5 HAL YANG PERLU DIPERHATIKAN AGAR PEMBELAJARAN TERDIFERENSIASI BERJALAN DENGAN BAIK
Oleh: IDRIS APANDI
(Penulis Buku Merdeka Belajar melalui Pembelajaran HOTS)
Pada implementasi Kurikulum Merdeka (KM), guru diharapkan melaksanakan pembelajaran terdiferensiasi sebagai upaya untuk meningkatkan mutu pembelajaran dan mewujudkan pembelajaran yang berpihak kepada peserta didik. Intinya, pembelajaran terdiferensiasi adalah pembelajaran yang disesuaikan dengan karakter, kebutuhan, dan minat peserta didik. Pada pembelajaran terdiferensiasi, guru menjadikan peserta didik sebagai subjek pembelajaran. Pembelajaran berpusat kepada peserta didik (student centre). Guru memfasilitasi setiap peserta didik mengeksplorasi minat dan rasa ingin tahunya.
Secara konsep, pembelajaran terdiferensiasi sangat baik dan sangat ideal untuk mengakomodir perbedaan individual peserta didik, tetapi pada praktiknya, hal ini menjadi sebuah tantangan yang tidak mudah bagi guru. Guru perlu kerja keras dalam melaksanakannya, karena guru harus menyiapkan waktu, tenaga, berbagai strategi pembelajaran, dan asesmen hasil belajar sesuai dengan karakter, minat, dan kebutuhan peserta didik.
Agar pembelajaran terdiferensiasi ini bisa dilakukan dengan optimal, menurut saya, ada 5 hal yang perlu diperhatikan. Pertama, perlunya peningkatan kemampuan guru dalam merancang pembelajaran, melaksanakan proses pembelajaran, dan melakukan asesmen hasil belajar peserta didik. Walau pembelajaran terdiferensiasi bukan konsep yang baru, tetapi diakui atau tidak, masih banyak guru yang belum paham dan belum bisa melaksanakannya. Mengapa demikian? Karena pada praktik pembelajaran, hal ini tidak atau belum dilaksanakan. Mungkin saja secara teori tahu, tetapi dengan berbagai alasan, seperti merepotkan, terbatasnya waktu, dan perlu tenaga ekstra dari guru, serta banyaknya peserta didik yang harus diajari, maka hal ini belum dilaksanakan oleh guru.
Berdasarkan kepada hal tersebut, maka sekolah perlu mengadakan pelatihan untuk meningkatkan kemampuan guru dalam melaksanakan pembelajaran terdiferensiasi. Selain itu, guru juga dapat mencari sendiri informasi terkait dengan konsep dan implementasi pembelajaran terdiferensiasi dari berbagai sumber. Misalnya aplikasi yang disediakan oleh Kemdikbudristek seperti aplikasi merdeka mengajar, guru berbagi, dan aplikasi lainnya. Selain itu, guru bisa mencari informasi dari internet, YouTube, artikel jurnal atau best practice terkait dengan pembelajaran terdiferensiasi. Guru juga bisa bergabung dalam komunitas seperti Kelompok Kerja Guru (KKG) atau Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) untuk saling berbagi pengalaman dan inspirasi terkait dengan pembelajaran terdiferensiasi.
Kedua, guru harus benar-benar mengenal gaya belajar, minat, kemampuan awal, dan kebutuhan peserta didik. Setiap peserta didik unik. Mereka memiliki gaya belajar yang beragam, seperti gaya belajar dominan melalui pendengaran (auditory), gaya belajar yang dominan menggunakan penglihatan (visual), dan gaya belajar yang dominan menggunakan gerakan (kinestetik). Belum lagi dikaitkan dengan beragamnya kecerdasan yang dimiliki oleh setiap peserta didik yang dikenal dengan teori kecerdasan majemuk (multiple intelligence) yang dikembangkan oleh Howard Garner, seorang psikolog dari Universitas Harvard Amerika Serikat. Bagi Gardner tidak ada anak yang bodoh atau pintar. Namun yang ada adalah anak yang menonjol dalam salah satu atau beberapa jenis kecerdasan tertentu.
Pada hasil penelitiannya, Gardner menyebutkan bahwa terdapat 8 jenis kecerdasan, yaitu (1) kecerdasan verbal-linguistik, (2) kecerdasan logis-matematik, (3) kecerdasan spasial-visual, (4) kecerdasan kinestetik-jasmani, (5) kecerdasan musical, (6) kecerdasan intrapersonal, (7) kecerdasan interpersonal, dan (8) kecerdasan naturalis.
Seiring dengan berkembangnya berbagai riset terkait kecerdasan, maka ditemukan 1 kecerdasan baru yang disebut kecerdasan eksistensial, yaitu kecerdasan yang berkaitan dengan kepekaan atau kemampuan seseorang dalam menjawab persoalan terdalam (hakikat) dalam keberadaan manusia. Kecerdasan ini biasanya dimiliki oleh para filosof atau para pemikir.
Berdasarkan hal tersebut, maka sudah dapat dibayangkan bahwa pengelolaan pembelajaran menjadi sebuah proses yang kompeks dan menantang bagi guru. Perlu guru yang benar-benar kompeten, berjiwa pemelajar, dan berpikiran terbuka untuk berubah (growth mindset) dan memiliki dedikasi yang tinggi dalam melaksanakan tugasnya.
Asesmen diagnostik baik asesmen diagnostik kognitif maupun asesmen diagnostik nonkognitif menjadi "pintu gerbang" bagi guru untuk mengetahui karakter murid. Asesmen diagnostik kognitif dilakukan oleh guru sebelum peserta didik mempelajari materi yang baru. Teknisnya, guru membuat beberapa pertanyaan atau soal yang harus dijawab oleh peserta didik. Jawaban dari peserta didik dijadikan dasar bagi guru untuk menyusun strategi pembelajaran dan perlakuan yang akan diberikan kepada setiap peserta didik.
Asesmen diagnostik nonkognitif dilakukan oleh guru melalui penyebaran angket, wawancara, observasi ke tempat tinggal peserta didik, atau mempelajari buku rapor pada jenjang sebelumnya. Guru juga bisa bekerjasama dengan wali kelas, guru BK, atau psikolog untuk mengetahui karakteristik, gaya belajar, minat peserta didik.
Ketiga, pendekatan yang dilakukan. Pelaksanaan pembelajaran terdiferensiasi bisa mempertimbangkan beragam pendekatan, seperti pendekatan personal. Maksudya, berapa guru yang diperlukan untuk melaksanakan pembelajaran pada 1 kelas tertentu. Apakah cukup 1 orang guru guru atau memerlukan beberapa orang guru (team teaching). Bisa melalui pendekatan durasi intervensi atau bimbingan guru dalam proses pembelajaran mengingat beragamnya kemampuan belajar peserta didik. Ada yang mampu belajar dengan cepat (fast learner), kemampuan belajarnya sedang (middle learner), dan kemampuan belajarnya lambat (slow learner). Khusus untuk anak yang tipe lambat belajar (slow learner), guru tentunya harus memberikan tambahan jam belajar bagi yang bersangkutan. Bisa juga menggunakan pendekatan produk/ tugas/ proyek yang dikerjakan oleh peserta didik untuk menguasai sebuah materi supaya potensi mereka dapat dikembangkan oleh guru.
Beberapa pendekatan pembelajaran terdiferensiasi tersebut bisa dipertimbangkan oleh guru agar tidak ada istilah produk gagal dalam pendidikan. Setiap peserta didik bisa juara dalam minat dan kemampuannya masing-masing. Dalam pembelajaran yang berpihak kepada peserta didik, pesan utamanya adalah tidak ada peserta didik yang bodoh atau gagal, tetapi yang ada adalah guru yang belum menemukan cara atau strategi terbaik untuk mendidik mereka. Oleh karena itu, guru perlu terus melakukan refleksi sebagai dasar untuk meningkatkan mutu pembelajaran. Asesmen formatif yang saat ini lebih ditekankan dalam pembelajaran berbasis kurikulum merdeka juga bertujuan agar guru menjadikan asesmen sebagai dasar perbaikan atau peningkatan mutu pembelajaran sehingga tujuan pembelajaran dapat tercapai.
Keempat, jumlah murid dalam satu kelas. Hal ini bisa menjadi tantangan utama bagi guru dalam pelaksanaan pembelajaran terdiferensiasi mengingat di Indonesia jumlah peserta didik dalam satu kelas biasanya mencapai 30-40 orang. Jumlah peserta didik yang banyak tersebut tentunya memerlukan kerja ekstra dari seorang guru jika setiap peserta didik ingin dilayani sesuai dengan minat, bakat, dan kemampuannya masing-masing.
Kalau pembelajaran terdiferensiasi ingin dilakukan secara optimal, menurut saya, perlu dipertimbangkan penyesuaian jumlah peserta dalam 1 kelas. Perkiraan jumlah ideal peserta didik dalam 1 kelas antara 10-15 orang sehingga guru bisa mengenali dan melayani setiap peserta didik dengan optimal. Berkaitan dengan hal tersebut, pemerintah perlu membuat regulasi penyesuaian terkait jumlah murid dalam kelas. Pada Standar Pengelolaan diatur bahwa jumlah maksimal peserta didik di SD/MI sebanyak 28 orang, jumlah maksimal peserta didik SMP/MTs sebanyak 32 orang, dan jumlah maksimal peserta didik SMA/MA/SMK sebanyak 36 orang. Di SLB, jumlah maksimal peserta didik SDLB sebanyak 5 orang, SMPLB dan SMALB sebanyak 8 orang. Pembelajaran terdiferensiasi di SLB mungkin mungkin hal yang sudah biasa bagi guru-gurunya.
Penyesuaian (penurunan) jumlah peserta didik dalam 1 kelas tentunya akan berdampak terhadap daya tampung sekolah terhadap peserta didik yang akan berimbas terhadap kebutuhan guru, kebutuhan sarana-prasarana, dan penganggaran. Walau demikian, hal ini mau tidak mau perlu dilakukan oleh pengelola pendidikan kalau mau pembelajaran terdiferensiasi dilakukan dengan optimal.
Kelima, mempertimbangkan jenis asesmen untuk mengukur kemampuan peserta didik. Pembelajaran terdiferensiasi idealnya tidak hanya menggunakan 1 jenis instrumen asesmen untuk mengukur ketercapaian hasil belajar peserta didik, tetapi harus menggunakan beragam instrumen asesmen mengingat beragamnya gaya belajar, proses belajar, dan minat belajar peserta didik.
Ibaratnya, ikan yang dites naik pohon pasti akan gagal. Sama halnya seperti gajah yang dites berenang atau menyelam. Kedua binatang tersebut pasti akan akan gagal melakukannya atau gagal memberikan kemampuan terbaiknya. Begitu pun untuk mengukur ketercapaian kemampuan belajar peserta didik. Kalau hanya menggunakan 1 jenis instrumen asesmen, misalnya paper and pecil test, maka hampir dapat dipastikan hasilnya akan “ambyar”. Setiap peserta didik belum tentu mampu melakukan yang terbaik dan pembelajaran terdiferensiasi menjadi kurang beramakna. Jenis instrumen asesmen yang bisa digunakan oleh guru misalnya test lisan, test tulisan, test praktik, dan portofolio.
Dengan demikian, pembelajaran terdiferensiasi harus diikuti dengan asesmen yang terdiferensiasi yang bermuara pada ketercapaian tujuan pembelajaran. Konsekuensinya, guru memang harus membuat indikator dan rubrik untuk setiap jenis instrumen asesmen yang digunakan. Oleh karena itu kemampuan guru dalam menyusun intrumen asesmen, menyusun indikator ketercapaian kompetensi, dan menyusun rubrik penilaian harus ditingkatkan.
Tetap semangat guru-guru di Indonesia. Jadilah pemelajar sepanjang hayat agar siap terus mengajar dan memberikan pengetahuan terbaru bagi peserta didik. Anda adalah andalan utama dalam implementasi pembelajaran terdiferensiasi pada kurikulum merdeka saat ini. Wallaahu a’lam.
PEMBELAJARAN TERDIFERENSIASI YANG MEMERDEKAKAN
Oleh: IDRIS APANDI
(Penulis Buku Merdeka Belajar melalui Pembelajaran HOTS)
Salah satu hal yang diharapkan dilaksanakan oleh guru seiring dengan diimplementasikannya kurikulum merdeka adalah pembelajaran terdiferensiasi. Pembelajaran terdiferensiasi secara sederhana diartikan sebagai pembelajaran yang disesuaikan dengan kebutuhan, karakteristik, gaya belajar, dan kecepatan belajar setiap peserta didik.
Pembelajaran terdiferensiasi dilaksanakan dalam rangka mengakomodir dan menghargai perbedaan individual peserta didik. Setiap peserta didik adalah unik. Mereka memiliki bakat, minat, dan kecerdasan yang beragam. Misalnya jika dalam satu kelas ada 40 orang peserta didik, maka asumisnya adalah ada 40 kebutuhan layanan pembelajaran yang berbeda yang harus penuhi guru. Sungguh bukan hal yang mudah bagi guru untuk melakukannya.Tetapi hal ini menjadi tantangan sekaligus peluang bagi guru untuk meningkatkan mutu pembelajaran.
Biasanya guru menulis strategi pembelajaran pada Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang pada kurikulum merdeka saat ini disebut sebagai modul ajar. Apakah srategi pembelajaran yang digunakan akan cocok untuk semua peserta didik yang jumlahnya belasan bahkan puluhan orang? Saya kira jawabannya belum tentu satu strategi cocok dengan karakteristik dan kebutuhan belajar setiap peserta didik. Oleh karena itu, strategi yang disusun oleh guru tidak mutlak hanya satu saja, tetapi bisa beberapa alternatif strategi pembelajaran.
Strategi pembelajaran yang disusun dalam RPP bukanlah harga mati, tetapi terbuka untuk direvisi atau dimodifikasi sesuai denga situasi, kondisi, dan kebutuhan. Cara mengajar guru akan dipengaruhi kondisi dan situasi baik dari dalam dirinya sendiri maupun dari luar. Diakui atau tidak, cara mengajar dan semangat mengajar guru pada pagi hari (awal jam pelajaran) akan berbeda dengan mengajar setelah waktu istirahat atau waktu pulang.
Begitu pun semangat belajar peserta didiknya bisa saja berbeda karena faktor kondisi psikologisnya, faktor guru yang mengajarnya, faktor materi yang dipelajari, faktor lingkungan/ruang belajar, atau faktor waktu/jadwal pembelajaran. Oleh karena itu, jika diperlukan, guru dapat melakukan perubahan strategi pembelajaran. Tidak hanya berpatokan pada strategi pembelajaran yang telah ditulis pada RPP. Satu strategi pembelajaran yang efektif dilaksanakan pada satu kelas, belum tentu efektif diterapkan pada kelas lainnya mengingat beragamnya kondisi peserta didik dan kapan materi tersebut disampaikan. Jika guru mengajar pada beberapa kelas, maka ada beberapa strategi yang kemungkinan perlu dilakukan.
Menerapkan pembelajaran terdiferensiasi bukanlah suatu hal yang mudah bagi guru. Perlu kerja keras, semangat, dan dedikasi yang luar biasa. Sebelum melakukannya, guru terlebih dahulu harus mengidentifikasi karakteristik, gaya belajar, dan kemampuan setiap peserta didik. Cara yang bisa dilakukan diantaranya dengan asesmen diagnostik.
Asesmen diagnostik terdiri dari asesmen diagnosik kognitif dan asesmen diagnostik nonkognitif. Tujuan asesmen diagnostik kognitif untuk mengetahui kemampuan awal peserta didik sebelum mempelajari sebuah materi. Misalnya, sebelum memulai materi pelajaran, guru meminta peserta didik mengerjakan beberapa soal-soal. Hasil dari pengerjaan soal tersebut menjadi dasar bagi guru dalam menentukan strategi pembelajaran yang harus digunakan.
Tujuan asesmen diagnostik nonkognitif yaitu untuk mengetahui kondisi dan kesiapan psikologis peserta didik untuk belajar. Misalnya guru menyebarkan angket, wawancara, kunjungan ke rumah peserta didik, menelusuri latar belakang kondisi keluarga, dan kondisi sosial-ekonomi peserta didik.
Guru pun bisa bekerja sama dengan guru wali kelas, guru BK, atau bahkan psikolog untuk mengetahui karakteristik seorang peserta didik. Di sekolah tertentu, selain ada guru BK, juga ada psikolog dan psikiater yang perannya melakukan penelusuran minat dan bakat peserta didik, mendampingi peseta didik dalam mengatasi kesulitan belajar, dan mengatasi masalah psikologis yang akan berdampak terhadap prestasi belajarnya. Meminta siswa untuk memberikan respon dalam bentuk emoticon yang mewakili perasaannya sebelum pembelajaran dimulai dapat menjadi salah satu alternatif sederhana asesmen diagnostik nonkognitif.
Bak seorang dokter, asesmen diagnostik dilakukan oleh guru agar guru bisa menentukan “resep pembelajaran” yang sesuai dengan kebutuhan peserta didik karena semangat pembelajaran yang saat ini digaungkan adalah pembelajaran yang berpusat kepada peserta didik (student centre). Menjadikan peserta didik sebagai subjek pembelajaran, bukan hanya sebagai objek. Peserta didik merdeka belajar dengan cara mereka dan merdeka belajar dari beragam sumber belajar. Guru hanya menjadi salah satu sumber belajar saja dan memfasilitasi peserta belajar dari sumber belajar lainnya.
Kalau pembelajaran terdiferensiasi ini mau benar-benar dilaksanakan, maka selain perlakuan guru yang beragam terhadap setiap peserta didik dalam proses pembelajaran, juga terdiferensiasi dalam hal penugasan, proyek, produk, dan asesmen hasil belajar mengingat minat, bakat, dan kemampuan mereka yang beragam. Misalnya saat peserta didik belajar tentang laut, maka saat guru memberikan tugas kepada peserta didik pun, diberikan beberapa alternatif. Misalnya bagi peserta didik yang suka menggambar, guru menugaskan dia untuk menggambar pemandangan laut atau biota laut.
Bagi peserta didik yang kuat di kemampuan bercerita, guru menugaskannya untuk bercerta tentang laut atau biota laut baik dalam bentuk fiksi atau pun nonfiksi. Bagi peserta didik yang senang menulis, guru bisa menugaskannya menulis tentang laut atau biota laut dalam bentuk fiksi atau nonfiksi. Bagi yang senang bernyanyi, guru bisa menugaskannya untuk menulis lagu atau menyanyikan lagu yang bertema laut.
Bagi peserta didik yang senang matematika, guru mungkin bisa memberikan tugas berupa soal-soal hitungan atau proyek dengan tema laut. Bagi peserta didik yang senang dengan IPA, bisa berupa penelitian terkait biota laut, dan sebagainya. Bagi yang senang IPS, mungkin bisa diberikan tugas berupa laporan terkait karakteristik alam daerah pesisir pantai, karakteristik masyarakat yang hidup di daerah pesisir, kegiatan ekonomi masyarakat daerah pesisir, dan sebagainya. Dengan demikian, maka proses pembelajaran akan menjadi proses yang menyenangkan dan menantang bagi mereka.
Indikator penilaiannya pun disesuaikan dengan tugas-tugas yang diberikan kepada setiap peserta didik. Oleh karena itu, mereka akan hebat, terampil, dan juara sesuai dengan kemampuannya masing-masing. Istilahnya, tidak akan ada cerita ikan yang dites naik pohon yang tentunya pasti akan gagal karena metode dan instrument asesmennya yang tidak tepat. Dengan metode asesmen yang tepat, tidak akan ada peserta didik yang tertinggal pelajaran atau dinilai tidak kompeten.
Mungkin hal yang sampaikan terkesan akan merepotkan guru dalam pelaksanaannya dan pelaporan hasil belajarnya. Tetapi kalau pembelajaran terdiferensiasi mau benar-benar dilaksanakan, jangan setengah-setengah. Harus utuh dan menyeluruh. Menurut saya, guru-guru yang menyukai tantangan, kreatif, dan memiliki resiliensi (keuletan) yang tinggi akan dapat melaksanakan pembelajaran terdiferensiasi dengan baik. Guru harus membuka diri untuk mau belajar bagaimana cara melaksanakan pembelajaran terdiferensiasi dengan optimal.
Hasil dari pembelajaran terdiferensiasi tentunya akan berbeda tetapi sama dengan tetap mengacu kepada capaian pembelajaran atau standar ketuntasan minimal. Maksudnya, walau metode dan instrumen asesmennya berbeda, tetapi secara substansi, tujuan pembelajaran tercapai sehigga pembelajaran yang berorientasi kepada peserta didik benar-benar terwujud. Wallaahu a’lam.
ASESMEN DIAGNOSTIK, ASESMEN FORMATIF, DAN ASESMEN SUMATIF
ANALOGI: BIKIN NASI TUMPENG
ASESMEN DIAGNOSTIK (PERSIAPAN SEBELUM MASAK NASI TUMPENG)
Asesmen Kognitif:
1. Apa saja bahan-bahan nasi tumpeng?
2. Bagaimana cara memasak nasi tumpeng yang benar?
3. Siapa yang pernah membuat nasi tumpeng sebelumnya?
4. Apa saja bahan untuk hiasan nasi tumpeng?
5. Bagaimana cara memasang hiasan nasi tumpeng?
6. Apa saja peralatan membuat nasi tumpeng?
Asesmen Non-Kognitif:
1. Bagaimana kondisi perasaan Anda sebelum membuat nasi tumpeng?
2. Apakah suasana hati Anda mendukung untuk membuat nasi tumpeng?
3. Apakah Anda suka memasak nasi tumpeng?
4. Apakah suasana lingkungan mendukung Anda untuk membuat nasi tumpeng yang enak?
5. Apakah Anda sudah siap membuat nasi tumpeng?
6. Apakah Anda hobi memasak?
7. Apakah saat ini Anda bersemangat masak nasi tumpeng? Dll.
ASESMEN FORMATIF (TES ICIP-ICIP SELAMA MASAK)
1. Bagaimana rasa nasi tumpeng? Apakah sudah enak? Kalau belum enak, bumbu atau bahan apa yang perlu ditambah?
2. Apakah cara mengolah masakannya sudah baik? Cara yang mana yang harus diperbaiki atau ditingkatkan agar masakannya enak?
3. Apakah cara memadukan bahan-bahan nasi tumpeng sudah baik? Jika belum, cara yang mana yang perlu diperbaiki? Dll.
ASESMEN SUMATIF (TES UJI ENAK PASCAMASAK):
Setelah nasi tumpeng selesai dimasak, lalu disajikan. Bagaimana rasa nasi tumpeng menurut orang yang makan nasi tumpeng tersebut? Atau jika nasi tumpengnya dilombakan, juri menilai apakah rasa nasi tumpeng sesuai dengan kriteria atau persyaratan lomba?
ASESMEN DIAGNOSTIK, ASESMEN FORMATIF, DAN ASESMEN SUMATIF DALAM PEMBELAJARAN BERDIFERENSIASI
ANALOGI : MAKANAN OLAHAN DARI BAHAN JENGKOL
Keluarga pak Harun memiliki makanan pavorit yang sama, yaitu jengkol. Jengkol, walau aromanya kurang sedap, tapi bisa meningkatkan nafsu makan. Bu Asti, istri pak Harun pun senang memasak berbagai menu makanan dari bahan jengkol. Bu Asti yang juga penyuka jengkol merasa senang kalau jengkol yang dimasaknya habis dimakan oleh Pak Harun, dan ketiga anaknya, Herman, Heri, dan Hani.
Bu Asti sebagai koki harus memahami selera setiap anggota keluarganya yang beragam. Sebelum memasak jengkol, bu Asti tentunya bertanya terlebih dahulu (asesmen diagnostik) kepada setiap anggota keluarga mau makan sama jengkol atau tidak? Kalau misalnya mau makan sama jengkol, variasi menunya mau seperti apa.
Setelah Bu Asti bertanya, maka muncullah permintaan yang beragam (diferensiasi) dari suami dan ketiga anaknya. Pak Harun suka Jengkol yang digoreng ditaburi garam dan penyedap rasa. Herman suka jengkol yang disemur, Heri suka jengkol balado cabe hijau, dan Hani suka jengkol balado ditaburi ikan teri. Bu Asti pun menyanggupi permintaan mereka. Sebelum memasak, bu Asti memeriksa ketersediaan jengkol dan bumbu-bumbu di kulkas. Lalu bu Asti memeriksa ketersediaan minyak goreng, alat-alat masak, kompor, dan gas.
Bu Asti dibantu Hani memasak menu olahan jengkol dengan semangat di dapur. Sambil memasak, bu Asti mencicipi (asesmen formatif) setiap menu olahan jengkol yang dimasaknya sehingga enak dan lezat. Pak Harun, Herman, dan Heri menunggu makanan tersaji sambil menonton TV di ruang keluarga. Setelah beberapa saat, maka menu makanan dari jengkol pun jadi dan disajikan di atas meja makan. Mereka makan dengan lahap. Makanan yang ada di atas meja pun habis, tidak tersisa.
“Mah, makasih ya. Jengkolnya enak.” Pak Harun mengucapkan terima kasih kepada bu Asti. “Iya mah. Semur jengkol buatan mamah memang nomor 1.” Herman menimpali. “Jengkol baladonya juga mantap surantap deh pokoknya.” Hani pun ikut bicara sambil mengacungkan jempol kanan ke bu Asti. (asesmen sumatif). Mendengar pujian dari mereka, bu Asti pun tersenyum sambil berkata. “Alhamdulillah kalau masakan mamah cocok di lidah papah dan anak-anak.”
Refleksi:
Dari cerita di atas dapat diambil makna sebagai berikut:
1. Bu Asti (guru) bertanya terhadap anggota keluarganya menu olahan jengkol apa yang ingin dimakan oleh mereka. Bu Asti pun harus memeriksa (observasi) kesiapan alat dan bahan untuk memasak olahan jengkol. (asesmen diagnostik kognitif dan non-kognitif).
2. Melalui bertanya (asesmen diagnostik), bu Asti (guru) tahu, memahami, dan melayani/memfasilitasi keinginan anggota keluarga (peserta didik) yang beragam (diferensiasi) sehingga menu olahan jengkol yang dimasaknya (materi pelajaran) habis dimakan oleh mereka (belajar dengan menyenangkan).
3. Melalui takaran bumbu yang pas dan cara masak yang berkualitas (strategi pembelajaran efektif) yang disajikan bu Asti (guru), Anggota keluarga bu Asti (peserta didik) bisa makan dengan kenyang dan merasa puas terhadap menu olahan jengkol yang enak dan lezat yang disajikan oleh bu Asti (pembelajaran bermakna).
4. Icip-icip masakan yang dilakukan oleh bu Asti (guru) selama memasak menu olahan jengkol (proses pembelajaran), selain sebagai bentuk asesmen formatif untuk refleksi dan dasar untuk peningkatan mutu, juga sebagai bentuk control kualitas (quality control) terhadap mutu (keterampilan proses dalam pembelajaran).
5. Pujian yang diberikan oleh suami dan anak-anak bu Asti menandakan bahwa menu olahan jengkol (mutu pembelajaran) yang disajikan bu Asti (guru) sesuai dengan harapan mereka (penilaian sumatif/tujuan pembelajaran tercapai).
Literasi dan Numerasi dalam Pembelajaran Berdiferensiasi
Oleh: IDRIS APANDI
(Praktisi Pendidikan, Penulis Buku Merdeka Belajar melaui Pembelajaran HOTS)
Sejalan dengan implementasi kurikulum merdeka, penguatan literasi, numerasi, serta pembelajaran berdiferensiasi adalah tiga hal yang diharapkan dilakukan oleh guru pada proses pembelajaran. Mengapa demikian? Karena masih rendahnya mutu literasi dan literasi peserta didik. Hasil PISA (Programme for International Student Assessment) yang diselenggarakan oleh Organisation for Co-Operation and Development (OECD) tahun 2018 menunjukkan bahwa kemampuan peserta didik Indonesia pada bidang membaca, sains, dan matematika masih sangat rendah. Dari 79 negara yang disurvei dengan melibatkan 600.000 anak berusia 15 tahun, Indonesia berada pada rangking 74 pada kemampuan membaca dengan skor rata-rata 371. Pada kemampuan matematika, Indonesia berada pada rangking 73 dengan skor rata-rata 379. Dan pada kemampuan sains, Indonesia berada pada rangking 71 dengan skor rata-rata 396.
Begitu pun kaitannya dengan pembelajaran. Kegiatan pembelajaran dinilai masih banyak berpusat kepada guru (teacher centre) daripada berpusat kepada siswa (student centre). Siswa masih jadikan sebagai objek pembelajaran dibandingkan dengan subjek pembelajaran. Guru menyusun strategi pembelajaran tanpa diawali dengan penilaian awal (asesmen diagnostik) terhadap peserta didik sehingga strategi pembelajaran berjalan kurang optimal karena tidak sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan peserta didik. Dampaknya, pembelajaran menjadi kurang menyenangkan dan kurang bermakna bagi peserta didik. Implikasinya, tujuan pembelajaran tidak tercapai.
Berdasarkan kepada hal tersebut, maka para guru diharapkan melaksanakan pembelajaran berdiferensiasi, yaitu pembelajaran yang disesuaikan dengan karakter, minat, kebutuhan, gaya belajar, dan profil belajar peserta didik. Terkait pembelajaran tediferensiasi, saya teringat sebuah warung makan yang selain menyediakan sambal khas rumah makan tesebut, juga menyediakan bahan-bahan sambal dadakan yang dibuat sesuai selera pengunjung rumah makan karena belum tentu suka dengan sambal buatan atau sambal yang disediakan oleh rumah makan tersebut.
Begitu pun dalam pembelajaran. Sevariatif apapun guru menyajikan pembelajaran, mungkin saja ada satu, dua, atau beberapa peserta didik yang memiliki minat dan kebutuhan belajar yang berbeda dan kurang terakomodir melalui strategi pembelajaran yang dibuat oleh guru. Guru mungkin pernah mengalami saat menyampaikan materi, ada peserta didik yang mengantuk, kurang memperhatikan penjelasan guru, atau asik dengan aktivitas lain seperti memainkan HP, memainkan ballpoint, atau mencurat-coret buku tulis. Hal tersebut mungkin saja disebabkan oleh cara mengajar guru yang kurang menarik atau metode pembelajaran yang digunakan oleh guru tidak sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan peserta didik.
Pembelajaran berdiferensiasi digagas oleh Carol Ann Tomlinson, seorang profesor pendidikan dari University of Virginia Amerika Serikat. Menurut Tomlinson, pembelajaran berdiferensiasi terdiri dari; (1) diferensiasi konten (2) diferensiasi proses, dan (3) diferensiasi produk. Selain ketiga jenis pendidikan berdiferensiasi tersebut, ada juga ahli pendidikan yang menambahkan diferensiasi lingkungan belajar.
Diferensiasi konten kaitannnya dengan jenis, bobot, atau susunan isi materi pelajaran yang beragam, mulai dari mudah ke sulit, sederhana ke kompleks, memerlukan pemikiran tingkat rendah hingga memerlukan pemikiran tingkat tinggi. Intinya, pada diferensiasi konten, peserta didik mempelajari satu hal yang sama melalui jenis, bobot, atau susunan materi yang berbeda.
Diferensiasi proses kaitannya dengan strategi, pendekatan, metode, dan teknik yang digunakan oleh guru dalam proses pembelajaran. Tidak ada metode pembelajaran yang terbaik. Metode pembelajaran yang terbaik adalah metode yang sesuai dengan situasi, kondisi, dan kebutuhan peserta didik. Ada peserta didik yang cukup 1-2 kali diberi penjelasan untuk memahami materi pelajaran tetapi ada peserta didik yang harus terus dibimbing sampai bisa menguasai materi. Kalimat kunci diferensiasi proses adalah peserta didik belajar satu materi yang sama tetapi melalui cara yang berbeda.
Diferensiasi produk kaitannya dengan produk atau hasil belajar yang beragam sebagai ekspresi atau bukti penguasaan kompetensi peserta didik. Setiap peserta didik diberi kemerdekaan atau kebebasan untuk merancang atau membuat sebuah produk yang menggambarkan kompetensinya.
Produk setiap peserta didik tidak perlu dibandingkan-bandingkan karena jenis produknya pun berbeda walau bahan dan tujuannya sama. Misalnya, jika materinya tentang singkong dan guru menugaskan peserta didik untuk membuat ragam makanan olahan berbahan dasar singkong, maka peserta didik bebas untuk membuat berbagai makanan olahan dari singkong, seperti singkong rebus, singkong goreng, keripik singkong, tape singkong, getuk singkong, kolak singkong, combro, dan sebagainya.
Beragam produk yang dibuat tersebut tentunya akan menjadi sebuah keunggulan, ciri khas, dan keunikan bagi setiap peserta didik. Mereka menjadi juara pada konteks kemampuannya masing-masing. Intinya, diferensiasi produk adalah peserta didik mampu memperlihatkan penguasaan materi melalui produk yang dibuatnya sendiri.
Diferensiasi lingkungan belajar kaitannya dengan lingkungan belajar yang kondusif untuk belajar peserta didik. Misalnya belajar di dalam kelas atau belajar di luar kelas, belajar dalam suasana hening atau ramai, belajar secara daring, luring, atau kombinasi (blended learning), belajar secara mandiri atau berkelompok, atau belajar secara klasikal atau terbimbing. Intinya, lingkungan belajar yang sesuai dengan karakter dan kebutuhan peserta didik akan mendukung pencapaian kompetensi peserta didik.
Literasi membaca pada dasarnya berkaitan dengan kemelekkan huruf, kata, kalimat, paragraf, simbol, data, dan informasi untuk dijadikan sebagai pertimbangan untuk mengambil keputusan. Sedangkan numerasi adalah kemampuan untuk mengenal dan memahami angka, menghitung, mengolah data numerik, menganalisis data numerik, memaknainya, dan menjadikannya untuk menyelesaikan masalah.
Literasi dan numerasi pada dasarnya adalah 2 hal yang tidak terpisahkan alias saling berkaitan. Literasi dan numerasi termasuk ke dalam jenis literasi dasar. Pengukuran kemampuan literasi membaca terdiri dari 3 level kognitif, yaitu; (1) menemukan informasi (access and retrieve) yang meliputi; menemukan, mengidentifikasi, dan mendeskripsikan. (2) memahami (interprate and integrate) yang meliputi; membandingkan dan mengontraskan ide atau informasi dalam atau antarteks, membuat kesimpulan, mengelompokkan, dan mengombinasikan ide dan informasi. dan (3) mengevaluasi dan merefleksi (evaluate and reflects) yang meliputi; menganalisis, memprediksi, dan menilai konten. Literasi membaca tidak hanya berkaitan dengan kemelekkan terhadap informasi yang bersifat deskriptif non-numerik, tetapi juga bisa deskriptif numerik.
Pengukuran numerasi pada 3 level kognitif, yaitu; (1) mengetahui (knowing) yang meliputi; mengingat, mengidentifikasi, mengklasifikasikan, menghitung, mengambil/memperoleh, dan mengukur, (2) penerapan (applying) yang meliputi; memilih/menentukan, menyatakan/membuat model, dan menerapkan/melaksanakan, dan (3) menalar (reasoning) yang meliputi; menganalisis, memadukan (mensintesis), mengevaluasi, menyimpulkan, dan membuat justifikasi.
Numerasi bukan hanya sekadar kemampuan menghitung, melainkan kemampuan mengaplikasikan konsep hitungan di dalam suatu konteks, baik nyata maupun abstrak. Melalui literasi numerasi, peserta didik diarahkan untuk mengenal, mengidentifikasi, memahami, memaknai informasi yang di dalamnya ada data-data matematis-numerik yang harus diolah atau diselesaikan dan menjadi dasar untuk mengambil keputusan atau menyelesaikan masalah.
Literasi dan numerasi dalam pembelajaran berdiferensi dilakukan oleh guru dengan mengarahkan anak untuk belajar melalui berbagai sumber belajar. Bukan hanya buku pelajaran, tetapi juga bisa melalui audio, video, audio-visual, gerakan, praktik, observasi, kunjungan lapangan, dan sebagainya. Hal tersebut tidak lepas dari gaya belajar peserta didik. Ada 3 gaya belajar, yaitu (1) auditori, (2) visual, dan (3) kinestetik.
Peserta didik yang memiliki gaya belajar auditori lebih mudah memahami materi pelajaran melalui indera pendengaran seperti dibacakan cerita, mendengarkan suara, mendengarkan rekaman, atau membaca tulisan secara nyaring. Peserta didik yang memiliki gaya belajar visual lebih mudah memahami materi pelajaran melalui indera penglihatan seperi melihat gambar, video, grafik, bagan, berkunjung secara langsung ke sebuah tempat, mengamati objek, membaca dan memberikan tanda pada tulisan yang dibacanya. Peserta didik yang memiliki gaya belajar kinestetik lebih mudah memahami materi pelajaran melalui gerakan, praktik, atau membuat produk.
Penguatan literasi dan numerasi dalam pembelajaran berdiferensiasi dilakukan melalui penerapan pendekatan saintifik yang dikenal dengan 5 M (mengamati, menanya, mengumpulkan, menalar, dan mengomunikasikan), penerapan model-model pembelajaran aktif-kolaboratif yang mengarah kepada peningkatan kemampuan berpikir kritis dan kreatif, serta peningkatan level berpikir peserta didik dari level berpikir tangkat rendah (lower order thinking skill/LOTS) menuju kemampuan berpikir tingkat tinggi (higher order thinking skill/HOTS).
Hal yang fundamental dalam penguatan literasi dan numerasi dalam pembelajaran berdiferensiasi adalah guru harus bisa membuat peserta didik berminat dan gemar membaca, karena membaca merupakan sarana pembuka ilmu pengetahuan. Jika minat baca peserta didik masih rendah, maka peningkatan mutu literasi dan numerasi akan sangat sulit untuk dilakukan. Untuk meningkatkan minat baca, maka sekolah perlu menyediakan beragam bahan bacaan yang sesuai dengan tingkat perkembangan berpikir dan kebutuhan peserta didik. Wallaahu a’lam.
PEMBELAJARAN BERDIFERENSIASI DAN FILOSOFI BERCOCOK TANAM
Oleh: IDRIS APANDI
(Praktisi Pendidikan)
Semangat merdeka belajar dan pendidikan yang berpihak kepada peserta didik menguatkan perlunya pembelajaran berdiferensiasi. Pembelajaran berdiferensiasi pada dasarnya adalah pembelajaran yang dilakukan sesuai dengan karakter, minat, gaya belajar, dan kebutuhan peserta didik. Dengan kata lain, pembelajaran berdiferensiasi adalah proses pembelajaran yang “warna-warni” dan variatif. Warna-warni tersebut akan berimplikasi kepada beragamnya variasi bahan, strategi pembelajaran, proses pembelajaran, dan produk yang dihasilkan oleh peserta didik sebagai gambaran pencapaian kompetensinya.
Pada pembelajaran berdiferensiasi, guru mengakui dan menghargai beragamnya kecerdasan, keunikan, dan kebutuhan peserta didik. Pembelajaran berdiferensiasi menempatkan peserta didik sebagai manusia memiliki fitrah masing-masing. Jangankan anak yang berbeda ayah dan ibu, anak yang memiliki ayah dan ibu sama pun memiliki karakter yang berbeda. Bahkan anak yang lahir kembar pun memiliki karakter, minat, dan kemampuan yang berbeda. Perbedaan latar belakang sosial-ekonomi, adat istiadat, dan lingkungan pergaulan pun akan mewarnai pertumbuhan fisik dan psikologis seorang anak.
Membahas pembelajaran berdiferensiasi, saya terinspirasi dengan proses bercocok tanam. Misalnya di sebuah taman atau kebun terdapat beragam jenis pohon atau bunga. Setiap tamanan tersebut memiliki waktu untuk tumbuh yang berbeda. Waktu tumbuh pohon akan jauh lebih lama dibandingkan dengan bunga. Sesama jenis pohon atau bunga pun memiliki waktu yang berbeda untuk tumbuh dan berkembang.
Begitupun tingkat kesuburan tanah, teknik perawatan, dan teknis pemeliharaannya berbeda. Jika tanaman itu disiram, maka volume air dan frekuensi penyiraman pun berbeda. Begitu pun jika tamanan itu diberikan pupuk, jenis dan volume pupuk yang diperlukan berbeda. Jika kuantitas dan kualitas pupuk tidak sesuai dengan kebutuhan setiap tanaman (berlebih atau kurang), maka yang terjadi adalah tanaman tersebut tidak akan tumbuh dengan baik sesuai dengan yang diharapkan. Dalam perkembangannya, tanaman tersebut bisa membusuk, mengering, atau bahkan mati.
Begitu pun dalam proses pembelajaran. Sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya, guru harus memberikan layanan pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik, minat, dan kebutuhan setiap peserta didik agar mereka bisa berkembang sesuai dengan fitrah dan kodratnya sebagai manusia. Mengapa demikian? Karena pada hakikatnya pendidikan adalah proses memanusiakan manusia. Ini memang bukan tugas yang mudah, tapi dengan upaya yang sungguh-sungguh dan penuh dedikasi, seorang guru tidak mustahil dapat melakukan hal tersebut.
Mendidik dengan hati dan mengajar dengan rasa, bukan hanya mengandalkan logika. Hal tersebut mutlak harus dimiliki oleh seorang guru agar dapat melaksanakan tugas dengan senang dan dapat menyentuh hati setiap peserta didik. Setiap peserta didik perlu mendapatkan perhatian dari guru, tapi bentuk dan porsinya beragam. Ada yang cukup disapa, cukup disebut nama saja sudah senang dan merasa diperhatikan oleh guru, tapi ada juga memerlukan perhatian lebih intens dan lebih fokus seperti anak berkebutuhan khusus (ABK) atau memiliki tingkat emosi yang lebih sensitif dibandingkan dengan peserta didik yang lain. Maksud emosi di sini adalah perasaan yang mudah marah, mudah tersinggung, perasa (sensitif), mudah sedih, mudah tertekan oleh masalah yang dihadapi atau peristiwa yang dialaminya.
Kalau ada peserta didik yang cenderung kurang disiplin atau menyimpang dari peraturan sekolah, bentuk upaya untuk mengingatkan atau memperbaikinya pun beragam. Ada yang cukup diingatkan dengan lisan, cukup sampai peringatan tertulis, atau perlu ada dialog dari hati ke hati antara guru dengan peserta didik tersebut secara khusus atau secara tertutup untuk mengidentifikasi dan mencari solusi dari masalah yang dihadapi oleh peserta didik. Selain itu juga, untuk menjaga agar peserta didik tersebut tidak down mentalnya, tidak merasa dipermalukan, atau berpotensi dirundung oleh teman-temannya. Sekali lagi, pendidikan adalah sebuah proses. Dan proses itu perlu dilalui dengan penuh kesabaran.
Implikasi dari perlunya guru melakukan pembelajaran berdiferensiasi adalah guru didorong untuk meningkatkan kompetensinya dalam mengelola kelas, kemampuan menggunakan bahan ajar dan media pembelajaran yang bervariasi, kemampuan dalam berkomunikasi dengan peserta didik, kemampuan untuk melakukan asesmen pembelajaran dengan menggunakan instrumen yang beragam. Sekolah, pemerintah, dan organisasi profesi guru perlu menjembataninya melalui berbagai pelatihan atau guru bisa melakukannya secara mandiri. Wallaahu a’lam.
PENGEMBANGAN INSTRUMEN ASESMEN DIAGNOSTIK
Oleh: IDRIS APANDI
(Praktisi Pendidikan)
Sejalan dengan implementasi kurikulum merdeka, guru diharapkan bisa melaksanakan pembelajaran berdiferensiasi, yaitu pembelajaran yang disesuaikan dengan minat, bakat, karakter, dan kebutuhan belajar peserta didik. Sebelum melaksanakannya, guru terlebih dahulu perlu mengidentifikasi kemampuan awal, minat, gaya belajar, dan kebutuhan belajar peserta didik melalui asesmen diagnostik. Dengan kata lain, asesmen diagnostik adalah “pintu gerbang” bagi guru sebelum menerapkan pembelajaran berdiferensiasi.
Asesmen diagnostik bisa dilakukan pada awal semester atau sebelum peserta didik mempelajari materi tertentu. Namun, ada juga yang berpendapat bahwa asesmen diagnostik bisa juga dilakukan oleh guru sebagai bahan perbaikan atau peningkatan mutu pembelajaran di pertemuan berikutnya. Dengan demikian, asesmen diagnostik adalah dasar bagi guru untuk merancang pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik peserta didik. Ibaratnya, asesmen diagnostik adalah peta petunjuk jalan dan lampu senter yang akan digunakan sebagai penerang oleh guru saat memasuki gedung baru yang gelap untuk mengetahui dan mengidentifikasi setiap ruangan yang ada di dalamnya.
Asesmen diagnostik terdiri dari 2 (dua) jenis, yaitu asesmen diagnostik kognitif dan asesmen diagnostik non-kognitif. Asesmen diagnostik kognitif adalah asesmen untuk mengetahui kemampuan awal, kebutuhan belajar, atau hambatan belajar peserta didik. Hasil dari asesmen diagnostik kognitif menjadi dasar bagi guru untuk pengelompokkan dan levelling kemampuan belajar, menentukan strategi pembelajaran yang harus dilaksanakan, dan treatment yang harus diberikan terhadap peserta didik.
Teknisnya, guru bisa memberikan semacam pre-test berisi beberapa pertanyaan atau soal materi yang dipelajari sebelumnya atau materi kemampuan prasyarat untuk mempelajari materi berikutnya. Selain itu, guru juga memberikan pertanyaan atau soal yang merupakan materi yang akan dipelajari sebagai bentuk identifikasi. Jenis instrumennya bisa dalam bentuk tes tulis, tes lisan, test praktik, games, atau kuis baik secara daring atau pun luring.
Asesmen diagnostik non-kognitif adalah asesmen yang bertujuan untuk mengidentifikasi gaya belajar, minat, potensi, karakter, dan latar belakang psiko-sosial peserta didik. Bentuknya bisa melalui angket, tanya jawab, atau wawancara. Sasaran atau respondennya peserta didik dan orang tua/wali peserta didik. Selain itu, guru bisa melakukan observasi, mendatangi rumah atau tempat tinggal peserta didik, melihat kondisi lingkungan sekaligus melakukan wawancara, menyebarkan angket, atau melakukan telaah dokumen nilai rapor atau portfolio peserta didik.
Dalam melakukan asesmen diagnostik non-kognitif, guru disamping melakukannya sendiri, juga bisa bekerja sama dengan guru lainnya, wali kelas, guru BK, atau psikolog. Jika diperlukan, informasi juga bisa digali dari guru atau wali kelas pada jenjang atau kelas sebelumnya, penilaian pribadi peserta didik, jurnal, atau penilaian teman.
Instrumen angket, wawancara, observasi, atau studi dokumentasi disesuaikan dengan relevansi dan kebutuhannya. Dibuat sesederhana mungkin. Tidak harus mirip angket penelitian. Guru juga bisa menggali informasi melalui obrolan ringan antara guru dengan peserta didik dan dengan orang tua/wali peserta didik.
Asesmen diagnostik non-kognitif juga bisa dalam bentuk refleksi awal, catatan, simbol, atau emoticon yang bisa dipilih oleh peserta didik. Misalnya, untuk mengetahui hobi, minat (tertarik atau tidak tertarik), hobi, perasaan (suka atau tidak suka), emosi (senang, sedih, marah, biasa-biasa saja), dll.
Melakukan asesmen diagnostik memang bukan hal yang mudah. Membutuhkan waktu dan tenaga yang tidak sedikit. Tapi jika memang guru ingin melakukan asesmen diagnostik dengan baik, hal tersebut bisa dijadikan alternatif untuk dilakukan karena guru diharapkan bisa melaksanakan pembelajaran yang berpihak kepada peserta didik. Walau demikian, guru jangan pula mempersulit diri dengan melakukan asesmen diagnostik yang sulit untuk dilakukan sehingga membuat tugasnya yang lain terbengkalai. Intinya, lakukan asesmen diagnostik sesuai dengan kebutuhan dengan cara yang paling mudah, paling memungkinkan, efektif, dan efisien.
Setelah guru melakukan asesmen diagnostik, maka guru dapat menyusun strategi pembelajaran berdiferensiasi. Baik berbasis konten (isi materi), proses, produk, atau lingkungan belajar. Analisis Capaian Pembelajaran (CP) dan Tujuan Pembelajaran (TP) menjadi alternatif untuk menentukan strategi pembelajaran, sumber belajar, dan media yang paling relevan digunakan oleh guru. Walau demikian, dari semua hal tersebut, hal yang paling utama adalah guru yang mendidik dengan hati dan mengajar dengan rasa sehingga guru bisa hadir dalam hati setiap peserta didik. Wallaahu a’lam.
PENINGKATAN KEMAMPUAN LITERASI DAN NUMERASI GURU
Oleh: IDRIS APANDI
(Penulis Buku Literasi atau Mati)
Kurikulum merdeka diimplementasikan dengan tujuan untuk meningkatkan mutu pembelajaran di tengah kondisi masih rendahnya mutu literasi dan numerasi peserta didik. Hasil PISA tahun 2018 menunjukkan bahwa kemampuan literasi dan numerasi pelajar Indonesia berada pada 10 besar paling bawah dari 79 negara yang disurvei. Kemampuan membaca berada pada rangking 74 dengan skor 371, kemampuan matematika berada pada rangking 73 dengan skor rata 379, dan kemampuan sains berada pada rangking 71 dengan dengan skor rata-rata 396. (Detik, 03/12/2019).
Hanya 30 persen siswa Indonesia yang memenuhi kompetensi kemampuan baca minimal. Demikian pula dengan kompetensi matematika, di mana masih 71 persen berada di bawah kompetensi minimal. Sedangkan untuk sains, sebanyak 40 persen siswa Indonesia masih berada di bawah kemampuan minimal yang diharapkan. (Kompas, 04/12/2019)
Hasil Asesmen Kompetensi Minimum (AKM) tahun 2021 yang dilaksanakan oleh Kemendikbud menunjukkan bahwa 1 dari 2 orang (50%) peserta didik belum mencapai kompetensi minimum pada literasi membaca. Kemudian 2 dari 3 orang peserta didik belum mencapai kompetensi minimum pada literasi numerasi. Hal ini menjadi PR bagi pemerintah dan satuan pendidikan untuk bisa meningkatkan kemampuan literasi dan numerasi di masa yang akan datang.
Guru sebagai ujung tombak pembelajaran diharapkan dapat merancang dan melaksanakan pembelajaran berbasis literasi dan numerasi. Untuk bisa melakukannya, tentunya diperlukan guru yang memiliki kompetensi literasi dan numerasi yang baik pula. Oleh karena itu, sebelum meningkatkan mutu literasi dan numerasi peserta didik, terlebih dahulu perlu peningkatan atau penguatan kemampuan literasi dan numerasi guru.
Kaitan dengan hal tersebut, beberapa pertanyaan awal yang bisa menjadi pemantik misalnya berapa persen guru yang hobi membaca? berapa jam dalam satu minggu guru menyediakan waktu untuk membaca? berapa jumlah buku yang dibaca dalam 1 bulan? Dan sebagainya. Mengapa hal tersebut perlu ditanyakan sebagai pertanyaan awal? Karena membaca adalah pintu gerbang untuk menambah wawasan atau meningkatkan ilmu pengetahuan. Kita sulit berharap guru-guru meningkatkan mutu pembelajaran berbasis literasi dan numerasi jika masih banyak guru yang belum ber-mindset sebagai pemelajar atau kurang hobi membaca.
Peningkatan kemampuan literasi dan numerasi guru perlu menjadi prioritas untuk mendukung implementasi kurikulum merdeka yang menekankan peningkatan literasi dan numerasi dalam pembelajaran. Pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah perlu melakukan pemetaan kemampuan literasi dan numerasi guru melaui survei atau melalui uji awal dan dijadikan sebagai data rapor pendidikan. Hasil dari pemetaan tersebut akan menjadi dasar untuk penyusunan kebijakan peningkatan kemampuan literasi dan numerasi guru.
Organisasi profesi guru dan satuan pendidikan dapat melakukan upaya untuk meningkatan kemampuan literasi dan numerasi guru melalui IHT atau workshop. Para guru pun diharapkan berinisiatif belajar secara mandiri dalam meningkatkan kemampuan literasi dan numerasi. Saat ini bahan belajar tersedia dan dapat diakses dengan mudah melalui berbagai sumber baik secara daring maupun luring.
Diskusi dengan teman sejawat dalam komunitas belajar pun bisa menjadi salah satu alternatif peningkatan kemampuan literasi dan numerasi guru. Tinggal ada kemauan untuk belajar, mau keluar dari zona nyaman, dan utamanya memiliki pola pikir (mind set) untuk jadi guru profesional dan berkomitmen memberikan layanan yang terbaik dalam memfasilitasi kebutuhan belajar peserta didiknya.
Kampanye dan semangat untuk meningkatkan literasi (dan numerasi) sebernarnya sudah masif dilakukan sejak tahun 2015 melalui Gerakan Literasi Sekolah (GLS). Walau demikian, hasilnya belum optimal yang ditandai dengan masih rendahnya kemampuan literasi (dan numerasi) peserta didik.
Meningkatnya kompetensi literasi dan numerasi guru diharapkan dapat berdampak terhadap meningkatnya mutu proses pembelajaran. Guru menyusun skenario pembelajaran yang efektif bagi peserta didik. Guru yang kaya dengan wawasan literasi dan numerasi tentunya akan menjadi guru yang kreatif, kaya dengan beragam srategi pembelajaran, memiliki kemampuan mengelola kelas yang baik, tidak akan kekurangan bahan belajar, tidak akan mati gaya saat mengajar, membuat suasana kelas menjadi lebih hidup dan menyenangkan, serta mampu memberikan pengalaman belajar yang bermakna bagi peserta didik. Intinya, guru yang bermutu akan berdampak positif terhadap proses pembelajaran yang bermutu. Wallaahu a’lam.
Pembelajaran Berdiferensiasi pilih
diambil dari https://purnawanto.blogspot.com/2022/06/pembelajaran-berdiferensiasi.html