Kunjungi update situs terbaru kami
Bangsa Indonesia telah melakukan berbagai upaya untuk menanggapi kebijakan Jepang tersebut. Propaganda Jepang sama sekali tidak memengaruhi para tokoh perjuangan untuk percaya begitu saja. Bagaimanapun, mereka sadar bahwa Jepang adalah penjajah. Bahkan, mereka sengaja memanfaatkan organisasi-organisasi pendirian Jepang sebagai ‘batu loncatan’ untuk meraih Indonesia merdeka. Beberapa bentuk perjuangan pada zaman Jepang adalah sebagai berikut.
Kelompok ini sering disebut kolaborator karena mau bekerja sama dengan penjajah. Sebenarnya, cara ini bentuk perjuangan diplomasi. Tokoh-tokohnya adalah para pemimpin Putera, seperti Sukarno, Mohammad Hatta, Ki Hajar Dewantara, dan K.H. Mas Mansyur. Mereka memanfaatkan Putera sebagai sarana komunikasi dengan rakyat. Akhirnya, Putera justru dijadikan para pemuda Indonesia sebagai ajang kampanye nasionalisme. Pemerintah Jepang menyadari hal tersebut dan akhirnya membubarkan Putera dan digantikan Barisan Pelopor. Sama seperti Putera, Barisan Pelopor yang dipimpin Sukarno ini pun selalu mengampanyekan perjuangan kemerdekaan.
Larangan berdirinya partai politik pada zaman Jepang mengakibatkan sebagian tokoh perjuangan melakukan gerakan bawah tanah. Gerakan bawah tanah merupakan perjuangan melalui kegiatan-kegiatan tidak resmi, tanpa sepengetahuan Jepang (gerakan sembunyi-sembunyi). Dalam melakukan perjuangan, mereka terus melakukan konsolidasi menuju kemerdekaan Indonesia. Mereka menggunakan tempat-tempat strategis, seperti asrama pemuda untuk melakukan pertemuan-pertemuan. Penggalangan semangat kemerdekaan dan membentuk suatu negara terus mereka kobarkan. Tokoh-tokoh yang masuk dalam garis pergerakan bawah tanah adalah Sutan Sjahrir, Achmad Subarjo, Sukarni, A. Maramis, Wikana, Chairul Saleh, dan Amir Syarifuddin. Mereka terus memantau Perang Pasifik melalui radio-radio bawah tanah. Pada saat itu, Jepang melarang bangsa Indonesia memiliki pesawat komunikasi. Kelompok bawah tanah inilah yang sering disebut golongan radikal/ keras karena mereka tidak mengenal kompromi dengan Jepang.
Di samping perjuangan yang dilakukan dengan memanfaatkan organisasi bentukan Jepang dan gerakan bawah tanah, ada pula perlawanan-perlawanan bersenjata yang dilakukan bangsa Indonesia di antaranya sebagai berikut.
Perlawanan Rakyat Aceh
Dilakukan oleh Tengku Abdul Djalil, seorang ulama di Cot Plieng Aceh, menentang peraturan-peraturan Jepang. Pada tanggal 10 November 1942, ia melakukan perlawanan. Dalam perlawanan tersebut ia tertangkap dan ditembak mati.
Perlawanan Singaparna, Jawa Barat
Dipelopori oleh K.H. Zainal Mustofa, yang menentang seikerei yakni menghormati Kaisar Jepang. Pada tanggal 24 Februari 1944, meletus perlawanan terhadap tentara Jepang. Kiai Haji Zainal Mustofa dan beberapa pengikutnya ditangkap Jepang, lalu dihukum mati.
Perlawananan Indramayu, Jawa Barat
Pada bulan Juli 1944, rakyat Lohbener dan Sindang di Indramayu memberontak terhadap Jepang. Para petani dipimpin H. Madrian menolak pungutan padi yang terlalu tinggi. Akan tetapi, pada akhirnya perlawanan mereka dipadamkan Jepang.
Perlawanan Peta di Blitar, Jawa Timur
Perlawanan PETA merupakan perlawanan terbesar yang dilakukan rakyat Indonesia pada masa penjajahan Jepang. Perlawanan ini dipimpin Supriyadi, seorang Shodanco (Komandan pleton). Peta tanggal 14 Februari 1945, perlawanan dipadamkan Jepang karena persiapan Supriyadi dkk. kurang matang. Para pejuang Peta yang berhasil ditangkap kemudian diadili di mahkamah militer di Jakarta. Beberapa di antaranya dihukum mati, seperti dr. Ismail, Muradi, Suparyono, Halir Mangkudidjaya, Sunanto, dan Sudarmo. Supriyadi, sebagai pemimpin perlawanan tidak diketahui nasibnya. Kemungkinan besar Supriyadi berhasil ditangkap Jepang kemudian dihukum mati sebelum diadili.