Side Story 19

Erna perlahan membuka matanya terhadap kegelapan pekat di kamarnya. Dia menutup matanya, lalu membukanya lagi. Setiap kali dia menutup matanya dan membukanya lagi, ruangan itu menjadi lebih jelas. Itu bukanlah mimpi.

Begitu dia yakin akan hal itu, dia menghela nafas panjang. Dia takut sejarah akan terulang kembali, tapi saat dia membuka matanya dengan benar, dia masih duduk di sana.

"Halo mumi Dniester." Dalam ruangan yang terang benderang diterangi cahaya lilin, sebuah suara ramah menjangkau dan menyambutnya ke dunia kehidupan.

Erna tersenyum sambil menyentuh lembut perutnya yang tidak menunjukkan tanda-tanda kehidupan baru yang mulai tumbuh di sana. Dia berguling menghadap suara yang menyapanya dan jantungnya hampir melompat keluar dari dadanya ketika, bukannya Bjorn, dia malah berhadapan dengan sebuah boneka.

"Apa ini?" ucap Erna sambil tertawa gugup. Ada dua boneka beruang lembut di bantalnya.

Saat Erna memperhatikan detail kedua beruang itu, Bjorn menyalakan lampu. Ruangan itu dipenuhi cahaya kuning lembut.

"Halo ayah Dniester."

"Hmm." Senyuman hangat terlihat di wajah Bjorn.

"Sepanjang hari aku memikirkan bagaimana aku akan memberitahumu, tapi sepertinya dokter sudah memberitahumu begitu dia yakin." Wajah Erna memerah dan sembab.

Erna memeluk boneka-boneka itu di dekatnya dan meskipun dia sudah berusaha sekuat tenaga menahan air matanya, boneka-boneka itu tetap datang. Bjorn duduk di tepi tempat tidur dan dengan sabar menunggu Erna tenang.

"Apakah ini hadiah untuk bayi Dniester?"

"Yah, aku tidak bisa menahan diri, aku hanya harus membelinya." Bjorn tertawa. "Keduanya adalah yang paling populer, tapi aku tidak tahu mana yang akan kamu pilih."

Ada beruang coklat dan beruang putih.

"Tidak bisakah aku mendapatkan keduanya?" ucap Erna tidak bisa memilih di antara keduanya.

Bjorn mengesampingkan keserakahan istrinya dengan anggukan. "Kamu bisa mendapatkan apa pun yang kamu inginkan."

Penyesalan atas masa lalu semakin dalam, begitu pula kegembiraan Erna akan masa depan. Meski begitu, keheningan Bjorn semakin dalam karena dia tidak tahu bagaimana menjelaskannya, atau mengungkapkan kegembiraan yang dia isi pada saat itu. Erna tersenyum seolah mengatakan bahwa dia mengerti.

"Terima kasih atas hadiahnya, aku yakin bayinya akan menyukai keduanya." Erna tersenyum manis. "Bayi itu berkata bahwa masih banyak lagi hadiah yang diinginkannya."

"Beri tahu aku."

Maukah kamu mendengarkan?

"Tentu saja."

"Apa pun yang terjadi?"

"Apa pun."

Dia memegang tangan istrinya, setelah dia selesai memeluk kehidupan khayalan dari boneka teddy itu. Mau tidak mau Erna merasa khawatir sambil mengedipkan air dari matanya.

"Aku akan memberitahumu semua yang ingin aku makan, jadi sebaiknya kamu membeli semuanya."

Bjorn menertawakan permintaan pertama yang tidak terduga itu, tetapi Erna tegas dan serius. Dia berencana makan makanan lezat sedunia. Buah-buahan, seperti buah persik, khususnya.

"Aku ingin memilih perlengkapan bayi bersama dan mendekorasi kamar bayi bersama-sama."

Bjorn tidak menertawakan permintaan kedua, itu lebih sesuai dengan apa yang dia harapkan. Dia meremas tangan Erna. Erna melepaskan kenangan sedih yang terus berusaha menghantui pikirannya, dia ingin mendapatkan semua barang yang Bjorn kumpulkan satu per satu dan dihancurkan satu per satu.

Erna melanjutkan dengan daftar keinginannya yang terus bertambah. Bahkan dia terkejut dengan keserakahan yang dia tunjukkan.

"Yang terpenting, hal pertama yang akj inginkan adalah... pelukan." Erna tersenyum dengan senyuman paling cerah yang pernah ada dan hampir tampak bersinar saat dia duduk di tempat tidur. "Aku sangat senang, tapi... sedikit takut."

Sebelum bertemu dokter dan mendapat konfirmasi, Erna sempat takut hamil lagi, dan saat dipastikan, rasa takut itu pun membuncah di hatinya.

"Apakah kamu baik-baik saja?" Bjorn bertanya, senyumnya lebih lembut sekarang. Dia membuka lengannya lebar-lebar dan mengangkatnya ke dekat dadanya. "Semuanya akan baik-baik saja," kata Bjorn dan Erna memercayainya.

*.·:·.✧.·:·.*

"Tidak, aku mau pergi," kata Erna sambil tersenyum lemah. Dia sedikit gugup, tapi tidak sampai menjadi tak tertahankan.

Mereka telah memutuskan untuk mengambil perlengkapan bayi bersama-sama hari itu. Erna-lah yang meminta Bjorn pergi ke department store, daripada memanggil perwakilan untuk datang ke istana. Dia merasa tidak ada gunanya memanjakan diri, dia ingin melakukan hal-hal seperti pasangan normal, menikmati kebahagiaan biasa dan dia ingin orang-orang Lechen menganggap mereka sebagai pasangan normal.

"Yah, entahlah, menurutku kamu cukup menikmati perhatiannya," kata Bjorn sambil tertawa nakal.

"Itu mungkin benar," Erna mengakui kesombongannya. Dia tidak bisa berbohong ketika bayi dalam perutnya bisa mendengarnya. Dia sedikit malu, tapi memutuskan untuk menerima begitu saja.

"Apakah tubuhmu baik-baik saja?" Erna hanya mengangguk pada pertanyaan Bjorn ketika dia melihat department store mulai terlihat.

Itu agak tidak realistis, tapi Bjorn memperhatikannya untuk saat ini. Mual di pagi hari sudah cukup parah selama beberapa waktu, namun mereda setelah seminggu, dan berkat itu, kulitnya menjadi jauh lebih baik. Dia telah bertanya kepada dokter berkali-kali apakah jalan-jalan ini akan berlebihan, dan dokter mengatakan beberapa kali bahwa Erna akan baik-baik saja.

Bjorn memandang istrinya, terlepas dari semua penegasan itu, rasanya masih terlalu berlebihan. Erna mengenakan gaun yang dirancang khusus untuk tubuh barunya yang sedang hamil, mengakomodasi payudaranya yang membengkak dan mempertimbangkan seberapa besar perutnya nantinya. Masih belum ada perubahan yang terlihat, selain pinggulnya yang semakin melebar.

"Beri tahu aku jika ini menyulitkanmu," kata Bjorn. Erna mengangguk.

Kereta itu dengan anggun tiba di Jalan Utama, berhenti di depan department store yang ramai. Kerumunan, seperti gugusan awan yang mengepul, berkumpul untuk mengantisipasi kunjungan Grand Duke Schuber dan istrinya yang sangat ditunggu-tunggu.

*.·:·.✧.·:·.*

Orang-orang menyambut Grand Duchess dengan rasa ingin tahu yang hangat saat dia muncul di luar Istana Schuber untuk pertama kalinya setelah berita kehamilannya. Mereka semua ingin mengetahui hal yang sama, apakah itu putra atau putri? Atau bahkan kembar! Antusiasme penduduk yang berlebihan membengkak dan mengagetkan Grand Duchess.

"Menurutku datang ke department store adalah ide yang bagus," kata Erna dengan senyum lebar di wajahnya, mengingat hari yang maniak itu.

Bjorn mengawasi istrinya yang bersemangat, keluar menuju matahari terbenam. Bukan karena ada yang istimewa, mereka hanya berjalan-jalan di department store dan melihat perlengkapan bayi bersama. Mereka bahkan berdiskusi serius mengenai mainan tertentu.

Bjorn hanya ingin membeli semuanya dan menyingkirkan apa pun yang tidak dimainkan oleh bayinya, tapi Erna mengatakan itu sia-sia. Sang pangeran mencintai istrinya, sama seperti Musim Gugur lalu, ketika Schuber datang untuk membuktikan satu fakta itu, dia menawarkan dirinya sebagai tontonan kepada orang-orang, supaya mereka bisa melihat seberapa dekat sebenarnya pasangan Ducal itu.

Kata-kata ucapan selamat dan hadiah menghujani mereka kemanapun mereka pergi. Tampaknya mereka tidak dapat melepaskan diri dari hal itu. Mereka membeli begitu banyak barang yang tidak perlu, namun Bjorn dengan senang hati membayar harga atas kegembiraan Erna, meskipun dia ingin tetap bersikap bijaksana.

Dalam perjalanan pulang, ketika mereka menyeberangi Sungai Abit, senyum berseri-seri yang Erna tunjukkan sepanjang hari, tiba-tiba menghilang dan dia menangis.

"Rakyat...Bjorn...rakyat tidak membenci kita." Dia menangis sambil membenamkan wajahnya ke dadanya.

Mengetahui sepenuhnya bahwa tidak mungkin dia bisa ikut campur dalam isak tangisnya, dia membiarkan emosinya berkobar dan dengan sabar menunggu. Dengan lembut menghiburnya, memeluknya erat, dia gemetar dalam pelukannya. Dia berharap air matanya akan berhenti, tapi sementara itu, dia melihat ke luar jendela saat kereta meluncur melewati jembatan.

Di bawah sinar matahari terbenam yang cerah, Erna, yang sudah lama berhenti menangis, mengangkat kepalanya, menatap Bjorn dengan wajah basah kuyup dan tersenyum padanya seolah dia tidak baru saja menangis. Bjorn balas tersenyum padanya tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Dia mengeluarkan sepotong permen dari sakunya dan memasukkannya ke dalam mulutnya. Dia memakannya sambil mengendus dan itu membuatnya tertawa.

Erna juga mengulurkan sepotong permen dan Bjorn memasukkannya ke dalam mulutnya sambil tersenyum. Itu adalah permen untuk meredakan mual di pagi hari, tapi juga bisa dijadikan tetes lemon yang enak.

Saat matahari musim gugur memancarkan warna oranye dan kuning ke langit, keduanya saling menatap hingga manisan meleleh di lidah mereka.