Pengaruh Kebijakan Pemerintah Hindia Belanda
Setelah Indonesia kembali di bawah pemerintah kolonial Belanda, pemerintahan dipegang oleh Komisaris Jenderal. Komisaris ini terdiri dari Komisaris Jenderal Ellout, dan Buyskes yang konservatif, serta Komisaris Jenderal van der Capellen yang beraliran liberal. Untuk selanjutnya pemerintahanan di Indonesia dipegang oleh golongan liberal di bawah pimpinan Komisaris Jenderal van der Capellen (1817 - 1830).
Selama memerintah, van der Capellen berusaha mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk membayar hutanghutang Belanda yang cukup besar selama perang. Kebijakan yang diambil adalah dengan meneruskan kebijakan Raffles yaitu menyewakan tanah-tanah terutama kepada bangsawan Eropa. Oleh kalangan konservatif seiring dengan kesulitan ekonomi yang menimpa Belanda, kebijakan ekonomi liberal dianggap gagal.
Kegagalan van der Capellen menyebabkan jatuhnya kaum liberal, sehingga menyebabkan pemerintahan didominasi kaum konservatif. Gubernur Jenderal Van den Bosch, menerapkan kebijakan politik dan ekonomi konservatif di Indonesia.
- Tanam Paksa (Cultuur Stelsel)
Perhatikan gambar tanaman ekspor dari Indonesia di atas. Pada masa penjajahan abad XIX, tanaman tersebut merupakan komoditas utama ekspor Indonesia. Karena itu, Belanda berusaha menaikkan ekspor tanaman perkebunan tersebut. Apalagi ketika awal abad XX Belanda menghadapi perang di Eropa, yang menyebabkan kerugian keuangan yang besar. Selain itu Belanda menghadapi berbagai perlawanan rakyat Indonesia di berbagai daerah. Salah satu cara Belanda untuk menutup kerugian adalah dengan meningkatkan ekspor. Peningkatan ekspor merupakan pilihan Belanda untuk mempercepat penambahan pundi-pundi keuangan negara.
Pada tahun 1830, Johannes van den Bosch menerapkan sistem tanam paksa (cultuur stelsel). Kebijakan ini diberlakukan karena Belanda menghadapi kesulitan keuangan akibat perang Jawa atau Perang Diponegoro (1825-1830) dan Perang Belgia (1830-1831).
Ketentuan-ketentuan kebijakan tanam paksa
Penduduk wajib menyerahkan seperlima tanahnya untuk ditanami tanaman wajib dan berkualitas ekspor.
Tanah yang ditanami tanaman wajib bebas dari pajak tanah.
Waktu yang digunakan untuk pengerjaan tanaman wajib tidak melebihi waktu untuk menanam padi.
Apabila harga tanaman wajib setelah dijual melebihi besarnya pajak tanah, kelebihannya dikembalikan kepada penduduk.
Kegagalan panen tanaman wajib bukan kesalahan penduduk, melainkan menjadi tanggung jawab pemerintah Belanda.
Penduduk dalam pekerjaannya dipimpin penguasa pribumi, sedangkan pegawai Eropa menjadi pengawas, pemungut, dan pengangkut.
Penduduk yang tidak memiliki tanah harus melakukan kerja wajib selama seperlima tahun (66 hari) dan mendapatkan upah.
Kalau melihat pokok-pokok cultuurstelsel jika dilaksanakan dengan semestinya merupakan aturan yang baik. Namun praktik di lapangan jauh dari pokok-pokok tersebut atau dengan kata lain terjadi penyimpangan. Dalam pelaksanaannya penuh dengan penyelewengan sehingga semakin menambah penderitaan rakyat Indonesia. Banyak ketentuan yang dilanggar atau diselewengkan baik oleh pegawai Belanda maupun pribumi.
Praktik-praktik penekanan dan pemaksaan terhadap rakyat tersebut antara lain sebagai berikut.
Menurut ketentuan, tanah yang digunakan untuk tanaman wajib hanya 1/5 dari tanah yang dimiliki rakyat. Namun kenyataannya, selalu lebih bahkan sampai ½ bagian dari tanah yang dimiliki rakyat.
Kelebihan hasil panen tanaman wajib tidak pernah dibayarkan.
Waktu untuk kerja wajib melebihi dari 66 hari, dan tanpa imbalan yang memadai.
Tanah yang digunakan untuk tanaman wajib tetap dikenakan pajak.
Penderitaan rakyat Indonesia akibat kebijakan Tanam Paksa ini dapat dilihat dari jumlah angka kematian rakyat Indonesia yang tinggi akibat kelaparan dan penyakit kekurangan gizi. Pada tahun 1848-1850, karena paceklik, 9/10 penduduk Grobogan, Jawa Tengah mati kelaparan. Dari jumlah penduduk yang semula 89.000 orang, yang dapat bertahan hanya 9.000 orang. Penduduk Demak yang semula berjumlah 336.000 orang hanya tersisa sebanyak 120.000 orang. Data ini belum termasuk data penduduk di daerah lain, yang menunjukkan betapa mengerikannya masa penjajahan saat itu. Tentu saja, tingginya kematian tersebut bukan semata-mata disebabkan sistem Tanam Paksa.
Sistem ini membuat banyak pihak bersimpati dan mengecam praktik Tanam Paksa. Kecaman tidak hanya datang dari bangsa Indonesia, tetapi juga orang-orang Belanda. Mereka menuntut agar Tanam Paksa dihapuskan. Kecaman dari berbagai pihak tersebut membuahkan hasil dengan dihapusnya sistem Tanam Paksa pada tahun 1870. Orang-orang Belanda yang menentang adanya Tanam Paksa tersebut di antaranya E.F.E. Douwes Dekker (Multatuli) dengan menerbitkan buku yang berjudul "Max Havelar", Baron van Hoevel dan Fransen van de Putte yang menerbitkan artikel "Suiker Contracten" (Perjanjian Gula)
Pada tahun 1870, keluar Undang-Undang Agraria (Agrarische Wet) yang mengatur tentang prinsip-prinsip politik tanah di negeri jajahan yang menegaskan bahwa pihak swasta dapat menyewa tanah, baik tanah pemerintah maupun tanah penduduk. Tanah-tanah pemerintah dapat disewa pengusaha swasta sampai 75 tahun. Tanah penduduk dapat disewa selama 5 tahun, dan ada juga yang disewa sampai 30 tahun.
Pada tahun yang sama juga (1870) keluar Undang-undang Gula (Suiker Wet), yang berisi larangan mengangkut tebu keluar dari Indonesia. Tebu harus diproses di Indonesia. Pabrik gula milik pemerintah akan dihapus secara bertahap dan diambil alih oleh pihak swasta. Pihak swasta diberi kesempatan yang luas untuk mendirikan pabrik gula baru. Melalui UU Gula, perusahaan-perusahaan swasta Eropa mulai berinvestasi di Hindia-Belanda di bidang perkebunan.
2. Politik Pintu Terbuka
UU Agraria tahun 1870 mendorong pelaksanaan politik pintu terbuka yaitu membuka Jawa bagi perusahaan swasta. Kebebasan dan keamanan para pengusaha dijamin. Pemerintah kolonial hanya memberi kebebasan para pengusaha untuk menyewa tanah, bukan untuk membelinya. Hal ini dimaksudkan agar tanah penduduk tidak jatuh ke tangan asing. Tanah sewaan itu dimaksudkan untuk memproduksi tanaman yang dapat diekspor ke Eropa.
Sejak UU Agraria dan UU Gula dikeluarkan, pihak swasta semakin banyak memasuki tanah jajahan di Indonesia. Mereka memainkan peranan penting dalam mengeksploitasi tanah jajahan. Tanah jajahan di Indonesia berfungsi sebagai tempat untuk mendapatkan bahan mentah untuk kepentingan industri di Eropa dan tempat penanaman modal asing, tempat pemasaran barang-barang hasil industri dari Eropa, serta penyedia tenaga kerja yang murah.
Berikut ini beberapa perkebunan asing yang muncul.
Perkebunan tembakau di Deli, Sumatra Utara.
Perkebunan tebu di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Perkebunan kina di Jawa Barat.
Perkebunan karet di Sumatra Timur.
Perkebunan kelapa sawit di Sumatra Utara.
Perkebunan teh di Jawa Barat dan Sumatra Utara.
Politik pintu terbuka yang diharapkan dapat memperbaiki kesejahteraan rakyat, justru membuat rakyat semakin menderita. Eksploitasi terhadap sumber-sumber pertanian maupun tenaga manusia semakin hebat. Rakyat semakin menderita dan sengsara. Adanya UU Agraria memberikan pengaruh bagi kehidupan rakyat, seperti berikut.
Dibangunnya fasilitas perhubungan dan irigasi.
Rakyat menderita dan miskin.
Rakyat mengenal sistem upah dengan uang, juga mengenal barang-barang ekspor dan impor.
Timbul pedagang perantara. Pedagang-pedagang tersebut pergi ke daerah pedalaman, mengumpulkan hasil pertanian dan menjualnya kepada grosir.
Industri atau usaha pribumi mati karena pekerja-pekerjanya banyak yang pindah bekerja di perkebunan dan pabrik-pabrik.
3. Politik Etis
Dampak politik pintu terbuka bagi Belanda sangat besar. Negeri Belanda mencapai kemakmuran yang sangat pesat. Sementara rakyat di negeri jajahan sangat miskin dan menderita. Oleh karena itu, Van Deventer mengajukan politik yang diperjuangkan untuk kesejahteraan rakyat. Politik ini dikenal dengan politik etis atau politik balas budi karena Belanda dianggap mempunyai hutang budi kepada rakyat Indonesia yang dianggap telah membantu meningkatkan kemakmuran negeri Belanda. Politik etis yang diusulkan van Deventer ada tiga hal, sehingga sering disebut Trilogi van Deventer
Berikut ini Isi Trilogi van Deventer.
Irigasi (pengairan), yaitu diusahakan pembangunan irigasi untuk mengairi sawah-sawah milik penduduk untuk membantu peningkatan kesejahteraan penduduk.
Edukasi (pendidikan), yaitu penyelenggaraan pendidikan bagi masyarakat pribumi agar mampu menghasilkan kualitas sumber daya manusia yang lebih baik.
Migrasi (perpindahan penduduk), yaitu perpindahan penduduk dari daerah yang padat penduduknya (khususnya Pulau Jawa) ke daerah lain yang jarang penduduknya agar lebih merata.
Pada dasarnya kebijakan-kebijakan yang diajukan oleh van Deventer tersebut baik. Akan tetapi dalam pelaksanaannya terjadi penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh para pegawai Belanda. Berikut ini penyimpangan-penyimpangan tersebut.
Irigasi, Pengairan (irigasi) hanya ditujukan kepada tanah-tanah yang subur untuk perkebunan swasta Belanda. Sedangkan milik rakyat tidak dialiri air dari irigasi.
Edukasi, Pemerintah Belanda membangun sekolah-sekolah. Pendidikan ditujukan untuk mendapatkan tenaga administrasi yang cakap dan murah. Pendidikan yang dibuka untuk seluruh rakyat, hanya diperuntukkan kepada anak-anak pegawai negeri dan orang-orang yang mampu. Terjadi diskriminasi pendidikan yaitu pengajaran di sekolah kelas I untuk anak-anak pegawai negeri dan orang-orang yang berharta, dan di sekolah kelas II kepada anak-anak pribumi dan pada umumnya.
Migrasi, Migrasi ke daerah luar Jawa hanya ditujukan ke daerah-daerah yang dikembangkan perkebunan-perkebunan milik Belanda. Hal ini karena adanya permintaan yang besar akan tenaga kerja di daerah-daerah perkebunan seperti perkebunan di Sumatra Utara, khususnya di Deli, Suriname, dan lain-lain. Mereka dijadikan kuli kontrak. Migrasi ke Lampung mempunyai tujuan menetap. Karena migrasi ditujukan untuk memenuhi kebutuhan akan tenaga kerja, maka tidak jarang banyak yang melarikan diri. Untuk mencegah agar pekerja tidak melarikan diri, pemerintah Belanda mengeluarkan Poenale sanctie, yaitu peraturan yang menetapkan bahwa pekerja yang melarikan diri akan dicari dan ditangkap polisi, kemudian dikembalikan kepada mandor/pengawasnya.
Sumber : Indonesia Abad ke-20 jilid I, 1998