MEMAHAMI HARMONI DINAMIKA PEMBAHARUAN EKSPLORASI PEMIKIRAN ISLAM PROGRESIF DALAM BINGKAI MUHAMMADIYAH
Siti Nur Fadhilah
IMM BPP UAD
Dalam sejarah panjang islam Indonesia, muhammadiyah telah menjadi salah satu sumber penting dalam merumusakan dan mewujudkan visi pemikiran islam progresif. Dengan mempertimbangkan nilai-nilai islam yang inklusif dan adaptif terhadap kebutuhan peradapan zaman. Muhammadiyah memberikan kontribusi yang signifikan dalam membangun harmoni antara tradisi dan kemajuan. Dalam bingkai Muhammadiyah, pemikiran islam progresif tidak hanya menjadi sebuah gagasan tetapi juga sebuah gerakan yang aktif dalam mewujudkan pembaharuan dan inklusivitas masyarakat. Meskipun Muhammadiyah sebagai organisasi islam moderat di Indonesia telah memiliki tradisi yang konservatif. Namun seriring berjalanya waktu, muhamamdiyah memiliki evolusi dalam pandangan dan pendekatan terhadap isu-isu sosial, budaya, dan politik yang komplek di dalamnya.
Pertama-tama, penting untuk memahami dahulu bahwa muhammadiyah didirikan sebagai respon terhadap kebutuhan akan reformasi dalam ajaran dan praktik islam dimasa lalu. Dalam Noupal (2021) menyebutkan bahwa muhammadiyah sebagai organisasi yang didirikan pada tahun 1912 memiliki beberapa nama atau identitas yang disematkan oleh orang-orang diluar organisasi atau non-muhamamdiyah diantaranya islam modern, islam puritan, islam reformasi, islam moderat, islam progresif, dan islam murni. Istilah islam progresif sudah ada sejak awal dan melekat pada Muhammadiyah atas dasar acuan pesan KH Ahmad Dahlan kepada murid-muridnya yaitu “Dadhio kiyahi seng kemajuan lan ojo kesen anggonmu nyambut gawe kanggo Muhammadiyah”, (Jadilah kalian semua kyai yang progresif dan tidak pernah lelah berperang di Muhammadiyah). Dalam pesan tersebut, jelas sekali bahwa KH Ahmad Dahlan sangat menjunjung tinggi semangat berkarya dalam menciptakan perubahan dan pencerahan beragama islam yang pada saat itu masih dianggap kolot dan ditinggalkan oleh pemerintah kolonial ketika mendirikan organisasi muhammadiyah.
Kata progresif menurut Sulaeman & Samsudin (2021) berasal bahasa inggris yaitu kata progress dan progression yang artinya bergerak maju atau upaya untuk maju. Sedangkan kaitanya dengan makna pemikiran islam progresif yang dimaksud adalah adanya pandangan atau pola pikir terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan wacana mengenai keterbukaan, keadilan, toleransi, dan kebutuhan akan pembangunan integritas moral kaum muslim dalam pembangunan bangsa serta pemahaman mengenai keislaman bukan hanya sebagai agama saja, melainkan upaya menuju kemajuan peradaban. Sejalan dengan pendapat Umro’atin (2022), bahwa pemikiran islam progresif bukanlah pandangan tunggal atau homogen, tetapi merupakan spektrum pendekatan serta interpretasi yang beragam dalam upaya meyelaraskan ajaran islam dengan nilai-nilai progresif dan kebutuhan zaman. Makna tersebut tentu sejalan dengan pemikiran KH. Ahmad Dahlan sebagai pendiri Muhammadiyah yang kala itu melihat perlunya pembaharuan dalam berbagai aspek kehidupan umat islam, mulai dari aspek pendidikan hingga sosial.
Menurut Marsudi & Zayadi (2021) muhammadiyah bukan sekedar organisasi kegamaan tetapi juga sebuah gerakan yang memiliki tujuan jelas untuk membawa perubahan positif dalam masyarakat. Dengan menekankan pada nilai-nilai keadilan, kesetaraan, dan kesejahteraan sosial. Muhammadiyah menjadi salah satu kekuatan utama dalam menggalakkan pemikiran progresif di kalangan umat islam Indonesia. Dalam konteks Muhammadiyah, pemikiran islam progresif terwujud melalui berbagai upaya. Rohani (2021) menyebutkan bahwa muhammadiyah memiliki alur garis perjuangan yang sejalan dengan konsep pemikiran islam progresif seperti, purifikasi yaitu kembali kepada al-Qur`an dan as- Sunnah, kritik terhadap taqlid untuk membuka kembali pintu ijtihad, modernisasi pendidikan, dan aktivisme sosial sebagai agenda-agenda utama gerakan progresif muhammadiyah.
Menurut sman (2023), Muhammadiyah secara aktif bergerak dalam dua bentuk pembaharuan yaitu pendidikan dan sosial. Pembaharuan dalam bidang pendidikan, bergerak melalui dua bentuk modernisasi pendidikan yaitu, dengan mengadopsi sistem kelembagaan pendidikan sekuler yang dilakukan Belanda dan modernisasi sistem pendidikan islam yang ada didalam madrasah atau pesantren. Sehingga, selama periodesasi awal berdirinya muhamamdiyah hingga abad ke-20 ini. Muhamamdiyah telah berhasil mendirikan ribuan lembaga pendidikan mulai dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi dengan tujuan untuk memberikan akses pendidikan berkualitas bagi semua lapisan masyarakat. Sedangkan dalam bidang sosial dan keagamaan usaha. Aktivitas muhammadiyah dilakukan dengan memberikan pedoman dan tuntunan dalam aspek aqidah, ibadah muamalah serta akhlakul karimah yang sesuai dengan tuntunan al-Quran dan as-sunnah, mendirikan beberapa masjid dan musallah, melakukan kaderisasi ulama Muhammadiyah, melakukan berbagai kajian keislaman dan perkembangan umat islam, mengelurkan fatwa dan tuntunan dalam bidang keagamaan dan dakwah. Selain itu, kegiatan sosial keagamaan muhammadiyah juga diwujudkan melalui berbagai amal usaha, seperti rumah sakit, panti asuhan, rumah singgah dan lain sebagainya.
Meskipun demikian, eksplorasi pemikiran islam progresif dalam bingkai muhammadiyah tidakklah nihil tantangan. Resistensi terhadap pembaharuan dan pemahaman masyarakat yang sempit terhadap ajaran islam masih menjadi hambatan yang perlu diatasi. Penting bagi muhammadiyah untuk terus melakukan refleksi dan penyesuaian terhadap konteks zaman, sambil tetap memegang teguh nilai-nilai islam yang mendasar. Sehingga, dengan mempertimbangkan sejarah dan peran muhammadiyah dalam mendorong pemikiran islam progresif. Maka kesimpulan yang dapat diambil sebagai benang merah essai ini yaitu harmoni dinamika antara pemikiran islam progresif dalam bingkai muhammadiyah telah membawa dampak positif terhadap perkembangan mayarakat muslim lebih maju. Melalui pembaharuan disegala bidang seperti pendidikan, pemberdayaan sosial, dan program lainnya. Muhammadiyah telah mengintegrasikan konsep-konsep pemikiran islam progresif dalan praktiknya sehari-hari, membawa dampak positif bagi masyarakat. Dengan terus memperkuat komitmen terhadap pembaharuan dan inklusifitas, muhammmadiyah dapat terus menjadi motor penggerak dalam membangun masyarakat yang lebih inklusif, adil, dan berkeadaban.
Daftar Pustaka
Isman, I. (2023). Islamic progressive literacy and post-populism 212: (Advancing the Ideology of Muhammadiyah Officials in Balikpapan). BEMAS: Jurnal Bermasyarakat, 4(1), 70–76. https://doi.org/10.37373/bemas.v4i1.589
Marsudi, M. S., & Zayadi, Z. (2021). Gerakan Progresif Muhammadiyah Dalam Pembaharuan Pendidikan Islam Dan Sosial Keagamaan Di Indonesia. Mawa Izh Jurnal Dakwah Dan Pengembangan Sosial Kemanusiaan, 12(2), 160–179. https://doi.org/10.32923/maw.v12i2.2035
Noupal, M. (2021). Comparative Study of Post-Marriage Nationality Of Women in Legal Systems of Different Countries International Journal of Multicultural and Multireligious Understanding Islam Progressive: Studying the Concept of Progressive Islam of Muhammadiyah. 2019–2022. http://ijmmu.comhttp//dx.doi.org/10.18415/ijmmu.v8i11.3457
Rohani, I. (2021). Gerakan Sosial Muhammadiyah. Tarbawi Ngabar: Jurnal of Education, 2(1), 41–59. https://doi.org/10.55380/tarbawi.v2i1.90
Sulaeman, A., & Samsudin, S. (2021). Fenomena Munculnya Tokoh Islam Progresif Muhammadiyah 1980-2019. Historia Madania: Jurnal Ilmu Sejarah, 5(2), 181–192. https://doi.org/10.15575/hm.v5i2.16026
Umro’atin, Y. (2022). Tipologi Pembaharuan Dalam Islam. Ngabari: Jurnal Studi Islam Dan Sosial, 15(2), 39–54.
Childfree? Bagaimana Melihatnya?
Carissa Ardiningrum
PK IMM BPP
Manusia diciptakan oleh Allah SWT selain tugasnya beribadah, sebagai khalifah dan sebagainya. Setiap manusia takdirnya sudah di atur oleh Allah SWT, baik takdir lahir, meninggal, rezeki dan jodoh, dimana ketika melihat secara luas manusia hidup salah satu tujuannya yaitu untuk menikah, menemukan jodohnya, memiliki keturunan dan memiliki keluarga yang akur dan tentram, itu merupakan harapan sebagian bahkan hampir semua manusia di bumi, tapi apakah sekarang masih sama konsepnya? Tidak. Dewasa sekarang peimikiran manusia sudah mengikuti zaman, tantangan dan tuntutan yang semakin besar membuat tiap individu berpikir kembali mengenai konsep menikah dan memiliki anak, zaman sekarang Sebagian individu mungkin berpikir cukup menikah tapi tidak untuk memiliki anak atau trendnya disebut childfree.
Banyak alasan yang melatarbelakangi individua atau suatu pasangan yang sudah menikah untuk memutuskan childfree, jika melihat era sekarang yang semakin maju, kebutuhan yang harus dipenuhi sana sini, istilahnya untuk mengurus diri sendiri saja susah, apalagi memiliki anak, dan masih banyak kekhwatiran yang membuat memutuskan untuk childfree, dimana yang paling terasa dan mungkin disetujui adalah takut gagal dalam mendidik anak, jika melihat fakta bahwa kelurga merupakan tempat anak belajar. tempat karakteristik anak terbentuk, ahlak dan adab terbentuk ini menjadi riskan bagi setiap pasangan, yang menjadi pertanyaan adalah apakah bisa membersarkan anak di era sekarang? Apakah ada jaminan kasih saying saja cukup? Lalu bagaimana dalam menjamin kehidupannya, jika kami sebagai orang tua tidak ada ilmu tidak ada waktu? Bukankan lebih baik tidak memiliki dari pada membuat mereka (anak-anak) nantinya sakit hati? Ya banyak sekali pertanyaan yang menghantui dan membuat Sebagian pasangan bimbang, apakah perlu memiliki anak atau tidak, atau memang paling benar childfree saja?.
Berbagai pemikiran datang di kepala tiap pasangan, konsep childfree memang sudah menjadi trend saat ini, banyak yang menjalaninya, beberapa influncer Indonesia yang berpendidikan pun juga memutuskan untuk childfree, jika melihat secara rasionalisasi dan hati nurani bukankan semua alasan yang disebutkan di atas benar? tetapi konsep childfree ini juga menjadi boomerang bagi yang menjalainya, bagaimana masyakrat memandang, bagaimana dalam pandangan agama, omongan orang sekitar, kekhawatiran masa tua yang kesepian, jadi bagaimana apakah childfree atau tidak, apakah jika memutuskan childfree sudah benar dan tepat? Sejatinya kita perlu melihat lebih dalam secara hati nurani, rasional, dan bahkan agama.
Secara rasional alasan beberapa pasangan memutuskan childfree setiap individu berbeda, tetapi banyak yang beralasan karena zaman sekarang mendidik anak sulit, mendekati akhir zaman banyak ujian dna cobaan, serta adanya tuntutan zaman, pemikiran “daripada punyak anak “rusak” lebih baik tidak usah sekalian, tanggung jawab pada kehidupannya, tanggung jawab pada Tuhan berat apabila gagal mendidik anak”, kalimat itu yang menjadi alasan kuat dan secara rasional memang masuk, sementara melihat childfree dari sisi agama sebenarnya kembali lagi melihat pada pedaman hidup, dalam Islam yaitu Al-Quran, memang hukum untuk bisa tidak menikah juga ada dalam Al-Quran, tetapi dalam konteks ini apabila bisa (bukan sanggup) untuk memiliki keturunan dalam artian memiliki anak, apakah jika childfree itu tetap dosa?