Naskah puisi disiapkan oleh Panitia. Peserta Lomba memilih salah satu dari lima puisi berikut.
Ibu Karya D Zawawi Imron
Subuh Karya Asrul Sani
Diponegoro Karya Khairil Anwar
Tanah Air Mata Karya Sutardji Calzoum Bachri
Sajadah Panjang Karya Taufiq Ismail
Penjiwaan (interpretasi teks)
Vokal : Artikulasi, Intonasi, Karakter Suara, Tempo, Kekuatan (Power) Suara
Gerak (Mimik dan Gesture)
Totalitas (Penyajian secara lisan, ekspresi, fisik, keutuhan).
Keputusan dewan juri dan panitia tidak dapat diganggu gugat
NB : Pakaian Wajib Seragam Sekolah Masing-masing & alokasi waktu maksimal 7 menit
Kalau aku merantau lalu datang musim kemarau
Sumur-sumur kering, daunan pun gugur bersama reranting
Hanya mata air air matamu ibu, yang tetap lancar mengalir
Bila aku merantau
Sedap kopyor susumu dan ronta kenakalanku
Di hati ada mayang siwalan memutikkan sari-sari kerinduan
Lantaran hutangku padamu tak kuasa kubayar
Ibu adalah gua pertapaanku
Dan ibulah yang meletakkan aku di sini
Saat bunga kembang menyemerbak bau sayang
Ibu menunjuk ke langit, kemudian ke bumi
Aku mengangguk meskipun kurang mengerti
Bila kasihmu ibarat samudera
Sempit lautan teduh tempatku mandi, mencuci lumut pada diri
Tempatku berlayar, menebar pukat dan melempar sauh
Lokan-lokan, mutiara dan kembang laut semua bagiku
Kalau aku ikut ujian lalu ditanya tentang pahlawan
Namamu, ibu, yang kan kusebut paling dahulu
Lantaran aku tahu engkau ibu dan aku anakmu
Bila aku berlayar lalu datang angin sakal
Tuhan yang ibu tunjukkan telah kukenal
Ibulah itu bidadari yang berselendang bianglala
Sesekali datang padaku
Menyuruhku menulis langit biru
Dengan sajakku.
Kalau subuh kedengaran tabuh
semua sunyi sepi sekali
bulan seorang tertawa terang
bintang mutiara bermain cahaya
Terjaga aku tersentak duduk
terdengar irama panggilan jaya
naik gembira meremang roma
terlihat panji terkibar di muka
Seketika teralpa;
masuk bisik hembusan setan
meredakan darah debur gemuruh
menjatuhkan kelopak mata terbuka
Terbaring badanku tiada berkuasa
tertutup mataku berat semata
terbuka layar gelanggang angan
terulik hatiku di dalam kelam
Tetapi hatiku, hatiku kecil
tiada terlayang di awang dendang
menangis ia bersuara seni
ibakan panji tiada terdiri
tanah air mata
tanah tumpah dukaku
mata air airmata kami
airmata tanah air kami
di sinilah kami berdiri
menyanyikan airmata kami
di balik gembur subur tanahmu
kami simpan perih kami
di balik etalase megah gedung-gedungmu
kami coba sembunyikan derita kami
kami coba simpan nestapa
kami coba kuburkan duka lara
tapi perih tak bisa sembunyi
ia merebak kemana-mana
bumi memang tak sebatas pandang
dan udara luas menunggu
namun kalian takkan bisa menyingkir
ke manapun melangkah
kalian pijak airmata kami
ke manapun terbang
kalian kan hinggap di air mata kami
ke manapun berlayar
kalian arungi airmata kami
kalian sudah terkepung
takkan bisa mengelak
takkan bisa ke mana pergi
menyerahlah pada kedalaman air mata
Ada sajadah panjang terbentang
Dari kaki buaian
Sampai ke tepi kuburan hamba
Kuburan hamba bila mati
Ada sajadah panjang terbentang
Hamba tunduk dan sujud
Di atas sajadah yang panjang ini
Diselingi sekedar interupsi
Mencari rezeki, mencari ilmu
Mengukur jalanan seharian
Begitu terdengar suara azan
Kembali tersungkur hamba
Ada sajadah panjang terbentang
Hamba tunduk dan rukuk
Hamba sujud dan tak lepas kening hamba
Mengingat Dikau sepenuhnya.
Di masa pembangunan ini
tuan hidup kembali
Dan bara kagum menjadi api
Di depan sekali tuan menanti
Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali.
Pedang di kanan, keris di kiri
Berselempang semangat yang tak bisa mati.
MAJU
Ini barisan tak bergenderang-berpalu
Kepercayaan tanda menyerbu.
Sekali berarti
Sudah itu mati.
MAJU
Bagimu Negeri
Menyediakan api.
Punah di atas menghamba
Binasa di atas ditinda
Sungguhpun dalam ajal baru tercapai
Jika hidup harus merasai.
Maju.
Serbu.
Serang.
Terjang.