Side Story 20

Kediaman Baden pun ramai dengan aktivitas, persiapan menyambut para tamu. Rumah pedesaan itu telah dipoles sehingga sedikit cahaya pun menyinari lantainya dan dapurnya berisi begitu banyak makanan sehingga Jalan Baden bisa menampung sepasukan pria dengan nyaman.

Baroness memindahkan tempat tidur ganda dari kamar tamu ke kamar Erna, untuk menggantikan tempat tidur single yang tidak nyaman. Dia juga telah membuat selimut jalur kerja yang baru. Dia membentangkannya di tempat tidur dan melihat ke sekeliling ruangan, sulit dipercaya bahwa dia adalah ibu dari seorang anak yang akan memiliki anak lagi. Pikiran itu membuat air matanya berlinang. Dia berhasil menahan luapan emosinya, dia tidak akan membiarkan hari bahagia ini rusak karena air matanya yang penuh hormat.

Setelah dia puas, kamar tidurnya sudah siap dan siap, dia pergi ke dapur. Nyonya Greve sedang membantu menyiapkan semua makanan, seolah-olah dia sudah benar-benar melupakan radang sendi yang dideritanya.

Puas, Baroness naik ke kamarnya untuk berpakaian dan kemudian menghabiskan sisa hari itu dengan duduk di tamannya, menunggu kedatangan Erna. Dia menatap jalan pedesaan seperti penjaga patung. Di tangannya ada surat yang dikirimkan Bjorn.

Bjorn mengejutkannya dengan hadiah yang bijaksana. Ia menceritakan rencananya mengunjungi rumah Baden bersama Erna yang sudah mencapai fase stabil dan kini mampu melakukan perjalanan jauh. Sangat berbeda dengan yang dikirimnya tahun lalu, surat itu memberi tahu Baroness bahwa Erna akan datang ke Jalan Baden, agar Baroness berkesempatan merawat Erna yang sedang hamil.

Surat itu sudah beberapa kali dibacanya dan dibacanya kembali, dan hatinya menjadi hangat saat mengetahui bahwa Erna akhirnya bersama dengan suami yang sangat mencintainya. Itu memberinya kekuatan dan dia tidak akan menyesal jika dia dipanggil ke surga saat itu juga, meskipun dia berharap hal itu bertahan sampai cucunya lahir, yang akan datang ke dunia ini pada musim semi berikutnya, musim yang dihiasi dengan indah. bunga mekar tertinggi.

"Begini, Nyonya, aku baru saja melihat kereta datang," seru Nyonya Greve dari jendela lantai atas, Baroness sama sekali tidak menyadari pembantunya ada di sana.

Dia menaikkan kacamatanya, meletakkan surat itu di atas meja untuk dilupakan saat dia bangkit dari kursi untuk melihat lebih baik ke jalan pedesaan. Dia bisa melihat ada deretan gerbong yang melaju di jalan.

Saat kereta berhenti di jalan masuk, Erna sedang mencondongkan tubuh ke luar jendela. "Nenek," dia memanggil dan melambai.

Senyuman selalu terlihat di wajah Baroness, tapi melihat Erna, senyumnya semakin lebar. Erna-nya, sangat tidak anggun, tapi hari ini adalah harinya.

Ketika kereta berhenti dan Erna keluar, Baroness mau tidak mau menyadari betapa sehatnya dia dan ketika mereka berpelukan, dia merasakan hal yang sama seolah-olah dia sedang memeluk anak kecil yang pertama kali datang kepadanya bertahun-tahun yang lalu. .

Ada seratus pertanyaan yang ingin ditanyakan Baroness, apa kabar, bagaimana kabar bayinya, apakah kamu makan dengan baik, apakah kamu tidur? Semua kekhawatiran yang biasa dimiliki oleh seorang kakek tua dan beberapa orang lainnya, namun sekarang bukan waktunya, menikmati senyum Erna dan tatapan penuh perhatian para Pangeran, sepertinya semua pertanyaannya yang mengkhawatirkan terjawab dengan nyaman satu sama lain.

*.·:·.✧.·:·.*

Sulit untuk mengatakan siapa anak sapi muda yang Bjorn tanpa basa-basi menamainya dengan nama yang begitu buruk, sekarang setinggi induknya dan memiliki warna coklat belang-belang yang serupa. Perceraian mendongak, penasaran dengan teriakan ceria Bjorn, yang tidak pernah berhenti mengunyah makanan.

"Jangan panggil dia seperti itu, dia bisa mendengarmu, namanya Christa," tegur Erna pada suaminya. "Dan aku lebih suka kamu juga tidak mengucapkan kata itu pada bayi itu." Erna mengusap perutnya.

Bjorn menatapnya dengan penuh kasih sayang, memperhatikan di mana tangan istrinya bersentuhan, "Bayi Dniester seharusnya mengetahui seluruh sejarah kita dan betapa ibu mereka sangat menyukai kata itu." Erna tahu Bjorn hanya bersikap konyol dan mencoba menggodanya.

"Jangan," kata Erna, berpura-pura terluka.

"Kenapa, kamu akan kabur lagi?"

"Tidak, aku akan mengusirmu saja, menurutku semua orang akan lebih menyukainya seperti itu."

Sinar matahari musim gugur yang kuning membuat senyum Erna bersinar seperti emas. Bjorn memandang rusanya, tidak lagi kecil dan naif, dia menjadi binatang buas. Meskipun dia tidak menyadari ekspresi persetujuan dari para pelayan yang selamanya berada dalam bayang-bayang pasangan Grand Ducal. Mereka sepakat bahwa Grand Duchess lebih baik memiliki istana daripada Grand Duke.

Mereka berdua, bersama seluruh pengiringnya, berkelok-kelok melintasi ladang bunga liar dan melewati hutan musim gugur di ujungnya. Langkah kaki mereka menjadi hiruk-pikuk saat mereka berjalan dengan susah payah melewati tumpukan daun kering. Musim gugur yang dalam membawa angin sejuk, namun kedalaman musim gugur membawa angin sejuk, menjadikannya hari yang ideal untuk berjalan-jalan.

Hari-hari yang tenang di Buford berlalu dengan mudah.

Erna menikmati jalan-jalan santainya, makan makanan rumahan yang disiapkan oleh Nyonya Greves dan staf dapurnya dan duduk untuk makan makanan tersebut di tengah percakapan dengan Baroness. Di waktu luangnya, dia akan duduk dan merapikan kaus kaki dan pakaian kecil, bahkan membuat bunga untuk menghiasi kamar anaknya. Bayi Dniester akan tumbuh besar dengan dikelilingi oleh banyak benda menakjubkan yang dibuat oleh ibunya dengan tangannya sendiri.

Beberapa kali dokter setempat datang untuk memeriksa Erna dan setiap kali dia memberi tahu pasangan tersebut bahwa bayi mereka tumbuh dengan baik. Dengan setiap pemeriksaan, Bjorn merasa semakin yakin. Ia sama bahagianya dengan istrinya yang menggandeng tangannya saat mereka berjalan di bawah dahan yang gundul.

"Bjorn, lihat ke sana," kata Erna penuh semangat dan Bjorn harus berjuang mengalihkan pandangannya dari istrinya. Ketika dia menoleh untuk melihat ke arah yang dia tunjuk, ada sebuah pohon kecil yang masih tumbuh beberapa buah merah di atasnya.

"Bunga apelnya terbuka," kata Erna.

"Bunga apel." Mengulangi nama yang diberikan istrinya, Bjorn mengulurkan tangan dan mematahkan dahan yang menghasilkan buah terindah. Sambil tersenyum, Erna memasukkan dahan itu ke dalam keranjang. Bersamaan dengan beberapa buah mawar, krisan gunung, dan biji ek.

Setiap kali Erna memasukkan bunga baru ke dalam keranjang, dia akan membisikkan nama mereka. Itu adalah kumpulan warna dan aroma yang indah yang Bjorn tidak dapat menebak tujuan pembuatannya oleh Erna. Erna seperti tupai di musim gugur, mengumpulkan barang-barang dan menyimpannya di keranjang.

Saat mereka memasuki bagian terdalam hutan, keranjangnya sudah penuh. Bjorn melihat ke arah keranjang dan menyadari bahwa dia bersyukur telah menjerat seorang gadis desa yang menikmati hal-hal yang lebih sederhana dan lebih murah dalam hidup, bahkan jika itu adalah mengumpulkan rumput liar berwarna-warni.

Obligasi, saham, emas batangan, itulah nama-nama benda yang Bjorn kenal dan paling familiar, andai saja Erna juga seperti itu, dia tidak bisa membayangkan betapa miskinnya dia akan membuatnya.

"Ah, kita sudah sampai," kata Erna.

Tersadar dari lamunannya, Erna berlari ke pangkal pohon yang dikelilingi koloni jamur, tujuan mereka bertamasya hari itu.

Bjorn mengikuti beberapa langkah di belakang Erna, saat dia berlari menuju jamur liar. Para pelayan mengejar dan membantu Erna memetik jamur. Dia bertanya-tanya mengapa dia harus berada di sini untuk ini, dia merasa seperti roda kelima di kereta, tapi itu membuat Erna bahagia, yang pada gilirannya membuatnya bahagia. Yang paling tidak bisa dimengerti adalah mengapa mereka membutuhkan jamur. Dapur di Jalan Baden dipenuhi hingga penuh.

"Apakah kamu ingin mengambilnya juga?" Kata Erna sambil berhenti sejenak sambil memasukkan jamur ke dalam keranjang.

"Tidak, aku tidak tahan dengan sentuhan mereka."

"Mengapa?"

"Aku tidak tahu, itu hanya keseluruhannya saja, jadi kotor."

Erna menghela nafas mendengar jawabannya. Lisa, yang sedang mencabut jamur yang sangat besar, juga memutar matanya dan berbicara sambil menyeka tangannya dengan celemeknya.

"Bjorn, bayinya bisa mendengarmu."

"Kenapa, apakah ada yang salah dengan perkataanku?"

"Itu..." Wajah Erna memerah dan mulutnya mengerut.

"Hati-hati, bayi itu bisa mendengarmu." Bjorn menunjuk perutnya dengan senyum tak tahu malu di wajahnya.

Sambil tertawa, Bjorn meninggalkan Erna dan para pelayannya memetik jamur sambil melanjutkan perjalanan, dengan malas berjalan di jalan setapak yang ditutupi dedaunan kering. Erna kehilangan keinginannya akan jamur dan mengibaskan kotoran dari tangannya. Begitu pula kedua pelayan yang membantunya.

Erna merapikan pakaiannya dan mengambil keranjang anyaman tempat dia menaruh jamur. Suaminya yang jahat, melihat Erna selesai, menunggu di ujung jalan, tangan di belakang punggung dan berdiri dengan postur anggun. Dia menawarkan tangannya ketika dia sudah dekat dan dia mengambilnya.

Mereka kembali ke Jalan Baden, sinar matahari keemasan di sore hari memandikan mereka dengan sedikit kehangatan. Christa menyapa mereka dengan lenguhan cemberut, sambil dengan malas mondar-mandir di sekitar paddocknya, juga menikmati sinar matahari. Asap mengepul dari cerobong asap. Nyonya Greves sudah sibuk memasak makan malam.

"Bjorn." Erna perlahan membalikkan tubuh suaminya hingga mereka berdiri berhadap-hadapan sambil menatap mata abu-abu suaminya. "Bisakah kamu mengatakan bahwa kamu mencintai mereka? Bayi itu ingin mendengarnya."

Bjorn tersenyum seperti sinar matahari sore dan menatap perut Erna, " Baby Dniester....jangan lemah, tumbuhlah kuat." Dia berkata dengan lembut, lebih lembut dari biasanya—bisikan manis yang tak terduga. "Sekarang, ayo pergi, Erna."

Bjorn mengulurkan tangannya ke Erna, ekspresinya masam saat dia menghadapi harapannya yang hancur. Pikiran untuk memohon padanya sekali lagi melukai harga dirinya.

Mengucapkan kalimat "Aku cinta kamu" menimbulkan kerugian emosional yang besar baginya.