sejarah

Masjid Al-Jalil terletak tepat di jantung kota ‎Surade. ‎Masjid ini sejak awal populer disebut Kaum ‎Surade oleh ‎masyarakat sekitarnya, karena berada di pusat kota dan pusat pemerintahan kecamatan. ‎

Bangunan tempat ibadah awal, yang jadi cikal bakal masjid ini ‎berdiri, di sekitaran lokasi masjid saat ini, menempati tanah milik adat keluarga Abdul Jalil. Menurut ‎keterangan para tokoh, masjid kecil waktu itu sudah ada ‎pada ‎masa ‎pendudukan Belanda, diperkirakan sejak ‎tahun ‎‎1926 ‎‎(Hasil wawancara dengan H. Sugandi, tokoh veteran Surade, dll).‎

Tanah kawasan utama masjid seluas 1368 M2, merupakan wakaf ‎dari ‎keluarga ‎bapak H. Abdul Jalil (Rd. Aba) di Surade. ‎Dibukukan tahun 1988 dengan nomor 217/Wakaf. ‎Sertifikat tanah wakaf B.2001775/217/Wakaf dengan ‎wakif H. Abdul Jalil dan Nadzir waktu itu Moh. Tobari.‎ Namun, seiring perkembangan tanah kawasan masjid sejak 29 Agustus 1994, bertambah luas mendapatkan tambahan wakaf dari Muhyar bin H.I. Sarkosih seluas 250 M2 pada 30 Juli 1994 No Salinan Akta Ikrar Wakaf no. W2/398/K215 Tahun 1994. Berdasarkan Surat Pernyataan Penyerahan Tanah tersebut, Moh. Kurdi juga memberikan wakaf tanah seluas 330 M2 menurut keterangan Ikrar Wakaf yang ditandatangani oleh Moh. Kurdi (Wakif), H. Ir. Emka Gumilar (Nadzir), Empud dan M. Sidik (Saksi), diketahui oleh PPAIW Djamrudin.

Seperti disebutkan semula masjid ini terkenal dengan nama Kaum Surade. Karena nama Kaum bersifat umum, lalu ada inisiatif ‎dinamai masjid Ad-Dakwah ‎tahun 1988 oleh para pengurus DKM, berkenaan dengan kebutuhan identitas dalam pengusulan bantuan kepada Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila di Jakarta, terkait masalah administrasi. Seperti tertuang juga pada Surat Keputusan Camat Surade no. 450/145/Ks/90 tentang Panitia Pembangunan, yang ditandatangani oleh Drs. Sukawijaya (waktu itu).

Lalu, berdasarkan hasil rapat antara pihak KUA Surade yang diwakili oleh Kepala waktu itu H.Jamrudin‎, Pengurus DKM yang diwakili oleh Ir. H. Emka Gumilar, dan perwakilan keluarga wakif, H.Utang Suandi Ghofar‎ serta didampingi oleh Drs. Bunyamin, sejak itu diputuskan memilih nama Al-Jalil. Gagasan awal penamaan itu atas usulan H.Utang Suandi Ghofar‎ yang disepakati oleh rapat. Pemilihan ‎nama itu merujuk pada wakifnya, Abdul Jalil, sebagai penghargaan. ‎Jadilah nama Masjid Al-Jalil, sejak tahun 1995.‎

‎Silsilah leluhur H. Abdul Jalil yang merupakan tokoh setempat, adalah putra dari H. ‎Abdul Hadi bin Parana Bangsa bin Sangga Parana bin ‎Aria Wira Santri (Eyang Santri Dalem) ‎bin Mundingwangi ‎bin Prabu Siliwangi, gelar dari Prabu ‎Dewataprana Sri ‎Baduga Maharaja putra Prabu ‎Dewa ‎Niskala putra ‎Mahaprabu Niskala Wastu Kancana.‎‎ Ini bersambung dapat ditelusuri dengan silsilah dan sejarah tokoh legendaris di Tatar Sunda.

Sebagai lembaga, masjid Al-Jalil dikelola oleh pengurus DKM. Perkembangan kepengurusan DKM Al-Jalil menurut catatan yang ada, dapat dirunut dari masa ke masa menurut urutan ketua DKM, sbb: ‏

  • Mohamad Tobari (1970)

  • H. ‎Syamsu (1980)

  • H‎. Ir. Emka Gumilar (1990)

  • H. Popon‎ Saepulloh (2000)

  • H. Ismet Ismail (2010)

  • H. Mansur, M.Pd (2011, hingga saat ini).‏

Seiring perkembangan, karena lokasinya strategis ‎dan ‎mungkin alasan lain, hingga kini Masjid Al-Jalil berstatus ‎sebagai ‎Masjid Besar, ‎tingkat Kecamatan Surade.‎ ‎Namun ‎surat penetapannya belum terlacak hingga kini, ‎baik surat keputusan ‎maupun momentumnya. ‎Tetapi menurut penjelasan para pengurus DKM waktu itu, bahwa Masjid Al-Jalil ditetapkan sebagai masjid besar, masa Kepala KUA Surade dijabat oleh H. Jamrudin. Sekitar tahun 1990-an.*[olah data oleh mansur asy'arie]