BAB III
DEFINISI
Secara bahasa, bai’ berarti tukar menukar sesuatu. Sedangkan secara istilah, bai’ 126 BUKU FIKIH X MA
atau jual beli adalah tukar menukar materi (māliyyah) yang memberikan konsekuensi kepemilikian barang (‘ain) atau jasa (manfa’ah) secara permanen. Definisi ini akan mengecualikan beberapa transaksi:
a. Transaksi hibah (transaksi pemberian). Dalam transaksi hibah tidak ada praktik tukar menukar (mu’āwaḍah). Karena tukar menukar dilakukan oleh kedua belah pihak, sedangkan dalam transaksi hibah hanya dari satu pihak.
b. Transaksi nikah. Walaupun nikah termasuk akad mu’āwaḍah, tapi tidak terjadi pada sebuah materi (māliyyah). Karena farji tidak masuk dalam kategori materi.
c. Transaksi ijārah (transaksi persewaan). Transaksi ijārah tidak bersifat permanen. Karena transaksi ijārah adalah pemindahan kepemilikan manfaat dalam batas waktu yang telah ditentukan.
Hukum Jual Beli
A. Mubah: Hukum asal dari jual beli adalah mubah, yang berarti boleh dilakukan oleh setiap Muslim tanpa ada efek hukum negatif jika tidak dilakukan 12.
B. Wajib: Dalam kondisi tertentu, seperti kebutuhan mendesak akan makanan atau minuman, hukum jual beli dapat menjadi wajib 7.
C. Haram: Jual beli menjadi haram jika melibatkan barang-barang yang diharamkan oleh syariat, seperti babi atau barang najis lainnya 7.
D. Sunnah dan Makruh: Jual beli bisa dianggap sunnah jika dilakukan dengan niat baik dan tidak membahayakan, sedangkan dapat menjadi makruh jika dilakukan pada waktu yang tidak tepat.
PRATEK JUAL BELI
Pratek jual beli dibagi menjadi 3 macam:
a. Bai' Musyahadah
Bai’ musyāhadah adalah transaksi jual beli komoditas (ma’qud ‘alaih) yang dilakukan dengan melihatnya secara
langsung oleh para pelaku transaksi. Definisi musyāhadah bersifat relatif, tergantung pada karakteristik dari
komoditas tersebut. Setiap bentuk musyāhadah yang dapat memberikan informasi yang jelas mengenai komoditas
dianggap memadai, baik melalui pengamatan keseluruhan, sebagian, maupun secara ḥukman (seperti melihat
kemasan). Melihat sebagian dari komoditas dianggap cukup jika bagian tersebut mewakili kondisi keseluruhan
komoditas. Contohnya, dalam transaksi jual beli satu karung beras, cukup dengan melihat sebagian dari beras
tersebut tanpa perlu memeriksa seluruh isinya.
Sementara itu, melihat secara ḥukman dianggap memadai jika bagian luar komoditas berfungsi sebagai pelindung. Praktik ini diterima karena jika harus memeriksa kondisi bagian dalamnya, hal itu dapat merusak komoditas. Misalnya, dalam jual beli telur dan mangga, cukup dengan melihat kulit telur dan kulit mangga tanpa perlu membuka dan memeriksa bagian dalamnya.
b. Bai' mausuf Fi zimmah
Bai’ mauṣuf fī żimmah adalah transaksi jual beli dengan sistem tanggungan (żimmah) dan metode ma’lum nya melalui spesifikasi kriteria (ṣifah) dan ukuran (qodru). FIKIH X 127 Secara subtansi, bai’ mauṣuf fī żimmah hampir mirip dengan transaksi salam, namun berbeda dalam beberapa hal.
c. Bai' Goib
Bai’ goib adalah transaksi jual beli komoditas yang tidak dapat dilihat oleh kedua pihak yang terlibat dalam transaksi, atau oleh salah satu dari mereka. Menurut pendapat yang lebih kuat dalam mazhab Syafi’i, praktik ini dianggap tidak sah karena termasuk dalam kategori bai’ al-goror, yaitu jual beli yang mengandung unsur penipuan. Sementara itu, menurut pandangan mazhab lain dan tiga Imam besar selain Imam Syafi’i, bai’ goib dianggap sah asalkan spesifikasi dan ciri-ciri komoditas (seperti sifat, jenis, dan macamnya) disebutkan dengan jelas.