Oleh: Kristina Noviana Salma (Kelas XI UPW) - Asrama Trikara memiliki aneka pengalaman yang sulit ditemukan di luar. Benang kebersamaan yang kami sulam sungguh membuahkan tenunan yang indah. Masing-masing kami yang kaya motif budaya menjadikan lingkungan kehidupan kami semakin elok dan berwarna.
Sebagai anak milenial, moment menghadap Mama Suster selaku ibu asrama untuk mengambil handphone adalah kesempatan yang paling dinantikan. Rutinitas di akhir pekan ini sungguh mendatangkan kegembiraan. Inilah saat melepaskan kangen dan membagikan kabar dengan orangtua juga para kenalan. Ribuan kata yang kulepas dari Ende. Membiarkannya terbang dan pergi menemui segala harapan.
Baca Selengkapnya di : Rakat NTT.
Aku menikmati hari nan pahit manis disini. Bangunan kokok bergaya arsitektur khas Syuradikara boleh dibilang demikian karena dimana-mana disetip sudut kompleks bangunan kau akan menemui konstruksi atap/kubah berbentuk huruf V terbalik, tak tajam namun sedikit melengkung. Pun di pintu gerbang pendopo utama, pentu depan kapel, dan kapel secara keseluruhan adalah representasi dari huruf V terbalik nan lengkung itu.
Ibarat tungku masak tradisional dengan tiga buah fondasi, maka tak berlebihan jika aku meyebut Syuradikara yang ditopang tiga buah tonggak kokoh. Salah satunya adalah Asyur. Duanya asrama puteri Trikara dan ‘anak luar’ sebutan untuk mereka yang tidak tinggal di asrama. Syuradikara adalah wadah yang ditopang oleh tiga buah tongak tadi, wadah tempat cipta, rasa dan karsa itu diolah, dibentuk, dikreasi menjadi masakan berguna bagi dunia.
Koki tak lain adalah para pastor di komunitas santo Rafael, suster, bapak dan ibu guru juga orang tua yang secara langsung mendedikasikaan hati dan tangan mereka untuk tonggak, wadah dan hasil masakannya. Jika tak ada pemanas maka mana mungkin ilmu pengetahuan bisa tercipta lalu tersebar? Syuradikaraisme, ketulusan, doa dan semangat kerja keras adalah api yang membara, obor yang menerangi sehingga proses ini secara keseluruhan bisa terlaksana. Bukti akhir adalah hasil yang bisa dilihat, Syuradikara menjadi harum, pembawa terang sejati, menjadi sekolah terbaik, terdepan serta terfavorit yang ada di Nusa Flobamora.
Baca Selengkapnya di : Asyur, Putra Tangguh dari Syuradikara
Waktu itu tahun 2002 kepala asrama dijabat oleh pater Kaliks dan Kepala sekolahnya pater Michael de Fretes. Sedangkan rektornya adalah pater Didimus Nai. P. Kaliks pribadi yang ulet dan bersahaja. Selama menjadi orang tua bagi anak asrama taman depan sangat terawatt penuh aneka bunga. Hijau nan asri.
Sosok yang sederhana dan bersahaja inilah yang kadang dimanfaatkan oleh segelintir siswa yang terkenal nakal dan suka melawan. Dia selalu diam saking sayangnya pada anak didiknya, pikirku. P. Michael sosok yang tak terlalu kukenal karena beberapa bulan setelah itu posisi beliau digantikan oleh Bruder Simply. Bagiku P. Michael sosok tegas dan pendiam itu saja yang kuketahui. Berikut pater rektor yang gila bola. Sosok yang tegas dan serius sehingga sering disalah artikan oleh siswa. Beliau sangat baik, ramah namun jika sedang marah, diamlah kuncinya. Ada pengalaman berkesan soal beliau, ketika Asyur dalam masa reformasi karena terjadi serangkain masalah internal beliau hadir sebagai sosok Ayah yang bijaksana dan tegas.
Pengalaman kontroversial yang berpengaruh besar dalam perjalanan hidupku. Sungguh pengalaman pahit sekaligus inspiratif bagi kami pribadi angkatan 2005 Asyur (tamat) berada dalam masa pergolakan, masa reformasi, masa transisi.
Baca Selengkapnya di : Syuradikara (2)
Testimoni dari Antonius Petrus Kaya Lewowerang
Assrama Putra Syuradikara atau biasa dikenal dengan ASSYUR merupakan suatu tempat yang amat sangat luar biasa. Beruntung sekali pernah berada di tempat ini.
Tempat ini pula memberikan keluarga baru yang hangat dan sejuk bagi diri saya mulai dari sistem pendidikan, pembinaan rohani, mental, karakter serta kehidupan kekeluargaan yang silih asah, asih, dan asuh dapat memberi ruang bagi saya dan teman-teman untuk belajar bersosial serta beradaptasi dengan segala perkembangan kehidupan saat ini.
Sudah terlalu banyak orang yg menghabiskan waktunya di asrama putra Syuradikara yg menjadi orang yg sukses. Harapan saya semoga assyur terus meningkatkan kapabilitas dan kualitas untuk mencetak generasi emas yang terus berkarya dan menginspirasi banyak orang.
Sekian dan terima kasih salam pencipta pahlawan utama.
Testimoni dari Antonius Petrus Kaya Lewowerang, tamat 2019/2020
Sebelas tahun meninggalkan Almamater Syuradikara dan belum pernah kembali, tentu saja membuat rasa rindu di hati ini belum sepenuhnya terbayar. Penggalan-penggalan kisah semasa di sekolah dan asrama terkadang membuat saya tertawa sendiri karena—sebenarnya—anak syuradikara memiliki sense of humor yang tinggi meski sering dibalut kenakalan.
Berkaitan dengan hal ini, banyak kisah yang menjadi kenangan ketika saya pertama kali menginjakkan kaki di Syuradikara pada tahun 1998 hingga lulus di tahun 2001. Salah satu kisah itu berkaitan dengan tugas saya sebagai anggota Koster hingga akhirnya menjadi Ketua Koster.
Dipilih menjadi salah satu anggota Koster—biasanya tiap angkatan dipilih dua orang— merupakan bagian dari regenerasi, begitupun dengan pos-pos lain yang membutuhkan keterlibatan kami para siswa baru.
Kebetulan Ketua Koster saat itu adalah Ka’e Aris Kelen yang masih memiliki hubungan darah dengan saya (orang tua kami bersaudara sepupu) sehingga ia memilih saya sebagai “penerusnya” dan patner saya Hendra (Enga) Kerans yang sebenarnya “dititipkan” oleh kakaknya—Jacky Kerans—yang seangkatan dengan Ka’e Aris Kelen, agar dapat mengubah sifatnya yang agak malas. Pemilihan kami berdua berlangsung saat makan malam dan besok kami mulai bertugas dengan bimbingan Koster senior yaitu Ka’e Berty Tokan.
Baca Selengkapnya di: Syuradikara dan Cerita Anak Koster