimaksudkan untuk mencegah alokasi tanah yang timpang (baca: "ketimpangan alokasi") antara yang diberikan kepada sektor usahatani rakyat dengan sektor usaha korporasi skala besar. Sayangnya, dua jenis kebijakan yang dimandatkan oleh UUPA ini tidak dijalankan secara serius oleh pemerintah. Bahkan untuk jenis kebijakan yang kedua belum pernah ada upaya untuk menjalankannya, sebagaimana terbukti dari ketiadaan regulasi turunan yang menjamin usaha bersama milik rakyat menjadi prioritas dalam kebijakan alokasi tanah yang dijalankan negara.
Dalam paparan ini penulis menyampaikan ajakan untuk mendialogkan kepedulian dan keilmuan Islam dengan perspektif agraria kritis. Upaya dialog semacam ini sangatlah penting dalam rangka mengikis apa yang penulis sebut "agrarian-blind Islamic thoughts" alias pemikiran agraria yang buta kesadaran agraria.