Ronggeng Pasaman merupakan bagian integral dari kekayaan budaya yang berkembang di kawasan Pasaman, Sumatera Barat. Sebagai bentuk kesenian rakyat yang telah ada sejak lama, Ronggeng tidak hanya tampil sebagai hiburan semata, tetapi juga sebagai medium komunikasi sosial, penguatan identitas budaya, dan pelestarian nilai-nilai adat. Dalam konteks masyarakat Minangkabau dan Mandailing yang hidup berdampingan di wilayah ini, Ronggeng menjadi manifestasi dari hubungan harmonis antara seni dan kehidupan sehari-hari.
Ronggeng Pasaman merepresentasikan dinamika kehidupan sosial yang terbuka dan egaliter. Penari ronggeng – yang sebagian besar diperankan oleh laki-laki dengan busana perempuan – tidak hanya tampil di atas panggung sebagai objek tontonan, tetapi juga sebagai aktor sosial yang aktif berinteraksi dengan publik. Interaksi antara penari, penyanyi, pemain musik, dan penonton menciptakan suasana pertunjukan yang hidup, cair, dan partisipatif.
Menurut studi antropologi budaya oleh Koentjaraningrat (2009), seni pertunjukan tradisional seperti Ronggeng merupakan wahana untuk memperkuat kohesi sosial dan memperluas ruang dialog antarwarga. Dalam Ronggeng Pasaman, nilai gotong royong dan semangat kolektivitas terwujud melalui keterlibatan masyarakat dalam setiap elemen pertunjukan. Aktivitas seperti "saweran" (pemberian uang secara spontan kepada penari) juga mencerminkan tradisi partisipasi publik yang telah melekat dalam masyarakat Pasaman.
Salah satu elemen utama dalam pertunjukan Ronggeng Pasaman adalah pantun dan syair-syair yang dilantunkan oleh pemantun atau penyanyi. Pantun tersebut biasanya bersifat spontan dan berisi pesan moral, sindiran sosial, atau lelucon yang menggugah tawa. Namun, di balik nuansa hiburannya, Ronggeng menyimpan fungsi edukatif yang kuat.
Dalam kacamata semiotika budaya (Lotman, 1977), teks-teks dalam bentuk pantun Ronggeng berfungsi sebagai simbol-simbol kultural yang mengandung nilai-nilai ideologis suatu komunitas. Bahasa lokal, intonasi khas, serta struktur pantun yang digunakan merupakan bagian dari strategi pewarisan budaya lisan yang sangat efektif. Ronggeng menjadi ruang publik di mana identitas etnolinguistik masyarakat Pasaman dapat dipelihara dan ditransmisikan antar generasi.
Ronggeng juga berfungsi sebagai instrumen pelestarian adat yang berakar kuat dalam struktur sosial masyarakat Minangkabau dan Mandailing. Dalam berbagai kegiatan adat seperti pernikahan, khitanan, dan kenduri syukuran, pertunjukan Ronggeng seringkali menjadi bagian penting dari rangkaian upacara. Keberadaannya bukan hanya bersifat seremonial, tetapi juga menjadi penanda bahwa kehidupan adat dan seni tidak dapat dipisahkan.
Lebih jauh, Ronggeng mencerminkan prinsip “adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah” yang menjadi landasan dalam kehidupan masyarakat Minangkabau. Meski Ronggeng mengandung unsur hiburan, ia tetap berada dalam koridor norma-norma adat yang menjunjung nilai kesopanan, harmoni, dan penghormatan terhadap struktur sosial.
Ronggeng Pasaman merupakan lebih dari sekadar pertunjukan seni. Ia adalah bentuk ekspresi kultural yang kompleks, mencerminkan hubungan antara individu, masyarakat, dan nilai-nilai leluhur. Dalam Ronggeng, masyarakat menemukan cara untuk merayakan kehidupan, menyampaikan kritik secara halus, serta menjaga warisan budaya yang hampir terlupakan.
Oleh karena itu, pelestarian Ronggeng tidak hanya terletak pada menjaga bentuk tariannya, tetapi juga pada penguatan konteks sosial dan filosofi yang melatarbelakanginya. Melalui penelitian, dokumentasi, dan edukasi, generasi muda diharapkan mampu mengenali dan menghargai Ronggeng Pasaman sebagai bagian dari identitas budaya yang patut dibanggakan dan dijaga keberlanjutannya.