Sari tidak pernah merencanakan untuk pergi ke Tanah Suci. Bahkan, dalam daftar panjang keinginannya, tidak ada nama Makkah ataupun Madinah. Hidupnya terlalu padat oleh pekerjaan, terlalu penuh oleh rasa kecewa, dan terlalu padat oleh rencana-rencana besar yang ia kejar tanpa jeda. Ia selalu bilang pada dirinya bahwa suatu hari, setelah semua stabil, ia akan fokus pada ibadah. Tetapi hari itu tidak pernah datang.
Hingga suatu peristiwa mengubah segalanya.
Sepuluh tahun menjalin hubungan dengan seseorang yang ia perjuangkan sepenuh hati, berakhir tanpa penjelasan yang layak. Semua harapan yang ia bangun runtuh seketika. Bukan hanya karena kehilangan cinta, tetapi karena ia kehilangan dirinya. Selama ini ia mengalah terlalu banyak, memaksa diri percaya bahwa kebahagiaan hanya akan datang dari satu orang itu. Dan ketika semuanya berakhir, ia tidak tahu siapa dirinya lagi.
Beberapa minggu setelah itu, ia berjalan sendirian di depan sebuah toko buku. Matanya tertarik pada buku tipis berjudul "Kembali Pada Tuhan Ketika Tidak Ada Lagi yang Bisa Diandalkan". Ia membeli buku itu tanpa berpikir panjang. Dan dari halaman pertama, ia menangis. Ia menyadari betapa selama ini ia menggantungkan ketenangan pada manusia, bukan pada Allah سبحانه وتعالى.
Buku itu tidak memberi nasihat panjang, hanya menyarankan satu hal: lakukan perjalanan ibadah ketika hati terluka, karena perjalanan spiritual adalah perjalanan penyembuhan.
Sari menutup buku itu dan duduk lama. Sesuatu dalam dirinya tersentuh. Untuk pertama kalinya dalam hidup, ia ingin pergi bukan untuk berlari dari masalah, tetapi untuk menemukan dirinya kembali.
Hari itu ia memutuskan untuk berangkat ke Tanah Suci. Ia tidak mengajak siapa pun. Ia tidak ingin perjalanan ini menjadi rutinitas rombongan, melainkan ruang dialog antara dirinya dan Tuhannya. Ia memilih umroh mandiri, bukan karena ia ingin terlihat kuat, tetapi karena ia ingin merasakan kembali apa artinya bersandar pada Allah tanpa perantara manusia.
Perjalanan dimulai dengan gemetar yang tidak bisa ia sembunyikan. Di bandara, ia hampir membatalkan keberangkatan. Rasa takut untuk sendirian begitu besar. Namun di balik ketakutan itu, ada rasa tenang yang aneh, seolah perjalanan ini memang bagian dari takdirnya.
Saat mendarat di Madinah, Sari merasakan ketenangan yang belum pernah ia rasakan seumur hidup. Masjid Nabawi berdiri dengan keanggunan yang sulit dilukiskan dengan kata-kata. Ketika ia melangkah masuk, ia menangis tanpa ia sadari. Bukan karena sedih, tetapi karena merasa diterima, meski ia penuh dengan luka, rasa bersalah, dan penyesalan.
Di Raudhah, ia merasakan sesuatu menyentuh hatinya dengan lembut. Ia berdoa lama sekali, memohon ketenangan, memohon kelapangan, memohon agar ia bisa memaafkan takdir dan memaafkan dirinya sendiri.
Perjalanan lanjut ke Makkah membawa babak baru. Ia memasuki Masjidil Haram dengan langkah kecil, menunduk dalam. Ketika Ka'bah terlihat di hadapannya, tubuhnya goyah. Ia merasa seperti menyaksikan seluruh hidupnya dalam sekejap. Semua kesalahan, semua keputusan, semua usaha, semua air mata… semuanya terasa kecil dibandingkan kuasa Allah سبحانه وتعالى.
Saat memulai tawaf, ia berbisik dalam hati, "Ya Allah, aku datang bukan sebagai hamba yang saleh, tetapi sebagai hamba yang tak lagi tahu harus kemana."
Putaran pertama terasa seperti perjalanan mencari alasan. Putaran kedua seperti perjalanan menuju kejujuran. Putaran ketiga membawa kesadaran bahwa ia tidak pernah sendirian. Putaran keempat mengajarinya bahwa sakit hati bukan hukuman. Putaran kelima menyadarkan bahwa cinta manusia tidak pernah menjadi tujuan hidup. Putaran keenam membuka pintu untuk memaafkan. Putaran ketujuh memeluknya dengan ketenangan yang ia cari selama bertahun-tahun.
Dalam thawaf itu, ia menyadari satu hal penting: ia tidak kehilangan diri ketika kehilangan seseorang. Ia hanya lupa bahwa sumber ketenangan bukan manusia.
Malam-malam berikutnya di Makkah ia lalui dengan banyak merenung. Ia mulai mengingat kembali momen-momen bahagia dalam hidup yang dulu ia anggap biasa. Ia mulai bersyukur bukan hanya ketika mendapat, tetapi juga ketika kehilangan. Ia mulai melihat bahwa takdir bukan selalu tentang apa yang kita inginkan, tetapi tentang apa yang kita butuhkan untuk kembali.
Hari terakhir sebelum pulang, ia duduk cukup lama di pelataran Masjidil Haram. Langit gelap dan suara jutaan doa menyatu dalam keheningan yang sangat dalam. Ia menutup mata dan berdoa, bukan lagi untuk dipertemukan kembali dengan seseorang, tetapi untuk dipertemukan kembali dengan diri sendiri.
Ketika pesawat mendarat di Jakarta, dunia tetap sama. Macet masih macet. Kantor tetap sibuk. Orang-orang tetap bergelut dengan kehidupan masing-masing. Tapi Sari kembali dengan versi dirinya yang lain. Lebih tenang. Lebih dewasa. Lebih damai.
Ia tidak menceritakan perubahan itu kepada siapa pun. Tidak perlu. Kedamaian tidak perlu diumumkan. Cukup dirasakan.
Sejak hari itu, ia hidup dengan cara baru. Ia tidak lagi mendefinisikan kebahagiaan dari orang lain. Ia bekerja dengan ikhlas, berkumpul dengan keluarga lebih sering, dan mencintai tanpa menuntut apa pun sebagai balasan. Ia tahu ia masih bisa terluka suatu hari nanti, tetapi kini ia memiliki tempat untuk pulang.
Tanah Suci mengajarinya bahwa cinta manusia dapat pergi kapan saja, tetapi cinta Allah سبحانه وتعالى tidak pernah meninggalkan.
Dan setiap kali hatinya mulai goyah, ia selalu mengingat kembali saat-saat ketika ia berdiri di depan Ka'bah, menangis bukan karena lemah, tetapi karena akhirnya pulang kepada Tuhan yang tidak pernah berhenti menunggu.