Golok Pembunuh Naga

To Liong To
GOLOK PEMBUNUH NAGA Jilid ke-2

Disadur oleh: Gan KL

Menggunakan Edisi Satu

tukang scan oleh Anthony (Wuxia Indonesia)

Karena selama beberapa hari selalu menempuh perjalanan di bawah hujan lebat,

meski kudanya sangat tangkas, akhirnya tak tahan juga. Ketika sampai di

perbatasan Propinsi Kangsay, tiba-tiba mulut kuda itu berbusa dan badannya panas.

Jui-san sangat menyayangi kuda tunggangannya ini, maka ia turun dan berjalan

perlahan-lahan sambil menuntun kudanya. Itulah sebabnya maka perjalanannya

menjadi lambat sehingga sampai di Lim-an-hu tanggal 30 bulan 4 dan hari pun sudah

petang .

Setelah mendapatkan hotel, ia berpikir sejenak. Perjalananku terlambat, rombongan

Toh Tay-kim sudah pulang atau belum? Dan Jiko dan Chitte tinggal di mana ya? Ah,

biarlah nanti malam aku menyelidiki ke Liong-bun Piaukiok.

Sesudah makan, ia mendapat informasi dari pelayan bahwa letak Liong-bun Piaukiok

ada di tepi Se-oh. Sebelum berangkat ke Liong-bun Piaukiok ia membeli seperangkat

pakaian dan sebuah kipas lipat keluaran Hangciu yang terkenal itu. Kemudian ia

pun mandi dan berdandan, dan ketika bercermin terkejutlah

mendapati dirinya berubah. Ia lebih menyerupai seorang bangsawan muda yang

ganteng dibandingkan seorang pendekar silat yang namanya menggoncangkan Bu-lim.

la coba meminjam alat tulis. Maksudnya adalah untuk menulisi kipas barunya dengan

sebait dua bait syair. Namun begitu tangannya memegang pensil, otomatis yang

ditulisnya adalah ke-24 huruf "Th-thian-to-liong” dengan goresannya yang bergaya

kuat.

"Ha, setelah mempelajari ilmu pukulan Suhu ini, ternyata gaya tulisanku banyak


kemajuan,” katanya sendiri sehabis menulis. Ia menggoyangkan kipasnya perlahan-

lahan, dengan jalan berlenggang ia menuju Se-oh.


Kota Lim-an adalah bekas ibukota Kerajaan Song, tapi kini sudah berada di bawah

kekuasaan bangsa Mongol. Karena bekas ibukota dan khawatir jika rakyatnya

diamdiam melakukan pergerakan bawah tanah, maka bangsa Mongol sengaja mengirim

tentara pendudukan yang kuat. Di samping sebagai unjuk kekuatan, kekejaman mereka

ternyata lebih hebat daripada di tempat lain, sehingga

rakyat Lim-an pun menjadi semakin menderita. Makanya banyak penduduk kota yang

mengungsi dan pindah ke desa. Keindahan kota Lim-an (sekarang terkenal dengan

nama Hangciu) yang selama ratusan tahun menjadi kunjungan kaum pelancong, kini

sudah berubah semua.

Thio Jui-san melihat dimana-mana terdapat bangunan gedung yang roboh, suasananya

sepi. Kota yang dulu terkenal dengan kesuburan dan kemakmurannya di daerah

Kanglam ini, sekarang setengahnya sudah menjadi tumpukan puing


Saat itu hari belum terlalu gelap tapi rumah penduduk sudah tutup. Jalanan sepi,

jarang ada orang lewat. Hanya prajurit-prajurit Mongol berkuda ronda ke sana ke

mari. Thio Jui-san tidak ingin mencari gara-gara. Jika mendengar suara prajurit

berkuda itu maka ia segera sembunyi di tepi jalan untuk menghindarinya.

Dulu, bila malam mulai tiba, seluruh telaga Se-oh penuh dengan pelita perahu.

Tapi sekarang ketika Jui-san menaiki gili-gili telaga

terasa gelap dan tak ada pelancong satupuri Diam-diam ia menghela napas. Ia turut

petunjuk pelayan hotel dan mencari Liong-bun Piaukiok.

Liong-bun Piaukiok terdiri dari sebuah gedung yang berderet-deret lima susun ke

belakang, menghadap Se-oh. Di pintu depannya terdapat sepasang singa batu.

Bangunannya sangat megah dan angker.

Perlahan-lahan Jui-san mendekati gedung itu. Tiba-tiba ia terkesiap, ia melihat

di tengah telaga depan pintu Piaukiok berlabuh sebuah perahu pesiar. Di dalam

perahu itu menyala lentera berkurung sutera, dan di bawah sorot lentera itu

lapat-lapat kelihatan ada seseorang sedang minum-minum sendiri menghadapi meja.

Sementara itu ia melihat tenglang (lentera dari kertas atau lampion). besar yang

tergantung di depan Liong-bun Piaukiok itu tidak tersulut lilin. Daun pintu

besarnya pun terkunci rapat, mungkin penghuninya sudah tidur semua. Thio Jui-san

mendekati pintu itu, dalam hati ia berkata: Sebulan yang lalu ada

orang mengantar Ji-samko masuk ke pintu besar ini, tapi siapakah gerangan orang itu?—

Teringat akan hal itu, hatinya menjadi berduka.

· Pada saat bersamaan tiba-tiba ia mendengar dari arah belakang ada orang yang

perlahan menghela napas. Karena malam itu gelap dan sunyi, suara helaan napas itu

kedengarannya menjadi seram. Dengan cepat Thio Jui-san berpaling ke belakang tapi

tak ada seorangpun yang dilihatnya. Sekelilingnya tampak sepi, bahkan tak ada

bayangan seorangpun. Hanya ada seorang pelancong di dalam perahu itu saja.

Ia rada heran, saat memperhatikan pelancong dalam perahu itu ternyata baju dan

ikat kepalanya sama seperti dirinya. Berdandan sebagai sastrawan. Dalam keadaan

remangremang, muka orang itu tidak jelas. Hanya dari samping wajahnya sangat

pucat. Disorot oleh sinar lenteranya yang membayangi telaga yang berbuih hijau,

perahu itu dikelilingi air telaga. Tampaknya menjadi sangat seram. Orang itu

duduk anteng di dalam perahu, kecuali bajunya yang bergoyang-goyang tertiup angin

malam yang silir-silir, tapi tidak bergerak sama sekali.

Diam-diam, Thio Jui-san menjadi ragu-ragu setelah memandang beberapa kali pada orang

di dalam perahu itu. Ia berniat m Liong-bun Piaukiok dengan cara melompati pagar

tembok. Namun niatnya pun diurung. kan. Lalu ia mendekati pintu dan memegang

gelang tembaga pintu yang besar itu terus diketoknya hingga tiga kali.

Di tengah malam sunyi, suara ketokan itu kedengarannya sangat keras hingga

berkumandang jauh. Tapi lewat agak lama, tak ada seorangpun yang keluar. Jui-san

kembali mengetoknya tiga kali, suaranya tambah keras. Tapi tetap saja tak ada

sahutan dan orang keluar, rumah itu sunyi senyap.

la heran, dicobanya mendorong pintu besar itu. Diluar dugaan ternyata pintu

terbuka sendiri, kiranya tidak dipalang dari dalam Segera Jui-san melangkah

masuk, dengan suara lantang ia berseru, "Apakah Toh-congpiauthau di

rumah?"_Sambil berkata demikian, ia berjalan ke tengah paseban.

Di tengah paseban itu pun gelap gulita. Pada saat itulah mendadak terdengar suara

"blang" yang keras. Pintu besar itu seperti tertiup angin dan menutup sendiri.

Hati Jui-san kaget dan cepat melompat keluar dari paseban. Ia terhenyak ketika

mendapati pintu sudah terkunci rapat, bahkan dipalang dari dalam. Pikirnya,

terang ada orang di dalam rumah ini.

Jui-san berteriak beberapa kali, katanya dalam hati: Hmm, apa-apaan ini?—Ia

menenangkan hati, karena ilmu silatnya tinggi dengan mantap ia segera melangkah

masuk ke paseban lagi.

Namun sekarang keadaannya sudah lain. Baru ia melangkah masuk, segera didengarnya

dari empat penjuru angin keras menyambar. Ada empat orang telah mengerubutnya.

Cepat-cepat Jui-san mengelak dan menghindarkan diri dari serangan. Dalam

kegelapan, sekilas ia melihat sinar tajam berkelebat, rupanya keempat orang itu

bersenjata semua.

Segera ia mendahului melangkah ke sebelah barat. Telapak tangan kirinya menyampok

lurus ke kanan. "Plok” dengan tepat pilingan orang itu kena digaplok hingga

pingsan seketika. Menyusul tangan kiri dari ujung kanan atas menghantam miring ke

ujung kiri bawah dan mengenai pinggang salah seorang lagi.

Kedua gerakan tadi adalah garis-garis lintang

dan miring dari permulaan huruf "put” dari ilmu "Th-thian-to-liong" itu. Dua kali

gebrak, dua kali berhasil. Menyusul tangan kiri terus menyanggah lurus dari bawah

ke atas. Sedangkan kepalan tangan kanan menghantam sekali ke samping. Dua gerakan

terakhir itu sebagai pelengkap huruf "put”, dan empat serangan ternyata

merobohkan keempat musuh itu.

Jui-san tidak tahu siapa yang bersembunyi di dalam rumah itu lalu mendadak

menyerangnya. Ia pun hanya menggunakan tiga bagian tenaganya untuk melawan musuh,


sehingga serangannya memang tidak keras,

Ketika orang keempat tadi kena di"tutul" oleh hantamannya hingga terhuyung-huyung

ke belakang terus menindih kursi hingga pecah. Orang itu membentak, "Begini keji

caramu turun tangan, jika kamu laki-laki sejati, beritahukan namamu!"

Jui-san tertawa. "Cayhe tidak lain adalah Thio Jui-san."

"Eh!” Orang itu kaget, "Kamu benar-benar Gin-kau-tiat-hoa Thio... Thio Jui-san

dari Butong-pay? Bukan palsu?"

Jui-san tidak menjawab. Dengan tersenyum ia lolos senjatanya, dengan tangan

kirinya memegang Hou-thau-kau atau gaetan berkepala harimau dari perak dan tangan

kanan memegang Boan-koan-pit atau potlot jaksa dari baja. Kedua senjata yang

menggambarkan julukannya itu segera ia ketokan kedua senjatanya sehingga

mengeluarkan suara nyaring disertai percikan api.

Karena percikan api itu, sekilas Thio Jui-san dapat melihat dengan jelas keempat

lawan yang dirobohkannya itu berjubah paderi/pendeta. Rupanya semuanya Hwesio.

Dua dari empat pendeta itu menghadap Thio Jui-san, sehingga merekapun dapat

melihat jelas wajahnya.

Jui-san melihat muka kedua pendeta itu

"Jika benar-benar aku turun tangan keji penuh noda darah, matanya memancarkan

mungkin nyawamu sudah melayang," sahut sinar kebencian yang tak terkatakan,

seakan

seorang wanita tertelungkup di lantai. Badannya kaku dan tidak bergerak

"Hai, Toaci! Kamu kenapa?" tanya Jui-san. Tapi wanita itu diam tak bergerak.

Ketika Juisan menarik pundak wanita itu, dan diperiksanya dengan penerangan

lilin, ia menjerit kaget. Ternyata wanita itu sudah lama tewas,

meskipun wajahnya tampak tersenyum, badannya sudah kaku. Jui-san memperhatikan

sekelilingnya, ia melihat di sebelah tiang sana juga tergeletak seseorang yang

sudah mati. Rupanya seorang pelayan yang sudah tua.

tarnya. Rupanya banyak mayat bergelimpangan, seluruh penghuni Liong-bun Piaukiok

tewas dibunuh dan tidak seorang pun yang hidup.


Tiba-tiba Jui-san melihat di lantai menggeletak seseorang. Ketika lilin

diangkatnya lebih tinggi, ia melihat seorang wanita tertelungkup di lantai.

Badannya kaku. Keadaannya sangat mengerikan.

Begitu Thio Jui-san menginjak di atas tembok, cepat senjatanya dilolos, dengan

gaya “kiongleng-kau-hwe" atau memohon petunjuk dengan hormat, kedua ujung

senjatanya menyerong ke bawah untuk menghadapi musuh.

Thio Jui-san memang sudah cukup berpengalaman akan berbagai hal. Tetapi melihat

pemandangan seperti yang ia saksikan dimana

Jui-san semakin heran, ia lolos Hau-thaukau ditangan. Sedangkan tangan kanan

mengangkat tinggi tatakan lilin untuk melihat sekililing.


Cersil Wuxia To Liong To ini di scan oleh Wuxia Indonesia